Evolusi (dalam kajian biologi) atau ubah angsur berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasiorganisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika, yang dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu populasi.
Evolusi didorong oleh dua mekanisme utama, yaitu seleksi alam dan hanyutan genetik. Seleksi alam merupakan sebuah proses yang menyebabkan sifat terwaris yang berguna untuk keberlangsungan hidup dan reproduksi organisme menjadi lebih umum dalam suatu populasi - dan sebaliknya, sifat yang merugikan menjadi lebih berkurang. Hal ini terjadi karena individu dengan sifat-sifat yang menguntungkan lebih berpeluang besar bereproduksi, sehingga lebih banyak individu pada generasi selanjutnya yang mewarisi sifat-sifat yang menguntungkan ini.[1][2] Setelah beberapa generasi, adaptasi terjadi melalui kombinasi perubahan kecil sifat yang terjadi secara terus menerus dan acak ini dengan seleksi alam.[3] Sementara itu, hanyutan genetik (Bahasa Inggris: Genetic Drift) merupakan sebuah proses bebas yang menghasilkan perubahan acak pada frekuensi sifat suatu populasi. Hanyutan genetik dihasilkan oleh probabilitas apakah suatu sifat akan diwariskan ketika suatu individu bertahan hidup dan bereproduksi.
Walaupun perubahan yang dihasilkan oleh hanyutan dan seleksi alam kecil, perubahan ini akan berakumulasi dan menyebabkan perubahan yang substansial pada organisme. Proses ini mencapai puncaknya dengan menghasilkan spesies yang baru.[4] Dan sebenarnya, kemiripan antara organisme yang satu dengan organisme yang lain mensugestikan bahwa semua spesies yang kita kenal berasal dari nenek moyang yang sama melalui proses divergen yang terjadi secara perlahan ini.[1]
Dokumentasi fakta-fakta terjadinya evolusi dilakukan oleh cabang biologi yang dinamakan biologi evolusioner. Cabang ini juga mengembangkan dan menguji teori-teori yang menjelaskan penyebab evolusi. Kajian catatan fosil dan keanekaragaman hayati organisme-organisme hidup telah meyakinkan para ilmuwan pada pertengahan abad ke-19 bahwa spesies berubah dari waktu ke waktu.[5][6] Namun, mekanisme yang mendorong perubahan ini tetap tidaklah jelas sampai pada publikasi tahun 1859 oleh Charles Darwin, On the Origin of Species yang menjelaskan dengan detail teori evolusi melalui seleksi alam.[7] Karya Darwin dengan segera diikuti oleh penerimaan teori evolusi dalam komunitas ilmiah.[8][9][10][11] Pada tahun 1930, teori seleksi alam Darwin digabungkan dengan teori pewarisanMendel, membentuk sintesis evolusi modern,[12] yang menghubungkan satuan evolusi (gen) dengan mekanisme evolusi (seleksi alam). Kekuatan penjelasan dan prediksi teori ini mendorong riset yang secara terus menerus menimbulkan pertanyaan baru, di mana hal ini telah menjadi prinsip pusat biologi modern yang memberikan penjelasan secara lebih menyeluruh tentang keanekaragaman hayati di bumi.[9][10][13]
Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi evolusioner telah berakar sejak zaman Aristoteles. Namun, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.[14]
Perdebatan mengenai mekanisme evolusi terus berlanjut, dan Darwin tidak dapat menjelaskan sumber variasi terwariskan yang diseleksi oleh seleksi alam. Seperti Lamarck, ia beranggapan bahwa orang tua mewariskan adaptasi yang diperolehnya selama hidupnya,[21] teori yang kemudian disebut sebagai Lamarckisme.[22] Pada tahun 1880-an, eksperimen August Weismann mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak diwariskan, dan Lamarkisme berangsur-angsur ditinggalkan.[23][24] Selain itu, Darwin tidak dapat menjelaskan bagaimana sifat-sifat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Pada tahun 1865, Gregor Mendel menemukan bahwa pewarisan sifat-sifat dapat diprediksi.[25] Ketika karya Mendel ditemukan kembali pada tahun 1900-an, ketidakcocokan atas laju evolusi yang diprediksi oleh genetikawan dan biometrikawan meretakkan hubungan model evolusi Mendel dan Darwin.
Walaupun demikian, adalah penemuan kembali karya Gregor Mendel mengenai genetika (yang tidak diketahui oleh Darwin dan Wallace) oleh Hugo de Vries dan lainnya pada awal 1900-an yang memberikan dorongan terhadap pemahaman bagaimana variasi terjadi pada sifat tumbuhan dan hewan. Seleksi alam menggunakan variasi tersebut untuk membentuk keanekaragaman sifat-sifat adaptasi yang terpantau pada organisme hidup. Walaupun Hugo de Vries dan genetikawan pada awalnya sangat kritis terhadap teori evolusi, penemuan kembali genetika dan riset selanjutnya pada akhirnya memberikan dasar yang kuat terhadap evolusi, bahkan lebih meyakinkan daripada ketika teori ini pertama kali diajukan.[26]
Pada awal sejarahnya, biologiawan evolusioner utamanya berasal dari ilmuwan yang berorientasi pada bidang taksonomi. Seiring dengan berkembangnya sintesis evolusi modern, biologi evolusioner menarik lebih banyak ilmuwan dari bidang sains biologi lainnya.[12] Kajian biologi evolusioner masa kini melibatkan ilmuwan yang berkutat di bidang biokimia, ekologi, genetika, dan fisiologi. Konsep evolusi juga digunakan lebih lanjut pada bidang seperti psikologi, pengobatan, filosofi, dan ilmu komputer.
Evolusi organisme terjadi melalui perubahan pada sifat-sifat yang terwariskan. Warnamata pada manusia, sebagai contohnya, merupakan sifat-sifat yang terwariskan ini.[28] Sifat terwariskan dikontrol oleh gen dan keseluruhan gen dalam suatu genom organisme disebut sebagai genotipe.[29]
Keseluruhan sifat-sifat yang terpantau pada perilaku dan struktur organisme disebut sebagai fenotipe. Sifat-sifat ini berasal dari interaksi genotipe dengan lingkungan.[30] Oleh karena itu, tidak setiap aspek fenotipe organisme diwariskan. Kulit berwarna gelap yang dihasilkan dari penjemuran matahari berasal dari interaksi antara genotipe seseorang dengan cahaya matahari; sehingga warna kulit gelap ini tidak akan diwarisi ke keturunan orang tersebut. Walaupun begitu, manusia memiliki respon yang berbeda terhadap cahaya matahari, dan ini diakibatkan oleh perbedaan pada genotipenya. Contohnya adalah individu dengan sifat albino yang kulitnya tidak akan menggelap dan sangat sensitif terhadap sengatan matahari.[31]
Sifat-sifat terwariskan diwariskan antar generasi via DNA, sebuah molekul yang dapat menyimpan informasi genetika.[29] DNA merupakan sebuah polimer yang terdiri dari empat jenis basa nukleotida. Urutan basa pada molekul DNA tertentu menentukan informasi genetika. Bagian molekul DNA yang menentukan sebuah satuan fungsional disebut gen; gen yang berbeda mempunyai urutan basa yang berbeda. Dalam sel, unting DNA yang panjang berasosiasi dengan protein, membentuk struktur padat yang disebut kromosom. Lokasi spesifik pada sebuah kromosom dikenal sebagai lokus. Jika urutan DNA pada sebuah lokus bervariasi antar individu, bentuk berbeda pada urutan ini disebut sebagai alel. Urutan DNA dapat berubah melalui mutasi, menghasilkan alel yang baru. Jika mutasi terjadi pada gen, alel yang baru dapat memengaruhi sifat individu yang dikontrol oleh gen, menyebabkan perubahan fenotipe organisme. Walaupun demikian, manakala contoh ini menunjukkan bagaimana alel dan sifat bekerja pada beberapa kasus, kebanyakan sifat lebih kompleks dan dikontrol oleh interaksi banyak gen.[32][33]
Fenotipe suatu individu organisme dihasilkan dari genotipe dan pengaruh lingkungan organisme tersebut. Variasi fenotipe yang substansial pada sebuah populasi diakibatkan oleh perbedaan genotipenya.[33]Sintesis evolusioner modern mendefinisikan evolusi sebagai perubahan dari waktu ke waktu pada variasi genetika ini. Frekuensi alel tertentu akan berfluktuasi, menjadi lebih umum atau kurang umum relatif terhadap bentuk lain gen itu. Gaya dorong evolusioner bekerja dengan mendorong perubahan pada frekuensi alel ini ke satu arah atau lainnya. Variasi menghilang ketika sebuah alel mencapai titik fiksasi, yakni ketika ia menghilang dari suatu populasi ataupun ia telah menggantikan keseluruhan alel leluhur.[34]
Variasi berasal dari mutasibahan genetika, migrasi antar populasi (aliran gen), dan perubahan susunan gen melalui reproduksi seksual. Variasi juga datang dari tukar ganti gen antara spesies yang berbeda; contohnya melalui transfer gen horizontal pada bakteria dan hibridisasi pada tanaman.[35] Walaupun terdapat variasi yang terjadi secara terus menerus melalui proses-proses ini, kebanyakan genom spesies adalah identik pada seluruh individu spesies tersebut.[36] Namun, bahkan perubahan kecil pada genotipe dapat mengakibatkan perubahan yang dramatis pada fenotipenya. Misalnya simpanse dan manusia hanya berbeda pada 5% genomnya.[37]
