Dari atas ke bawah: 1) Salah satu toko milik orang Yahudi yang dirusak oleh perusuh; 2) Sinagoge utama di Frankfurt am Main dibakar saat berlangsungnya Kristallnacht; 3) Orang Yahudi yang ditangkap di Stadthagen selepas Kristallnacht
Kristallnacht atau Reichskristallnacht (secara harfiah berarti Malam Beling atau Malam Kaca Pecah), dalam literatur bahasa Jerman lebih sering disebut Novemberpogrome, Reichspogromnacht, atau Pogromnacht (secara harfiah berarti Pogrom-pogrom November, Malam Pogrom Reich, atau Malam Pogrom), adalah kerusuhan besar-besaran yang menyasar orang Yahudi di seluruh Jerman Nazi (termasuk Austria) dari malam tanggal 9 November hingga 10 November 1938. Rezim Nazi mencitrakan kerusuhan ini sebagai sebuah amarah spontan dari rakyat selepas kematian diplomat Jerman di Paris, Ernst vom Rath, pada tanggal 9 November 1938; ia ditembak dua hari sebelumnya oleh seorang Yahudi Polandia kelahiran Jerman, Herschel Grynszpan. Nyatanya kerusuhan yang terjadi diperintahkan oleh Führer Jerman Adolf Hitler, diselenggarakan oleh Joseph Goebbels, dan dilaksanakan oleh anggota Sturmabteilung, Schutzstaffel, serta Pemuda Hitler dengan dukungan dari Sicherheitsdienst, Gestapo, dan polisi.
Menurut perkiraan sejarawan Saul Friedländer, kerusuhan ini mengakibatkan kehancuran 267 sinagoge (rumah ibadah Yahudi), sementara 7.500 toko dan usaha milik orang Yahudi dirusak. Peristiwa ini sendiri dinamai Kristallnacht untuk mengacu kepada serpihan-serpihan kaca yang berserakan di depan toko orang Yahudi yang diserang. Terdapat setidaknya 91 orang Yahudi yang tewas saat berlangsungnya Kristallnacht. Goebbels sendiri memerintahkan agar kerusuhan dihentikan pada siang hari tanggal 10 November, dan kemudian pesan ini disebarluaskan oleh Deutsches Nachrichtenbüro sekitar pukul 16.00. Namun, kerusuhan masih berlanjut di berbagai tempat. Selepas kerusuhan, 20.000 hingga 30.000 orang Yahudi dideportasi ke kamp konsentrasi.
Kerusuhan ini dikecam oleh dunia internasional, tetapi negara-negara seperti Amerika Serikat dan Britania Raya tetap enggan menerima pengungsi Yahudi Jerman dan Austria. Orang-orang non-Nazi di Jerman sendiri cenderung bergeming selepas Kristallnacht. Walaupun banyak orang Jerman yang menentang kerusuhan, penolakan disuarakan akibat kerugian ekonomi yang ditimbulkan alih-alih untuk membela orang Yahudi. Pada akhirnya orang Yahudi Jerman dipaksa membayar "tebusan" atas pembunuhan vom Rath sebesar satu miliar Reichsmark. Mereka juga harus menanggung biaya perbaikan toko mereka dengan dana mereka sendiri.
Keberhasilan Partai Nazi dalam menyelenggarakan kerusuhan Kristallnacht mendorong mereka untuk mengambil tindakan-tindakan yang lebih radikal terhadap orang Yahudi. Selepas kekalahan Jerman Nazi dalam Perang Dunia II, perkara-perkara terkait Kristallnacht disidang di pengadilan Jerman. Walaupun terdapat lebih dari 7.000 orang Jerman yang didakwa, tidak diketahui secara pasti jumlah orang yang akhirnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Kristallnacht kini dikenang di Jerman melalui upacara peringatan. Peringatan ini menjadi komponen penting dalam pembangunan kembali identitas nasional Jerman dan juga menunjukkan komitmen Jerman untuk melawan antisemitisme dan rasisme. Dalam literatur-literatur bahasa Jerman sendiri, istilah yang digunakan adalah "pogrom November" atau Reichspogromnacht, karena istilah Kristallnacht dianggap mengalihkan perhatian dari kekerasan fisik yang diderita orang Yahudi pada saat itu.
Latar belakang
Program Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, disingkat NSDAP) yang ditulis pada 24 Februari 1920 menyatakan bahwa "yang bisa menjadi warga negara hanyalah saudara satu ras (Volksgenosse). [...] Oleh karena itu tidak ada orang Yahudi yang bisa menjadi saudara satu ras."[1] Dalam buku Mein Kampf, Adolf Hitler berkali-kali mengungkapkan hasratnya agar Jerman "dijadikan bebas Yahudi" (Judenfrei).[2] Orang Yahudi telah menjadi korban kebijakan antisemit sejak berkuasanya Partai Nazi di Jerman pada Januari 1933. Diskriminasi ini terutama dituangkan dalam bentuk pemboikotan toko-toko Yahudi. Pemboikotan ini diinginkan oleh Hitler sendiri, diorganisasikan oleh Julius Streicher, dan kemudian dilaksanakan oleh Sturmabteilung pada 1 April 1933 dalam sebuah operasi yang tidak terlalu berhasil dan menuai kecaman dari luar negeri.[3] Pada bulan yang sama, orang Yahudi juga tidak diperbolehkan menjadi pegawai negeri sesuai dengan Undang-Undang Pemulihan Kepegawaian Negeri Profesional tanggal 7 April 1933.[4]
Pengucilan orang Yahudi diresmikan pada 15 September 1935 dengan disahkannya Hukum Nürnberg, khususnya "Undang-Undang Perlindungan Darah dan Kehormatan Jerman". Hukum Nürnberg menetapkan kategori "Yahudi", "setengah Yahudi", atau "seperempat Yahudi" (Mischling) berdasarkan keturunan, melarang hubungan seksual dan pernikahan antara orang berdarah Jerman dengan orang Yahudi, mencabut kewarganegaraan Jerman dari orang Yahudi, mencabut berbagai hak politik orang Yahudi (termasuk hak suara), dan melarang mereka memegang berbagai profesi, termasuk di bidang pendidikan.[5]
Kampanye anti-Yahudi semakin memanas pada tahun 1937, terutama dengan diselenggarakannya pameran Yahudi Abadi (Der Ewige Jude) di kota München.[6] Dari tahun 1938, paspor orang Yahudi Jerman disita. Pada 26 April, orang Yahudi menerima perintah untuk mendaftarkan semua harta benda yang mereka miliki; harta-harta tersebut kelak akan di"aryanisasi". Pada 17 Agustus, dikeluarkan peraturan mengenai nama depan Yahudi, dan tiga maklumat tambahan untuk Hukum Nürnberg mendefinisikan perusahaan Yahudi dan melarang Yahudi bekerja di sektor medis.[6] Semua hal ini diterapkan agar orang Yahudi keluar dari Jerman.[6]
Ernst vom Rath, diplomat Jerman yang menjadi korban pembunuhan oleh Grynszpan
Dengan bantuan dari Tuhan [...]. Aku tidak bisa bertindak lain. Hatiku hancur ketika aku memikirkan tragedi kita dan tragedi 12.000 orang Yahudi. Aku harus menunjukkan perlawananku dengan cara yang akan didengar dunia, dan aku akan melakukannya. Tolong maafkan aku.
