Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari History of evolutionary thought di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel)
Halaman ini berisi artikel tentang sejarah pemikiran evolusi dalam biologi. Untuk sejarah pemikiran evolusi dalam ilmu sosial, lihat Evolusionisme sosial. Untuk Sejarah diskusi keagamaan mengenai evolusi, lihat Kontroversi penciptaan-evolusi.
Pemikiran mengenai evolusi, yakni bahwa spesies berubah dari waktu ke waktu, telah berakar sejak zaman kuno. Pemikiran tersebut dapat terlihat pada ilmu pengetahuan peradaban Yunani, Romawi, Tiongkok, dan Islam. Namun, sampai dengan abad ke-18, pandangan biologis Barat masih didominasi oleh pandangan esensialisme, yaitu pandangan bahwa bentuk-bentuk kehidupan tidak berubah. Hal ini mulai berubah ketika pengaruh kosmologi evolusioner dan filsafat mekanis menyebar dari ilmu fisik ke sejarah alam. Para naturalis mulai berfokus pada keanekaragaman spesies, dan munculnya ilmu paleontologi dengan konsep kepunahannya lebih jauh membantah pandangan bahwa alam bersifat statis. Pada awal abad ke-19, Jean-Baptiste Lamarck mengajukan teorinya mengenai transmutasi spesies. Teori ini merupakan teori evolusi pertama yang ilmiah.
Karya Darwin mengenai evolusi dengan segara diterima dengan cepat, tetapi mekanisme yang diajukannya (seleksi alam), belum diterima secara sepenuhnya hingga tahun 1940-an. Kebanyakan ahli biologi berargumen bahwa faktor selain seleksi alam adalah yang mendorong evolusi, misalnya pewarisan sifat-sifat yang didapatkan suatu makhluk semasa hidupnya (neo-Lamarckisme), dorongan perubahan yang dibawa sejak lahir (ortogenesis), ataupun mutasi besar-besaran secara tiba-tiba (saltasi). Sintesis seleksi alam dengan genetika Mendel semasa 1920-an dan 1930-an memunculkan bidang disiplin ilmu genetika populasi. Semasa 1930-an dan 1940-an, populasi genetika berintegrasi dengan bidang-bidang ilmu biologi lainnya, memungkinkan penerapan teori evolusi dalam biologi secara luas.
Gagasan bahwa bahwa hewan, atau bahkan manusia, merupakan keturunan dari jenis hewan lainnya, diawali sejak era para filsuf Yunanipra-Sokrates pertama. Anaximandros dari Miletos (sekitar 610 – 546 SM) mengusulkan bahwa hewan-hewan pertama hidup di dalam air semasa fase basah Bumi di masa lampau, dan para leluhur umat manusia yang pertama kali tinggal di darat haruslah lahir di dalam air dan hanya menjalani sebagian masa hidupnya di darat. Ia juga berpendapat bahwa manusia pertama dengan bentuk yang seperti kita ketahui sekarang haruslah merupakan keturunan dari jenis hewan yang berbeda (kemungkinan ikan) karena manusia memerlukan masa menyusui yang panjang untuk dapat hidup.[3][4][5] Pada akhir abad kesembilan belas, Anaximandros disanjung sebagai "Darwinis pertama", tetapi julukan ini kini tidak banyak disepakati.[6] Hipotesis Anaximandros dapat dianggap sebagai "evolusi" dalam pengertian tertentu, meskipun bukanlah evolusi Darwin.[6]
Empedokles (sekitar 490 – 430 SM), berpendapat bahwa apa yang kita sebut kelahiran dan kematian pada hewan sebenarnya hanyalah pencampuran dan pemisahan unsur-unsur yang menghasilkan "berbagai suku makhluk fana".[7] Secara spesifik, hewan dan tumbuhan pertama memiliki bentuk seperti bagian-bagian hewan dan tumbuhan zaman sekarang yang terputus-putus. Beberapa dari mereka dapat bertahan dengan menggabungkan diri dalam kombinasi-kombinasi yang berbeda, dan kemudian bercampur aduk semasa perkembangan embrio,[a] dan manakala "segala sesuatunya berujung seolah-olah terjadi dengan sengaja, di mana mereka akhirnya selamat karena secara tidak sengaja tersusun dengan baik."[8] Para filsuf lainnya yang lebih berpengaruh pada masa itu, termasuk Plato (sekitar 428/427 – 348/347 SM), Aristoteles (384 – 322 SM), dan para anggota mazhab filsafat Stoikisme, meyakini bahwa seluruh jenis benda, tidak hanya makhluk hidup, berbentuk tetap sesuai rancangan ilahi.
Plato disebut sebagai "antiwirawan besar evolusionisme" oleh ahli biologi Ernst Mayr[9] karena ia mempromosikan kepercayaan esensialisme, yang juga disebut sebagai teori bentuk. Teori ini menyatakan bahwa setiap jenis objek alam di dunia yang teramati adalah perwujudan tak sempurna dari bentuk atau "spesies" ideal yang menentukan jenis objek tersebut. Dalam karyanya Timaeus sebagai contohnya, Plato memiliki sebuah tokoh yang mengisahkan sebuah cerita bahwa Demiurge menciptakan kosmos dan segala sesuatunya karena Ia baik, dan sehingga, "... bebas dari rasa dengki, Ia ingin segala sesuatunya seperti diriNya sejauh mungkin." Sang pencipta menciptakan segala bentuk kehidupan yang terbayangkan sebab "... tanpanya, alam semesta menjadi tidak lengkap, karena ia tidak akan mengandung setiap jenis hewan yang seharusnya ia kandungi, apabila alam semesta itu sempurna. "Prinsip kelimpahan" seperti ini, yakni gagasan bahwa segala bentuk potensi kehidupan adalah esensial dalam suatu penciptaan ideal, sangat mempengaruhi pemikiran Kristen.[10] Namun, beberapa sejarawan sains mempertanyakan seberapa besar pengaruh esensialisme Plato dalam filsafat alam. Banyak filsuf-filsuf setelah Plato meyakini bahwa spesies memiliki kemampuan untuk bertransformasi dan gagasan bahwa spesies biologi berbentuk tetap dan memiliki sifat esensi yang tak berubah belumlah berpengaruh sampai pada permulaan kemunculan bidang taksonomi biologi pada abad ke-17 dan ke-18.[11]
Aristoteles, filsuf Yunani yang paling berpengaruh di Eropa, adalah murid Plato dan juga sejarawan alam terawal yang karyanya masih terlestarikan secara mendetail. Tulisan-tulisannya mengenai biologi merupakan hasil penelitiannya mengenai sejarah alam di dan sekitar pulau Lesbos dan telah bertahan dalam bentuk empat jilid buku: De anima (Tentang Jiwa), Historia animalium (Sejarah Hewan), De generatione animalium (Pembentukan Hewan), dan De partibus animalium (Tentang Bagian-bagian Hewan). Karya-karya Aristoteles berisi pengamatan-pengamatan yang akurat, yang kemudian dicocokkan ke dalam teorinya mengenai mekanisme tubuh.[12] Namun, bagi Charles Singer, "Tak ada yang dapat lebih dikenang daripada upaya [Aristoteles] untuk [mempertunjukkan] hubungan antar makhluk hidup sebagai suatu scala naturae (tangga alam)."[12]Scala naturae, yang dideskripsikan dalam Historia animalium, mengklasifikasikan organisme-organisme sesuai dengan hubungannya dengan "Tangga Kehidupan" atau "Rantai keberadaan" yang hierarkis. Aristoteles menempatkan organisme berdasarkan kompleksitas struktur dan fungsinya, dengan organisme yang menunjukkan vitalitas dan kemampuan yang lebih besar untuk bergerak disebut sebagai "organisme tingkat tinggi".[10] Aristoteles meyakini bahwa ciri-ciri organisme hidup menunjukkan dengan jelas bahwa organisme tersebut memiliki apa yang ia sebut sebagai sebab akhir, yakni bahwa bentuk-bentuk organisme adalah sesuai dengan fungsinya.[13] Ia secara eksplisit menolak pandangan Empedokles yang menyatakan bahwa makhluk hidup kemungkinan bermula dari suatu kebetulan.[14]
Para filsuf Yunani lainnya, seperti Zeno dari Citium (334 – 262 SM) yang mendirikan mazhab filsafat Stoikisme, sepakat dengan Aristoteles dan para filsuf terdahulu bahwa alam menunjukkan bukti jelas rancangan yang bertujuan; pandangan ini dikenal sebagai teleologi.[15] Filsuf Skeptisisme Romawi Cicero (106 – 43 SM) menulis bahwa Zeno diketahui memegang pandangan tersebut, yang merupakan pusat fisika Stoikisme, bahwa alam utamanya "diarahkan dan dikonsentrasikan...bagi keamanan dunia...struktur terbaik yang cocok untuk bertahan hidup."[16]
Tiongkok
Para pemikir Tiongkok kuno seperti Zhuang Zhou (s. 369 – 286 SM), seorang filsuf Taoisme, mengekspresikan gagasan-gagasan tentang perubahan spesies biologi. Menurut Joseph Needham, Taoisme secara eksplisit menolak ketetapan spesies biologi dan para filsuf Taois berspekulasi bahwa spesies mengembangkan sifat dan ciri yang berbeda dalam menanggapi lingkungan yang berbeda.[17] Taoisme menganggap manusia, alam dan surga hadir dalam keadaan "transformasi yang terus menerus" yang dikenal sebagai Tao. Pandangan ini berbeda dengan pemikiran barat yang memandang bahwa alam adalah statis.[18]
Romawi
Puisi Lucretius yang berjudul De rerum natura menyediakan penjelasan terbaik dari gagasan-gagasan para filsuf aliran Epikuros Yunani yang masih bertahan. Karya tersebut mendeskripsikan perkembangan kosmos, Bumi, makhluk hidup dan masyarakat melalui mekanisme naturalistik murni tanpa petunjuk apa pun mengenai keterlibatan supranatural. De rerum natura kemudian mempengaruhi spekulasi kosmologi dan evolusi para filsuf dan ilmuwan semasa dan setelah abad Renaisans.[19][20] Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan para filsuf Romawi dari aliran Stoikisme seperti Seneca Muda (sekitar 4 SM – 65 M) dan Plinius Tua (23 – 79 M) yang memiliki pandangan teleologis yang kuat mengenai dunia alam dan kemudian mempengaruhi teologi Kristen.[15] Cicero melaporkan bahwa pandangan Stoik dan peripatetik tentang alam sebagai perantara yang pada dasarnya berkutat pada terbentuknya kehidupan "yang paling cocok untuk bertahan hidup" (survival of the fittest) diterima begitu saja di antara kalangan elit Helenistik.[16]
Origenes dan Agustinus
Sejalan dengan pemikiran Yunani sebelumnya, filsuf Kristen abad ketiga dan Bapa GerejaOrigenes dari Aleksandria berargumen bahwa kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian harus ditafsirkan sebagai kiasan tentang jatuhnya jiwa manusia yang menjauh dari kemuliaan ilahi, dan bukannya sebagai catatan sejarah yang harfiah:[22][23]
Lantaran mana ada orang berakal yang menyangka bahwa hari pertama, hari kedua, dan hari ketiga, serta malam dan siang, dapat wujud tanpa ada matahari, bulan, dan bintang-bintang? Dan bahwa hari pertama, seolah-olah benar demikiannya, dapat wujud tanpa ada langit? Siapa yang sedemikian dungu menyangka Allah, laksana juru tani, membina firdaus di Eden, nun jauh di timur, dan menumbuhkan di dalamnya sebatang pohon hayat, yang kasatmata lagi teraba nyata, sehingga barang siapa mengecap buahnya dengan gigi jasmani, maka hayatlah yang ia dapati? Dan bahwasanya orang turut ambil bagian dalam kebajikan dan kedurjanaan dengan mengunyah apa-apa yang dipetik dari pohon itu? Dan kalau dikisahkan bahwa Allah berjalan-jalan di firdaus kala sore, sementara Adam sembunyi diri di balik pohon, aku kira tidak ada orang yang meragukan bahwa kisah-kisah ini secara kias menyiratkan rahasia-rahasia tertentu, sejarah mewujud nyata secara lahiriah, bukan secara harfiah.