Variasi genetika berasal dari mutasi acak yang terjadi pada genom organisme. Mutasi merupakan perubahan pada urutan DNA sel genom dan diakibatkan oleh radiasi, virus, transposon, bahan kimia mutagenik, serta kesalahan selama proses meiosis ataupun replikasi DNA.[38][39][40] Mutagen-mutagen ini menghasilkan beberapa jenis perubahan pada urutan DNA. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan produk gen, mencegah gen berfungsi, atupun tidak menghasilkan efek sama sekali. Kajian pada lalat Drosophila melanogaster menunjukkan bahwa jika sebuah mutasi mengubah protein yang dihasilkan oleh sebuah gen, 70% mutasi ini memiliki efek yang merugikan dan sisanya netral ataupun sedikit menguntungkan.[41] Oleh karena efek-efek merugikan mutasi terhadap sel, organisme memiliki mekanisme reparasi DNA untuk menghilangkan mutasi.[38] Oleh karena itu, laju mutasi yang optimal untuk sebuah spesies merupakan kompromi bayaran laju mutasi tinggi yang merugikan, dengan bayaran metabolik sistem mengurangi laju mutasi, seperti enzim reparasi DNA.[42] Beberapa spesies seperti retrovirus memiliki laju mutasi yang tinggi, sedemikian rupanya keturunannya akan memiliki gen yang bermutasi.[43] Mutasi cepat seperti ini dipilih agar virus ini dapat secara konstan dan cepat berevolusi, sehingga dapat menghindari respon sistem immun manusia.[44]
Mutasi dapat melibatkan duplikasi fragmen DNA yang besar, yang merupakan sumber utama bahan baku untuk gen baru yang berevolusi, dengan puluhan sampai ratusan gen terduplikasi pada genom hewan setiap satu juta tahun.[45] Kebanyakan gen merupakan bagian dari famili genleluhur yang sama yang lebih besar.[46]
Gen dihasilkan oleh beberapa metode, umumnya melalui duplikasi dan mutasi gen leluhur ataupun dengan merekombinasi bagian gen yang berbeda, membentuk kombinasi baru dengan fungsi yang baru.[47][48] Sebagai contoh, mata manusia menggunakan empat gen untuk menghasilkan struktur yang dapat merasakan cahaya: tiga untuk sel kerucut, dan satu untuk sel batang; keseluruhannya berasal dari satu gen leluhur tunggal.[49] Keuntungan duplikasi gen (atau bahkan keseluruhan genom) adalah bahwa tumpang tindih atau fungsi berlebih pada gen ganda mengizinkan alel-alel dipertahankan (jika tidak akan membahayakan), sehingga meningkatkan keanekaragaman genetika.[50]
Perubahan pada bilangan kromosom dapat melibatkan mutasi yang bahkan lebih besar, dengan segmen DNA dalam kromosom terputus kemudian tersusun kembali. Sebagai contoh, dua kromosom pada genusHomo bersatu membentuk kromosom 2 manusia; pernyatuan ini tidak terjadi pada garis keturunan kera lainnya, dan tetap dipertahankan sebagai dua kromosom terpisah.[51] Peran paling penting penataan ulang kromosom ini pada evolusi kemungkinan adalah untuk mempercepat divergensi populasi menjadi spesies baru dengan membuat populasi tidak saling berkembang biak, sehingga mempertahankan perbedaan genetika antara populasi ini.[52]
Urutan DNA yang dapat berpindah pada genom, seperti transposon, merupakan bagian utama pada bahan genetika tanaman dan hewan, dan dapat memiliki peran penting pada evolusi genom.[53] Sebagai contoh, lebih dari satu juta kopi urutan Alu terdapat pada genom manusia, dan urutan-urutan ini telah digunakan untuk menjalankan fungsi seperti regulasi ekspresi gen.[54] Efek lain dari urutan DNA yang bergerak ini adalah ketika ia berpindah dalam suatu genom, ia dapat memutasikan atau mendelesi gen yang telah ada, sehingga menghasilkan keanekaragaman genetika.[39]
Pada organisme aseksual, gen diwariskan bersama, atau ditautkan, karena ia tidak dapat bercampur dengan gen organisme lain selama reproduksi. Keturunan organisme seksual mengandung campuran acak kromosom leluhur yang dihasilkan melalui pemilahan bebas. Pada proses rekombinasi genetika terkait, organisme seksual juga dapat bertukarganti DNA antara dua kromosom yang berpadanan.[55] Rekombinasi dan pemilahan ulang tidak mengubahan frekuensi alel, namun mengubah alel mana yang diasosiasikan satu sama lainnya, menghasilkan keturunan dengan kombinasi alel yang baru.[56] Manakala proses ini meningkatkan variasi pada keturunan individu apapun, pencampuran genetika dapat diprediksi untuk tidak menghasilkan efek, meningkatkan, ataupun mengurangi variasi genetika pada populasi, bergantung pada bagaimana ragam alel pada populasi tersebut terdistribusi. Sebagai contoh, jika dua alel secara acak terdistribusi pada sebuah populasi, maka jenis kelamin tidak akan memberikan efek pada variasi. Namun, jika dua alel cenderung ditemukan sebagai satu pasang, maka pencampuran genetika akan menyeimbangkan distribusi tak-acak ini, dan dari waktu ke waktu membuat organisme pada populasi menjadi lebih mirip satu sama lainnya.[56] Efek keseluruhan jenis kelamin pada variasi alami tidaklah jelas, namun riset baru-baru ini menunjukkan bahwa jenis kelamin biasanya meningkatkan variasi genetika dan dapat meningkatkan laju evolusi.[57][58]
Rekombinasi mengizinkan alel sama yang berdekatan satu sama lainnya pada unting DNA diwariskan secara bebas. Namun laju rekombinasi adalah rendah, karena pada manusia dengan potongan satu juta pasangan basa DNA, terdapat satu di antara seratus peluang kejadian rekombinasi terjadi per generasi. Akibatnya, gen-gen yang berdekatan pada kromosom tidak selalu disusun ulang menjauhi satu sama lainnya, sehingga cenderung diwariskan bersama.[59] Kecenderungan ini diukur dengan menemukan bagaimana sering dua alel gen yang berbeda ditemukan bersamaan, yang disebut sebagai ketakseimbangan pertautan (linkage disequilibrium). Satu set alel yang biasanya diwariskan bersama sebagai satu kelompok disebut sebagai haplotipe.
Reproduksi seksual membantu menghilangkan mutasi yang merugikan dan mempertahankan mutasi yang menguntungkan.[60] Sebagai akibatnya, ketika alel tidak dapat dipisahkan dengan rekombinasi (misalnya kromosom Y mamalia yang diwariskan dari ayah ke anak laki-laki), mutasi yang merugikan berakumulasi.[61][62] Selain itu, rekombinasi dan pemilahan ulang dapat menghasilkan individu dengan kombinasi gen yang baru dan menguntungkan. Efek positif ini diseimbangkan oleh fakta bahwa proses ini dapat menyebabkan mutasi dan pemisahan kombinasi gen yang menguntungkan.[60]
Genetika populasi
Dari sudut pandang genetika, evolusi ialah perubahan pada frekuensi alel dalam populasi yang saling berbagi lungkang gen (gene pool) dari generasi yang satu ke generasi yang lain.[63] Sebuah populasi merupakan kelompok individu terlokalisasi yang merupakan spesies yang sama. Sebagai contoh, semua ngengat dengan spesies yang sama yang hidup di sebuah hutan yang terisolasi mewakili sebuah populasi. Sebuah gen tunggal pada populasi ini dapat mempunyai bentuk-bentuk alternatif yang bertanggung jawab terhadap variasi antar fenotipe organisme. Contohnya adalah gen yang bertanggung jawab terhadap warna ngengat mempunyai dua alel: hitam dan putih. Lungkang gen merupakan keseluruhan set alel pada sebuah populasi tunggal, sehingga tiap alel muncul pada lungkang gen beberapa kali. Fraksi gen dalam lungkang gen yang merupakan alel tertentu disebut sebagai frekuensi alel. Evolusi terjadi ketika terdapat perubahan pada frekuensi alel dalam sebuah populasi organisme yang saling berkembangbiak; sebagai contoh alel untuk warna hitam pada populasi ngengat menjadi lebih umum.
Untuk memahami mekanisme yang menyebabkan sebuah populasi berevolusi, adalah sangat berguna untuk memperhatikan kondisi-kondisi apa saja yang diperlukan oleh suatu populasi untuk tidak berevolusi. Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel (variasi pada sebuah gen) pada sebuah populasi yang cukup besar akan tetap konstan jika gaya dorong yang terdapat pada populasi tersebut hanyalah penataan ulang alel secara acak selama pembentukan sperma atau sel telur dan kombinasi acak alel sel kelamin ini selama pembuahan.[64] Populasi seperti ini dikatakan sebagai dalam kesetimbangan Hardy-Weinberg dan tidak berevolusi.[65]
Aliran gen merupakan pertukaran gen antar populasi, yang biasanya merupakan spesies yang sama.[66] Contoh aliran gen dalam sebuah spesies meliputi migrasi dan perkembangbiakan organisme atau pertukaran serbuk sari. Transfer gen antar spesies meliputi pembentukan organisme hibrid dan transfer gen horizontal.