Pada 7 November 1938, seorang pemuda Yahudi Polandia kelahiran Jerman yang tinggal secara ilegal di Paris, Herschel Grynszpan, membeli sebuah pistol dan kemudian mendatangi Kedutaan Besar Jerman di kota tersebut. Pemuda berusia tujuh belas tahun ini baru saja mendengar kabar bahwa keluarganya di Hannover, Jerman, telah diusir ke Polandia pada 27 Oktober 1938 (sebagai bagian dari Polenaktion). Sesampainya ke kedutaan tersebut, ia menyatakan ingin bertemu dengan seorang atasan. Grynszpan dikirim ke kantor sekretaris pertama Ernst vom Rath dan ia lalu menembaknya.[7][a][b] Sejarawan Hans-Jürgen Döscher mengklaim bahwa serangan ini mungkin bukan didorong oleh motif politik, tetapi merupakan konsekuensi dari hubungan homoseksual antara sang pembunuh dengan korbannya. Untuk memperkuat klaimnya, ia mengutip tulisan-tulisan André Gide dan juga rumor bahwa vom Rath dikenal sebagai seorang homoseksual di Paris sampai-sampai ia dijuluki "Ibu Duta Besar".[8] Namun, pengacara Grynzspan, Vincent de Moro-Giafferri, belakangan mengklaim pada tahun 1947 bahwa ia membuat-buat argumen ini agar kliennya mendapatkan hukuman yang lebih ringan.[9]
Ini bukanlah pertama kalinya seorang pejabat Jerman dibunuh oleh seorang Yahudi. Pada 4 Februari 1936, di kota Davos, seorang Yahudi Yugoslavia David Frankfurter membunuh pemimpin Partai Nazi di Swiss, Wilhelm Gustloff. Pembunuhan ini tidak memicu reaksi apa pun dari pemerintah ataupun rakyat Jerman,[10] mengingat situasi saat itu, terutama penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas 1936 di Berlin,[11] mendorong Partai Nazi untuk menahan tindakan-tindakan fanatik.[12]
Penembakan vom Rath pada saat itu tidak langsung memicu tanggapan resmi dari tokoh Partai Nazi, meskipun kampanye antisemit di media yang didalangi oleh Joseph Goebbels selepas penembakan tersebut sudah memicu kerusuhan-kerusuhan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Nazi, terutama di Hessen-Kassel,[12] München,[13] dan Hannover.[14] Dalam buku hariannya tanggal 9 November 1938, Goebbels menceritakan peristiwa tanggal 8 November tanpa menulis keterangan apa-apa mengenai serangan di Paris. Dalam pidatonya pada tanggal 8 November yang merayakan Bierkeller Putsch tahun 1923, Hitler juga tidak menyebut apa-apa soal peristiwa ini. Menurut sejarawan Saul Friedländer, "sudah jelas bahwa kedua pemimpin Nazi ini telah memutuskan untuk mengambil tindakan, tetapi tak diragukan lagi mereka merasa bahwa lebih baik menunggu kematian Ernst vom Rath, yang terluka parah; keheningan yang tidak biasa ini merupakan tanda-tanda yang paling jelas mengenai keberadaan rencana untuk membuat seolah ada "ledakan spontan kemarahan rakyat", yang terlepas dari kehendak sang Führer."[15]
Hitler sendiri telah mengirim dokter pribadinya, Karl Brandt, untuk merawat vom Rath.[12] Vom Rath meninggal dunia pada 9 November 1938 pukul 17.30. Kabar ini diberitahukan kepada Hitler antara pukul 19.00 hingga 21.00, ketika ia sedang berada di München untuk menghadiri peringatan Bierkeller Putsch bersama dengan para petinggi Partai Nazi.[16][c]
Penyelenggaraan kekerasan
Saya mempersembahkan fakta-faktanya kepada Führer. Ia memutuskan: biarkan demonstrasi berlanjut. Tarik mundur polisi. Orang Yahudi harus sekali-sekali merasakan amarah rakyat. Ini keadilan. Aku segera memberikan perintah-perintah terkait kepada polisi dan partai. Kemudian aku berpidato di hadapan para pemimpin partai. Tepuk tangan yang meriah. Semua orang langsung bergegas menuju telepon. Sekarang rakyat yang akan bertindak.
Selepas mendengar kabar kematian vom Rath, Hitler berbicara panjang dengan Goebbels dengan suara yang pelan, dan sang Führer tampak gelisah.[18] Hitler kemudian meninggalkan pertemuan di München tanpa berpidato seperti biasanya dan juga tanpa menyebutkan apa-apa soal kematian vom Rath.[12] Menurut sejarawan Richard J. Evans, walaupun Hitler tidak mengatakannya di muka umum, ia telah memberikan perintah kepada Goebbels untuk menyelenggarakan penyerangan besar-besaran terhadap orang Yahudi, dan mereka juga sepakat bahwa di hadapan para petinggi partai, penyerangan ini harus dibuat seolah-olah merupakan amarah spontan dari rakyat yang tidak terima dengan pembunuhan vom Rath.[11] Sementara itu, menurut sejarawan Édouard Husson, gagasan untuk menyerang orang Yahudi dicetuskan oleh Goebbels, yang kemudian didukung oleh Hitler.[19] Sekitar pukul 22.00, Goebbels menyampaikan sebuah "pidato singkat tetapi berapi-api" yang mengumumkan kepada para peserta pertemuan di München bahwa vom Rath telah wafat. Goebbels juga mengaku mendengar kabar bahwa kerusuhan anti-Yahudi telah meletus di Hessen-Kassel dan Magdeburg-Anhalt, sembari menambahkan bahwa sang Führer telah memutuskan tidak perlu melakukan apa-apa apabila kerusuhan ini menyebar ke seluruh Jerman.[10] Menurut laporan Pengadilan Tertinggi Partai Nazi yang disusun pada tahun 1939, pesan yang dipetik para petinggi partai dari pidato Goebbels adalah bahwa Partai Nazi harus menyelenggarakan dan melaksanakan kerusuhan tanpa terlihat sebagai dalang kerusuhan tersebut.[20]
"Amarah spontan dari rakyat" yang digadang-gadang di hadapan para petinggi Partai Nazi nyatanya merupakan hasil berbagai perintah yang dikeluarkan oleh petinggi-petinggi Nazi. Dari pukul 22.00, kepala Sturmabteilung di tingkat daerah telah memberikan perintah kepada bawahan mereka untuk melakukan pembakaran, penghancuran, dan kekerasan berskala besar. Tak lama sebelum tengah malam, kepala Gestapo Heinrich Müller memerintahkan kepada polisi untuk tidak menghentikan aksi terhadap orang Yahudi. Walaupun mereka diminta untuk mencegah penjarahan dan "perbuatan kelewatan lainnya", polisi juga harus mempersiapkan penangkapan dua puluh hingga tiga puluh ribu orang Yahudi, terutama orang Yahudi yang kaya. Pada pukul 1.20, perintah dari Müller dilengkapi dan dirincikan oleh pesan teleks dari Reinhard Heydrich.[21] Heydrich meminta kepada polisi dan Sicherheitsdienst untuk mencegah tindakan yang bisa membahayakan orang atau harta benda Jerman, khususnya saat pembakaran sinagoge. Mereka juga diperintahkan untuk tidak menyerang orang asing dan untuk mencari "personel yang diperlukan untuk menangkap orang Yahudi, terutama yang kaya, sebanyak yang bisa ditampung oleh penjara."[22] Pada pukul 2.56 pagi hari, giliran Wakil FührerRudolf Hess yang menambahkan bahwa telah turun perintah dari wewenang tertinggi untuk tidak membakar toko-toko Yahudi karena bisa membahayakan bangunan-bangunan orang Jerman di sekitar.[23]
Menurut sejarawan Rita Thalmann dan Emmanuel Feinermann, deretan perintah yang dikeluarkan serta rincian dalam perintah dari Müller (terutama perintah untuk menangkap 20.000 hingga 30.000 orang Yahudi) menunjukkan adanya rencana yang sudah dipersiapkan dari sebelum pembunuhan vom Rath.[24] Pendapat ini didukung oleh sejarawan Gerald Schwab. Menurutnya, pesan teleks yang dikirim oleh Müller, yang sama sekali tidak menyebutkan soal kematian vom Rath, telah ditulis dari lama sembari menunggu kesempatan. Schwab juga menggarisbawahi bahwa kamp konsentrasi telah dipersiapkan dari berbulan-bulan sebelumnya untuk menampung kedatangan mendadak tahanan dalam jumlah besar.[25]
Seorang Blockleiter di Hüttenbach, Mittelfranken, mengakui sulit untuk memaksakan narasi "amarah spontan rakyat" setelah sinagoge di tempat tersebut dibakar. Dalam sebuah laporan untuk atasannya pada 7 Februari 1939, ia menulis, "Kami tidak dapat menulis bahwa api telah dinyalakan di sinagoge oleh anggota partai [...], tetapi oleh rakyat. Itu benar. Namun sebagai pencatat peristiwa, saya harus memberitahu kenyataannya. Mudah untuk menghilangkan halaman ini dan menulis yang baru. Saya mohon, bapak, bagaimana saya harus membuat laporan ini dan bagaimana perumusannya? Heil Hitler!"[26]
Pada 10 November 1938, Goebbels berbicara dengan Hitler lewat telepon pada dini hari, dan mereka juga bertatap muka saat makan siang ketika kerusuhan tengah berlangsung. Dengan dukungan dari sang Führer, Goebbels memerintahkan agar kekerasan dihentikan.[27] Perintah ini disebarkan oleh media Berlin pukul 17.00, oleh stasiun radio pada pukul 20.00, dan oleh seluruh media pada hari berikutnya.[28] Perintah tersebut diikuti oleh pesan dari Heydrich kepada polisi, dan kemudian aparat kepolisian yang tadinya menghilang saat terjadinya kerusuhan tiba-tiba muncul kembali di jalanan.[29]
Berlangsungnya kerusuhan
Aku kembali ke hotelku, dan saat itu aku melihat langit [berubah menjadi] merah darah. Sinagoge terbakar. [...] Kami hanya memadamkan kebakaran jika diperlukan untuk bangunan Jerman di sebelahnya. Jika tidak, biarkan terbakar. [...]