Pada abad keempat masehi, uskup dan teolog Agustinus dari Hippo mengikuti Origenes dengan berpendapat bahwa kisah penciptaan Kitab Kejadian tak harus dibaca terlalu harfiah. Dalam bukunya De Genesi ad litteram (Tentang Pengartian Harfiah Kitab Kejadian), ia menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, makhluk-makhluk baru dapat muncul melalui "penguraian" dari bentuk kehidupan sebelumnya.[21] Bagi Agustinus, "kehidupan tumbuhan, unggas dan hewan tidaklah sempurna ... namun diciptakan dalam suatu keadaan potensialitas," tak seperti malaikat, cakrawala, dan jiwa manusia yang ia anggap sempurna secara teologis.[24]Gagasan Agustinus 'bahwa bentuk-bentuk kehidupan telah bertransformasi "secara lambat sepanjang waktu"' mendorong Romo Giuseppe Tanzella-Nitti, Profesor Teologi di Universitas Kepausan Santa Croce di Roma, mengklaim bahwa Agustinus telah mengusulkan suatu bentuk teori evolusi.[25][26]
"Apabila ortodoksi Agustinus masih tetap merupakan ajaran Gereja, pengukuhan akhir Evolusi mungkin akan datang jauh lebih awal ketimbang yang sebenarnya, mungkin pada abad kedelapan belas alih-alih kesembilan belas, dan kontroversi sengit akan kebenaran alam ini mungkin tidak akan pernah timbul. ...Singkatnya karena penciptaan hewan dan tumbuhan yang langsung dan spontan tampaknya diajarkan dalam Kitab Kejadian, Agustinus membaca kitab ini dari sudut pandang Aristoteles mengenai sebab utama dan perkembangan berangsur dari yang tidak sempurna menjadi sempurna. Guru paling berpengaruh ini sehingganya menurunkan kepada para pengikutnya pendapatnya yang sangat mirip dengan pandangan progresif dari para teolog masa sekarang yang menerima teori Evolusi."[27]
"Selama berzaman-zaman, bahwasanya doktrin yang diterima luas adalah air, kotoran, dan bangkai menerima kuasa dari Sang Pencipta untuk menghasilkan ulat, serangga, dan bermacam-macam hewan kecil lainnya. Doktrin ini terutamanya diterima baik oleh St. Augustinus dan romo lainnya, sebab hal tersebut membebaskan Yang Mahakuasa dari menyuruh Adam menamai, dan Nuh hidup di bahtera dengan, spesies-spesies keji yang tak terhitung banyaknya ini."[28]
Mengenai Kitab Kejadian, Agustinus dalam karyanya yang berjudul De Genesi contra Manichæos berkata: "Anggapan bahwa Allah membentuk manusia dari debu dengan tangan jasmaniah sangatlah kekanak-kanakkan. ... Allah tiada pun membentuk manusia dengan tangan jasmaniah mau pun menghembuskan napas kepada manusia dengan kerongkongan dan bibirNya. Agustinus dalam karyanya yang lain menyarankan suatu teori bahwa serangga berkembang dari bangkai dan mengadopsi teori emanasi kuno ataupun evolusi dengan menunjukkan bahwa "hewan-hewan kecil tertentu mungkin belumlah diciptakan pada hari ke-lima mau pun ke-enam, tetapi muncul di kemudian hari dari benda-benda yang membusuk. Terkait De Trinitate (Tentang Trinitas) karya Agustinus, White menulis bahwa Agustinus "...mengembangkan pandangan bahwa dalam penciptaan makhluk hidup, terdapat suatu hal seperti pertumbuhan — yang Allah adalah pencipta utamanya, tetapi terjadi melalui sebab-sebab sekunder. Agustinus pada akhirnya juga berargumen bahwa zat-zat tertentu diberi kuasa oleh Allah untuk menghasilkan kelas tumbuhan dan hewan tertentu."[29]
Meskipun gagasan evolusi Yunani dan Romawi ditinggalkan di Eropa setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi, gagasan ini tak ditinggalkan di kalangan filsuf dan ilmuwan Islam. Pada Zaman Keemasan Islam dari abad ke-8 sampai ke-13, para filsuf menjelajahi berbagai gagasan tentang sejarah alam. Gagasan-gagasan ini meliputi transmutasi dari benda tak hidup menjadi hidup: "dari mineral menjadi tumbuhan, dari tumbuhan menjadi hewan, dan dari hewan menjadi manusia."[30]
Di dunia Islam pada abad pertengahan, cendekiawan al-Jāḥiẓ (776 – sekitar 868) menulis Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) pada abad ke-9. Conway Zirkle, yang menulis tentang sejarah seleksi alam pada 1941, berkata bahwa kutipan dari karya ini adalah satu-satunya kutipan yang relevan [dengan seleksi alam] yang ia temukan dari cendekiawan Arab. Ia memberikan sebuah kutipan (dari terjemahan Bahasa Spanyol) yang mendeskripsikan perjuangan untuk hidup: "Setiap hewan lemah memangsa hewan yang lebih lemah darinya. Hewan yang kuat tidak dapat menghindari pemangsaan dari hewan yang lebih kuat darinya. Dalam hal inilah, manusia tidak ada bedanya dengan hewan, beberapa mirip dalam hal lainnya, walaupun tidaklah sampai dengan ekstrim yang sama. Singkatnya, Allah telah mengatur sebagian manusia sebagai sumber kehidupan bagi yang lainnya, dan demikian pula lah, Allah telah mengatur manusia lainnya sebagai sebab kematian bagi sebagian manusia tersebut."[31] Al-Jāḥiẓ juga menulis deskripsi mengenai rantai makanan.[32]
Menurut beberapa komentator, beberapa pemikiran Ibnu Khaldūn juga menyiratkan teori evolusi biologi.[33] Pada tahun 1377, Ibnu Khaldūn menulis buku berjudul Muqaddimah (Pendahuluan). Di dalamnya, ia menyatakan bahwa manusia berkembang dari "dunia kera" dalam suatu proses yang mengakibatkan "spesies menjadi bertambah banyak"[33] Dalam bab 1, ia menulis: "Dunia ini dengan seluruh hal yang diciptakan di dalamnya memiliki sebuah tatanan tertentu dan konstruksi yang kokoh. Dunia ini menunjukkan hubungan antara sebab musabab dengan akibat-akibatnya, kombinasi beberapa bagian penciptaan dengan lainnya, dan perubahan beberapa benda wujud menjadi lainnya, dalam suatu pola yang ajaib dan tiada akhir."[34]
Dalam bab 6 Muqaddimah, dinyatakan juga:
"Telah kita terangkan di sana [(di awal buku)] bahwa keseluruhan hal yang wujud dalam alam yang sederhana maupun berpadu tersusun secara alami ke dalam urutan yang tinggi dan rendah, sehingga segalanya berurutan membentuk kesinambungan yang tak terputus. Esensi pada tahap akhir tiap-tiap alam secara alaminya telah dipersiapkan untuk berubah menjadi esensi alam yang bersebelahan, baik yang berada di bawah maupun yang di atasnya. Demikianlah halnya dengan unsur-unsur materi yang sederhana; demikianlah halnya dengan pohon kurma dan anggur, (yang merupakan) tahap akhir tumbuhan, memiliki hubungan dengan siput dan kerang, (yang merupakan) tahap terendah hewan. Demikianlah juga halnya dengan kera, makhluk yang berpersepsi dan berkepandaian, memiliki hubungan dengan manusia, makhuk yang berakal dan bermenung. Kesiapan (untuk berubah) di kedua sisi tiap-tiap alam itulah yang kita maksudkan ketika membahas tentang hubungan keduanya[35]
Pada Abad Pertengahan Awal, semua pembelajaran klasik Yunani telah hilang di Barat. Namun, melalui kontak dengan dunia Islam yang masih melestarikan dan memperluas naskah-naskah Yunani, naskah Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada Abad ke-12 secara besar-besaran. Bangsa Eropa kemudian diperkenalkan kembali dengan karya-karya Plato dan Aristoteles beserta pemikiran Islam. Para pemikir Kristen dari mazhab skolastik, terutama Peter Abelard (1079 – 1142) dan Thomas Aquinas (1225 – 1274), kemudian memadukan pengklasifikasian makhluk Aristoteles dengan gagasan Plato bahwa Tuhan itu baik dan segala bentuk kehidupan yang ada merupakan hasil penciptaan yang sempurna. Hasilnya adalah scala naturae, atau rantai keberadaan, yaitu penggolongan segala jenis makhluk tak hidup, hidup, maupun spiritual ke dalam sistem besar yang saling berhubungan.[10][36]
