Paleontologi
Paleontologi (Bahasa Inggris: Paleontology (/ˌpeɪliɒnˈtɒlədʒi, ˌpæli-, -ən-/), juga dapat dieja sebagai palaeontology[a] atau palæontology) adalah ilmu yang mempelajari kehidupan praaksara. Paleontologi mencakup studi fosil untuk menentukan evolusi suatu organisme dan interaksinya dengan organisme lain beserta lingkungannya (paleoekologi). Pengamatan paleontologi telah didokumentasikan sejak abad ke 5 sebelum masehi. Ilmu paleontologi berkembang pada abad ke-18 ketika Georges Cuvier melakukan penelitian anatomi komparatif, dan berkembang secara cepat pada abad ke 19. Istilah paleontologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, παλαιός, palaios, "tua, kuno", ὄν, on (gen. ontos), "makhluk hidup" dan λόγος, logos, "ucapan, pemikiran, ilmu".[1] Paleontologi merupakan ilmu yang sangat berkaitan dengan biologi dan geologi, tetapi berbeda dengan arkeologi karena paleontologi tidak memasukkan kebudayaan manusia modern di dalam studinya. Paleontologi kini mendayagunakan berbagai metode ilmiah dalam sains, mencakup biokimia, matematika, dan teknik. Penggunaan berbagai metode ini memungkinkan paleontolog untuk mengungkap sejarah evolusioner kehidupan, yaitu ketika bumi menjadi mampu mendukung terciptanya kehidupan, hampir 4 miliar tahun yang lalu.[2] Dengan pengetahuan yang terus meningkat, paleontologi kini memiliki subdivisi yang terspesialisasi, beberapa fokus pada jenis fosil tertentu, yang lain mempelajari sejarah lingkungan dalam paleoekologi, dan yang lain mempelajari iklim purba dalam paleoklimatologi. Fosil tubuh dan fosil jejak adalah jenis-jenis bukti utama mengenai kehidupan purbakala. Sementara itu, bukti geokimia membantu untuk mempelajari evolusi kehidupan sebelum organisme berevolusi cukup besar untuk meninggalkan fosil tubuh. Memperkirakan usai dari bukti-bukti tersebut merupakan hal yang penting, namun sulit: terkadang batu yang bersebalahan memungkinkan penanggalan radiometrik, yang memberi waktu absolut yang akurat hingga 0.5%, namun paleontolog lebih sering mengandalkan penanggalan relatif dengan menyusun dan memahami "potongan teka-teki gambar" dari biostratigrafi (susunan lapisan batuan dari yang paling muda hingga paling tua) setempat. Mengklasifikasikan organisme purba juga sulit, karena banyak dari mereka tidak cocok dengan baik pada metode Taksonomi Linnaeus, membuat paleontolog umumnya lebih sering menggunakan kladistika. Filogenetika molekuler belakangan ini juga digunakan untuk menentukan usia kapan suatu spesies muncul dan berpisah dengan membandingkan kesamaan DNA pada genom hewan. Namun ada kontroversi mengenai keandalan dari jam molekuler, karena estimasinya yang beragam. RingkasanDefinisi paling sederhana dari paleontologi adalah studi mengenai kehidupan kuno.[3] Cabang ilmu ini mencari informasi mengenai beberapa aspek organisme-organisme di masa lampau: "asal-usul dan identitasnya, lingkungan dan evolusinya, dan apa yang mereka dapat memberitahu kita mengenai masa lalu organik dan anorganik Bumi".[4] Ilmu sejarahWilliam Whewell (1794–1866) mengklasifikasikan paleontologi sebagai salah satu ilmu sejarah, bersamaan dengan arkeologi, geologi, astronomi, kosmologi, filologi dan sejarah itu sendiri:[5] Paleontologi bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena di masa lalu untuk merekontruksi penyebab-penyebabnya.[6] Oleh karena itu, ilmu ini memiliki tiga elemen utama: deskripsi fenomena-fenomena di masa lalu; mengembangkan sebuah teori umum mengenai penyebab berbagai jenis perubahan; dan mengaplikasikan teori-teori tersebut untuk suatu fakta yang spesifik.