Migrasi ke dalam atau ke luar populasi dapat mengubah frekuensi alel, serta menambah variasi genetika ke dalam suatu populasi. Imigrasi dapat menambah bahan genetika baru ke lungkang gen yang telah ada pada suatu populasi. Sebaliknya, emigrasi dapat menghilangkan bahan genetika. Karena pemisahan reproduksi antara dua populasi yang berdivergen diperlukan agar terjadi spesiasi, aliran gen dapat memperlambat proses ini dengan menyebarkan genetika yang berbeda antar populasi. Aliran gen dihalangi oleh barisan gunung, samudera, dan padang pasir. Bahkan bangunan manusia seperti Tembok Raksasa Cina dapat menghalangi aliran gen tanaman.[67]
Bergantung dari sejauh mana dua spesies telah berdivergen sejak leluhur bersama terbaru mereka, adalah mungkin kedua spesies tersebut menghasilkan keturunan, seperti pada kuda dan keledai yang hasil perkawinan campurannya menghasilkan bagal.[68]Hibrid tersebut biasanya mandul, oleh karena dua set kromosom yang berbeda tidak dapat berpasangan selama meiosis. Pada kasus ini, spesies yang berhubungan dekat dapat secara reguler saling kawin, namun hibrid yang dihasilkan akan terseleksi keluar, dan kedua spesies ini tetap berbeda. Namun, hibrid yang berkemampuan berkembang biak kadang-kadang terbentuk, dan spesies baru ini dapat memiliki sifat-sifat antara kedua spesies leluhur ataupun fenotipe yang secara keseluruhan baru.[69] Pentingnya hibridisasi dalam pembentukan spesies baru hewan tidaklah jelas, walaupun beberapa kasus telah ditemukan pada banyak jenis hewan,[70]Hyla versicolor merupakan contoh hewan yang telah dikaji dengan baik.[71]
Hibridisasi merupakan cara spesiasi yang penting pada tanaman, karena poliploidi (memiliki lebih dari dua kopi pada setiap kromosom) dapat lebih ditoleransi pada tanaman dibandingkan hewan.[72][73] Poliploidi sangat penting pada hibdrid karena ia mengizinkan reproduksi, dengan dua set kromosom yang berbeda, tiap-tiap kromosom dapat berpasangan dengan pasangan yang identik selama meiosis.[74] Poliploid juga memiliki keanekaragaman genetika yeng lebih, yang mengizinkannya menghindari depresi penangkaran sanak (inbreeding depression) pada populasi yang kecil.[75]
Transfer gen horizontal merupakan transfer bahan genetika dari satu organisme ke organisme lainnya yang bukan keturunannya. Hal ini paling umum terjadi pada bakteri.[76] Pada bidang pengobatan, hal ini berkontribusi terhadap resistansi antibiotik. Ketika satu bakteri mendapatkan gen resistansi, ia akan dengan cepat mentransfernya ke spesies lainnya.[77] Transfer gen horizontal dari bakteri ke eukariota seperti khamir Saccharomyces cerevisiae dan kumbang Callosobruchus chinensis juga dapat terjadi.[78][79] Contoh transfer dalam skala besar adalah pada eukariota bdelloid rotifers, yang tampaknya telah menerima gen dari bakteri, fungi, dan tanaman.[80]Virus juga dapat membawa DNA antar organisme, mengizinkan transfer gen antar domain.[81] Transfer gen berskala besar juga telah terjadi antara leluhur sel eukariota dengan prokariota selama akuisisi kloroplas dan mitokondria.[82]
Epigenetik
Beberapa perubahan yang dapat diwariskan tidak dapat dikaitkan dengan perubahan urutan nukleotida DNA. Fenomena ini termasuk dalam kategori sistem pewarisan epigenetik.[83] Sistem ini mencakup proses seperti metilasi DNA, yang menandai kromatin, putaran metabolisme mandiri, penekanan gen melalui gangguan RNA, dan struktur tiga dimensi protein (seperti prion). Sistem pewarisan epigenetik telah diidentifikasi pada tingkat organisme. Ahli biologi perkembangan mengusulkan bahwa interaksi yang rumit dalam jaringan genetik dan komunikasi sel dapat menimbulkan variasi yang dapat diwariskan yang mungkin mendasari beberapa mekanisme yang terlibat dalam plastisitas dan kanalisasi perkembangan.[84] Heritabilitas juga dapat terjadi pada skala yang lebih besar. Misalnya, pewarisan ekologi, yang didorong oleh aktivitas organisme yang teratur dan berulang-ulang di lingkungannya, membentuk warisan efek yang memodifikasi dan berkontribusi pada proses seleksi pada generasi berikutnya.[85] Contoh lain dari heritabilitas dalam evolusi, yang tidak secara langsung dikendalikan oleh gen, meliputi pewarisan sifat-sifat budaya dan simbiogenesis.[86][87]
Mekanisme
Mekanisme utama untuk menghasilkan perubahan evolusioner adalah seleksi alam dan hanyutan genetika. Seleksi alam memfavoritkan gen yang meningkatkan kapasitas keberlangsungan dan reproduksi. Hanyutan genetika merupakan perubahan acak pada frekuensi alel, disebabkan oleh percontohan acak (random sampling) gen generasi selama reproduksi. Aliran gen merupakan transfer gen dalam dan antar populasi. Kepentingan relatif seleksi alam dan hanyutan genetika dalam sebuah populasi bervariasi, tergantung pada kuatnya seleksi dan ukuran populasi efektif, yang merupakan jumlah individu yang berkemampuan untuk berkembang biak.[88] Seleksi alam biasanya mendominasi pada populasi yang besar, sedangkan hanyutan genetika mendominasi pada populasi yang kecil. Dominansi hanyutan genetika pada populasi yang kecil bahkan dapat menyebabkan fiksasi mutasi yang sedikit merugikan.[89] Karenanya, dengan mengubah ukuran populasi dapat secara dramatis memengaruhi arah evolusi. Leher botol populasi, di mana populasi mengecil untuk sementara waktu dan kehilangan variasi genetika, menyebabkan populasi yang lebih seragam.[34] Leher botol disebabkan oleh perubahan pada aliran gen, seperti migrasi yang menurun, ekspansi ke habitat yang baru, ataupun subdivisi populasi.[88]
Seleksi alam adalah proses di mana mutasi genetika yang meningkatkan keberlangsungan dan reproduksi suatu organisme menjadi (dan tetap) lebih umum dari generasi yang satu ke genarasi yang lain pada sebuah populasi. Ia sering disebut sebagai mekanisme yang "terbukti sendiri" karena:
Variasi terwariskan terdapat dalam populasi organisme.
Organisme menghasilkan keturunan lebih dari yang dapat bertahan hidup
Keturunan-keturunan ini bervariasi dalam kemampuannya bertahan hidup dan bereproduksi.
Kondisi-kondisi ini menghasilkan kompetisi antar organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Oleh sebab itu, organisme dengan sifat-sifat yang lebih menguntungkan akan lebih berkemungkinan mewariskan sifatnya, sedangkan yang tidak menguntungkan cenderung tidak akan diwariskan ke generasi selanjutnya.
Konsep pusat seleksi alam adalah kebugaran evolusi organisme. Kebugaran evolusi mengukur kontribusi genetika organisme pada generasi selanjutnya. Namun, ini tidaklah sama dengan jumlah total keturunan, melainkan kebugaran mengukur proporsi generasi tersebut untuk membawa gen sebuah organisme.[90] Karena itu, jika sebuah alel meningkatkan kebugaran lebih daripada alel-alel lainnya, maka pada tiap generasi, alel tersebut menjadi lebih umum dalam populasi. Contoh-contoh sifat yang dapat meningkatkan kebugaran adalah peningkatan keberlangsungan hidup dan fekunditas. Sebaliknya, kebugaran yang lebih rendah yang disebabkan oleh alel yang kurang menguntungkan atau merugikan mengakibatkan alel ini menjadi lebih langka.[2] Adalah penting untuk diperhatikan bahwa kebugaran sebuah alel bukanlah karakteristik yang tetap. Jika lingkungan berubah, sifat-sifat yang sebelumnya bersifat netral atau merugikan bisa menjadi menguntungkan dan yang sebelumnya menguntungkan bisa menjadi merugikan.[1]
Seleksi alam dalam sebuah populasi untuk sebuah sifat yang nilainya bervariasi, misalnya tinggi badan, dapat dikategorikan menjadi tiga jenis. Yang pertama adalah seleksi berarah (directional selection), yang merupakan geseran nilai rata-rata sifat dalam selang waktu tertentu, misalnya organisme cenderung menjadi lebih tinggi.[91] Kedua, seleksi pemutus (disruptive selection), merupakan seleksi nilai ekstrem, dan sering mengakibatkan dua nilai yang berbeda menjadi lebih umum (dengan menyeleksi keluar nilai rata-rata). Hal ini terjadi apabila baik organisme yang pendek ataupun panjang menguntungkan, sedangkan organisme dengan tinggi menengah tidak. Ketiga, seleksi pemantap (stabilizing selection), yaitu seleksi terhadap nilai-nilai ektrem, menyebabkan penurunan variasi di sekitar nilai rata-rata.[92] Hal ini dapat menyebabkan organisme secara pelahan memiliki tinggi badan yang sama.