Dalam sistem ini, setiap makhluk yang wujud dapat ditempatkan dalam urutan tertentu, dari yang "terendah" sampai dengan yang "tertinggi". Neraka berada di paling bawah sedangkan Allah berada di paling atas. Di bawah Allah, terdapat hierarki Malaikat yang ditandai dengan orbit planet-planet, umat manusia yang berada dalam posisi menengah, dan cacing-cacingan yang merupakan hewan terendah. Sebagaimana alam semesta itu sempurna, rantai keberadaan itu sendiri jugalah sempurna. Sehingganya, di dalam alam semesta Plato versi kristen ini, spesies tidaklah pernah berubah, melainkan tetap selamanya, sesuai yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Bagi manusia untuk lupa akan posisi mereka merupakan sesuatu yang dilihat sebagai dosa, entah bila manusia berperilaku seperti hewan rendah ataupun bercita-cita menduduki tempat yang lebih tinggi daripada yang dikaruniakan oleh Sang Pencipta.[10]
Makhluk-makhluk yang saling berdekatan dalam rantai keberadaan dianggap mirip satu sama lainnya, sesuai dengan perkataan: natura non facit saltum ("alam tidak membuat lompatan").[10] Konsep dasar rantai keberadaan sangat mempengaruhi pemikiran peradaban Barat selama berabad-abad (dan masih memiliki pengaruh pada saat ini). Rantai keberadaan merupakan bagian dari argumen perancangan yang ada dalam teologi alam. Sebagai suatu sistem klasifikasi, rantai keberadaan menjadi prinsip utama pengorganisasian dan fondasi bagi ilmu biologi yang mulai muncul pada abad ke-17 dan ke-18.[10]
Pandangan Thomas Aquinas mengenai penciptaan dan proses alam
Manakala para teolog Kristen menganggap bahwa dunia alam adalah bagian dari hierarki yang terancang dan tidak berubah, beberapa teolog berspekulasi bahwa dunia berkembang melalui proses alam. Thomas Aquinas bahkan lebih jauh lagi daripada Agustinus dari Hippo dalam berargumen bahwa teks-teks kitab suci seperti Kitab Kejadian seharusnya tidak boleh ditafsirkan secara harfiah sehingga bertentangan dan mengukung para filsuf alam dalam mempelajari cara kerja alam. Ia memandang bahwa otonomi alam merupakan tanda kebaikan Allah dan tidak mendeteksi adanya konflik antara alam semesta yang merupakan ciptaan ilahi dengan gagasan bahwa alam semesta berkembang seiring waktu melalui mekanisme-mekanisme alam.[37] Walau demikian, Aquinas menentang pandangan filsuf lain (seperti filsuf Yunani Kuno Empedokles) yang memandang bahwa proses-proses alam yang ada menunjukkan bahwa alam semesta dapat berkembang tanpa adanya tujuan. Sebaliknya, Aquinas memandang bahwa: "Sebab itu, adalah jelas bahwa alam tiada lain adalah sejenis seni, yakni seni ilahi, yang terpatri dalam segala hal, yang darinya segala sesuatunya digerakkan untuk tujuan akhir tertentu. Hal ini seumpamanya pembuat kapal mampu memberikan kayu seni [membuat kapal] dan darinya kayu-kayu bergerak dengan sendirinya membentuk sebuah kapal."[38]
Pada paruh pertama abad ke-17, filsafat mekanismeRené Descartes mendorong penggunaan metafora alam semesta sebagai suatu mesin. Konsep ini kemudian menjadi ciri khas dari revolusi ilmiah.[39] Antara tahun 1650 dan 1800, beberapa naturalis, seperti Benoît de Maillet, mengusulkan teori-teori yang menyatakan bahwa alam semesta, Bumi dan kehidupan berkembang secara mekanis, tanpa campur tangan ilahi.[40] Sebaliknya, kebanyakan pakar teori evolusi kontemporer, seperti Gottfried Leibniz dan Johann Gottfried Herder, menganggap evolusi sebagai proses yang spiritual secara mendasar.[41] Pada tahun 1751, pandangan Pierre Louis Maupertuis berubah haluan menjadi lebih materialis. Ia menulis tentang modifikasi-modifikasi alami yang terjadi saat reproduksi dan yang berakumulasi selama beberapa generasi. Modifikasi-modifikasi ini kemudian menghasilkan ras dan bahkan spesies yang baru. Deskripsi seperti ini mendahului konsep seleksi alam secara umum.[42]
Gagasan Maupertuis bertentangan dengan pengaruh para pakar taksonomi awal seperti John Ray. Pada akhir abad ke-17, Ray telah mendefinisikan spesies biologi secara formal. Oleh Ray, spesies biologi dideskripsikan memiliki ciri khas esensial yang tak berubah, dan dinyatakan pula benih suatu spesies tidak akan pernah tumbuh menjadi spesies yang lain.[11] Gagasan Ray dan pakar taksonomi lain dari abad ke-17 dipengaruhi oleh teologi alam dan argumen perancangan.[43]
Kata evolusi (dari kata Latin evolutio, artinya "bergulung terbuka") awalnya dipakai untuk merujuk kepada perkembangan embriologi; pemakaian pertamanya dalam hubungan dengan perkembangan spesies muncul pada tahun 1762, saat Charles Bonnet memakainya untuk konsep "pra-formasi," yaitu konsep bahwa betina mengandung bentuk miniatur seluruh keturunan generasi mendatang. Pengertian istilah tersebut kemudian secara bertahap meluas menjadi lebih umum, yaitu pertumbuhan atau perkembangan progresif.[44]
Pada akhir abad ke-18, filsuf Prancis Georges-Louis Leclerc, Comte de Buffon, salah satu naturalis yang terkemuka pada masa itu, berpendapat bahwa apa yang kebanyakan orang sebut spesies sebenarnya hanyalah varietas yang berciri khas tertentu, yang dimodifikasi dari bentuk aslinya oleh faktor-faktor lingkungan. Contohnya, ia menyakini bahwa singa, harimau, macan tutul, dan kucing rumah semuanya memiliki leluhur yang sama. Ia berspekulasi lebih jauh lagi bahwa dari 200 spesies mamalia yang diketahui saat itu kemungkinan merupakan keturunan dari 38 bentuk hewan asli. Gagasan evolusi Buffon cukup terbatas; ia meyakini bahwa setiap hewan bentuk asli berkembang melalui pembentukan spontan dan terbentuk dari "cetakan internal" yang membatasi besarnya perubahan yang dapat terjadi. Karya-karya Buffon, seperti Histoire naturelle (1749–1789) dan Époques de la nature (1778), sangatlah berpengaruh. Di dalamnya terdapat teori-teori yang dikembangkan dengan baik mengenai asal muasal Bumi yang sepenuhnya materialistik beserta gagasan-gagasannya yang mempertanyakan ketetapan spesies.[45][46]
Filsuf Prancis lainnya, Denis Diderot, juga menulis bahwa makhluk hidup kemungkinan muncul pertama kali melalui pembentukan spontan dan spesies selalu berubah melalui proses eksperimen di mana bentuk baru muncul dan bertahan hidup, dan bukannya didasarkan pada proses coba-coba. Gagasan ini dapat dianggap sebagai pelopor parsial seleksi alam.[47] Antara tahun 1767 dan 1792, James Burnett, Lord Monboddo, tidak hanya mencantumkan dalam tulisannya konsep bahwa manusia merupakan keturunan dari hewan primata, melainkan juga bahwa, sebagai respon terhadap lingkungan, makhluk-makhluk hidup telah menemukan suatu cara untuk mengubah ciri khasnya dalam masa waktu yang panjang.[48] Kakek Charles Darwin, Erasmus Darwin, menerbitkan Zoonomia (1794–1796) yang menyiratkan bahwa "semua hewan berdarah panas muncul dari satu filamen hidup."[49] Dalam syairnya Temple of Nature (1803), ia menjelaskan kemunculan kehidupan dari organisme-organisme kecil yang tinggal di lumpur menjadi keseluruhan keanekaragaman hayati modern.[50]
Pada tahun 1796, Georges Cuvier menerbitkan temuan-temuannya mengenai perbedaan antara gajah hidup dengan gajah yang ditemukan dalam jejak fosil. Analisisnya berhasil mengidentifikasi mamut dan mastodon sebagai spesies yang khas, berbeda dari hewan hidup manapun. Penemuan ini secara efektif mengakhiri perdebatan berkepanjangan mengenai spesies dapat menjadi punah.[52] Pada tahun 1788, James Hutton mendeskripsikan proses geologi bertahap yang secara berkelanjutan beroperasi sepanjang waktu dalam.[53] Pada tahun 1790-an, William Smith memulai proses pengurutan strata batu dengan menguji fosil dalam lapisan-lapisan stratum saat ia mengerjakan peta geologi Inggris buatannya. Secara terpisah, pada tahun 1811, Cuvier dan Alexandre Brongniart menerbitkan sebuah kajian berpengaruh mengenai sejarah geologi kawasan di sekitaran Paris yang berdasarkan pada suksesi stratigrafi lapisan batu. Karya-karya tersebut membantu mengukuhkan bahwa Bumi bersifat purba.[54] Cuvier mengadvokasikan katastrofisme sebagai penjelasan atas pola-pola kepunahan dan suksesi fauna yang terungkap dari jejak fosil.