Jendela-jendela hancur. Bagus, bagus! Di semua kota besar, sinagoge terbakar.
Setelah pidato Goebbels, mantan anggota Stosstrupp Adolf Hitler turun ke jalanan di München dan menghancurkan Sinagoge Ohel Jakob di Jalan Herzog Rudolf; tindakan kekerasan mereka bahkan membuat khawatir GauleiterAdolf Wagner.[31] Goebbels juga memberikan perintah penghancuran Sinagoge Fasanenstrasse di Berlin.[32] Kerusuhan antisemit kemudian menyebar ke seluruh Jerman.[22] Para Gauleiter mulai beraksi pada pukul 22.30, kemudian diikuti oleh Sturmabteilung pada pukul 23.00, polisi tak lama sebelum tengah malam, dan Schutzstaffel pada pukul 1.20 pagi hari.[22] Sebagian besar tindakan kekerasan yang berlangsung dalam kurun waktu dua hari sesudahnya dilakukan oleh anggota Sturmabteilung. Kerusuhan terjadi di kota-kota besar seperti Berlin dan Frankfurt maupun desa-desa kecil. Terdapat ratusan Gemeinde (kotamadya) yang terkena dampak kerusuhan, termasuk tempat-tempat yang kurang dikenal khalayak luas, seperti Bad Vilbel dan Strümpfelbrunn.[33]
Kerusuhan dan pembakaran sering kali dilakukan secara spontan setelah turunnya perintah dari atasan. Di Marburg, anggota Sturmabteilung yang sedang minum-minum untuk merayakan Bierkeller Putsch mendapatkan perintah untuk membakar sinagoge. Walaupun sempat kesulitan mencari bahan bakar, mereka akhirnya menemukan minyak di teater setempat. Di Tübingen, tiga anggota partai Nazi yang sedang pulang dijemput dengan mobil. Atasan mereka berada di dalam mobil tersebut dan memberitahukan kepada mereka bahwa ia menerima perintah dari Gauleiter di Stuttgart untuk membakar semua sinagoge. Namun, ketika mereka tiba di sinagoge, sinagoge tersebut sudah dirusak. Delapan anggota Sturmabteilung dan Schutzstaffel telah menghancurkan jendela dan pintu sinagoge, mengambil barang-barang di dalam, dan melemparnya ke Sungai Neckar. Anggota partai kemudian membakar sinagoge sembari ditonton pemadam kebakaran; tugas para pemadam kebakaran saat itu hanya memastikan bahwa kebakaran tidak akan menyebar ke gedung-gedung sebelah. Menurut pengamatan sejarawan Ian Kershaw, pola semacam ini terjadi berulang-ulang di berbagai tempat di Jerman.[34]
Di Köln, seorang konsul Swiss melaporkan bahwa sekumpulan orang mendatangi tempat tinggal orang Yahudi dan memaksa mereka untuk keluar atau berdiam di sudut ruangan, sementara barang-barang di dalam rumah dilempar ke jalanan.[35] Seorang konsul Amerika Serikat juga melaporkan peristiwa serupa di Leipzig.[36] Di kota yang sama, tempat pemakaman Yahudi dirusak; tempat ibadah dan rumah penjaga makam dibakar, makam-makam dinista, dan batu-batu nisan digulingkan.[37] Di Potsdam, sebuah sekolah asrama diserang, dan murid-muridnya dikejar pada malam hari.[38]
Kerusuhan terutama merebak di kawasan Jerman Selatan. Di Bechhofen, kelompok Nazi setempat memaksa orang Yahudi untuk meninggalkan rumah mereka untuk memberi ruang bagi "orang Arya". Mereka yang menolak dikeluarkan secara paksa, dipukuli, dan dipaksa mengelilingi kota tanpa sepatu ataupun alas kaki.[39] Di Wittlich, seorang anggota Sturmabteilung memanjat atap sinagoge, melambaikan gulungan Taurat, dan berseru, "Usap pantatmu dengan ini, Yahudi!"[40] Di Esslingen, anggota Sturmabteilung menyerang sebuah panti asuhan dan menyalakan api dengan buku-buku, benda-benda keagamaan, dan barang-barang lain yang bisa dibakar, sembari mengancam anak-anak yatim piatu bahwa mereka akan dilempar ke api jika mereka tidak segera pergi.[41] Di Treuchtlingen, anggota Sturmabteilung dengan dukungan dari beberapa warga membakar sinagoge; menghancurkan jendela toko-toko Yahudi dan menjarah isinya; merusak tempat tinggal orang Yahudi; menghancurkan perabotan, barang pecah belah, dan toilet; serta mewajibkan para wanita yang bersembunyi di ruang penyimpanan anggur di bawah tanah untuk menghancurkan botol-botol anggur.[42] Di Nürnberg, orang Yahudi dipukuli sampai mereka bersedia menandatangani surat yang menyatakan janji mereka untuk menyerahkan properti mereka.[43]
Kerusuhan juga merebak di wilayah Austria yang telah dianeksasi oleh Jerman Nazi. Di Innsbruck, Reichsgau Tirol-Vorarlberg, yang menjadi tempat tinggal ratusan orang Yahudi, anggota SS yang berpakaian sipil membunuh beberapa tokoh masyarakat Yahudi.[44] Kekerasan paling parah dan mematikan selama Kristallnacht terjadi di kota Wina,[45] yang sebelumnya sudah pernah mengalami kerusuhan anti-Yahudi saat peristiwa Anschluss.[46] Terdapat 42 sinagoge yang dibakar, 27 orang Yahudi yang dibunuh, dan 88 orang Yahudi yang terluka parah.[45] Penyiar radio di Wina pada malam tersebut bahkan menceritakan pembakaran Sinagoge Leopoldstadt seolah-olah seperti suatu kabar gembira.[47]
Kekerasan diiringi dengan tindakan-tindakan yang mempermalukan para korban. Di Saarbrücken, orang-orang Yahudi dipaksa menari, berlutut, dan menyanyikan lagu-lagu rohani di depan sinagoge, dan kemudian mereka disembur dengan pemadam kebakaran. Di Essen, jenggot orang Yahudi dibakar. Di Meppen, orang Yahudi dipaksa mencium tanah di depan kantor Sturmabteilung sembari ditendang.[48] Di Fürth, orang Yahudi digiring ke teater, dan sebagian dari mereka dibawa ke atas panggung untuk dipukuli.[49] Di Baden-Baden, orang Yahudi dikumpulkan di sinagoge, dan saat masuk mereka dipaksa menginjak sebuah tallit (kain ibadah). Di dalam sinagoge, mereka dipaksa menyanyikan lagu Nazi Horst-Wessel-Lied dan membacakan isi buku Mein Kampf.[50]
Secara keseluruhan, ratusan sinagoge dan tempat ibadah dibakar, sementara ribuan bisnis, toko, dan apartemen Yahudi dihancurkan, dirusak, atau dijarah. Hampir semua tempat pemakaman Yahudi juga dirusak.[51] Wanita, anak-anak, dan orang tua turut menjadi korban pemukulan. Banyak orang Yahudi yang bunuh diri. Lebih dari 20.000 orang Yahudi dideportasi ke kamp konsentrasi, dan di situ mereka menjadi korban kekejaman dan penyiksaan oleh penjaga. Pembunuhan juga terjadi pada saat berlangsungnya Kristallnacht,[52] sementara beberapa wanita Yahudi menjadi korban pemerkosaan.[53]