Kasus khusus seleksi alam adalah seleksi seksual, yang merupakan seleksi untuk sifat-sifat yang meningkatkan keberhasilan perkawinan dengan meningkatkan daya tarik suatu organisme.[93] Sifat-sifat yang berevolusi melalui seleksi seksual utamanya terdapat pada pejantan beberapa spesies hewan. Walaupun sifat ini dapat menurunkan keberlangsungan hidup individu jantan tersebut (misalnya pada tanduk rusa yang besar dan warna yang cerah dapat menarik predator),[94] Ketidakuntungan keberlangsungan hidup ini diseimbangkan oleh keberhasilan reproduksi yang lebih tinggi pada penjantan.[95]
Bidang riset yang aktif dalam bidang biologi evolusi pada saat ini adalah satuan seleksi, dengan seleksi alam diajukan bekerja pada tingkat gen, sel, organisme individu, kelompok organisme, dan bahkan spesies.[96][97] Dari model-model ini, tiada yang eksklusif, dan seleksi dapat bekerja pada beberapa tingkatan secara serentak.[98] Di bawah tingkat individu, gen yang disebut transposon berusaha menkopi dirinya di seluruh genom.[99] Seleksi pada tingkat di atas individu, seperti seleksi kelompok, dapat mengizinkan evolusi ko-operasi.[100]
Hanyutan genetika atau ingsut genetik merupakan perubahan frekuensi alel dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang terjadi karena alel pada suatu keturunan merupakan sampel acak dari orang tuanya; selain itu ia juga terjadi karena peranan probabilitas dalam penentuan apakah suatu individu akan bertahan hidup dan bereproduksi atau tidak.[34] Dalam istilah matematika, alel berpotensi mengalami galat percontohan (sampling error). Karenanya, ketika gaya dorong selektif tidak ada ataupun secara relatif lemah, frekuensi-frekuensi alel cenderung "menghanyut" ke atas atau ke bawah secara acak (langkah acak). Hanyutan ini berhenti ketika sebuah alel pada akhirnya menjadi tetap, baik karena menghilang dari populasi, ataupun menggantikan keseluruhan alel lainnya. Hanyutan genetika oleh karena itu dapat mengeliminasi beberapa alel dari sebuah populasi hanya karena kebetulan saja. Bahkan pada ketidadaan gaya selektif, hanyutan genetika dapat menyebabkan dua populasi yang terpisah dengan struktur genetik yang sama menghanyut menjadi dua populasi divergen dengan set alel yang berbeda.[101]
Waktu untuk sebuah alel menjadi tetap oleh hanyutan genetika bergantung pada ukuran populasi, dengan fiksasi terjadi lebih cepat dalam populasi yang lebih kecil.[102] Pengukuran populasi yang tepat adalah ukuran populasi efektif, yakni didefinisikan oleh Sewall Wright sebagai bilangan teoretis yang mewakili jumlah individu berkembangbiak yang akan menunjukkan derajat perkembangbiakan terpantau yang sama.
Walaupun seleksi alam bertanggung jawab terhadap adaptasi, kepentingan relatif seleksi alam dan hanyutan genetika dalam mendorong perubahan evolusioner secara umum merupakan bidang riset pada biologi evolusioner.[103] Investigasi ini disarankan oleh teori evolusi molekuler netral, yang mengajukan bahwa kebanyakan perubahan evolusioner merupakan akibat dari fiksasi mutasi netral yang tidak memiliki efek seketika pada kebugaran suatu organisme.[104] Sehingga, pada model ini, kebanyakan perubahan genetika pada sebuat populasi merupakan akibat dari tekanan mutasi konstan dan hanyutan genetika.[105]
Akibat evolusi
Evolusi memengaruhi setiap aspek dari bentuk dan perilaku organisme. Yang paling terlihat adalah adaptasi perilaku dan fisik yang diakibatkan oleh seleksi alam. Adaptasi-adaptasi ini meningkatkan kebugaran dengan membantu aktivitas seperti menemukan makanan, menghindari predator, dan menarik lawan jenis. Organisme juga dapat merespon terhadap seleksi dengan berkooperasi satu sama lainnya, biasanya dengan saling membantu dalam simbiosis. Dalam jangka waktu yang lama, evolusi menghasilkan spesies yang baru melalui pemisahan populasi leluhur organisme menjadi kelompok baru yang tidak akan bercampur kawin.
Akibat evolusi kadang-kadang dibagi menjadi makroevolusi dan mikroevolusi. Makroevolusi adalah evolusi yang terjadi pada tingkat di atas spesies, seperti kepunahan dan spesiasi. Sedangkan mikroevolusi adalah perubahan evolusioner yang kecil, seperti adaptasi yang terjadi dalam spesies atau populasi. Secara umum, makroevolusi dianggap sebagai akibat jangka panjang dari mikroevolusi.[106] Sehingga perbedaan antara mikroevolusi dengan makroevolusi tidaklah begitu banyak terkecuali pada waktu yang terlibat dalam proses tersebut.[107] Namun, pada makroevolusi, sifat-sifat keseluruhan spesies adalah penting. Misalnya, variasi dalam jumlah besar di antara individu mengizinkan suatu spesies secara cepat beradaptasi terhadap habitat yang baru, mengurangi kemungkinan terjadinya kepunahan. Sedangkan kisaran geografi yang luas meningkatkan kemungkinan spesiasi dengan membuat sebagian populasi menjadi terisolasi. Dalam pengertian ini, mikroevolusi dan makroevolusi dapat melibatkan seleksi pada tingkat-tingkat yang berbeda, dengan mikroevolusi bekerja pada gen dan organisme, versus makroevolusi yang bekerja pada keseluruhan spesies dan memengaruhi laju spesiasi dan kepunahan.[108][109][110]
Terdapat sebuah miskonsepsi bahwa evolusi bersifat "progresif", namun seleksi alam tidaklah memiliki tujuan jangka panjang dan tidak perlulah menghasilkan kompleksitas yang lebih besar.[111] Walaupun spesies kompleks berkembang dari evolusi, hal ini terjadi sebagai efek samping dari jumlah organisme yang meningkat, dan bentuk kehidupan yang sederhana tetap lebih umum.[112] Sebagai contoh, mayoritas besar spesies adalah prokariota mikroskopis yang membentuk setengah biomassa dunia walaupun bentuknya yang kecil,[113] serta merupakan mayoritas pada biodiversitas bumi.[114] Organisme sederhana oleh karenanya merupakan bentuk kehidupan yang dominan di bumi dalam sejarahnya sampai sekarang. Kehidupan kompleks tampaknya lebih beranekaragam karena ia lebih mudah diamati.[115]
Adaptasi merupakan struktur atau perilaku yang meningkatkan fungsi organ tertentu, menyebabkan organisme menjadi lebih baik dalam bertahan hidup dan bereproduksi.[7] Ia diakibatkan oleh kombinasi perubahan acak dalam skala kecil pada sifat organisme secara terus menerus yang diikuti oleh seleksi alam varian yang paling cocok terhadap lingkungannya.[116] Proses ini dapat menyebabkan penambahan ciri-ciri baru ataupun kehilangan ciri-ciri leluhur. Contohnya adalah adaptasi bakteri terhadap seleksi antibiotik melalui perubahan genetika yang menyebabkan resistansi antibiotik. Hal ini dapat dicapai dengan mengubah target obat ataupun meningkatkan aktivitas transporter yang memompa obat keluar dari sel.[117] Contoh lainnya adalah bakteri Escherichia coli yang berevolusi menjadi berkemampuan menggunakan asam sitrat sebagai nutrien pada sebuah eksperimen laboratorium jangka panjang,[118] ataupun Flavobacterium yang berhasil menghasilkan enzim yang mengizinkan bakteri-bakteri ini tumbuh di limbah produksi nilon.[119][120]
Namun, banyak sifat-sifat yang tampaknya merupakan adapatasi sederhana sebenarnya merupakan eksaptasi, yakni struktur yang awalnya beradaptasi untuk fungsi tertentu namun secara kebetulan memiliki fungsi-fungsi lainnya dalam proses evolusi.[121] Contohnya adalah cecak Afrika Holaspis guentheri yang mengembangkan bentuk kepala yang sangat pipih untuk dapat bersembunyi di celah-celah retakan, seperti yang dapat dilihat pada kerabat dekat spesies ini. Namun, pada spesies ini, kepalanya menjadi sangat pipih, sehingga hal ini membantu spesies tersebut meluncur dari pohon ke pohon.[121] Contoh lainnya adalah penggunaan enzim dari glikolisis dan metabolisme xenobiotik sebagai protein struktural yang dinamakan kristalin (crystallin) dalam lensa mata organisme.[122][123]
Ketika adaptasi terjadi melalui modifikasi perlahan pada struktur yang telah ada, struktur dengan organisasi internal dapat memiliki fungsi yang sangat berbeda pada organisme terkait. Ini merupakan akibat dari struktur leluhur yang diadaptasikan untuk berfungsi dengan cara yang berbeda. Tulang pada sayap kelelawar sebagai contohnya, secara struktural sama dengan tangan manusia dan sirip anjing laut oleh karena struktur leluhur yang sama yang mempunyai lima jari. Ciri-ciri anatomi idiosinkratik lainnya adalah tulang pada pergelanganpanda yang terbentuk menjadi "ibu jari" palsu, mengindikasikan bahwa garis keturunan evolusi suatu organisme dapat membatasi adaptasi apa yang memungkinkan.[125]
Selama adaptasi, beberapa struktur dapat kehilangan fungsi awalnya dan menjadi struktur vestigial.[126] Struktur tersebut dapat memiliki fungsi yang kecil atau sama sekali tidak berfungsi pada spesies sekarang, namun memiliki fungsi yang jelas pada spesies leluhur atau spesies lainnya yang berkerabat dekat. Contohnya meliputi pseudogen,[127] sisa mata yang tidak berfungsi pada ikan gua yang buta,[128] sayap pada burung yang tidak dapat terbang,[129] dan keberadaan tulang pinggul pada ikan paus dan ular.[124] Contoh stuktur vestigial pada manusia meliputi geraham bungsu,[130]tulang ekor,[126] dan umbai cacing (apendiks vermiformis).[126]