Pengetahuan tentang jejak fosil terus berkembang maju dengan cepat selama beberapa dasawarsa pertama abad ke-19. Pada tahun 1840-an, garis besar skala waktu geologi menjadi jelas, dan pada tahun 1841, John Phillips menamakan tiga era besar geologi berdasarkan pada fauna yang mendominasi masing-masing era: Paleozoikum, yang didominasi oleh invertebrata laut dan ikan, Mesozoikum, zaman reptil, dan Senozoikum, zaman mamalia. Gambaran sejarah kehidupan yang berkembang secara bertahap ini diterima luas bahkan oleh geolog Inggris konservatif seperti Adam Sedgwick dan William Buckland; namun, seperti Cuvier, mereka mengalamatkan perkembangan ini sebagai akibat kejadian bencana kepunahan yang diikuti oleh kejadian penciptaan baru.[55] Tidak seperti Cuvier, Buckland dan beberapa advokat teologi alam lainnya di kalangan geolog Inggris secara eksplisit berusaha menghubungkan kejadian bencana terakhir, yang diusulkan oleh Cuvier, dengan kisah air bah.[56][57]
Dari tahun 1830 sampai 1833, geolog Charles Lyell menerbitkan karya multi-volume yang berjudul Principles of Geology. Karya ini didasarkan pada gagasan-gagasan Hutton dan mengadvokasikan teori uniformitarian sebagai alternatif dari teori katastrofisme geologi. Lyell mengklaim bahwa fitur-fitur geologi bumi, alih-alih merupakan hasil dari kejadian bencana besar (dan kemungkinan supranatural), dapat dijelaskan dengan lebih baik sebagai hasil dari angsuran gaya-gaya geologi yang masih sama terpantau sekarang—namun terjadi dalam periode waktu yang panjang. Meskipun Lyell menentang gagasan-gagasan evolusi (bahkan mempertanyakan konsensus bahwa jejak fosil menunjukkan perkembangan yang sebenarnya), konsep Lyell bahwa bumi dibentuk oleh gaya-gaya gradual yang bekerja dalam waktu yang panjang, beserta asumsi teorinya bahwa Bumi berusia sangat tua, memberi pengaruh besar kepada para pemikir evolusi pada masa mendatang seperti Charles Darwin.[58]
Dalam Philosophie Zoologique, karya tahun 1809, Jean-Baptiste Lamarck mengusulkan teori transmutasi spesies (transformisme). Lamarck tidak percaya bahwa setiap makhluk hidup memiliki leluhur yang sama, sebaliknya, ia percaya bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana diciptakan secara berkelanjutan melalui pembentukan spontan. Ia juga meyakini bahwa sebuah kekuatan hidup bawaan mendorong spesies menjadi lebih kompleks sepanjang waktu, bergerak maju menaiki tangga kompleksitas linear yang berkaitan dengan rantai keberadaan. Lamarck mengakui bahwa spesies beradaptasi terhadap lingkungan mereka. Ia menjelaskannya dengan berkata bahwa kekuatan bawaan yang sama yang menggerakkan kompleksitas menyebabkan organ-organ suatu hewan (atau tumbuhan) berubah berdasarkan pada pemakaian atau pengangguran organ-organ tersebut, seperti halnya olahraga mempengaruhi otot-otot. Ia berpendapat bahwa perubahan tersebut akan diwarisi oleh keturunan berikutnya dan menghasilkan adaptasi lambat terhadap lingkungan. Mekanisme sekunder adaptasi melalui pewarisan sifat-sifat yang didapatkan inilah kemudian menjadi dikenal sebagai Lamarckisme dan mempengaruhi pembahasan evolusi sampai pada abad ke-20.[60][61]
Sekelompok ilmuwan anatomi komparatif Britania radikal yang meliputi anatomisRobert Edmond Grant memiliki hubungan dekat dengan kelompok ilmuwan Transformasionisme Prancis Lamarck. Salah satu ilmuwan Prancis yang mempengaruhi Grant adalah anatomis Étienne Geoffroy Saint-Hilaire, yang gagasannya mengenai kesatuan berbagai bangun tubuh hewan dan homologi struktur anatomi tertentu berpengaruh besar dan berujung pada perdebatan yang sengit dengan koleganya Georges Cuvier. Grant menjadi pakar anatomi dan reproduksi invertebrata laut yang berotoritas. Ia mengembangkan gagasan transmutasi dan evolusionisme Lamarck dan Erasmus Darwin, dan menyelidiki homologi, bahkan mengusulkan bahwa tumbuhan dan hewan memiliki titik awal evolusi yang sama. Pada masa muda, Charles Darwin mengikuti Grant dalam penyelidikan daur kehidupan hewan laut. Pada tahun 1826, sebuah makalah anonim, yang mungkin ditulis oleh Robert Jameson, memuji Lamarck karena menjelaskan bagaimana hewan-hewan yang lebih tinggi telah "berevolusi" dari ulat-ulat tersederhana; dalam makalah ini, kata "berevolusi" dipakai pertama kali dalam pengertian modern.[62][63]
Pada tahun 1844, penerbit Skotlandia Robert Chambers secara anonim menerbitkan sebuah buku yang banyak dibaca tetapi sangat kontroversial berjudul Vestiges of the Natural History of Creation (Bahasa Indonesia: Sisa-sisa Sejarah Penciptaan Alam). Buku tersebut mengusulkan skenario asal muasal Tata Surya dan kehidupan di Bumi yang evolusioner. Karya tersebut mengklaim bahwa jejak fosil menunjukkan perkembangan hewan yang progresif, dengan hewan-hewan terkini bercabang dari sebuah garis utama yang secara progresif berujung pada manusia. Buku ini menyiratkan bahwa transmutasi berujung pada penyingkapan rencana alam yang telah diatur dan terajut dalam hukum-hukum yang mengatur alam semesta. Dalam hal ini, gagasan buku ini tidaklah sematerialistik gagasan radikal Grant, tetapi implikasi bahwa manusia hanyalah tahap terakhir perkembangan hewan membuat para pemikir konservatif marah. Perdebatan publik yang menarik khalayak ramai mengenai buku ini, dengan penggambaran evolusi sebagai suatu proses yang progresif, kemudian memberi pengaruh yang besar terhadap persepsi mengenai teori Darwin satu dasawarsa berikutnya.[64][65]
Gagasan-gagasan tentang transmutasi spesies diasosiasikan dengan materialisme radikal Abad Pencerahan dan diserang oleh para pemikir yang lebih konservatif. Cuvier menyerang gagasan-gagasan Lamarck dan Geoffroy, dan sepakat dengan Aristoteles bahwa spesies bersifat tetap. Cuvier meyakini bahwa bagian-bagian individu seekor hewan sangat berkorelasi satu sama lainnyam sehingga tidak memungkinkan suatu bagian anatomi berubah sendirian dari yang lainnya. Ia berpendapat bahwa jejak fosil menunjukkan pola-pola bencana kepunahan yang disusul oleh repopulasi, ketimbang perubahan berangsur sepanjang waktu. Ia juga mencatat bahwa gambar-gambar hewan dan mumi-mumi hewan dari Mesir, yang berusia ribuan tahun, tidak menunjukkan adanya tanda perubahan dibandingkan dengan hewan-hewan modern. Kekuatan argumen Cuvier dan reputasi ilmiahnya membantu menyingkirkan gagasan transmutasi spesies dari ilmu arus utama selama berdasawarsa.[66]
Di Britania Raya, filsafat teologi alam masih berpengaruh. Buku tahun 1802 karya William Paley, berjudul Natural Theology, berisi analogi pembuat arloji yang terkenalnya dan ditulis setidaknya sebagian sebagai tanggapan terhadap gagasan transmutasi Erasmus Darwin.[68] Para geolog yang terpengaruh oleh teologi alam, seperti Buckland dan Sedgwick, secara rutin menyerang gagasan-gagasan evolusi Lamarck, Grant, dan Vestiges.[69][70] Meskipun Charles Lyell menentang geologi alkitabiah, ia juga percaya akan ketetapan spesies. Dalam buku Principles of Geology karyanya, ia mengkritik teori-teori perkembangan Lamarck.[58] Para idealis seperti Louis Agassiz dan Richard Owen meyakini bahwa setiap spesies bersifat tetap dan tak berubah karena ini mewakili gagasan pikiran Sang Pencipta. Mereka meyakini bahwa hubungan antar spesies dapat ditentukan dari pola perkembangan embriologi beserta dari jejak fosil, tetapi hubungan tersebut mewakili pola yang bernaung dalam pemikiran ilahi, dengan penciptaan progresif yang berujung pada peningkatan kompleksitas dan berpuncak pada manusia. Owen mengembangkan gagasan "arketipe" dalam pikiran Ilahi yang akan menghasilkan seurutan spesies yang berhubungan berdasarkan homologi anatomi, misalnya lengan vertebrata. Owen memimpin kampanye publik yang sukses memarginalisasi Grant dalam komunitas ilmiah. Darwin kemudian memakai gagasan homologi yang dianalisis oleh Owen dalam teorinya sendiri. Namun perlakuan buruk oleh Grant, dan kontroversi terhadap buku Vestiges, menunjukkan kepada Darwin bahwa ia perlu memastikan bahwa gagasan-gagasannya bersifat ilmiah.[63][71][72]
Pendahuluan seleksi alam
Bilamana kita melihat sejarah biologi dari zaman Yunani kuno dan seterusnya, kita dapat menemukan gagasan-gagasan yang mendahului hampir keseluruhan gagasan utama Charles Darwin. Sebagai contohnya, Loren Eiseley menemukan kutipan-kutipan yang ditulis oleh Buffon yang mengsugestikan bahwa ia telah nyaris menyusun teori seleksi alam. Namun, Eiseley menyatakan bahwa antisipasi seperti ini tidaklah boleh dilihat di luar konteks karya tulis dan nilai-nilai kultural saat itu, yang membuat gagasan evolusi Darwin tak terpikirkan.[73]
Saat Darwin sedang mengembangkan teorinya, ia menyelidiki pembiakan selektif dan terkesan oleh pengamatan Sebright bahwa "Musim dingin yang parah, atau kelangkaan pangan, memiliki kebaikan efek-efek seleksi yang paling terampil dengan menghancurkan [makhluk hidup] yang lemah dan tak sehat," sehingga "yang lemah dan tak sehat itu tidak dapat hidup untuk mengembangbiakkan kelemahan mereka."[74] Darwin dipengaruhi oleh gagasan Charles Lyell tentang perubahan lingkungan yang menyebabkan peralihan ekologi, yang berujung pada apa yang Augustin de Candolle sebut sebagai perang antara spesies tumbuhan yang saling bersaing. Persaingan ini juga dideskripsikan oleh botanis William Herbert. Darwin memakai frase "perjuangan untuk hidup" dari Thomas Robert Malthus, yang dipakai Malthus untuk mendeskripsikan perang antar suku.[75][76]
Beberapa penulis mengantisipasi aspek-aspek evolusi dari teori Darwin, dan dalam edisi ketiga dari On the Origin of Species yang terbit pada tahun 1861, Darwin menyebut orang-orang yang ia kenal dalam apendiks introduktori, An Historical Sketch of the Recent Progress of Opinion on the Origin of Species, yang ia jelaskan pada edisi-edisi berikutnya.[77]
Pada 1813, William Charles Wells membacakan esai-esai Royal Society yang berasumsi bahwa terdapat evolusi manusia, dan mengakui prinsip seleksi alam. Darwin dan Alfred Russel Wallace tak menyadari karya tersebut saat mereka sama-sama menerbitkan teori tersebut pada 1858, tetapi Darwin kemudian menyadari bahwa Wells mengakui prinsip tersebut sebelum mereka, menulis bahwa makalah "An Account of a White Female, part of whose Skin resembles that of a Negro" diterbitkan pada 1818, dan "ia sendiri mengakui prinsip seleksi alam, dan ini adalah pengakuan pertama yang telah terindikasi; namun ia hanya menerapkannya pada ras-ras manusia, dan karakter-karakter tertentu itu sendiri."[78]
Patrick Matthew menulis dalam bukunya On Naval Timber and Arboriculture (1831) bahwa "keseimbangan berkelanjutan dari kehidupan menuju puncak. ... Pronegi dari orang tua yang sama, di bawah perbedaan besar dari puncak, mungkin, dalam beberapa generasi, bahkan menjadi spesies berbeda, tak didapatkan dari ko-reproduksi."[79] Darwin mengimpilasikan bahwa ia menemukan karya tersebut setelah publikasi awal dari Origin. Dalam sketsa sejarah singkat yang Darwin cantumkan dalam edisi ke-3, ia berkata "Sayangnya, pandangan yang diberikan oleh Tuan Matthew sangat singkat dalam pasal-pasal terpencar dalam sebuah Apendiks pada sebuah karya tentang subyek berbeda ... namun, ia secara jelas menyatakan unsur penuh dari prinsip seleksi alam."[80]