Kekerasan tidak hanya dilakukan oleh anggota Sturmabteilung ataupun Schutzstaffel, tetapi juga oleh rakyat jelata, terutama pemuda yang telah didoktrin ideologi Nazi di sekolah dan anggota Pemuda Hitler.[54] Di Düsseldorf, dokter-dokter di rumah sakit dan beberapa hakim ikut membakar sinagoge.[55] Di Gaukönigshofen, para "petani terpandang" merusak tabut Taurat dan menjarah rumah-rumah orang Yahudi; pada pagi tanggal 10 November, murid sekolah dan remaja melontarkan ejekan dan cemoohan terhadap orang-orang Yahudi yang diciduk polisi, sementara kerumunan juga melempari batu.[56] Walaupun sebagian warga sipil turut serta dalam peristiwa Kristallnacht, terdapat pula orang Jerman yang bersimpati dengan para korban dan bahkan memberikan bantuan.[57]
Perintah untuk menghentikan kerusuhan
Pada siang hari tanggal 10 November 1938, Goebbels mengeluarkan sebuah pernyataan yang kemudian disebarluaskan oleh Deutsches Nachrichtenbüro sekitar pukul 16.00. Pernyataan yang dibacakan di radio ini berbunyi:
Amarah rakyat Jerman yang dapat dijustifikasi dan dipahami terhadap tindakan pembunuhan pengecut terhadap seorang diplomat Jerman di Paris terlampiaskan dengan skala yang besar kemarin malam. Di beberapa kota dan kota praja Reich, tindakan-tindakan pembalasan telah dilancarkan terhadap bangunan-bangunan dan usaha-usaha Yahudi. Sebuah perintah yang harus dipatuhi kini sedang dikeluarkan untuk semua orang untuk menghentikan segala demonstrasi dan tindakan terhadap Yahudi, apa pun tindakannya. Tanggapan tegas terhadap pembunuhan oleh Yahudi di Paris akan diberikan kepada Yahudi lewat undang-undang dan maklumat.[58]
Goebbels juga mengeluarkan pernyataan kedua untuk para Gauleiter yang meminta agar mereka menghentikan segala tindakan anti-Yahudi. Menurut Goebbels, tindakan-tindakan ini sudah mencapai tujuan yang diharapkan. Ia juga menyatakan akan memberikan perintah agar orang Yahudi mengganti rugi segala kerusakan yang timbul selama Kristallnacht (alih-alih perusahaan asuransi yang seharusnya membayar).[58]
Meskipun sudah diperintahkan untuk berhenti, kekerasan terhadap kelompok Yahudi masih sempat berlanjut di berbagai tempat. Banyak pejabat Nazi di tingkat daerah yang belum sempat memulai kerusuhan ketika Goebbels mengeluarkan pernyataannya, sehingga kerusuhan baru dilancarkan setelah turun perintah untuk berhenti.[58] Di Harburg-Wilhelmsburg, kerusuhan baru dimulai pada sore tanggal 10 November; kamar mayat di Tempat Pemakaman Yahudi Harburg dibakar, sementara sinagoge Yahudi di kota tersebut dijarah.[59] Pada 11 November 1938, surat kabar Britania Raya Daily Express mengabarkan berita dengan tajuk utama Looting Mobs Defy Goebbels (Gerombolan Penjarah Membangkang [Perintah] Goebbels).[58] Di Kota Merdeka Danzig (yang saat itu masih terpisah dari Jerman), kelompok Nazi setempat baru mulai menyerang komunitas Yahudi pada tanggal 12 November 1938.[60]
Korban dan kerugian
Pada 11 November 1938, Reinhard Heydrich menulis sebuah laporan rahasia untuk Hermann Göring. Heydrich mengklaim dalam laporan tersebut bahwa terdapat 815 toko yang hancur, 171 rumah tinggal yang dibakar atau dihancurkan, 119 sinagoge yang dibakar, dan 76 sinagoge yang sepenuhnya hancur. Selain itu, ia juga melaporkan bahwa jumlah korban meninggal mencapai 36 orang, dan jumlah korban terluka parah juga 36 orang, sementara 20.000 orang Yahudi telah ditangkap.[53]
Namun, para sejarawan telah memberikan perkiraan yang lebih tinggi. Menurut Friedländer, "di seluruh Jerman [termasuk wilayah Austria yang telah dianeksasi], selain 267 sinagoge yang dihancurkan dan 7.500 usaha dan toko yang dirusak, 91 orang Yahudi wafat dan ratusan bunuh diri atau meninggal akibat perlakuan buruk di kamp."[61]
Sejarawan François Kersaudy melaporkan bahwa "lebih dari seratus Yahudi dibunuh dan dua ribu dideportasi ke kamp konsentrasi, sementara 7.500 toko dihancurkan dan 12.000 dijarah, seratus satu sinagoge dibakar, 76 dihancurkan, dan 267 dirusak."[62] Sejarawan Daniel Goldhagen juga menyebutkan bahwa "hampir seratus orang Yahudi" dibunuh, dan tiga ribu lainnya dideportasi ke kamp konsentrasi.[63] Thalmann dan Feinermann bahkan menulis bahwa "[s]ecara keseluruhan — dan menurut perkiraan yang paling berhati-hati seperti yang tercatat dalam dokumen-dokumen Wiener Library — pogrom ini merenggut nyawa 2.000 hingga 2.500 laki-laki, perempuan, dan anak-anak, dan meninggalkan luka yang mendalam bagi mereka yang selamat dari kengerian ini."[64]
Sementara itu, sejarawan Raul Hilberg memperkirakan terdapat lebih dari 25.000 orang yang dikirim ke kamp konsentrasi, seperti kamp konsentrasi Dachau (yang menampung 10.911 orang, dengan 4.600 berasal dari Wina), kamp konsentrasi Buchenwald (menampung 9.845 orang), dan Sachsenhausen (menampung setidaknya 6.000 orang).[65] Sejarawan Alan E. Steinweis juga menulis bahwa terdapat sekitar 30.000 orang Yahudi (atau 1/10 orang Yahudi yang masih ada di Jerman saat itu) yang dideportasi ke ketiga kamp ini.[33]
Tanggapan
Mancanegara
Orang Yahudi dari luar negeri juga menjadi korban kerusuhan meskipun sudah turun perintah untuk tidak menyasar mereka. Sekitar 100 nota protes dari perwakilan asing diterima oleh
Kantor Kementerian Luar Negeri di Berlin. Nota-nota protes ini kemudian dikirim ke Kantor Kanselir Reich, tetapi tidak ditanggapi dan terkubur di tumpukan berkas.[66]
Media internasional mengutuk peristiwa Kristallnacht. Surat kabar Denmark Nationaltidende pada 12 November mengutuk penyerangan, penjarahan, penyiksaan, dan deportasi yang dialami orang Yahudi Jerman; menurut surat kabar tersebut, "ini sudah bukan lagi urusan dalam negeri dan suara Jerman tidak akan menjadi satu-satunya suara yang akan didengar di majelis bangsa-bangsa."[67] Reaksi keras terutama datang dari Amerika Serikat. Hampir seribu editorial telah ditulis untuk menanggapi Kristallnacht, dan tidak ada satu pun surat kabar Amerika Serikat yang tidak mengutuk peristiwa ini. Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt juga menarik duta besarnya dari Berlin.[67] Walaupun demikian, bukan berarti pemerintah Amerika Serikat akan menyambut hangat orang-orang Yahudi yang mengungsi dari rezim Nazi. Pada tahun 1938, Amerika Serikat tidak memenuhi kuota imigrasi Yahudi dari Jerman dan Austria, dan hanya menyetujui 27.000 dari 140.000 permintaan visa.[68] Britania Raya juga enggan menerima pengungsi Yahudi; pada musim semi tahun 1939, Britania Raya merasa semakin khawatir dengan menguatnya dukungan kepada Blok Poros di negara-negara Arab, dan mereka memutuskan untuk menghentikan imigrasi Yahudi ke Palestina.[69]