Bidang investigasi masa kini pada biologi perkembangan evolusioner adalah perkembangan yang berdasarkan adaptasi dan eksaptasi.[131] Riset ini mengalamatkan asal muasal dan evolusi perkembangan embrio, dan bagaimana modifikasi perkembangan dan proses perkembangan ini menghasilkan ciri-ciri yang baru.[132] Kajian pada bidang ini menunjukkan bahwa evolusi dapat mengubah perkembangan dan menghasilkan struktur yang baru, seperti stuktur tulang embrio yang berkembang menjadi rahang pada beberapa hewan daripada menjadi telinga tengah pada mamalia.[133] Adalah mungkin untuk struktur yang telah hilang selama proses evolusi muncul kembali karena perubahan pada perkembangan gen, seperti mutasi pada ayam yang menyebabkan pertumbuhan gigi yang mirip dengan gigi buaya.[134] Adalah semakin jelas bahwa kebanyakan perubahan pada bentuk organisme diakibatkan oleh perubahan pada tingkat dan waktu ekspresi sebuah set kecil gen yang terpelihara.[135]
Interaksi antar organisme dapat menghasilkan baik konflik maupuan koopreasi. Ketika interaksi antar pasangan spesies, seperti patogen dengan inang atau predator dengan mangsanya, spesies-spesies ini mengembangkan set adaptasi yang bersepadan. Dalam hal ini, evolusi satu spesies menyebabkan adaptasi spesies ke-dua. Perubahan pada spesies ke-dua kemudian menyebabkan kembali adaptasi spesies pertama. Siklus seleksi dan respon ini dikenal sebagai koevolusi.[136] Contohnya adalah produksi tetrodotoksin pada kadal air Taricha granulosa dan evolusi resistansi tetrodotoksin pada predatornya, ular Thamnophis sirtalis. Pada pasangan predator-mangsa ini, persaingan senjata evolusioner ini mengakibatkan kadar racun yang tinggi pada mangsa dan resistansi racun yang tinggi pada predatornya.[137]
Namun, tidak semua interaksi antar spesies melibatkan konflik.[138] Pada kebanyakan kasus, interaksi yang saling menguntungkan berkembang. Sebagai contoh, kooperasi ekstrem yang terdapat antara tanaman dengan fungi mycorrhizal yang tumbuh di akar tanaman dan membantu tanaman menyerap nutrien dari tanah.[139] Ini merupakan hubungan timbal balik, dengan tanaman menyediakan gula dari fotosintesis ke fungi. Pada kasus ini, fungi sebenarnya tumbuh di dalam sel tanaman, mengizinkannya bertukar nutrien dengan inang manakala mengirim sinyal yang menekan sistem immun tanaman.[140]
Koalisi antara organisme spesies yang sama juga berkembang. Kasus ekstrem ini adalah eusosialitas yang ditemukan pada serangga sosial, seperti lebah, rayap, dan semut, di mana serangga mandul memberi makan dan menjaga sejumlah organisme dalam koloni yang dapat berkembang biak. Pada skala yang lebih kecil sel somatik yang menyusun tubuh seekor hewan membatasi reproduksinya agar dapat menjaga organisme yang stabil, sehingga kemudian dapat mendukung sejumlah kecil sel nutfah hewan untuk menghasilkan keturunan. Dalam kasus ini, sel somatik merespon terhadap signal tertentu yang menginstruksikannya untuk tumbuh maupun mati. Jika sel mengabaikan signal ini dan kemudian menggandakan diri, pertumbuhan yang tidak terkontrol ini akan menyebabkan kanker.[38]
Kooperasi dalam spesies diperkirakan berkembang melalui proses seleksi sanak (kin selection), di mana satu organisme berperan memelihara keturunan sanak saudaranya.[141] Aktivitas ini terseleksi karena apabila individu yang "membantu" mengandung alel yang mempromosikan aktivitas bantuan, adalah mungkin bahwa sanaknya "juga" mengandung alel ini, sehingga alel-alel tersebut akan diwariskan.[142] Proses lainnya yang mempromosikan kooperasi meliputi seleksi kelompok, di mana kooperasi memberikan keuntungan terhadap kelompok organisme tersebut.[143]
Spesiasi adalah proses suatu spesies berdivergen menjadi dua atau lebih spesies.[144] Ia telah terpantau berkali-kali pada kondisi laboratorium yang terkontrol maupun di alam bebas.[145] Pada organisme yang berkembang biak secara seksual, spesiasi dihasilkan oleh isolasi reproduksi yang diikuti dengan divergensi genealogis. Terdapat empat mekanisme spesiasi. Yang paling umum terjadi pada hewan adalah spesiasi alopatrik, yang terjadi pada populasi yang awalnya terisolasi secara geografis, misalnya melalui fragmentasi habitat atau migrasi. Seleksi di bawah kondisi demikian dapat menghasilkan perubahan yang sangat cepat pada penampilan dan perilaku organisme.[146][147] Karena seleksi dan hanyutan bekerja secara bebas pada populasi yang terisolasi, pemisahan pada akhirnya akan menghasilkan organisme yang tidak akan dapat berkawin campur.[148]
Mekanisme kedua spesiasi adalah spesiasi peripatrik, yang terjadi ketika sebagian kecil populasi organisme menjadi terisolasi dalam sebuah lingkungan yang baru. Ini berbeda dengan spesiasi alopatrik dalam hal ukuran populasi yang lebih kecil dari populasi tetua. Dalam hal ini, efek pendiri menyebabkan spesiasi cepat melalui hanyutan genetika yang cepat dan seleksi terhadap lungkang gen yang kecil.[149]
Mekanisme ketiga spesiasi adalah spesiasi parapatrik. Ia mirip dengan spesiasi peripatrik dalam hal ukuran populasi kecil yang masuk ke habitat yang baru, namun berbeda dalam hal tidak adanya pemisahan secara fisik antara dua populasi. Spesiasi ini dihasilkan dari evolusi mekanisme yang mengurangi aliran genetika antara dua populasi.[144] Secara umum, ini terjadi ketika terdapat perubahan drastis pada lingkungan habitat tetua spesies. Salah satu contohnya adalah rumput Anthoxanthum odoratum, yang dapat mengalami spesiasi parapatrik sebagai respon terhadap polusi logam terlokalisasi yang berasal dari pertambangan.[150] Pada kasus ini, tanaman berevolusi menjadi resistan terhadap kadar logam yang tinggi dalam tanah. Seleksi keluar terhadap kawin campur dengan populasi tetua menghasilkan perubahan pada waktu pembungaan, menyebabkan isolasi reproduksi. Seleksi keluar terhadap hibrid antar dua populasi dapat menyebabkan "penguatan", yang merupakan evolusi sifat yang mempromosikan perkawinan dalam spesies, serta peralihan karakter, yang terjadi ketika dua spesies menjadi lebih berbeda pada penampilannya.[151]
Mekanisme keempat spesiasi adalah spesiasi simpatrik, di mana spesies berdivergen tanpa isolasi geografis atau perubahan pada habitat. Mekanisme ini cukup langka karena hanya dengan aliran gen yang sedikit akan menghilangkan perbedaan genetika antara satu bagian populasi dengan bagian populasi lainnya.[152] Secara umum, spesiasi simpatrik pada hewan memerlukan evolusi perbedaan genetika dan perkawinan tak-acak, mengizinkan isolasi reproduksi berkembang.[153]
Salah satu jenis spesiasi simpatrik melibatkan perkawinan silang dua spesies yang berkerabat, menghasilkan spesies hibrid. Hal ini tidaklah umum terjadi pada hewan karena hewan hibrid bisanya mandul. Sebaliknya, perkawinan silang umumnya terjadi pada tanaman, karena tanaman sering menggandakan jumlah kromosomnya, membentuk poliploid. Ini mengizinkan kromosom dari tiap spesies tetua membentuk pasangan yang sepadan selama meiosis.[154] Salah satu contoh kejadian spesiasi ini adalah ketika tanaman Arabidopsis thaliana dan Arabidopsis arenosa berkawin silang, menghasilkan spesies baru Arabidopsis suecica.[155] Hal ini terjadi sekitar 20.000 tahun yang lalu,[156] dan proses spesiasi ini telah diulang dalam laboratorium, mengizinkan kajian mekanisme genetika yang terlibat dalam proses ini.[157] Sebenarnya, penggandaan kromosom dalam spesies merupakan sebab utama isolasi reproduksi, karena setengah dari kromosom yang berganda akan tidak sepadan ketika berkawin dengan organisme yang kromosomnya tidak berganda.[73]
Kepunahan merupakan kejadian hilangnya keseluruhan spesies. Kepunahan bukanlah peristiwa yang tidak umum, karena spesies secara reguler muncul melalui spesiasi dan menghilang melalui kepunahan.[158]
Sebenarnya, hampir seluruh spesies hewan dan tanaman yang pernah hidup di bumi telah punah,[159] dan kepunahan tampaknya merupakan nasib akhir semua spesies.[160] Kepunahan telah terjadi secara terus menerus sepanjang sejarah kehidupan, walaupun kadang-kadang laju kepunahan meningkat tajam pada peristiwa kepunahan massal.[161]Peristiwa kepunahan Kapur-Tersier adalah salah satu contoh kepunahan massal yang terkenal, di mana dinosaurus menjadi punah. Namun peristiwa yang lebih awal, Peristiwa kepunahan Perm-Trias lebih buruk, dengan sekitar 96 persen spesies punah.[161]Peristiwa kepunahan Holosen merupakan kepunahan massal yang diasosiasikan dengan ekspansi manusia ke seluruh bumi selama beberapa ribu tahun. Laju kepunahan masa kini 100-1000 kali lebih besar dari laju latar, dan sampai dengan 30 persen spesies dapat menjadi punah pada pertengahan abad ke-21.[162] Aktivitas manusia sekarang menjadi penyebab utama peristiwa kepunahan yang sedang berlangsung ini.[163] Selain itu, pemanasan global dapat mempercepat laju kepunahan lebih lanjut.[164]
Peranan kepunahan pada evolusi tergantung pada jenis kepunahan tersebut. Penyebab peristiwa kepunahan "tingkat rendah" secara terus menerus (yang merupakan mayoritas kasus kepunahan) tidaklah jelas dan kemungkinan merupakan akibat kompetisi antar spesies terhadap sumber daya yang terbatas (prinsip hindar-saing).[12] Jika kompetisi dari spesies lain mengubah probabilitas suatu spesies menjadi punah, hal ini dapat menghasilkan seleksi spesies sebagai salah satu tingkat seleksi alam.[96] Peristiwa kepunahan massal jugalah penting, namun daripada berperan sebagai gaya selektif, ia secara drastis mengurangi keanekaragaman dan mendorong evolusi cepat secara tiba-tiba serta spesiasi pada makhluk yang selamat dari kepunahan.[161]