Namun, seperti yang sejarawan sains Peter J. Bowler katakan, "Melalui kombikasi teorisasi yang ditebalkan dan evaluasi komprehensif, Darwin memajukan konsep evolusi yang unik pada waktu itu." Bowler menyatakan bahwa prioritas sederhana sendiri tak mendorong penempatan dalam sejarah sains; beberapa orang mengembangkan sebuah gagasan dan mendorong orang lain dari bidangnya untuk memiliki dampak nyata.[81]Thomas Henry Huxley berkata dalam esainya yang menanggapi On the Origin of Species:
"Sugesti bahwa spesies baru dihasilkan dari tindakan selektif dari kondisi eksternal atas variasi dari tipe spesifik mereka yang individual saat ini—dan yang mereka sebut "spontan," karena mereka menghiraukan sebab mereka—sepenuhnya tak diketahui sejarawan gagasan saintifik seperti halnya para spesialis biologi sebelum 1858. Namun, sugesti tersebut adalah gagasan utama dari 'Origin of Species,' dan terdiri dari kuintesensi Darwinisme."[82]
Susunan biogeografi yang Charles Darwin amati di tempat-tempat seperti Kepulauan Galápagos pada pelayaran kedua HMS Beagle membuatnya meragukan ketetapan spesies, dan pada 1837, Darwin memulai karya pertama dari serangkaian buku catatan rahasia tentang transmutasi. Pengamatan-pengamatan Darwin membuatnya memandang transmutasi sebagai proses peragaman dan percabangan, ketimbang progresi mirip pokok yang dipandang oleh Jean-Baptiste Lamarck dan lainnya. Pada 1838, ia membaca edisi ke-6 baru dari An Essay on the Principle of Population, yang ditulis pada akhir abad ke-18 oleh Thomas Robert Malthus. Gagasan Malthus tentang pertumbuhan populasi yang berujung pada perjuangan untuk bertahan hidup berpadu dengan pengetahuan Darwin tentang cara pembuahan memilih sifat, yang berujung pada pembentukan teori seleksi alam Darwin. Darwin tak menerbitkan gagasannya tentang evolusi selama 20 tahun. Namun, ia membaginya dengan beberapa naturalis lain dan teman-temannya, mula-mula dengan Joseph Dalton Hooker, dimana ia mendiskusikan esay tahun 1844 buatannya yang tak diterbitkan tentang seleksi alam. Pada periode tersebut, ia memakai waktu agar ia dapat mengerjakan karya saintifik lainnya untuk menyempurnakan gagasannya secara perlahan dan bukti untuk mendukungnya, menyadari akan kontroversi intens terhadap transmutasi. Pada September 1854, ia memulai kerja waktu penuh dalam menulis bukunya tentang seleksi alam.[72][83][84]
Tak seperti Darwin, Alfred Russel Wallace, yang dipengaruhi oleh buku Vestiges of the Natural History of Creation, menduga bahwa transmutasi spesies terjadi saat ia memulai kariernya sebagai naturalis. Pada 1855, pengamatan biogeografinya saat kerja lapangan di Amerika Selatan dan Kepulauan Melayu membuatnya percaya akan susunan bercabang dari evolusi dengan menerbitkan makalah yang menyatakan bahwa setiap spesies bermula dari kedekatan menjadi spesies yang ada dan saling bersekutu. Seperti Darwin, ini adalah pernyataan Wallace tentang bagaimana gagasan Malthus diterapkan kepada populasi hewan yang membuatnya memberikan pernyataan yang sangat menyamai pernyataan yang dibuat oleh Darwin tentang peran seleksi alam. Pada Februari 1858, Wallace, tanpa menyadari gagasan yang belum diterbitkan dari Darwin, mengkompoasisikan pemikirannya ke sebuah esai dan menyuratinya kepada Darwin, menanyai soal tanggapannya. Hasilnya adalah publikasi bersama sebuah penyarian dari esai tahun 1844 karya Darwin bersama dengan surat Wallace pada bulan Juli. Darwin juga mulai mengerjakan penjelasan pendek tentang teorinya, yang ia akan terbitkan pada 1859 dengan judul On the Origin of Species.[85]
1859–1930-an: Darwin dan warisannya
Pada 1850-an, apakah spesies berevolusi atau tidak adalah subyek debat intens, dengan para ilmuwan berpengaruh berpendapat pada kedua sisi atas masalah tersebut.[87] Publikasi On the Origin of Species karya Charles Darwin secara fundamental mentransformasikan diskusi atas asal muasal biologi.[88] Darwin berpendapat bahwa versi percabangan dari evolusi menjelaskan kekayaan fakta dalam biogreografi, anatomi, embriologi, dan bidang biologi lainnya. Ia juga menyediakan mekanisme kogen pertama dimana perubahan evolusi dapat terjadi: teori seleksi alam buatannya.[89]
Salah satu naturalis pertama dan paling berpengaruh yang tersanjung oleh realitas evolusi Origin adalah anatomis Inggris, Thomas Henry Huxley. Huxley mengakui bahwa tak seperti gagasan transmutasional sebelumnya dari Jean-Baptiste Lamarck dan Vestiges of the Natural History of Creation, teori Darwin menyediakan mekanisme untuk evolusi tanpa keterlibatan supranatural, bahkan jika Huxley sendiri tak sepenuhnya menyatakan bahwa seleksi alam adalah mekanisme evolusi penting. Huxley akan membuat advokasi evolusi menjadi batu pijakan dari program X Club untuk mereformasi dan memprofesionalisasi sains dengan menggantikan teologi alam dengan naturalisme dan mengakhiri dominasi sains alam Inggris dari rohaniwan. Pada awal 1870-an di negara-negara pemakai bahasa Inggris, berterima kasih atas upaya-upaya tersebut, evolusi telah menjadi penjelasan saintifik arus utama untuk asal muasal spesies.[89] Dalam kampanyenya untuk penerimaan publik dan saintifik dari teori Darwin, Huxley membuat pemakaian ekstensif dari bukti baru untuk evolusi dari paleontologi. Ini meliputi bukti bahwa unggas berevolusi dari reptil, yang meliputi penemuan Archaeopteryx di Eropa, dan sejumlah fosil unggas primitif dengan gigi ditemukan di Amerika Utara. Serangkaian bukti penting lainnya adalah temuan fosil-fosil yang membantu menjelaskan evolusi kuda dari leluhur lima jari kecilnya.[90] Namun, penerimaan evolusi di kalangan ilmuwan di negara-negara yang tak memakai bahasa Inggris seperti Prancis dan negara-negara selatan Eropa dan Amerika Latin berjalan lambat. Dengan pengecualian adalah Jerman, dimana August Weismann dan Ernst Haeckel memenangkan gagasan tersebut: Haeckel memakai evolusi untuk menantang tradisi yang berdiri dari idealisme metafisika dalam biologi Jerman, seperti yang Huxley lakukan dalam menantang teologi alam di Inggris.[91] Haeckel dan ilmuwan Jerman lainnya memakainya dalam meluncurkan program ambisius untuk merekonstruksi sejarah kehidupan evolusi berdasarkan pada morfologi dan embriologi.[92]
Teori Darwin sukses memberikan tanggapan saintifik terkait perkembangan kehidupan dan memproduksi revolusi filsafat kecil.[93] Namun, teori tersebut tak dapat menjelaskan beberapa komponen kritikal dari proses evolusi. Secara saintifik, Darwin tak dapat menjelaskan sumber variasi dalam memperlakukan sebuah spesies, dan tak dapat mengidentifikasikan mekanisme yang dapat mengesahkan perlakuan yang sepenuhnya dipercaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hipotesispangenesis dari Darwin, meskipun menjawab sebagian pewarisan karakteristik yang diterima, menunjang pemakaian untuk model statistik evolusi yang dikembangkan oleh sepupunya Francis Galton dan aliran "biometrik"-nya dari pemikiran evolusi. Namun, gagasan tersebut hanya sedikit dipakai di kalangan pakar biologi lainnya.[94]
Aplikasi kepada manusia
Charles Darwin menyadari reaksi keras dalam beberapa bagian komunitas saintifik melawan pernyataan yang dibuat dalam Vestiges of the Natural History of Creation bahwa manusia berkembang dari hewan lewat proses transmutasi. Sehingga, ia nyaris sepenuhnya menghiraukan topik evolusi manusia dalam On the Origin of Species. Disamping pengabaian tersebut, masalah tersebut tampil menonjol dalam debat menyusul publikasi buku tersebut. Selama sebagian besar paruh pertama abad ke-19, komunitas saintifik meyakini bahwa, meskipun geologi menunjukkan bahwa Bumi dan kehidupan sangat tua, manusia muncul mendadak beberapa ribu tahun sebelum saat ini. Namun, serangkaiain penemuan arkeologi pada 1840-an dan 1850-an menunjukkan alat-alat batu yang diasosiasikan dengan sisa-sisa hewan punah. Pada awal 1860-an, sesuai dengan yang dijelaskan dalam buku 1863 Charles Lyell Geological Evidences of the Antiquity of Man, banyak orang menerima bahwa manusia telah ada pada zaman pra-sejarah—yang terbentang beberapa ribu tahun sebelum permulaan sejarah tertulis. Pandangan sejarah manusia tersebut lebih tumpang tindih dengan asal muasal evolusi untuk manusia ketimbang pandangan yang lebih lama. Di sisi lain, pada waktu itu, tak ada bukti fosil yang menunjukkan evolusi manusia. Satu-satunya fosil manusia yang ditemukan sebelum penemuan Manusia Jawa pada 1890-an adalah anatomi manusia modern atau Neanderthal yang terlalu dekat, khususnya dalam karakteristik kritikal dari kapasitas kranial, dengan manusia modern yang membuat mereka dianggap perantara antara manusia dan primata lainnya.[97]
Sehingga, debat yang terjadi langsung setelah penerbitan On the Origin of Species terpusat pada kesamaan dan perbedaan manusia dan kera modern. Carolus Linnaeus dikritik pada abad ke-18 karena mengkelompokkan manusia dan kera bersamaan sebagai primata dalam sistem klasifikasi dasarnya.[98] Richard Owen membela klasifikasi yang disugestikan oleh Georges Cuvier dan Johann Friedrich Blumenbach yang menempatkan manusia dalam tatanan terpisah dari mamalia lainnya, yang pada awal abad ke-19 telah menjadi pandangan ortodoks. Di sisi lain, Thomas Henry Huxley berniat untuk menunjukkan hubungan anatomi dekat antara manusia dan kera. Dalam satu insiden terkenal, yang dikenal sebagai Pertanyaan Hippocampus Besar, Huxley menunjukkan bahwa Owen salah mengklaim bahwa otak gorila menyusutkan struktur saat ini dalam otak manusia. Huxley menjelaskan argumennya dalam buku tahun 1863 yang sangat berpengaruh Evidence as to Man's Place in Nature. Sudut pandang lain diadvokasikan oleh Lyell dan Alfred Russel Wallace. Mereka sepakat bahwa manusia berbagi leluhur umum dengan kera, tetapi bertanya apakah mekanisme materialistik murni dapat mencatat semua perbedaan antara manusia dan kera, khususnya beberapa aspek dari pikiran manusia.[97]
Pada 1871, Darwin menerbitkan The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex, yang berisi pandangannya tentang evolusi manusia. Darwin berpendapat bahwa perbedaan antara pikiran manusia dan pikiran hewan-hewan yang lebih tinggi adalah materi tingkatan ketimbang jenis. Contohnya, ia memandang moralitas sebagai pertumbuhan insting alami yang bermanfaat bagi hewan yang tinggal dalam kelompok sosial. Ia berpendapat bahwa semua perbedaan antara manusia dan kera dijelaskan oleh kombikasi tekanan selektif yang datang dari leluhur mereka yang bergerak dari pohon ke tanah, dan seleksi seksual. Debat tentang asal muasal manusia, dan tingkat keunikan manusia masih berlanjut pada abad ke-20.[97]
Alternatif dari seleksi alam
Konsep evolusi banyak diterima di lingkup saintifik dalam beberapa tahun publikasi Origin, tetapi penerimaan seleksi alam sebagai mekanisme penggeraknya kurang tersebar. Empat alternatif besar untuk seleksi alam pada akhir abad ke-19 adalah evolusi teistik, neo-Lamarckisme, ortogenesis, dan saltationisme. Alternatif-alternatif yang didukung oleh para biologis pada waktu yang lain meliputi strukturalisme, teleologi dari Georges Cuvier selain fungsionalisme non-evolusi, dan vitalisme.