Walaupun sebagian besar surat kabar Prancis mengutuk Kristallnacht, pemerintah Prancis tidak melayangkan protes simbolis sama sekali, sehingga menjadi satu-satunya negara demokrasi besar yang tidak memberikan tanggapan. Menteri Luar Negeri PrancisGeorges Bonnet malah meneruskan perencanaan kunjungan Menteri Luar Negeri JermanJoachim von Ribbentrop yang akhirnya berujung pada Deklarasi Bonnet-Ribbentrop. Pemerintah Italia pada saat itu merasa terkejut bahwa penindasan antisemit di Jerman tidak mengakibatkan kehancuran rencana deklarasi Prancis-Jerman.[70] Di sisi lain, menurut pengamatan Hilberg, kerusuhan Kristallnacht merusak reputasi Jerman di mata internasional.[71] Banyak perusahaan di Prancis, Britania Raya, Yugoslavia, Kanada, Belanda, dan Amerika Serikat yang memutus kontrak mereka dengan Jerman. Beberapa perusahaan Jerman kehilangan seperempat ekspornya. Perusahaan Jerman yang penting untuk pemersenjataan juga mengalami kerugian besar.[72]
Dalam negeri
Walaupun menuai kecaman di mancanegara, Gereja Protestan dan Katolik, para jenderal militer, dan perwakilan-perwakilan kelompok non-Nazi lainnya sama sekali tidak menyampaikan penolakan mereka terhadap peristiwa Kristallnacht.[73] Menurut laporan Sicherheitsdienst, sebagian besar rakyat menolak kekerasan dan kehancuran yang diakibatkan oleh kerusuhan ini. Namun, penolakan tersebut bukan untuk membela orang Yahudi, tetapi didasarkan pada motif ekonomi, mengingat kehancuran yang diakibatkan juga merugikan orang Jerman dan negara. Setelah orang Yahudi dipaksa membayar "tebusan" sebesar satu miliar Reichsmark, suasana hati rakyat membaik.[74]
Menurut laporan organisasi SOPADE (organisasi Partai Demokrat Sosial Jerman di pengasingan) pada Desember 1938, walaupun sebagian besar orang tidak mendukung kerusuhan, terdapat orang-orang di kalangan buruh yang tidak membela orang Yahudi. Ketika sinagoge di Berlin dibakar, banyak wanita yang berkata, "Itu cara yang benar untuk melakukannya—sayang tidak ada lagi orang Yahudi di dalam, itu akan menjadi cara terbaik untuk mengasapi semua berandalan ini."[75] SOPADE melaporkan bahwa tidak ada yang berani bersuara menentang ujaran semacam ini. Di sisi lain, SOPADE melaporkan bahwa orang-orang yang bersuara menentang kerusuhan antisemit dapat ditemui di Hamburg; menurut organisasi tersebut, orang-orang Hamburg pada umumnya tidak antisemit, dan orang Yahudi Hamburg juga lebih terasimilasi dibandingkan dengan komunitas Yahudi lainnya di Jerman.[75]
Hanya sedikit orang yang berani melawan perusuh Nazi saat berlangsungnya Kristallnacht. Seorang kepala pos polisi di Berlin-Mitte, Wilhelm Krützfeld, menyelamatkan Sinagoge Baru di Oranienburger Strasse. Ia melindungi sinagoge ini dengan alasan bahwa gedung tersebut merupakan monumen yang dilindungi. Bersama dengan beberapa anggota kepolisian, ia mengejar para pembakar dari Sturmabteilung, dan ia juga memanggil pemadam kebakaran untuk menghentikan api. Pada akhirnya ia hanya mendapatkan teguran dari atasannya.[76]
Mantan Kaisar Jerman yang berada di pengasingan di Belanda, Wilhelm II, merasa dikejutkan dengan kerusuhan yang terjadi selama Kristallnacht. Walaupun ia sendiri sebelumnya pernah membuat berbagai pernyataan antisemit, ia mengutuk peristiwa ini sebagai "premanisme murni" atau malah "Bolshevisme murni".[77] Terdapat klaim bahwa Wilhelm II menyatakan ia merasa malu menjadi orang Jerman akibat peristiwa ini, tetapi sejarawan Stephan Malinowski menjelaskan bahwa pernyataan ini berasal dari sebuah wawancara palsu dan telah dibantah oleh sang mantan kaisar sendiri.[78]
Sejarawan Jerman Peter Longerich berpendapat bahwa sikap sebagian besar rakyat Jerman yang pasif selama Kristallnacht dapat dianggap sebagai sebuah keberhasilan oleh kelompok Nazi. Ia menjelaskan, "[t]indakan kekerasan terhadap orang Yahudi Jerman, dengan skala yang tak pernah terlihat sejak pogrom pada Abad Pertengahan, telah dilancarkan tanpa menimbulkan protes publik. Dari segi propaganda, ini sama dengan persetujuan. Radikalisasi penindasan berhasil mencapai tahap baru."[79] Sementara itu, sejarawan Daniel Goldhagen menafsirkan kritik terhadap kerusuhan dan penghancuran sebagai "kritik terbatas terhadap kebijakan pemusnahan yang dianggap masuk akal oleh begitu banyak orang Jerman."[80]
Partai Nazi
Kristallnacht mengakibatkan ketegangan di antara para pemimpin Nazi. Walaupun tidak ada dari mereka yang menolak penggunaan kekerasan terhadap Yahudi, peristiwa ini berdampak terhadap citra Jerman di mata dunia dan juga terhadap ekonomi Jerman. Selain itu, Kristallnacht dilancarkan oleh Goebbels tanpa perundingan terlebih dahulu dengan yang lain, sehingga memicu reaksi dari Heinrich Himmler dan Hermann Göring.[81] Mereka berdua menjaga jarak dari peristiwa ini dan melemparkan segala tanggung jawab kepada Goebbels. Pada malam saat berlangsungnya peristiwa ini, Himmler mengkritik ambisi untuk berkuasa dan "kekosongan otak" (Hohlköpfigkeit) Goebbels.[82] Pada pagi 10 November, Göring mempersoalkan tindakan Goebbels yang dianggap tidak memedulikan aspek ekonomi sehingga mengakibatkan penghancuran harta benda yang seharusnya bisa diberikan kepada negara.[83] Himmler dan Göring mencoba meyakinkan Hitler untuk memecat Goebbels, tetapi Hitler malah menunjukkan dukungannya kepada Goebbels dengan mengunjungi sebuah teater bersama-sama pada 15 November.[84]
Dampak terhadap radikalisasi antisemitisme
Bagi saya akan lebih baik apabila Anda membunuh dua ratus orang Yahudi alih-alih menghancurkan begitu banyak harta benda!