Asal usul kehidupan merupakan prekursor evolusi biologis, namun pemahaman terhadap evolusi yang terjadi seketika organisme muncul dan investigasi bagaimana ini terjadi tidak tergantung pada pemahaman bagaimana kehidupan dimulai.[165] Konsensus ilmiah saat ini adalah bahwa senyawa biokimia yang kompleks, yang menyusun kehidupan, berasal dari reaksi kimia yang lebih sederhana. Namun belumlah jelas bagaimana hal itu terjadi.[166] Tidak begitu pasti bagaimana perkembangan kehidupan yang paling awal, struktur kehidupan pertama, ataupun identitas dan ciri-ciri dari leluhur universal terakhir dan lungkang gen leluhur.[167][168] Oleh karena itu, tidak terdapat konsensus ilmiah yang pasti bagaimana kehidupan dimulai, namun terdapat beberapa proposal yang melibatkan molekul swa-replikasi (misalnya RNA)[169] dan perakitan sel sederhana.[170]
Semua organisme di bumi merupakan keturunan dari leluhur atau lungkang gen leluhur yang sama.[171] Spesies masa kini yang juga berada dalam proses evolusi dengan keanekaragamannya merupakan hasil dari rentetan peristiwa spesiasi dan kepunahan.[172]Nenek moyang bersama organisme pertama kali dideduksi dari empat fakta sederhana mengenai organisme. Pertama, bahwa organisme-organisme memiliki distribusi geografi yang tidak dapat dijelaskan dengan adaptasi lokal. Kedua, bentuk keanekaragaman hayati tidaklah berupa organisme yang berbeda sama sekali satu sama lainnya, melainkan berupa organisme yang memiliki kemiripan morfologis satu sama lainnya. Ketiga, sifat-sifat vestigial dengan fungsi yang tidak jelas memiliki kemiripan dengan sifat leluhur yang berfungsi jelas. Terakhir, organisme-organisme dapat diklasifikasikan berdasarkan kemiripan ini ke dalam kelompok-kelompok hierarkis.[7]
Spesies-spesies lampau juga meninggalkan catatan sejarah evolusi mereka. Fosil, bersama dengan anatomi yang dapat dibandingkan dengan organisme sekarang, merupakan catatan morfologi dan anatomi.[173] Dengan membandingkan anatomi spesies yang sudah punah dengan spesies modern, ahli paleontologi dapat menarik garis keturunan spesies tersebut. Namun pendekatan ini hanya berhasil pada organisme-organisme yang mempunyai bagian tubuh yang keras, seperti cangkang, kerangka, atau gigi. Lebih lanjut lagi, karena prokariota seperti bakteri dan arkaea hanya memiliki kemiripan morfologi bersama yang terbatas, fosil-fosil prokariota tidak memberikan informasi mengenai leluhurnya.
Baru-baru ini, bukti nenek moyang bersama datang dari kajian kemiripan biokimia antar spesies. Sebagai contoh, semua sel hidup di dunia ini mempunyai set dasar nukleotida dan asam amino yang sama.[174] Perkembangan genetika molekuler telah menyingkap catatan evolusi yang tertinggal pada genom organisme, sehingga dapat diketahui kapan spesies berdivergen melalui jam molekul yang dihasilkan oleh mutasi.[175] Sebagai contoh, perbandingan urutan DNA ini telah menyingkap kekerabatan genetika antara manusia dengan simpanse dan kapan nenek moyang bersama kedua spesies ini pernah ada.[176]
Walaupun terdapat ketidakpastian bagaimana kehidupan bermula, adalah umumnya diterima bahwa prokariota hidup di bumi sekitar 3–4 miliar tahun yang lalu.[178][179] Tidak terdapat perubahan yang banyak pada morfologi atau organisasi sel yang terjadi pada organisme ini selama beberapa miliar tahun ke depan.[180]
Eukariota merupakan perkembangan besar pada evolusi sel. Ia berasal dari bakteri purba yang ditelan oleh leluhur sel prokariotik dalam asosiasi kooperatif yang disebut endosimbiosis.[82][181] Bakteri yang ditelan dan sel inang kemudian menjalani koevolusi, dengan bakteri berevolusi menjadi mitokondria ataupun hidrogenosom.[182] Penelanan kedua secara terpisah pada organisme yang mirip dengan sianobakteri mengakibatkan pembentukan kloroplas pada ganggang dan tumbuhan.[183] Tidaklah diketahui kapan sel pertama eukariotik muncul, walaupun sel-sel ini muncul sekitar 1,6 - 2,7 miliar tahun yang lalu.
Segera sesudah kemunculan organisme multisel, sejumlah besar keanekaragaman biologis muncul dalam jangka waktu lebih dari sekitar 10 juta tahun pada perstiwa yang dikenal sebagai ledakan Kambria. Pada masa ini, mayoritas jenis hewan modern muncul pada catatan fosil, demikian pula garis silsilah hewan yang telah punah.[186] Beberapa faktor pendorong ledakan Kambria telah diajukan, meliputi akumulasi oksigen pada atmosfer dari fotosintesis.[187] Sekitar 500 juta tahun yang lalu, tumbuhan dan fungi mengkolonisasi daratan, dan dengan segera diikuti oleh arthropoda dan hewan lainnya.[188] Hewan amfibi pertama kali muncul sekitar 300 juta tahun yang lalu, diikuti amniota, kemudian mamalia sekitar 200 juta tahun yang lalu, dan aves sekitar 100 juta tahun yang lalu. Namun, walaupun terdapat evolusi hewan besar, organisme-organisme yang mirip dengan organisme awal proses evolusi tetap mendominasi bumi, dengan mayoritas biomassa dan spesies bumi berupa prokariota.[114]
Pada abad ke-19, terutama semenjak penerbitan buku Darwin "The Origin of Species", pemikiran bahwa kehidupan berevolusi mendapat banyak kritik dan menjadi tema yang kontroversial. Namun, kontroversi ini pada umumnya berkisar pada implikasi teori evolusi di bidang filsafat, sosial, dan agama. Di dalam komunitas ilmuwan, fakta bahwa organisme berevolusi telah diterima secara luas dan tidak mendapat tantangan.[12] Walaupun demikian, evolusi masih menjadi konsep yang diperdebatkan oleh beberapa kelompok agama.[190]
Manakala berbagai kelompok agama berusaha menyambungkan ajaran mereka dengan teori evolusi melalui berbagai konsep evolusi teistik, terdapat banyak pendukung ciptaanisme yang percaya bahwa evolusi berkontradiksi dengan mitos penciptaan yang ditemukan pada ajaran agama mereka.[191] Seperti yang sudah diprediksi oleh Darwin, implikasi yang paling kontroversial adalah asal usul manusia. Di beberapa negara, terutama di Amerika Serikat, pertentangan antara agama dan sains telah mendorong kontroversi penciptaan-evolusi, konflik keagamaan yang berfokus pada politik dan pendidikan.[192] Manakala bidang-bidang sains lainnya seperti kosmologi[193] dan ilmu bumi[194] juga bertentangan dengan interpretasi literal banyak teks keagamaan, biologi evolusioner mendapatkan oposisi yang lebih signifikan.
Beberapa contoh kontroversi tak beralasan yang diasosiasikan dengan teori evolusi adalah "Darwinisme sosial", istilah yang diberikan kepada teori Malthusianisme yang dikembangkan oleh Herbert Spencer mengenai sintasan yang terbugar (survival of the fittest) dalam masyarakat, dan oleh lainnya mengklaim bahwa kesenjangan sosial, rasisme, dan imperialisme oleh karena itu dibenarkan.[195] Namun, pemikiran-pemikiran ini berkontradiksi dengan pandangan Darwin itu sendiri, dan ilmuwan berserta filsuf kontemporer menganggap pemikiran ini bukanlah amanat dari teori evolusi maupun didukung oleh data.[196][197]
Penerapan utama evolusi pada bidang teknologi adalah seleksi buatan, yakni seleksi terhadap sifat-sifat tertentu pada sebuah populasi organisme yang disengajakan. Manusia selama beberapa ribu tahun telah menggunakan seleksi buatan pada domestikasi tumbuhan dan hewan.[198] Baru-baru ini, seleksi buatan seperti ini telah menjadi bagian penting dalam rekayasa genetika, dengan penanda terseleksi seperti gen resistansi antibiotik digunakan untuk memanipulasi DNA pada biologi molekuler.
Karena evolusi dapat menghasilkan proses dan jaringan yang sangat optimal, ia memiliki banyak penerapan pada ilmu komputer. Pada ilmu komputer, simulasi evolusi yang menggunakan algoritme evolusi dan kehidupan buatan dimulai oleh Nils Aall Barricelli pada tahun 1960-an, dan kemudian diperluas oleh Alex Fraser yang memublikasikan berbagai karya ilmiah mengenai simulasi seleksi buatan.[199]Seleksi buatan menjadi metode optimalisasi yang dikenal luas oleh hasil kerja Ingo Rechenberg pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, yang menggunakan strategi evolusi untuk menyelesaikan masalah teknik yang kompleks.[200]Algoritme genetika utamanya, menjadi populer oleh karya tulisan John Holland.[201] Seiring dengan meningkatnya ketertarikan akademis, peningkatan kemampuan komputer mengizinkan penerapan yang praktis, meliputi evolusi otomatis program komputer.[202] Algoritme evolusi sekarang digunakan untuk menyelesaikan masalah multidimensi. Penyelesaian menggunakan algoritme ini lebih efisien daripada menggunakan perangkat lunak yang diproduksi oleh perancang manusia. Selain itu, ia juga digunakan untuk mengoptimalkan desain sistem.[203]
^ abBoard of Directors, American Association for the Advancement of Science (2006-02-16). "Statement on the Teaching of Evolution"(PDF). American Association for the Advancement of Science. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2011-08-06. Diakses tanggal 2008-12-27. from the world's largest general scientific society
^ abcdeKutschera U, Niklas K (2004). "The modern theory of biological evolution: an expanded synthesis". Naturwissenschaften. 91 (6): 255–76. doi:10.1007/s00114-004-0515-y. PMID15241603.