Evolusi teistik adalah gagasan bahwa Allah ikut campur tangan dalam proses evolusi, untuk memandunya dalam cara semacam itu agar makhluk hidup masih dapat layak untuk dirancang. Istilah tersebut dipromosikan oleh advokat Amerika terbesar dari Charles Darwin Asa Gray. Namun, gagasan tersebut secara bertahap kurang diminati di kalangan ilmuwan, karena mereka menjadi makin tertarik dengan gagasan naturalisme metodologi dan meyakini bahwa banding langsung dengan keterlibatan supranatural tidaklah produktif secara saintifik. Pada 1900, evolusi teistik sebagian besar hilang dari diskusi saintifik profesional, meskipun masih sangat populer.[100][101]
Pada akhir abad ke-19, istilah neo-Lamarckisme menjadi diasosiasikan dengan posisi para naturalis yang memandang pewarisan karakteristik menonjol sebagai mekanisme evolusi paling berpengaruh. Para advokat dari posisi tersebut meliputi penulis Inggris dan kritikus Darwin Samuel Butler, pakar biologi Jerman Ernst Haeckel, dan pakar paleontologi Amerika Edward Drinker Cope. Mereka menganggap Lamarckisme lebih tinggi secara filsafat ketimbang gagasan seleksi Darwin yang bertindak pada variasi acak. Cope memandang, dan melalui yang ia temukan, susunan-susunan progresi linear dalam jejak fosil. Pewarisan karakteristik menonjol adalah bagian dari teori rekapitulasi evolusi Haeckel, yang menyatakan bahwa perkembangan embriologi dari sebuah organisme mengulang riwayat evolusinya.[100][101] Para kritikus neo-Lamarckisme, seperti pakar biologi Jerman August Weismann dan Alfred Russel Wallace, menekankan bahwa tak ada orang yang pernah memproduksi bukti solid untuk pewarisan karakteristik menonjol. Disamping kritikan tersebute, neo-Lamarckisme menjadi menjadi alternatif paling populer untuk seleksi alam pada akhir abad ke-19, dan masih dipegang beberapa naturalis pada abad ke-20.[100][101]
Ortogenesis adalah hipotesis bahwa kehidupan memiliki tendensi untuk berubah, dalam mode unilinear, menuju kesempurnaan yang lebih besar. Ini memiliki pengikutan signifikan pada abad ke-19, dan para pemegangnya meliputi pakar biologi Rusia Leo S. Berg dan pakar paleontologi Amerika Henry Fairfield Osborn. Ortogenesis menjadi populer di kalangan beberapa pakar paleontologi, yang meyakini bahwa jejak fosil menunjukkan perubahan unidireksional bertahap dan konstan.
Saltationisme adalah gagasan bahwa spesies baru timbul sebagai hasil dari mutasi besar. Ini dipandang sebagai alternatif yang lebih cepat untuk konsep Darwinian dari proses bertahap variasi acak kecil yang terjadi pada seleksi alam, dan populer di kalangan pakar genetik awal seperti Hugo de Vries, William Bateson, dan pada awal kariernya, Thomas Hunt Morgan. Ini menjadi dasar dari teori mutasi evolusi.[100][101]
Penemuan kembali hukum pewarisan Gregor Mendel pada 1900 menimbulkan debat runcing antara dua kubu pakar biologi. Di satu kubu adalah Mendelian, yang berfokus pada variasi diskret dan hukum pewarisan. Mereka dipimpin oleh William Bateson (yang mencanangkan kata genetik) dan Hugo de Vries (yang mencanangkan kata mutasi). Para lawan mereka adalah biometrisian, yang meminati ragam berkelanjutan dari karakteristik dalam populasi. Para pemimpin mereka, Karl Pearson dan Walter Frank Raphael Weldon, mengikuti tradisi Francis Galton, yang berfokus pada analisis ukuran dan statistik dari variasi dalam sebuah populasi. Para biometrisian menyangkal genetik Mendelian atas dasar bahwa unit-unit diskret dari warisan, seperti gen, tak dapat menjelaskan rangkaian berkelanjutan dari variasi yang terlihat dalam populasi nyata. Karya Weldon dengan kepiting dan siput menyediakan bukti bahwa keberadaan seleksi dari lingkungan dapat mengubah serangkaian variasi dalam populasi liar, tetapi Mendelian menyatakan bahwa variasi-variasi yang diukur oleh biometrisian terlalu insignifikan untuk pencatatan evolusi spesies baru.[102][103]
Saat Thomas Hunt Morgan mulai bereksperimen dengan pembuahan lalat buah Drosophila melanogaster, ia adalah seorang saltationis yang berhara untuk menunjukkan bahwa spesies baru dapat tercipta dalam lab oleh mutasi sendiri. Meskipun demikian, pengerjaan di labnya antara 1910 dan 1915 merekonfirmasikan genetik Mendelian dan menyediakan bukti eksperimental solid yang menghubungkannya dengan pewarisan kromosomal. Karyanya juga mendemonstrasikan bahwa sebagian besar mutasi memiliki dampak yang relatif kecil, seperti perubahan pada warna mata, dan bahwa alih-alih menciptakan spesies baru dalam tahap tunggal, mutasi terjadi untuk meningkatkan variasi dalam populasi yang ada.[102][103]
1920-an–1940-an
Biston betularia f. typica adalah bentuk bertubuh putih dari ngengat
Biston betularia f. carbonaria adalah bentuk bertubuh hitam dari ngengat
Model-model Mendelian dan biometrisian kemudian berekonsiliasi dengan perkembangan genetik populasi. Sebuah langkah penting adalah karya pakar biologi dan statistik Inggris Ronald Fisher. Dalam serangkaian makalah yang dimulai pada 1918 dan berpuncak dalam buku tahun 1930 buatannya The Genetical Theory of Natural Selection, Fisher menunjukkan bahwa variasi berkelanjutan yang diukur oleh para biometrisian dapat diproduksi oleh aksi kombinasi dari beberapa gen diskret, dan bahwa seleksi alam dapat mengubah frekuensi-frekuensi gen dalam sebuah populasi, yang menghasilkan evolusi. Dalam serangkaian makalah yang bermula pada 1924, pakar genetik Inggris lainnya, J. B. S. Haldane, menerapkan analisis statistik kepada contoh-contoh dunia nyata dari seleksi alam, seperti evolusi melanisme industrial pada ngengat, dan menunjukkan bahwa seleksi alam berlangsung lebih cepat ketimbang yang diasumsikan oleh Fisher.[104][105]
Pakar biologi Amerika Sewall Wright, yang memiliki latar belakang eksperimen pembuahan hewan, berfokus pada kombinasi gen yang berinteraksi, dan efek pembuahan pada populasi yang kecil dan relatif terisolasi yang menunjukkan laju genetik. Pada 1932, Wright mengenalkan konsep lanskap adaptif dan berpendapat bahwa laju genetik dan pembuahan dapat menggerakkan sub-populasi terisolasi dan kecil jauh dari puncak adaptif, membolehkan seleksi alam untuk melajukannya menuju puncak adaptif berbeda. Karya Fisher, Haldane dan Wright memfondasikan disiplin genetik populasi. Ini mengintegrasikan seleksi alam dengan genetik Mendelian, yang menjadi langkah kritikal pertama dalam mengembangkan teori terunifikasi dari cara evolusi bekerja.[104][105]
Sintesis modern
Dalam beberapa dekade pertama dari abad ke-20, kebanyakan naturalis lapangan meyakini bahwa mekanisme alternatif evolusi seperti Lamarckisme dan ortogenesis menyediakan penjelasan terbaik untuk kompleksitas yang mereka amati pada makhluk hidup. Namun karena bidang genetik terus berkembang, pandangan tersebut menjadi kurang mendasar.[106]Theodosius Dobzhansky, seorang tenaga kerja pasca-doktoral di lab milik Thomas Hunt Morgan, dipengaruhi oleh hasil kerja pada keragaman genetik dari para pakar genetik Rusia seperti Sergei Chetverikov. Ia membantu menjembatani perpecahan antara fonasi mikroevolusi yang dikembangkan oleh para pakar genetik populasi dan susunan makroevolusi yang diamati oleh pakar biologi lapangan, dengan buku tahun 1937 buatannya Genetics and the Origin of Species. Dobzhansky menguji keragaman genetik dari populasi liar dan menunjukkan bahwa, brseberangan dengan asumsi para pakar genetik populasi, populasi tersebut memiliki sejumlah besar keragaman genetik, dengan menandai perbedaan antar sub-populasi. Buku tersebut juga mencantumkan hasil kerja matematika tingkat tinggi dari pakar genetik populasi dan menempatkannya dalam bentuk yang lebih dapat diakses. Di Inggris, E. B. Ford, pionir genetik ekologi, terus mendemonstrasikan kekuatan seleksi sepanjang 1930-an dan 1940-an karena faktor-faktor ekologi meliputi kemampuan untuk mengutamakan keragaman genetik melalui polimorfisme seperti golongan darah manusia. Karya Ford kemudian berkontribusi pada peralihan pada sintesis modern menuju seleksi alam atas laju genetik.[104][105][107][108]
Pakar biologi evolusi Ernst Mayr dipengaruhi oleh hasil kerja pakar biologi Jerman Bernhard Rensch menunjukkan pengaruh faktor-faktor lingkungan lokal pada persebaran geografi dari sub-spesies dan spesies yang sangat berkaitan. Mayr menyusul hasil kerja Dobzhansky dengan buku tahun 1942 Systematics and the Origin of Species, yang berisi tentang pengaruh spesiasi alopatrik dalam formasi spesies baru. Bentuk spesiasi tersebut terjadi saat isolasi geografi dari sebuah sub-populasi disusul oleh perkembangan mekanisme untuk isolasi reproduktif. Mayr juga merumuskan konsep spesies biologi yang mendefinisikan spesies sebagai sekelompok populasi antar-pembuahan atau berpotensi antar-pembuahan yang terisolasi secara reproduktif dari seluruh populasi lain.[104][105][109]
Sintesis modern menyediakan inti konseptual—terutama, seleksi alam dan genetik populasi Mendelian—yang dipasangkan bersamaan dengan beberapa disiplin biologi, tetapi tak semua: biologi perkembangan adalah salah satunya. Ini membantu legitimasi biologi evolusi, sebuah sains sejarah utama, dalam iklim saintifik yang menyanjung metode-metode eksperimental atas bidang sejarah sains.[110] Sintesis juga menghasilkan penyempitan rangkaian pemikiran evolusi arus umum (apa yang Stephen Jay Gould sebut "mengeraskan sintesis"): pada 1950-an, seleksi alam bertindak pada variasi genetik yang secara virtual merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat diterima dari mikroevolusi ekstensif.[111][112]