[7] Saat mencoba menjelaskan masa lalu, paleontolog dan ahli ilmu sejarah lainnya biasanya membangun satu atau lebih hipotesis mengenai penyebab-penyebabnya, lalu mencari sebuah "tembakan berasap" ("smoking gun"), yaitu sebuah bukti yang mendukung suatu hipotesis dengan kuat daripada hipotesis lainnya.[8] Terkadang, peneliti menemukan "tembakan berasap" ini secara keberuntungan yang tidak disengaha saat penelitian mengenai hal yang lain. Sebagai contoh, penemuan iridium, sebuah logam yang biasanya berasal dari luar Bumi, pada lapisan perbatasan Kapur-Paleogen oleh Luis dan Walter Alvarez pada 1980 membuat tumbukan asteroid menjadi penjelasan Peristiwa kepunahan Kapur–Paleogen yang paling disukai (meski masih terdapat debat yang berlangung mengenai kontribusi dari vulkanisme).[6] Sebuah pendekatan komplementer untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu sains percobaan,[9] disebut-sebut[oleh siapa?] bekerja dengan melaksanakan eksperimen untuk membantah hipotesis-hipotesis mengani cara kerja dan penyebab sebuah fenomena alami. Pendekatan ini tidak bisa membuktikan sebuah hipotesis, karena beberapa eksperimen yang dilakukan belakangan dapat membantahnya, namun penumpukan kegagalan untuk membantah biasanya dapat menjadi bukti kuat untuk mendukung suatu hipotesis yang lainnya. Namun, saat dihadapkan dengan fenomena yang sama sekali tidak terduga, seperti pada bukti pertama radiasi tak terlihat, ahli ilmu percobaan biasanya menggunakan pendekatan yang sama dengan ahli ilmu sejarah: membangun serangkaian hipotesis mengenai penyebab, lalu menjadi tembakan berasap-nya.[6] Ilmu yang berhubunganPaleontologi berada diantara biologi dan geologi karena ilmu ini berfokus kepada catatan mengenai kehidupan di masa lalu, namun sumber bukti utamanya adalah fosil pada bebatuan.[10][11] Karena alasan sejarah, paleontologi merupakan bagian dari departemen geologi pada banyak universitas: pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, departemen-departemen geologi menemukan kepentingan bukti fosil untuk menanggali bebatuan, sementara departemen-departemen biologi kurang tertarik.[12] <onlyinclude>
Paleontologi juga memiliki aspek yang bertumpang tindih dengan arkeologi, yang sebagian besar mempelajari dan bekerja dengan objek-objek yang dibuat oleh manusia dan dengan sisa-sisa manusia, sementara paleontologi tertarik mengnai karakteristik-karakteristik dan evolusi manusia sebagai sebuah spesies. Saat menangani bukti-bukti mengenai manusia, paleontolog dan arkeolog dapat bekerjasama. Sebagai contoh, paleontolog dapat mengidentifikasi fosil-fosil hewan atau tumbuhan disekitar sebuah situs arkeologi, untuk mengetahui orang-orang yang pernah hidup disana, dan apa yang mereka makan; atau mereka dapat menganalisa iklim pada waktu saat orang-orang disana pernah tinggal.[13] Selain itu, paleontologi biasa "meminjam" teknik-teknik atau keahlian dari bidang lainnya, termasuk biologi, osteologi, ekologi, kimia, fisika dan matematika.[14] Sebagai contoh, tanda geokimia pada bebatuan dapat membantu mengungkap kapan kehidupan pertamakali muncul di Bumi,[15] sementara analisis rasio isotop karbon dapat membantu mengidentifikasi perubahan iklim dan bahkan membantu menjelaskan transisi-transisi besar seperti Peristiwa kepunahan Perm–Trias.[16] Sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, filogenetika molekuler, membandingkan DNA dan RNA pada organisme moderen untuk merekonstruksi ulang pohon keluarga leluhur-leliuhur evolusioner mereka. Cabang itu juga telah digunakan untuk memperkirakan waktu letak perkembangan-perkembangan evolusioner penting terjadi, meski pendekatan ini kontroversial karena ketidakyakinan mengenai keandalan jam molekuler.