^White, Michael & Gribbin, John: "Darwin: A Life in Science", Simon & Schuster, London, 1995.
^Wright, S (1984). Evolution and the Genetics of Populations, Volume 1: Genetic and Biometric Foundations. The University of Chicago Press. ISBN0-226-91038-5.
^Zirkle C (1941). "Natural Selection before the "Origin of Species"". Proceedings of the American Philosophical Society. 84 (1): 71–123.
^Muhammad Hamidullah and Afzal Iqbal (1993), The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic World-view, Intellectual Tradition and Polity, p. 143-144. Islamic Research Institute, Islamabad.
^"A Source Book In Chinese Philosophy", Chan, Wing-Tsit, p. 204, 1962.
^Weiling F (1991). "Historical study: Johann Gregor Mendel 1822–1884". Am. J. Med. Genet. 40 (1): 1–25; discussion 26. doi:10.1002/ajmg.1320400103. PMID1887835.
^Oetting WS, Brilliant MH, King RA (1996). "The clinical spectrum of albinism in humans". Molecular medicine today. 2 (8): 330–35. doi:10.1016/1357-4310(96)81798-9. PMID8796918.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Mayeux R (2005). "Mapping the new frontier: complex genetic disorders". J. Clin. Invest. 115 (6): 1404–07. doi:10.1172/JCI25421. PMID15931374.
^ abWu R, Lin M (2006). "Functional mapping - how to map and study the genetic architecture of dynamic complex traits". Nat. Rev. Genet. 7 (3): 229–37. doi:10.1038/nrg1804. PMID16485021.
^Wetterbom A, Sevov M, Cavelier L, Bergström TF (2006). "Comparative genomic analysis of human and chimpanzee indicates a key role for indels in primate evolution". J. Mol. Evol. 63 (5): 682–90. doi:10.1007/s00239-006-0045-7. PMID17075697.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Harrison P, Gerstein M (2002). "Studying genomes through the aeons: protein families, pseudogenes and proteome evolution". J Mol Biol. 318 (5): 1155–74. doi:10.1016/S0022-2836(02)00109-2. PMID12083509.
^Long M, Betrán E, Thornton K, Wang W (2003). "The origin of new genes: glimpses from the young and old". Nat. Rev. Genet. 4 (11): 865–75. doi:10.1038/nrg1204. PMID14634634.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Bowmaker JK (1998). "Evolution of colour vision in vertebrates". Eye (London, England). 12 (Pt 3b): 541–47. PMID9775215.
^Zhang J, Wang X, Podlaha O (2004). "Testing the chromosomal speciation hypothesis for humans and chimpanzees". Genome Res. 14 (5): 845–51. doi:10.1101/gr.1891104. PMID15123584.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Hurst GD, Werren JH (2001). "The role of selfish genetic elements in eukaryotic evolution". Nat. Rev. Genet. 2 (8): 597–606. doi:10.1038/35084545. PMID11483984.
^Häsler J, Strub K (2006). "Alu elements as regulators of gene expression". Nucleic Acids Res. 34 (19): 5491–97. doi:10.1093/nar/gkl706. PMID17020921.
^Goddard MR, Godfray HC, Burt A (2005). "Sex increases the efficacy of natural selection in experimental yeast populations". Nature. 434 (7033): 636–40. doi:10.1038/nature03405. PMID15800622.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^O'Neil, Dennis (2008). "Hardy-Weinberg Equilibrium Model". The synthetic theory of evolution: An introduction to modern evolutionary concepts and theories. Behavioral Sciences Department, Palomar College. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-19. Diakses tanggal 2008-01-06.
^Bright, Kerry (2006). "Causes of evolution". Teach Evolution and Make It Relevant. National Science Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-07. Diakses tanggal 2007-12-30.
^Morjan C, Rieseberg L (2004). "How species evolve collectively: implications of gene flow and selection for the spread of advantageous alleles". Mol. Ecol. 13 (6): 1341–56. doi:10.1111/j.1365-294X.2004.02164.x. PMID15140081.
^Su H, Qu L, He K, Zhang Z, Wang J, Chen Z, Gu H (2003). "The Great Wall of China: a physical barrier to gene flow?". Heredity. 90 (3): 212–19. doi:10.1038/sj.hdy.6800237. PMID12634804.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Short RV (1975). "The contribution of the mule to scientific thought". J. Reprod. Fertil. Suppl. (23): 359–64. PMID1107543.
^Gross B, Rieseberg L (2005). "The ecological genetics of homoploid hybrid speciation". J. Hered. 96 (3): 241–52. doi:10.1093/jhered/esi026. PMID15618301.
^Boucher Y, Douady CJ, Papke RT, Walsh DA, Boudreau ME, Nesbo CL, Case RJ, Doolittle WF (2003). "Lateral gene transfer and the origins of prokaryotic groups". Annu Rev Genet. 37: 283–328. doi:10.1146/annurev.genet.37.050503.084247. PMID14616063.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Kondo N, Nikoh N, Ijichi N, Shimada M, Fukatsu T (2002). "Genome fragment of Wolbachia endosymbiont transferred to X chromosome of host insect". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 99 (22): 14280–85. doi:10.1073/pnas.222228199. PMID12386340.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Gladyshev EA, Meselson M, Arkhipova IR (2008). "Massive horizontal gene transfer in bdelloid rotifers". Science (journal). 320 (5880): 1210–3. doi:10.1126/science.1156407. PMID18511688.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Hunt J, Brooks R, Jennions M, Smith M, Bentsen C, Bussière L (2004). "High-quality male field crickets invest heavily in sexual display but die young". Nature. 432 (7020): 1024–27. doi:10.1038/nature03084. PMID15616562.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Maynard Smith J (1998). "The units of selection". Novartis Found. Symp. 213: 203–11; discussion 211–17. PMID9653725.
^Hickey DA (1992). "Evolutionary dynamics of transposable elements in prokaryotes and eukaryotes". Genetica. 86 (1–3): 269–74. doi:10.1007/BF00133725. PMID1334911.
^Gould SJ, Lloyd EA (1999). "Individuality and adaptation across levels of selection: how shall we name and generalize the unit of Darwinism?". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 96 (21): 11904–09. doi:10.1073/pnas.96.21.11904. PMID10518549.
^Lande R (1989). "Fisherian and Wrightian theories of speciation". Genome. 31 (1): 221–27. PMID2687093.
^Carroll SB (2001). "Chance and necessity: the evolution of morphological complexity and diversity". Nature. 409 (6823): 1102–09. doi:10.1038/35059227. PMID11234024.
^Whitman W, Coleman D, Wiebe W (1998). "Prokaryotes: the unseen majority". Proc Natl Acad Sci U S a. 95 (12): 6578–83. doi:10.1073/pnas.95.12.6578. PMID9618454.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Nealson K (1999). "Post-Viking microbiology: new approaches, new data, new insights". Orig Life Evol Biosph. 29 (1): 73–93. doi:10.1023/A:1006515817767. PMID11536899.
^Orr H (2005). "The genetic theory of adaptation: a brief history". Nat. Rev. Genet. 6 (2): 119–27. doi:10.1038/nrg1523. PMID15716908.
^Piatigorsky J, Kantorow M, Gopal-Srivastava R, Tomarev SI (1994). "Recruitment of enzymes and stress proteins as lens crystallins". EXS. 71: 241–50. PMID8032155.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Wistow G (1993). "Lens crystallins: gene recruitment and evolutionary dynamism". Trends Biochem. Sci. 18 (8): 301–6. doi:10.1016/0968-0004(93)90041-K. PMID8236445.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abBejder L, Hall BK (2002). "Limbs in whales and limblessness in other vertebrates: mechanisms of evolutionary and developmental transformation and loss". Evol. Dev. 4 (6): 445–58. doi:10.1046/j.1525-142X.2002.02033.x. PMID12492145.
^Zhang Z, Gerstein M (2004). "Large-scale analysis of pseudogenes in the human genome". Curr. Opin. Genet. Dev. 14 (4): 328–35. doi:10.1016/j.gde.2004.06.003. PMID15261647.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Jeffery WR (2005). "Adaptive evolution of eye degeneration in the Mexican blind cavefish". J. Hered. 96 (3): 185–96. doi:10.1093/jhered/esi028. PMID15653557.
^Maxwell EE, Larsson HC (2007). "Osteology and myology of the wing of the Emu (Dromaius novaehollandiae), and its bearing on the evolution of vestigial structures". J. Morphol. 268 (5): 423–41. doi:10.1002/jmor.10527. PMID17390336.
^Johnson NA, Porter AH (2001). "Toward a new synthesis: population genetics and evolutionary developmental biology". Genetica. 112–113: 45–58. doi:10.1023/A:1013371201773. PMID11838782.
^Baguñà J, Garcia-Fernàndez J (2003). "Evo-Devo: the long and winding road". Int. J. Dev. Biol. 47 (7–8): 705–13. PMID14756346. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-28. Diakses tanggal 2008-12-27. *Gilbert SF (2003). "The morphogenesis of evolutionary developmental biology". Int. J. Dev. Biol. 47 (7–8): 467–77. PMID14756322.