1940s–1960-an: Biologi molekular dan evolusi
Pada dekade-dekade pertengahan dari abad ke-20, biologi molekuler timbul, dan bidang tersebut mempelajari alam kimia gen sebagai sekuensi-sekuensi DNA dan hubungan mereka dengan sekuensi-sekuensi protein melalui kode genetik. Pada saat yang bersamaan, teknik kuat meningkat untuk menganalisis protein, seperti elektroforesis dan pensekuensian protein, membawa fenomena biokimia ke dalam ranah teori evolusi sintetis. Pada awal 1960-an, pakar biokimia Linus Pauling dan Emile Zuckerkandl mengusulkan hipotesis jam molekuler: perbedaan sekuensi antara protein homologus dapat dipakai untuk menghitung waktu sejak dua spesies terragamkan. Pada 1969, Motoo Kimura dan lainnya menyediakan basis teoretikal untuk jam molekuler, berpendapat bahwa—di tingkat molekuler terrendah—kebanyakan mutasi genetik tidaklah berbahaya maupun membantu dan bahwa mutasi dan pergerakan genetik (alih-alih seleksi alam) menyebabkan sebagian besar perubahan genetik: teori netral evolusi molekuler.[113] Kajian-kajian protein terbedakan dalam spesies juga membuat duta molekuler menyematkan genetik populasi dengan menyediakan perkiraan tingkat heterozigositas dalam populasi alami.[114]
Dari awal 1960-an, biologi molekuler makin dipandang sebagai ancaman untuk inti tradisional biologi evolusi. Menghimpun para pakar biologi evolusi—terutama Ernst Mayr, Theodosius Dobzhansky, dan George Gaylord Simpson, tiga arsitek dari sintesis modern—sangat skeptis terhadap kesepakatan molekuler, khususnya saat ini dihubungkan (atau dipadukan) dengan seleksi alam. Hipotesis jam molekuler dan teori netral sangatlah kontroversial, menimbulkan debat netralis-seleksionis atas pengaruh relatif dari mutasi, pergerakan dan seleksi, yang berlanjut sampai 1980-an tanpa kesepakatan yang jelas.[115][116]
Pada pertengahan 1960-an, George C. Williams sangat mengkritik penjelasan adaptasi yang ditulis dalam istilah "pertahanan hidup spesies" (argumen seleksi grup). Penjelasan semacam itu banyak digantikan oleh pandangan evolusi terpusat gen, diepitomisasikan oleh argumen seleksi kekerabatan dari W. D. Hamilton, George R. Price dan John Maynard Smith.[117] Sudut pandang tersebut kemudian dijelaskan dan dipopulerisasikan dalam buku tahun 1976 berpengaruh The Selfish Gene karya Richard Dawkins.[118] Model-model periode tampak menunjukkan bahwa seleksi grup sangat dibatasi dalam kekuatannya; meskipun model-model yang lebih baru memberikan kemungkinan seleksi multi-tingkat.[119]
Pada 1973, Leigh Van Valen mengusulkan istilah "Red Queen," yang ia ambil dari Through the Looking-Glass karya Lewis Carroll, untuk menjelaskan skenario dimana spesies terlibat dalam satu ras lengan evolusi atau lebih yang kemudian secara konstan mengubah wadah tetap dengan spesies tersebut berkoevolusi. Hamilton, Williams dan lainnya mensugestikan bahwa gagasan tersebut dapat menjelaskan evolusi dari reproduksi seksual: peningkatan keragaman genetik yang disebabkan oleh reproduksi seksual akan membantu resistensi melawan parasit yang cepat berkembang, sehingga membuat reproduksi seksual menjadi hal umum, meskipun terbayarkan dari sudut pandang sentris gen dimana hanya separuh genome organisme yang lolos pada saat reproduksi.[120][121]
Namun, berseberangan dengan penjelasan dari hipotesis Red Queen, Hanley dan lainnya menemukan bahwa prevalensi, abundansi dan intensitas pengartian dari hewan-hewan kecil lebih signifikan pada seksual tokok ketimbang hewan-hewan aseksual yang berbagi habitat yang sama.[122] Selain itu, Parker, setelah mengulas sejumlah kajian genetik tentang resistensi penyakit tumbuhan, gagal menemukan contoh tinggal yang sejalan dengan konsep bahwa patogen adalah agen selektif utama yang bertanggung jawab atas reproduksi seksual dalam tuan rumah mereka.[123] Di tingkat yang bahkan lebih fundamental, Heng[124] dan Gorelick dan Heng[125] mengulas bukti bahwa seks, alih-alih menghimpun keragaman, bertindak berseberangan dengan keragaman genetik. Mereka menganggap bahwa tindakan seks adalah sebuah filter koarse, tak memberikan perubahan genetik besar, seperti rearansemen kromosomal, tetapi membolehkan variasi minor, seperti perubahan di nukleotida atau tingkat gen (bahkan sering kali netral) untuk lolos melalui penyaringan seksual. Pada saat ini, fungsi adaptasi dari seks masih menjadi masalah besar yang tak terselesaikan dalam biologi. Model-model bersaing untuk menjelaskan fungsi adaptasi dari seks yang diulas oleh Birdsell dan Wills.[126] Sebuah pandangan alternatif utama untuk hipotesis Red Queen adalah bahwa seks berkembang, dan diutamakan, sebagai proses untuk memperbaiki kerusakan DNA, dan bahwa variasi genetik diproduksi sebagai biproduk.[127][128]
Pandangan sentris gen juga berujung pada peningkatan peminatan dalam gagasan lama dari seleksi seksual buatan Charles Darwin,[129] dan topik-topik terkini seperti konflik seksual dan konflik intragenomik.
Hasil kerja W. D. Hamilton tentang seleksi kekerabatan berkontribusi pada pendirian disiplin sosiobiologi. Keberadaan perilaku-perilaku altruistik telah menjadi masalah sulit untuk para pakar teori evolusi dari permulaan.[130] Progres signifikan dibuat pada 1964 saat Hamilton merumuskan ketidaksetaraan dalam seleksi kekerabatan yang dikenal sebagai aturan Hamilton, yang menunjukkan cara eusosialitas pada serangga (keberadaan dari kelas pekerja steril) dan beberapa contoh lain dari perilaku altruistik dapat berubah melalui seleksi kekerabatan. Teori lainnya menyusul, beberapa datang dari teori permainan, seperti altruisme timbal-balik.[131] Pada 1975, E. O. Wilson menerbitkan buku berpengaruh dan sangat kontroversial Sociobiology: The New Synthesis yang mengklaim teori evolusi dapat membantu menjelaskan beberapa aspek hewan, yang meliputi perilaku manusia. Para kritikus sosiobiologi, yang meliputi Stephen Jay Gould dan Richard Lewontin, mengklaim bahwa sosiobiologi dangat melampaui tingkat dimana perilaku manusia kompleks dapat ditentukan oleh faktor-faktor genetik. Meskipun dikritik, pengerjaan tetap berlanjut dalam sosiobiologi dan disiplin terkait psikologi evolusi, termasuk hasil kerja tentang aspek lain dari masalah altruisme.[132][133]
Salah satu debat paling berpengaruh yang timbul pada 1970-an adalah seputar teori keseimbangan bersela. Niles Eldredge dan Stephen Jay Gould mengusulkan bahwa terdapat susunan spesies fosil yang masih banyak tak berubah untuk periode panjang (yang mereka sebut stasis), terinterspersasi dengan periode yang relatif singkat dari perubahan cepat pada spesiasi.[134][135] Penunjangan dalam metode-meotde sekuensi menghasilkan peningkatan besar dari genome tersekuensi, membolehkan pengujian dan penyempurnaan ulang teori-teori evolusi memakai sejumlah besar data genome.[136] Perbandingan antar genome menyediakan penglihatan dalam mekanisme molekuler dari spesiasi dan adaptasi.[137][138] Analisis genomik tersebut memproduksi perubahan fundamental dalam pemahaman sejarah evolusi kehidupan, seperti gagasan sistem tiga domain oleh Carl Woese.[139] Pergerakan dalam perangkat lunak dan keras komputasional membolehkan pengujian dan ekstrapolasi dari peningkatan kemajuan model-model evolusi dan perkembangan bidang biologi sistem.[140] Salah satu hasilnya telah menjadi pertukaran gagasan antara teori evolusi biologi dan bidang sains komputer yang dikenal sebagai komputasi evolusi yang sekarang membolehkan modifikasi seluruh genome, memajukan kajian evolusi menuju tinggal dimana eksperimen mendatang melibatkan penciptaan organisme sintetis secara keseluruhan.[141]
Mikrobiologi, transfer gen horisontal, dan endosimbiosis
Mikrobiologi banyak dihiraukan oleh teori evolusi awal. Ini karena pausitas dari perlakuan morfologi dan kurangnya konsep spesies dalam mikrobiologi, terutama prokariotik.[142] Saat ini, para peneliti evolusi memberikan pergerakan terhadap pemahaman tertunjang mereka terhadap psikologi dan ekonomi mikrobial, yang dihasilkan oleh perbandingan muda dari genomik mikrobial, untuk mengeksplor taksonomi dan evolusi organisme tersebut.[143] Kajian-kajian tersebut menguak tingkat-tingkat tak terantisipasi dari keragaman di golongan mikrob.[144][145]
Salah satu perkembangan penting dalam kajian evolusi mikrobial timbul dalam penemuan transfer gen horizontal di Jepang pada 1959.[146] Transfer material genetik antara spesies bakteria berbeda menjadi perhatian para ilmuwan karena ini memainkan sebuah peran besar dalam penyebaran resistensi antibiotik.[147] Saat ini, saat pengetahuan genome masih melebar, ini mensugestikan bahwa transfer materal dari material genetik telah memainkan peran penting dalam evolusi seluruh organisme.[148] Tingkat-tingkat tinggi dari tranfer gen horizontal berujung pada sugesti bahwa pohon keluarga dari organisme-organisme saat ini, yang disebut "pohon kehidupan", lebih mirip dengan jaringan web yang saling terhubung.[149][150]