[17] Teknik-teknik dari keinsinyuran juga telah digunakan untuk menganalisa bagaimana tubuh organisme kuno bekerja, seperti dalam memperkirakan kecepatan berlari dan kekuatan gigitan Tyrannosaurus,[18][19] atau mekanika terbang Microraptor.[20] Mempelajari detail-detail internal fosil menggunakan mikrotomografi sinar-X juga telah menjadi hal yang relatif lumrah pada paleontologi.[21][22] Paleontologi, biologi, arkeologi dan paleoneurobiologi bersatu untuk mempelajari cetakan endokranial spesies-spesies yang berkerabat dengan manusia untuk mengklarifikasi evolusi otak manusia.[23] Paleontologi bahkan juga berkontribusi untuk astrobiologi, yaitu ilmu yang mempelajari kemungkinan kehidupan untuk tinggal di planet lainnya, dengan cara mengembangkan model mengenai bagaimana kehidupan dapat muncul dan dengan memberi teknik-teknik untuk mendeteksi bukti kehidupan.[24] SubdivisiSeiring waktu, paleontologi telah berkembang menjadi beberapa subdivisi yang terspesialisasi.[25] Paleontologi vertebrata berfokus pada fosil-fosil dari ikan terawal sampai leluhur mamalia moderen. Paleontologi invertebrata menangani fosil-fosil seperti moluska, artropoda, cacing annelida dan echinodermata. Paleobotani mempelajari fosil-fosil tumbuhan, alga dan jamur. Palinologi, studi mengenai serbuk sari dan spora yang dihasilkan oleh tumbuhan darat dan protista, meliputi paleontologi dan botani, karena cabang ini menangani organisme hidup dan juga fosil. Mikropaleontologi mempelajari segala jenis organisme fosil mikroskopis.[26] Alih-alih berfokus pada organisme-organisme individual, paleoekologi mempelajari hubungan-hubungan antara organisme-organisme kuno yang berbeda, seperti mempelajari rantai makanan mereka, dan hubungan dua-jalur antara mereka dan lingkungan mereka.[27] Sebagai contoh, perkembangan fotosintesis oksigenik pada bakteri menyebabkan oksigenasi atmosfer dan meningkatkan produktifitas dan keanekaragaman ekosistem secara drastis.[28] Secara bersamaan, hal-hal tersebut mengarah ke evolusi sel-sel eukaryotik kompleks, yang nantinya akan melahirkan semua organi sme multisel yang akan datang.[29] Paleoklimatologi, meski terkadang dianggap sebagai bagian dari paleoekologi,[26] lebih berfokus kepada sejarah iklim Bumi dan mekanisme-mekanisme yang telah mengubahnya[30] – yang terkadang mencakup perkembangan evolusioner, seperti pada saat penyebaran cepat tumbuhan daratan pada periode Devon mengambil lebih banyak karbon dioksida dari atmosfer, mengurangi gas rumah kaca dan akhirnya mengarah ke peristiwa zaman es pada periode Karbon[31] Biostratigrafi, penggunaan fosil untuk mengurutkan waktu kronologis pembentukan batuan, sangat berguna untuk paleontolog dan geolog.[32] Biogeografi juga berhubungan dengan geologi, dan mempelajari distribusi spasial organisme dan menjelaskan bagaimana geografi Bumi telah berubah seiring waktu. Sumber buktiFosil tubuhFosil-fosil tubuh organisme biasanya menjadi jenis bukti yang paling informatif. Salah satu jenis fosil yang paling sering dijumpai adalah fosil kayu, tulang, dan cangkang.[33] Fosilisasi adalah sebuah peristiwa yang langka, dan kebanyakan fosil telah hancur karena erosi atau metamorfisme sebelum mereka ditemukan dan digali oleh ilmuwan. Oleh karena itu catatan fosil sangat tidak lengkap. Semakin jauh mengintip ke masa lampau, semakin tak lengkap pula catatan fosilnya. Meski begitu, catatan fosil biasanya cukup untuk mengilustrasikan pola-pola sejarah kehidupan secar luas.