Pada tanggal 12 November 1938, atas permintaan dari Hitler, diselenggarakan sebuah rapat tingkat tinggi untuk membahas dampak dari Kristallnacht. Rapat ini dikepalai oleh Göring.[86] Rapat tersebut dihadiri sekitar 100 orang, termasuk Goebbels, Heydrich, Menteri Ekonomi Walther Funk, Menteri Keuangan Lutz Schwerin von Krosigk,[87] Menteri Kehakiman Franz Gürtner, para perwakilan dari Reichsbank, serta para pemimpin Partai Nazi di Austria dan Sudetenland.[86] Mula-mula mereka membahas pembayaran ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan selama Kristallnacht; jendela-jendela yang dirusak saja secara keseluruhan telah diasuransikan sebesar enam juta dolar. Setelah perbincangan yang panjang, terutama antara Göring, Heydrich, dan para perwakilan dari perusahaan asuransi Jerman,[88] Göring mengumumkan perintah rahasia yang dikeluarkan Hitler dua hari sebelumnya.[89] Orang Yahudi harus menanggung sendiri biaya perbaikan tempat usaha mereka yang dirusak. Negara juga akan menyita ganti rugi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada penanggung.[89][90] Selain itu, orang Yahudi Jerman secara keseluruhan dipaksa untuk membayar "tebusan"[88] sebesar satu miliar Reichsmark[d] sebagai ganti rugi atas pembunuhan Ernst vom Rath.[91] Lebih lagi, Göring memaklumkan penghentian segala kegiatan usaha orang Yahudi efektif tanggal 1 Januari 1939. Orang Yahudi harus menjual usaha, lahan, saham, perhiasan, dan karya seni mereka.[89]
Pada rapat yang sama, Goebbels menggagas pelarangan orang Yahudi memasuki tempat hiburan umum, hutan, atau taman, serta pengeluaran anak-anak Yahudi dari sekolah Jerman. Heydrich kemudian mengingatkan yang lain bahwa masalah utama yang mereka hadapi adalah bagaimana mempercepat keluarnya orang Yahudi. Walaupun terdapat usulan untuk membentuk sebuah lembaga emigrasi pusat seperti yang sudah dilakukan di Wina oleh Adolf Eichmann, Heydrich merasa solusi ini bisa memakan waktu delapan hingga sepuluh tahun. Sembari menunggu, untuk memisahkan orang Yahudi dari orang Jerman, Heydrich menggagas penetapan kewajiban bagi orang yang ditetapkan sebagai Yahudi menurut Hukum Nürnberg untuk mengenakan sebuah penanda khusus. Göring sendiri meragukan usulan Heydrich dan menggagas pembentukan sebuah ghetto atau kawasan perkotaan khusus orang Yahudi. Tiga minggu kemudian, Hitler menolak usulan Heydrich maupun Göring.[92] Walaupun begitu, Kristallnacht telah berhasil mempercepat keluarnya orang Yahudi: 80.000 orang Yahudi[e] orang Yahudi meninggalkan Jerman dari akhir tahun 1938 hingga permulaan Perang Dunia II di Eropa.[93]
Selepas Kristallnacht, diskriminasi yang dialami orang Yahudi semakin memburuk. Pada 15 November 1938, semua murid Yahudi dikeluarkan dari sekolah-sekolah Jerman. Pada 19 November, orang Yahudi tidak lagi bisa menikmati sistem jaminan sosial. Kemudian, pada 28 November, Menteri Dalam Negeri Wilhelm Frick memberitahu semua presidennegara bagian bahwa mereka diperbolehkan melarang orang Yahudi memasuki berbagai tempat umum, sementara pada 29 November, Frick melarang orang Yahudi memiliki merpati pos. Pada Desember 1938 dan Januari 1939, semakin banyak kebijakan yang ditetapkan untuk mengeluarkan orang Yahudi dari sektor publik, profesional, dan budaya, dan kebijakan-kebijakan tersebut juga semakin keras.[94]
"Pengusutan" dan "penyelidikan" oleh Nazi
Walaupun Goebbels sudah berusaha menjustifikasi Kristallnacht, tindakan-tindakan pada malam tersebut tetap saja melanggar hukum positif. Dari tanggal 10 November 1938, Kementerian Kehakiman sudah memberikan izin kepada Gestapo dan Partai Nazi untuk memimpin penyelidikan terhadap tindak kekerasan yang berlangsung pada saat Kristallnacht. Jaksa penuntut umum (yang tunduk kepada Kementerian Kehakiman) diperbolehkan melanjutkan penyelidikan apabila perkara terkait sudah ditinjau oleh Gestapo setempat. Dengan ini Gestapo dapat menyingkirkan perkara yang dapat merugikan Partai Nazi secara politik. Kebanyakan perkara yang diusut terkait dengan penjarahan. Gestapo dan polisi setempat melacak lokasi ratusan penjarah dan memberikan pengampunan kepada mereka yang bersedia mengembalikan barang jarahan kepada polisi. Namun, tawaran pengampunan ini kurang berhasil mencapai tujuannya, karena beberapa minggu setelah Kristallnacht, polisi masih meminta kepada para penjarah untuk mengembalikan barang curian.[95]
Pada 7 Desember 1938, Rudolf Hess memerintahkan agar semua perkara yang menjerat anggota Partai Nazi hanya diproses oleh Gestapo dan Pengadilan Partai Nazi, sehingga tidak lagi melibatkan jaksa penuntut umum. Hal ini dilakukan setelah Partai Nazi menyadari bahwa perkara "kecil" pun bisa mempermalukan mereka.[96] Pada 10 Desember, Heydrich memberikan arahan kepada kantor-kantor Gestapo sehubungan dengan hal ini. Semua perkara terkait pembunuhan, kekerasan serius, pemerasan, penjarahan, penggelapan, dan kekerasan seksual akan diselidiki oleh kantor Gestapo setempat. Gestapo diminta untuk tidak menarik perhatian saat melakukan penyelidikan, dan mereka juga harus berkonsultasi dengan kantor Pengadilan Partai Nazi setempat di setiap tahap penyelidikan. Heydrich juga menegaskan pentingnya menetapkan niat dari suatu tindak pidana. Apabila tersangka diyakini memiliki niat "idealistik" (dalam kata lain, untuk mewujudkan cita-cita gerakan Nazi), Gestapo diminta untuk tidak terlalu tegas dengan mereka. Di sisi lain, tersangka dengan niat yang tidak "idealistik" (seperti ketamakan, kesadisan, dan berahi) akan diselidiki secara lebih mendalam.[97] Pada saat yang sama, Heydrich memerintahkan agar Gestapo tidak mengusut tindakan pembakaran, perusakan properti, dan penghancuran sinagoge dan kuburan Yahudi.[98]
Dari Desember 1938 hingga Februari 1939, hanya tiga puluh tindak pembunuhan yang diselidiki oleh Pengadilan Tertinggi Partai Nazi. Para pelakunya tidak dihukum atau hanya memperoleh sanksi disiplin ringan, dan tidak ada satu pun dari mereka yang dikeluarkan dari partai. Pengadilan lalu meminta Hitler untuk memberikan pengampunan agar mereka juga tidak diadili di pengadilan negara. Hitler memenuhi permintaan ini. Terdapat empat anggota Sturmabteilung yang diadili oleh pengadilan negara karena telah melecehkan atau memperkosa gadis-gadis Yahudi, tetapi yang dianggap sebagai tindak pidana bukan pelecehan seksual atau pemerkosaan yang dilakukan, tetapi Rassenschande atau "pengotoran ras" karena telah berhubungan seks dengan orang Yahudi.[99] Mereka pun dikeluarkan dari partai.[53][99] Mengingat sistem hukum telah dimanipulasi oleh Partai Nazi, seorang hakim di negara bagian Bayern memberitahukan kepada Kementerian Kehakiman bahwa pengecualian anggota Partai Nazi dari proses hukum negara telah membuat orang-orang di daerahnya mempertanyakan apakah mereka masih tinggal di Rechtsstaat (negara hukum).[98]
Pengusutan dan penyelidikan seusai Perang Dunia II
Selepas tumbangnya rezim Nazi dan berakhirnya Perang Dunia II, kejahatan-kejahatan yang berlangsung pada saat Kristallnacht disidang di pengadilan Jerman. Mengingat Jerman diduduki oleh Sekutu seusai perang, pelaksanaan tugas pengadilan ini diawasi oleh aparat pendudukan. Penangkapan-penangkapan pertama berlangsung pada musim panas tahun 1945.[100] Pada September 1945, pengadilan Jerman di Mosbach menjatuhi hukuman lima tahun penjara kepada Alfred G. atas perannya dalam menghancurkan sinagoge dan properti Yahudi di Strümpfelbrunn.[101] Dari akhir tahun 1946 hingga awal 1947, banyak dari perkara yang dibawa ke pengadilan Jerman di zona pendudukan Amerika yang terkait Kristallnacht. Secara keseluruhan, lebih dari 7.000 orang Jerman didakwa atas kejahatan yang terkait dengan Kristallnacht di pengadilan Jerman Barat.[100] Di Jerman Timur, meskipun para penjahat Nazi ditindak tegas, jumlah perkara terkait Kristallnacht tidak sebanyak di Jerman Barat.[102] Sementara itu, ratusan orang dijerat perkara terkait Kristallnacht di Austria pascaperang; hampir semuanya merupakan perkara di Wina.[103]