^Harris MP, Hasso SM, Ferguson MW, Fallon JF (2006). "The development of archosaurian first-generation teeth in a chicken mutant". Curr. Biol. 16 (4): 371–77. doi:10.1016/j.cub.2005.12.047. PMID16488870.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Carroll SB (2008). "Evo-devo and an expanding evolutionary synthesis: a genetic theory of morphological evolution". Cell. 134 (1): 25–36. doi:10.1016/j.cell.2008.06.030. PMID18614008.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Wade MJ (2007). "The co-evolutionary genetics of ecological communities". Nat. Rev. Genet. 8 (3): 185–95. doi:10.1038/nrg2031. PMID17279094.
^Geffeney S, Brodie ED, Ruben PC, Brodie ED (2002). "Mechanisms of adaptation in a predator-prey arms race: TTX-resistant sodium channels". Science. 297 (5585): 1336–9. doi:10.1126/science.1074310. PMID12193784.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) *Brodie ED, Ridenhour BJ, Brodie ED (2002). "The evolutionary response of predators to dangerous prey: hotspots and coldspots in the geographic mosaic of coevolution between garter snakes and newts". Evolution. 56 (10): 2067–82. PMID12449493.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Paszkowski U (2006). "Mutualism and parasitism: the yin and yang of plant symbioses". Curr. Opin. Plant Biol. 9 (4): 364–70. doi:10.1016/j.pbi.2006.05.008. PMID16713732.
^Reeve HK, Hölldobler B (2007). "The emergence of a superorganism through intergroup competition". Proc Natl Acad Sci U S A. 104 (23): 9736–40. doi:10.1073/pnas.0703466104. PMID17517608.
^Wilson EO, Hölldobler B (2005). "Eusociality: origin and consequences". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 102 (38): 13367–71. doi:10.1073/pnas.0505858102. PMID16157878.
^ abGavrilets S (2003). "Perspective: models of speciation: what have we learned in 40 years?". Evolution. 57 (10): 2197–215. doi:10.1554/02-727. PMID14628909.
^Herrel, A.; Huyghe, K.; Vanhooydonck, B.; Backeljau, T.; Breugelmans, K.; Grbac, I.; Van Damme, R.; Irschick, D.J. (2008). "Rapid large-scale evolutionary divergence in morphology and performance associated with exploitation of a different dietary resource". Proceedings of the National Academy of Sciences. 105 (12): 4792–5. doi:10.1073/pnas.0711998105. PMID18344323.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Losos, J.B. Warhelt, K.I. Schoener, T.W. (1997). "Adaptive differentiation following experimental island colonization in Anolis lizards". Nature. 387 (6628): 70–73. doi:10.1038/387070a0.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Hoskin CJ, Higgle M, McDonald KR, Moritz C (2005). "Reinforcement drives rapid allopatric speciation". Nature. 437: 1353–356. doi:10.1038/nature04004.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Nosil P, Crespi B, Gries R, Gries G (2007). "Natural selection and divergence in mate preference during speciation". Genetica. 129 (3): 309–27. doi:10.1007/s10709-006-0013-6. PMID16900317.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Savolainen V, Anstett M-C, Lexer C, Hutton I, Clarkson JJ, Norup MV, Powell MP, Springate D, Salamin N, Baker WJr (2006). "Sympatric speciation in palms on an oceanic island". Nature. 441: 210–13. doi:10.1038/nature04566. PMID16467788.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) *Barluenga M, Stölting KN, Salzburger W, Muschick M, Meyer A (2006). "Sympatric speciation in Nicaraguan crater lake cichlid fish". Nature. 439: 719–723. doi:10.1038/nature04325. PMID16467837.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Hegarty Mf, Hiscock SJ (2008). "Genomic clues to the evolutionary success of polyploid plants". Current Biology. 18 (10): 435–44. doi:10.1016/j.cub.2008.03.043.
^Jakobsson M, Hagenblad J, Tavaré S; et al. (2006). "A unique recent origin of the allotetraploid species Arabidopsis suecica: Evidence from nuclear DNA markers". Mol. Biol. Evol. 23 (6): 1217–31. doi:10.1093/molbev/msk006. PMID16549398.Pemeliharaan CS1: Penggunaan et al. yang eksplisit (link) Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Säll T, Jakobsson M, Lind-Halldén C, Halldén C (2003). "Chloroplast DNA indicates a single origin of the allotetraploid Arabidopsis suecica". J. Evol. Biol. 16 (5): 1019–29. doi:10.1046/j.1420-9101.2003.00554.x. PMID14635917.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Novacek MJ, Cleland EE (2001). "The current biodiversity extinction event: scenarios for mitigation and recovery". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 98 (10): 5466–70. doi:10.1073/pnas.091093698. PMID11344295.
^Pimm S, Raven P, Peterson A, Sekercioglu CH, Ehrlich PR (2006). "Human impacts on the rates of recent, present, and future bird extinctions". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 103 (29): 10941–6. doi:10.1073/pnas.0604181103. PMID16829570.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) *Barnosky AD, Koch PL, Feranec RS, Wing SL, Shabel AB (2004). "Assessing the causes of late Pleistocene extinctions on the continents". Science. 306 (5693): 70–05. doi:10.1126/science.1101476. PMID15459379.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Luisi PL, Ferri F, Stano P (2006). "Approaches to semi-synthetic minimal cells: a review". Naturwissenschaften. 93 (1): 1–13. doi:10.1007/s00114-005-0056-z. PMID16292523.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Trevors JT, Abel DL (2004). "Chance and necessity do not explain the origin of life". Cell Biol. Int. 28 (11): 729–39. doi:10.1016/j.cellbi.2004.06.006. PMID15563395.Forterre P, Benachenhou-Lahfa N, Confalonieri F, Duguet M, Elie C, Labedan B (1992). "The nature of the last universal ancestor and the root of the tree of life, still open questions". BioSystems. 28 (1–3): 15–32. doi:10.1016/0303-2647(92)90004-I. PMID1337989.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Trevors JT, Psenner R (2001). "From self-assembly of life to present-day bacteria: a possible role for nanocells". FEMS Microbiol. Rev. 25 (5): 573–82. doi:10.1111/j.1574-6976.2001.tb00592.x. PMID11742692.
^Wolf YI, Rogozin IB, Grishin NV, Koonin EV (2002). "Genome trees and the tree of life". Trends Genet. 18 (9): 472–79. doi:10.1016/S0168-9525(02)02744-0. PMID12175808.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Varki A, Altheide TK (2005). "Comparing the human and chimpanzee genomes: searching for needles in a haystack". Genome Res. 15 (12): 1746–58. doi:10.1101/gr.3737405. PMID16339373.
^Ciccarelli FD, Doerks T, von Mering C, Creevey CJ, Snel B, Bork P (2006). "Toward automatic reconstruction of a highly resolved tree of life". Science. 311 (5765): 1283–87. doi:10.1126/science.1123061. PMID16513982.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Schopf J (2006). "Fossil evidence of Archaean life". Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 361 (1470): 869–85. doi:10.1098/rstb.2006.1834. PMID16754604. *Altermann W, Kazmierczak J (2003). "Archean microfossils: a reappraisal of early life on Earth". Res Microbiol. 154 (9): 611–17. doi:10.1016/j.resmic.2003.08.006. PMID14596897.
^Schopf J (1994). "Disparate rates, differing fates: tempo and mode of evolution changed from the Precambrian to the Phanerozoic". Proc Natl Acad Sci U S a. 91 (15): 6735–42. doi:10.1073/pnas.91.15.6735. PMID8041691.
^Dyall S, Brown M, Johnson P (2004). "Ancient invasions: from endosymbionts to organelles". Science. 304 (5668): 253–57. doi:10.1126/science.1094884. PMID15073369.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Lang B, Gray M, Burger G (1999). "Mitochondrial genome evolution and the origin of eukaryotes". Annu Rev Genet. 33: 351–97. doi:10.1146/annurev.genet.33.1.351. PMID10690412.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link) *McFadden G (1999). "Endosymbiosis and evolution of the plant cell". Curr Opin Plant Biol. 2 (6): 513–19. doi:10.1016/S1369-5266(99)00025-4. PMID10607659.
^Spergel, D. N. (2003). "First-Year Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) Observations: Determination of Cosmological Parameters". The Astrophysical Journal Supplement Series. 148: 175–94. doi:10.1086/377226.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Wilde SA, Valley JW, Peck WH, Graham CM (2001). "Evidence from detrital zircons for the existence of continental crust and oceans on the Earth 4.4 Gyr ago". Nature. 409 (6817): 175–78. doi:10.1038/35051550. PMID11196637.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^On the history of eugenics and evolution, see Kevles, D (1998). In the Name of Eugenics: Genetics and the Uses of Human Heredity. Harvard University Press. ISBN978-0674445574.
^Darwin strongly disagreed with attempts by Herbert Spencer and others to extrapolate evolutionary ideas to all possible subjects; see Midgley, M (2004). The Myths we Live By. Routledge. hlm. 62. ISBN978-0415340779.
^Doebley JF, Gaut BS, Smith BD (2006). "The molecular genetics of crop domestication". Cell. 127 (7): 1309–21. doi:10.1016/j.cell.2006.12.006. PMID17190597.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Rechenberg, Ingo (1973). Evolutionsstrategie - Optimierung technischer Systeme nach Prinzipien der biologischen Evolution (PhD thesis) (dalam bahasa German). Fromman-Holzboog.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Koza, John R. (1992). Genetic Programming. MIT Press.Parameter |subtitle= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Jamshidi M (2003). "Tools for intelligent control: fuzzy controllers, neural networks and genetic algorithms". Philosophical transactions. Series A, Mathematical, physical, and engineering sciences. 361 (1809): 1781–808. doi:10.1098/rsta.2003.1225. PMID12952685.