[34] Catatan fosil juga memiliki beberapa bisa: lingkungan-lingkungan yang berbeda yang dapat lebih sesuai untuk proses pengawetan berbagai jenis organisme atau bagian-bagian tubuh organisme.[35] Selain itu, bagian organisme yang terawetkan biasanya adalah bagian-bagian yang termineralisasi, seperti cangkang moluska atau tulang. Karena kebanyakan spesies hewan memiliki tubuh halus, mereka sudah hancur dan membusuk sebelum terfosilisasi. Oleh karena itu, meski sekarang terdapat lebih dari 30 filum hewan yang masih hidup, dua pertiganya tidak pernah ditemukan fosilnya.[36] Terkadang, kondisi-kondisi lingkungan yang tak biasa dapat mengawetkan jaringan lunak.[37] Lagerstätte (jamak: lagerstätten) ini memungkinkan paleontolog untuk mempelajari anatomi dalam hewan, yang pada sedimen lain hanya diwakili oleh cangkang, rusuk, cakar, atau lainnya (itupun kalau hewan tersebut terawetkan sama sekali). Meski begitu, bahkan lagerstätten sekalipun mewakili sebuah potret kehidupan yang tidak lengkap pada masa itu. Kebanyakan organisme yang hidup pada masa waktu itu barangkali tidak terwakili karena lagerstätten hanya terbatas pada segelintir jenis lingkungan, seperti pada saat organisme-organisme bertubuh lunak dapat terawetkan dengan cepat karena peristiwa-peristiwa seperti longsor lumpur; dan peristiwa-peristiwa istimewa yang menyebabkan penguburan dengan cepat, yang menyulitkan peneliti untuk mempelajari lingkungan asli hewan disana hidup.[38] Kurangnya catatan fosil berarti organisme-organisme diharapkan untuk telah hidup jauh sebelum dan setelah mereka ditemukan di catatan fosil – suatu hal yang dikenal sebagai Efek Signor–Lipps.[39] Fosil jejakFosil jejak sebagian besar terdiri dari jejak kaki dan galian, namun juga mencakup koprolit (fosil tinja) dan tanda-tanda bekas makan.[33][40] Fosil jejak signifikan terkhususnya karena mereka mewakili sebuah sumber data yang tidak terbatas pada hewan dengan bagian-bagian keras termineralisasi yang mudah terfosilisasi, dan mereka mewakili perilaku suatu organisme. Selain itu, kebanyakan fosil jejak berasal dari waktu yang jauh lebih awal daripada fosil tubuh hewan-hewan yang dianggap telah mampu untuk menghasilkannya.[41] Meski mencocokan sebuah fosil jejak kepada pembuatnya tidak mungkin, fosil jejak, contohnya, dapat menyediakan bukti fisik terawal kemunculan hewan yang lumayan kompleks (setara dengan cacing tanah).[40] Pengamatan geokimiaPengamatan-pengamatan geokimia dapat membantu menentukan tingkat aktifitas biologis dalam skala global pada suatu periode, atau afinitas fosil-fosil tertentu. Sebagai contoh, ciri geokimiawi batuan dapat mengungkap kapan kehidupan pertamakali muncul di Bumi,[42] dan dapat memberi bukti keberadaan sel-sel eukaryota, yang nantinya akan mengarah ke semua organisme multisel.[43] Analisis perbandingan isotop karbon dapat membantu menjelaskan transisi-transisi besar pada sejarah Bumi, seperti pada Peristiwa kepunahan Perm–Trias.[44]
Mengklasifikasikan organisme kunoPenamaan kelompok-kelompok organisme dengan cara yang jelas dan disetujui dengan luas adalah perihal yang penting, karena beberapa pertentangan pada paleontologi telah didasari hanya pada kesalahpahaman penamaan organisme.[45] Taksonomi Linnaeus umumnya digunakan untuk mengklasifikasikan organisme hidup, namun mengalami kesulitan saat menangani organisme-organisme yang baru ditemukan yang sangat berbeda dengan organisme-organisme lainnya yang sudah diketahui. Sebagai contoh: sulit untuk memutuskan tingkat apa pengelompokan tingkat yang lebih tinggi akan ditempatkan (seperti genus, famili atau ordo). Hal ini penting karena peraturan Linnaeus untuk menamai kelompok terhubung dengan peringkat mereka, oleh karena itu bila suatu kelompok dipindahkan ke tingkat yang berbeda, maka kelompok tersebut harus dinamai ulang.