Salah satu argumen yang sering dikemukakan oleh terdakwa adalah bahwa mereka hanya mengikuti "perintah atasan", sehingga mereka hanya dimanfaatkan oleh rezim Nazi. Dalam perkara yang melibatkan mantan anggota Sturmabteilung, jaksa penuntut umum menjawab argumen ini dengan menunjukkan regulasi Sturmabteilung dari tahun 1930-an yang menyatakan bahwa anggota harus menolak mematuhi perintah yang jelas-jelas melawan hukum. Walaupun terdakwa menyatakan bahwa perintah tersebut sesuai hukum karena dikeluarkan oleh Partai Nazi, para hakim tidak menerima argumen ini. Sebuah pengadilan di Hanau menegaskan bahwa, "ketidaksahan perintah untuk melancarkan pogrom terhadap Yahudi secara objektif sudah jelas."[104] Walaupun begitu, pengadilan-pengadilan cenderung menerima argumen "perintah atasan" yang dikemukakan oleh polisi yang menangkap orang Yahudi atau gagal menghentikan kekerasan, dan pemadam kebakaran yang mematuhi perintah untuk membiarkan sinagoge terbakar.[105]
Tidak diketahui secara pasti jumlah orang yang akhirnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan di Jerman Barat.[101] Di Wina, pengadilan menjatuhi vonis bersalah kepada 200 dari 304 terdakwa. Rata-rata hukuman penjara yang diganjar tercatat sekitar 17 bulan. Pengadilan di Innsbruck juga menyatakan bersalah 33 dari 34 terdakwa, sementara pengadilan di Linz menjatuhi vonis bersalah kepada 2 dari 18 terdakwa dan pengadilan di Graz 10 dari 14 terdakwa.[106]
Setelah meraih kembali kemerdekaannya pada tahun 1949, Jerman Barat mengesahkan "Undang-Undang tentang Pemberian Pengecualian dari Hukuman" yang mulai berlaku pada 31 Desember 1949. Undang-undang amnesti ini menyatakan bahwa mereka yang divonis hukuman kurang dari enam bulan penjara atas perkara yang terkait dengan periode Nazi tidak harus menjalani hukuman tersebut.[107] Meskipun undang-undang ini tidak mengakhiri pengusutan perkara yang terkait dengan Kristallnacht, jaksa penuntut umum menjadi kehilangan insentif untuk memproses perkara terkait perusakan harta benda, penjarahan, atau hasutan melakukan vandalisme.[108]
Peninggalan sejarah
Peristiwa Kristallnacht jarang disebutkan di media Jerman Barat maupun Timur pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an. Salah satu media pertama yang menyebut peristiwa ini adalah Der Tagesspiegel, sebuah surat kabar harian dari Berlin Barat, pada tanggal 9 November 1945. Surat kabar ini baru menyebut peristiwa ini lagi pada tahun 1948. Di Berlin Timur, surat kabar resmi Neues Deutschland menerbitkan artikel mengenai Kristallnacht pada tahun 1947 dan 1948, dan kemudian pada tahun 1956.[109]
Walaupun begitu, di Jerman Barat, peringatan Kristallnacht sudah diselenggarakan dari masa seusai perang. Peringatan ini meliputi upacara, pidato, dan pawai. Awalnya acara ini diselenggarakan oleh kelompok Yahudi dan korban Nazi, tetapi seiring berjalannya waktu, komunitas-komunitas yang lain, seperti gereja dan serikat buruh, juga ikut serta. Pada tahun 1978, untuk memperingati empat puluh tahun Kristallnacht, upacara-upacara yang menarik banyak perhatian media diselenggarakan di seluruh Jerman.[110]
Di Jerman Timur, tidak banyak perhatian yang diberikan kepada peristiwa Kristallnacht dalam kurun tiga dasawarsa seusai perang. Memori kolektif orang Jerman Timur atas peristiwa Kristallnacht pada saat itu didasarkan pada teori Marxisme yang menganggap Nazisme sebagai fasisme versi Jerman. Akibatnya, perhatian tidak dicurahkan kepada rasisme yang terkandung dalam ideologi Nazi, mengingat Nazisme dianggap sebagai instrumen elit kapitalis dalam konflik melawan kelas proletar. Pada saat yang sama, komunitas Yahudi yang kecil di Jerman Timur masih dapat mengenang Kristallnacht dengan tenang. Gereja Protestan yang memiliki otonomi dari rezim komunis di Jerman Timur juga dapat menyelenggarakan peringatan. Pada tahun 1978, pemerintah Jerman Timur untuk pertama kalinya mensponsori peringatan Kristallnacht.[111]
Pada tahun 1988, untuk memperingati lima puluh tahun Kristallnacht, diselenggarakan upacara di seluruh Jerman Barat.[110] Pada 10 November, Presiden Parlemen Jerman dari Persatuan Demokrat Kristen, Philipp Jenninger, menyampaikan salah satu pidato paling kontroversial dalam sejarah Jerman seusai Perang Dunia II. Jenninger mengklaim bahwa kebanyakan rakyat Jerman tetap "pasif" selama berlangsungnya kerusuhan, dan "hanya sedikit" yang ikut melakukan kekerasan bersama dengan "massa yang diselenggarakan" oleh Sturmabteilung dan Schutzstaffel.[111] Ia mengundurkan diri beberapa jam seusai menyampaikan pidato ini.[112]
Setelah penyatuan kembali Jerman, peringatan Kristallnacht telah menjadi komponen penting dalam pembangunan kembali identitas nasional Jerman. Peringatan ini juga menunjukkan komitmen nasional untuk menentang antisemitisme, rasisme, dan xenofobia.[113] Peringatan tujuh puluh tahun Kristallnacht tanggal 9 November 2008 di Sinagoge Rykestrasse, Berlin, menjadi kesempatan bagi Kanselir JermanAngela Merkel untuk menyerukan agar "peninggalan masa lalu menjadi pelajaran bagi masa depan." Sang kanselir mengutuk "ketidakpedulian terhadap rasisme dan antisemitisme." Baginya, ini adalah langkah pertama yang dapat mempertanyakan nilai-nilai yang tak dapat diganggu gugat. "Terlalu sedikit orang Jerman pada saat itu yang berani menentang kebiadaban Nazi (...). Pelajaran yang patut diambil dari masa lalu ini berlaku untuk Eropa, tetapi juga untuk kawasan-kawasan lain, terutama untuk negara-negara Arab."[114] Untuk peringatan delapan puluh tahun Kristallnacht, Merkel berpidato di sinagoge yang sama. Ia menegaskan bahwa "negara harus bertindak secara konsisten dalam melawan pengucilan, antisemitisme, rasisme, dan ekstremisme sayap kanan." Ia juga mengkritik mereka yang "menanggapi masalah dengan tanggapan-tanggapan yang konon sederhana", yang ditafsirkan Le Monde sebagai kritik terhadap kelompok sayap kanan ekstrem di Jerman dan Eropa.[115]
Peringatan Kristallnacht juga diselenggarakan di Austria. Untuk peringatan delapan puluh tahun peristiwa tersebut, PresidenAlexander Van der Bellen berpidato di lokasi yang pernah menjadi tempat berdirinya Sinagoge Leopoldstadt. Ia menyatakan bahwa "kita harus memandang sejarah sebagai sebuah contoh yang menunjukkan sejauh mana politik kambing hitam, hasutan kebencian, dan pengucilan bisa membawa [kita]." Ia juga menegaskan, "Marilah kita waspada supaya pemeretelan, persekusi, dan penghapusan hak tidak akan pernah terulang lagi di negara kita ataupun di Eropa."[116]
Selain peringatan-peringatan, Kristallnacht juga dikenang lewat monumen. Sebuah monumen untuk mengenang orang-orang Yahudi yang dibunuh selama Kristallnacht didirikan di Bremen pada 24 Februari 1982.[117] Di Innsbruck pada tahun 1997, sebuah monumen yang bernama Pogromdenkmal dibangun atas usulan dari para pemuda dan dirancang oleh seorang murid sekolah.[118]
Penggunaan istilah: Kristallnacht atau Novemberpogrome?