Selain itu, teori endosimbiotik untuk asal muasal organel memandang bentuk transfer gen horizontal sebagai langkah kritikal dalam evolusi eukorit seperti fungi, tumbuhan dan hewan.[151][152] Teori endosimbiotik menyatakan bahwa organel dalam sel eukorit seperti mitokondria dan kloroplas diturunkan dari bakteria independen yang hidup secara simbiotik dalam sel lainnya. Ini tersugesti pada akhir abad ke-19 saat kemiripan antara mitokondria dan bakteria dicatat, tetapi banyak dihiraukan sampai ini dibangkitkan dan diperjuangkan oleh Lynn Margulis pada 1960-an dan 1970-an; Margulis dapat memakai pemakaian bukti baru bahwa organel-organel semacam itu memiliki DNA mereka sendiri yang diwariskan secara independen dari hal tersebut dalam nukleus sel.[153]
Pada 1980-an dan 1990-an, pemahaman sintesis evolusi modern makin rumit. Terdapat pembaharuan tema-tema strukturalis dalam biologi evolusi dalam hasil kerja para pakar biologi seperti Brian Goodwin dan Stuart Kauffman,[154] yang menginkorporasikan gagasan-gagasan dari sibernetik dan teori sistem, dan menyatakan bahwa proses organisasi diri dari perkembangan sebagai faktor-faktor yang menggerakkan peristiwa evolusi. Pakar biologi evolusi Stephen Jay Gould membangkitkan gagasan-gagasan sebelumnya dari heterokroni, alternasi-alternasi dalam tingkat-tingkat alternatif dari proses perkembangan atas peristiwa evolusi, mencatat generasi dari bentuk-bentuk novel, dan, dengan pakar biologi evolusi Richard Lewontin, menulis sebuah makalah berpengaruh pada 1979 yang menyatakan bahwa sebuah perubahan dalam satu struktur biologi, atau bahkan novelitas struktural, dapat timbul secara tak disengaja sebagai hasil kecelakaan seleksi pada struktur lain, ketimbang melalui seleksi terarah untuk adaptasi tertentu. Mereka menyebut perubahan struktural insidental semacam itu dengan sebutan "spandrel" yang mengambil nama dari sebuah fitur arsitektural.[155] Kemudian, Gould dan Elisabeth Vrba mendiskusikan akuisisi fungsi-fungsi baru dari struktur-struktur novel yang timbul dalam mode tersebut, yang mereka sebut "eksaptasi".[156]
Data molekuler terkait mekanisme dalam perkembangan yang melapisi terakumulasi secara cepat pada 1980-an dan 1990-an. Ini menjelaskan bahwa keragaman morfologi hewan bukanlah hasil dari set protein berbeda yang meregulasi perkembangan hewan berbeda, tetapi dari perubahan dalam penyimpanan sejumlah kecil protein yang umum di semua hewan.[157] Protein-protein tersebut menjadi dikenal sebagai "alat pengembangan genetik."[158] Sudut pandang semacam itu mempengaruhi disiplin-disiplin filogenetik, paleontologi dan biologi perkembangan komparatif, dan menimbulkan disiplin baru dari biologi perkembangan yang juga dikenal sebagai evo-devo.[159]
Salah satu penekanan genetik populasi sejak pembentukannya adalah bahwa makroevolusi (evolusi bagian filogenik di tingkat spesies ke atas) secara tunggal merupakan hasil mekanisme mikroevolusi (perubahan dalam frekuensi gen dalam populasi) yang beroperasi sepanjang periode waktu yang terbentang. Pada dekade-dekade terakhir dari abad ke-20, beberapa paleontologis mengembangkan pertanyaan soal apakah faktor lain, seperti keseimbangan bersela dan seleksi grup beroperasi pada level seluruh spesies dan bahkan peristiwa filogenik yang bertingkat lebih tinggi, perlu dikondisikan untuk menjelaskan susunan dalam evolusi yang dikuak oleh analisis statistik dari jejak fosil. Menjelang akhir abad ke-20, beberapa peneliti dalam biologi perkembangan evolusi mensugestikan bahwa interaksi antara lingkungan dan proses perkembangan telah menjadi sumber beberapa inovasi struktural yang terlihat dalam makroevolusi, tetapi para peneliti evo-devo lainnya menyatakan bahwa mekanisme genetik terlihat di tingkat populasi sepenuhnya mampu untuk membuat sebuah makroevolusi.[160][161][162]
Epigenetik adalah kajian perubahan warisan dalam ekspresi gen atau fenotipe seluler yang disebabkan oleh mekanisme lain ketimbang perubahan dalam sekuensi DNA yang terhimpun. Pada dekade pertama abad ke-21, pandangan tersebut menyatakan bahwa mekanisme epigenetik adalah bagian yang dibutuhkan dari asal muasal evolusi dari diferenisasi selular.[163] Meskipun epigenetik dalam organisme multiseluler umumnya merupakan mekanisme yang terlibat dalam diferenisasi, dengan susunan epigenetik "dihimpun ulang" saat organisme berreproduksi, terdapat beberapa pengamatan pewarisan epigentik transgenerasional. Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, perubahan non-genetik pada sebuah organisme dapat diwarisi dan ini mensugestikan bahwa pewarisan semacam itu dapat dibantu dengan adaptasi pada kondisi lokal dan memberikan dampak pada evolusi.[164][165] Beberapa orang menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, sebuah bentuk evolusi Lamarckian dapat terjadi.[166]
Teori metafisika Poin Omega buatan Pierre Teilhard de Chardin, yang ditemukan dalam bukunya The Phenomenon of Man (1955),[171] mendeskripsikan perkembangan bertahap dari alam semesta dari partikel subatomik sampai masyarakat manusia, yang ia pandang sebagai tahap dan tujuan akhirnya, sebuah bentuk ortogenesis.[172]
Hipotesis Gaia pertama kali dicetuskan oleh James Lovelock yang menyatakan bahwa makhluk hidup dan non-hidup di Bumi dapat dipandang sebagai sistem kompleks yang saling berinteraksi seperti halnya sebuah organisme.[173] Para pendukung hipotesis Gaia merasa bahwa gagasan Teilhard de Chardin merupakan gagasan yang terkait dengan gagasan Lovelock.[174]Lynn Margulis[175] dan yang lainnya juga memandang hipotesis Gaia sebagai perluasan konsep endosimbiosis dan eksosimbiosis.[176] Hipotesis semacam ini menyatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki efek pengaturan terhadap lingkungan Bumi yang mendorong kehidupan secara keseluruhan.
Pakar biologi matematika Stuart Kauffman menyatakan bahwa organisasi diri dapat memainkan peran-peran bersama dengan seleksi alam dalam tiga area biologi evolusi, yakni dinamika populasi, evolusi molekuler, dan morfogenesis.[154] Namun, Kauffman tak memberikan catatan peran esensial dari energi (contohnya, memakai pirofosfat) dalam laju reaksi biokimia pada sel, seperti yang diusulkan oleh Christian DeDuve dan dalam hal model matematika oleh Richard Bagley dan Walter Fontana. Sistem mereka bersifat katalisis diri namun bukanlah organisasi diri sederhana saat mereka menjadi sistem terbuka dari termodinamika yang berkaitan dengan input berkelanjutan dari energi.[177]
^Miller, James. "Daoism and Nature"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2008-12-16. Diakses tanggal 2014-10-26. "Notes for a lecture delivered to the Royal Asiatic Society, Shanghai on January 8, 2008"
^Simpson, David (2006). "Lucretius". Internet Encyclopedia of Philosophy. Martin, TN: University of Tennessee at Martin. OCLC37741658. Diakses tanggal 2014-10-26.
^Secord 2000, hlm. 515–518: "The centrality of Origin of Species in the rise of widespread evolutionary thinking has long been accepted by historians of science. However, some scholars have recently begun to challenge this idea. James A. Secord, in his study of the impact of Vestiges of the Natural History of Creation, argues that in some ways Vestiges had as much or more impact than Origin, at least into the 1880s. Focusing so much on Darwin and Origin, he argues, "obliterates decades of labor by teachers, theologians, technicians, printers, editors, and other researchers, whose work has made evolutionary debates so significant during the past two centuries."
^Ochiai, K.; Yamanaka, T.; Kimura, K.; Sawada, O. (1959). "Inheritance of drug resistance (and its transfer) between Shigella strains and Between Shigella and E.coli strains". Hihon Iji Shimpor (dalam bahasa Japanese). 1861: 34.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
St. Augustine (1982). The Literal Meaning of Genesis. Ancient Christian Writers. No. 41. Translated and annotated by John Hammond Taylor. New York: Newman Press. ISBN978-0-8091-0326-3. LCCN82061742. OCLC9264423. Translation of: De Genesi ad litteram
Bernstein, Harris; Bernstein, Carol; Michod, Richard E. (2012). "DNA Repair as the Primary Adaptive Function of Sex in Bacteria and Eukaryotes". Dalam Kimura, Sakura; Shimizu, Sora. DNA Repair: New Research. DNA and RNA: Properties and Modifications, Functions and Interactions, Recombination and Applications; Cell Biology Research Progress. New York: Nova Science Publishers. ISBN978-1-62100-808-8. LCCN2011038504. OCLC828424701.
Mayr, Ernst; Provine, William B., ed. (1998). The Evolutionary Synthesis: Perspectives on the Unification of Biology. New preface by Ernst Mayr. Cambridge, MA: Harvard University Press. ISBN978-0-674-27226-2. LCCN98157613. OCLC503188713.
Smocovitis, Vassiliki Betty (1996). Unifying Biology: The Evolutionary Synthesis and Evolutionary Biology. Journal of the History of Biology. 25. Princeton, NJ: Princeton University Press. hlm. 1–65. doi:10.1007/bf01947504. ISBN978-0-691-03343-3. LCCN96005605. OCLC34411399. PMID11623198.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Charles Darwin and Early Evolutionists writings on evolution before Charles Darwin, collected by Friedman Lab, Department of Organismic and Evolutionary Biology, Harvard University