Peristiwa ini sering kali disebut dengan istilah Kristallnacht, yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Malam Beling" atau "Malam Kaca Pecah". Istilah ini mengacu kepada serpihan-serpihan kaca yang berserakan di depan toko-toko Yahudi setelah jendela toko-toko tersebut dipecahkan oleh perusuh. Tidak diketahui secara pasti siapa yang mencetuskan istilah ini.[119] Menurut Kershaw, istilah tersebut berasal dari "bahasa gaul",[120] sementara menurut sejarawan Karl A. Schleunes, Kristallnacht dicetuskan oleh warga Berlin yang gemar berkelakar.[121]
Di sisi lain, banyak pula sejarawan yang meyakini bahwa pencetus istilah Kristallnacht adalah rezim Nazi.[122] Misalnya, sejarawan Amerika Serikat Arno J. Mayer berpendapat bahwa istilah ini berasal dari propaganda Nazi yang dimaksudkan untuk memusatkan perhatian publik pada kerugian harta benda alih-alih kekerasan fisik yang diderita oleh orang Yahudi.[123] Istilah ini sendiri pernah digunakan oleh Ministerialdirektor di Kementerian Buruh ReichWilhelm Börger pada 24 Juni 1939 ketika sedang berpidato di kota Lüneburg. Ia menyampaikan pernyataan berikut yang kemudian disambut oleh tawa hadirin: "Jadi hal ini akan dikenang sejarah sebagai Reichskristallnacht (...), Anda bisa lihat, ini lucu, bukan?"[124] Akibatnya, banyak sejarawan yang menolak menggunakan istilah Kristallnacht, terutama di Jerman.[125] Sejarawan Israel kelahiran Jerman Avraham Barkai bahkan menulis:
"Kristallnacht"! Berkilau, berkilat, dan berkilap seperti sebuah pesta! Sudah saatnya istilah yang meremehkan dengan jahat ini dihilangkan, paling tidak dari penulisan sejarah.[126]
Secara umum, orang Jerman cenderung menghindari istilah-istilah yang memiliki keterkaitan dengan rezim Nazi, dan istilah yang paling umum digunakan orang Jerman untuk kerusuhan tanggal 9–10 November 1938 adalah "pogrom November" (Novemberpogrome) atau "malam pogrom Reich" (Reichspogromnacht).[125] Angela Merkel sendiri hanya menggunakan istilah Pogromnacht saat sedang berpidato untuk peringatan 70 tahun peristiwa tersebut.[127] Sementara itu, di luar Jerman, istilah Kristallnacht masih menjadi istilah yang paling populer, terutama dalam literatur bahasa Inggris.[125]
Alasan lain yang dikemukakan untuk mendukung penggunaan istilah "pogrom November" adalah karena kata "pogrom" berasal dari bahasa Rusia yang mengacu kepada perusakan, penghancuran, dan penjarahan. Istilah ini mulai menyebar luas pada akhir abad ke-19 untuk mendeskripsikan kerusuhan anti-Yahudi di Kekaisaran Rusia. Pogrom-pogrom ini dilancarkan oleh akar rumput dan didukung atau bahkan diselenggarakan oleh negara. Maka dari itu, istilah "pogrom November" dianggap lebih tepat untuk mendeskripsikan Kristallnacht.[125]
Keterangan
^Grynszpan ingin membunuh Duta Besar Jerman untuk Prancis, tetapi akhirnya ia menembak diplomat yang ia temui (Kershaw 2001b, hlm. 229).
^Hari tersebut merupakan Tag der Bewegung (Hari Pergerakan) yang telah ditetapkan sebagai hari libur sejak Hitler mulai berkuasa (Schwab 1990, hlm. 20).
^Menurut Richard J. Evans, nilai harta yang dicuri dari orang Yahudi pada tahun 1938 dan 1939 selepas Kristallnacht (dan tanpa menghitung dampak dari aryanisasi) melebihi dua miliar Reichsmark (Evans 2009, hlm. 670).
^Menurut Richard J. Evans, jumlah orang Yahudi yang keluar dari Jerman tercatat sekitar 115.000 orang dari 10 November 1938 hingga 1 September 1939. Lihat (Evans 2009, hlm. 674).
Benz, Wolfgang (2000), Geschichte des Dritten Reiches, München: C.H.Beck, ISBN9783406467653
Bodemann, Y. Michal; Geis, Jael (1996), Gedächtnistheater. Die judische Gemeinschaft und ihre deutsche Erfindung, Hamburg: Rotbuch Verlag, ISBN9783880224629
Döscher, Hans-Jürgen (2000), Reichskristallnacht. Die Novemberpogrome 1938, München: Propyläen, ISBN3-612-26753-1
Evans, Richard J. (2009), Le Troisième Reich : 1933-1939, diterjemahkan oleh Barbara Hochstedt; Paul Chemla, Paris: Flammarion, ISBN978-2-08-210112-7
Friedländer, Saul (2008), Les années de persécution - L'Allemagne nazie et les Juifs, 1933-1939, diterjemahkan oleh Marie-France de Paloméra, Paris: Seuil, ISBN978-2-02-097028-0
Goebbels, Joseph (2007), Journal. 1933-1939, diterjemahkan oleh Denis-Armand Canal, Paris: Tallandier, ISBN978-2-84734-461-5
Goldhagen, Daniel Jonah (1997), Les Bourreaux volontaires de Hitler : les Allemands ordinaires et l'Holocauste, diterjemahkan oleh Pierre Martin, Paris: Seuil, ISBN9782020289825
Gross, Raphael (2013), November 1938. Die Katastrophe vor der Katastrophe, München: C. H. Beck, ISBN978-3406654701
Husson, Edouard (2012), Heydrich et la solution finale, Paris: Perrin, ISBN978-2262027193
Hilberg, Raul (2006), La Destruction des Juifs d'Europe, t. I, diterjemahkan oleh André Charpentier; Pierre-Emmanuel Dauzat; Marie-France de Paloméra, Paris: Gallimard, ISBN2-07-030983-5
Kersaudy, François (2009), Hermann Goering: le deuxième homme du IIIe Reich, Paris: Perrin, ISBN978-2-262-02617-2
Kershaw, Ian (2001a), Hitler, 1889-1936, t. I, diterjemahkan oleh Pierre-Emmanuel Dauzat, Paris: Flammarion, ISBN2-08-212528-9
Kershaw, Ian (2001b), Hitler, 1936-1945, t. II, diterjemahkan oleh Pierre-Emmanuel Dauzat, Paris: Flammarion, ISBN2-08-212529-7
Longerich, Peter (2008), « Nous ne savions pas » : Les Allemands et la Solution finale 1933-1945, diterjemahkan oleh Raymond Clarinard, Paris: Éditions Héloïse d'Ormesson, ISBN9782350870755
Malinowski, Stephan (2021), Die Hohenzollern und die Nazis: Geschichte einer Kollaboration, Berlin: Propyläen, ISBN978-3-549-10029-5
Mayer, Arno J. (2002), La « Solution finale » dans l'Histoire, Paris: La Découverte, ISBN9782707136800
Mommsen, Hans (2014), Das NS-Regime und die Auslöschung des Judentums in Europa, Göttingen: Wallstein, ISBN9783835325852
Thalmann, Rita; Feinermann, Emmanuel (1972), La Nuit de Cristal. 9-10 novembre 1938, Paris: Robert Laffont, OCLC699731302
Bab buku
Barkai, Avraham (1988), "Schicksalsjahr 1938: Kontinuität und Verschärfung der wirtschaftlichen Ausplünderung der deutschen Juden", dalam Walter H. Pehle, Der Judenpogrom 1938: Von der »Reichskristallnacht« zum Völkermord, Frankfurt am Main: Fischer Taschenbuch Verlag, ISBN9783880224629
Botz, Gerhard (1989), "La persécution des Juifs en Autriche : de l'exclusion à l'extermination", dalam François Bédarida, La Politique nazie d'extermination, Paris: Albin Michel, ISBN978-2-226-03875-3
Drechsel, Wiltrud Ulrike; Lohse, Jürn Jacob (2011), "Holocaust-Denkmäler in Bremen 1945-2001", dalam Wiltrud Ulrike Drechsel, Geschichte im öffentlichen Raum. Denkmäler in Bremen zwischen 1435 und 2001, Bremen: Donat, ISBN978-3-938275-84-9
Eiber, Ludwig (2001), "Reichskristallnacht - Reichspogromnacht: Reflection on the Change of a Term", dalam Peter M. Daily, Building History: The Shoah in Art, Memory and Myth, New York: P. Lang, ISBN9780820442891
Heyl, Matthias (1988), "Fragmente zum Schicksal der Juden von Harburg-Wilhelmsburg 1933–1945", dalam Jürgen Ellermeyer; Klaus Richter; Dirk Stegmann, Harburg. Von der Burg zur Industriestadt, Hamburg: Christians Verlag, ISBN9783767210332
Schleunes, Karl A. (1985), "Un tortueux itinéraire : les politiques nazies envers les Juifs allemands (1933-1939)", L'Allemagne nazie et le génocide juif, Paris: Gallimard-Le Seuil, ISBN9782021376074