[46] Paleontolog biasanya menggunakan pendekatan bedasarkan kladistika, yaitu sebuah cara untuk mencari tahu suatu pohon keluarga evolusioner serangkaian organisme.[45] Kladistika bekerja bedasarkan logika bahwa bila kelompok B dan C memiliki lebih banyak kemiripan dengan satu sama lain ketimbang dengan kelompok A, maka B dan C berkerabat lebih dekat dengan satu sama lain ketimbang dengan A. Ciri yang dibandingkan dapat bersifat anatomis, seperti adanya notokorda, atau molekuler, yaitu dengan cara membandingkan deretan rangkaian DNA atau protein. Hasil dari sebuah analisis kladistika yang berhasil adalah sebuah hirarki klad – kelompok-kelompok dengan satu leluhur bersama. Idealnya, suatu pohon keluarga hanya memiliki dua cabang dari satu titik ("persimpangan"), namun terkadang hanya terdapat sangat sedikit informasi untuk mencapai hal ini, dan para paleontolog harus puas dengan persimpangan dengan lebih dari dua cabang. Teknik kladistika terkadang dapat keliru, karena beberapa ciri, seperti sayap atau mata kamera, berevolusi lebih dari sekali secara konvergen. Hal ini harus dipertimbangkan saat melaksanakan analisis.[47]
Ciri berdarah panas berevolusi disekitar transisi syinapsida ke mamalia. ? Ciri berdarah panas juga harus berevolusi pada Biologi perkembangan evolusioner, biasanya disingkat sebagai evo-devo, juga membantuk paleontolog untuk menghasilkan pohon keluarga organisme kuno dan memahami fosil.[48] Contohnya, perkembangan embrio pada beberapa brakiopoda moderen menyarankan bahwa kelompok hewan ini kemungkinan merupakan keturunan dari hewan halkieriid, yang punah pada periode Kambrium.[49] Menentukan penanggalan organisme kunoPaleontologi bertujuan untuk memetakan bagaimana kehidupan berubah seiring waktu. Salah satu halangan substansial pada hal ini adalah kesulitan untuk menentukan seberapa tua suatu fosil. Lapisan batuan yang mengawetkan fosil-fosil biasanya tidak memiliki elemen-elemen radioaktif yang dibutuhkan untuk melaksanakan penanggalan radiokarbon. Teknik ini adalah satu-satunya cara paleontolog untuk memberi batuan yang usianya lebih tua dari 50 juta tahun sebuah umur absolut, dan memiliki keakuratan sampai sekitar 0.5% atau lebih baik.[50] Meski penanggalan radiometrik membutuhkan pekerjaan di laboratorium dengan penuh kehati-hatian, prinsip dasarnya sederhana: laju meluruhnya elemen radioaktif telah diketahui, maka perbandingan elemen radioaktif dengan elemen yang merupakan hasil dari peluruhan elemen radioaktif tersebut menunjukkan seberapa lama yang lalu elemen radioaktif tersebut masuk kedalam batuan. Elemen radioaktif biasanya digunakan hanya pada batuan dengan asal-usul vulkanik, sehingga bebatuan penyandang fosil yang hanya dapat ditanggali secara radiometrik hanyalah segelintir lapisan abu vulkanik.[50] Oleh karena itu, paleontolog biasanya harus mengandalkan stratigrafi untuk menanggali fosil. Stratigrafi adalah ilmu yang mengartikan catatan sedimen mirip lapisan kue, dan telah dibandingkan dengan menyelesaikan teka teki gambar.[51] Bebatuan biasanya membentuk lapisan yang relatif horizontal, dengan tiap lapisan yang terbentuk, lebih muda daripada yang ada dibawahnya. Bila sebuah fosil ditemukan diantara dua lapisan dengan umur yang telah diektahui, maka umur dari fosil tersebut seharusnya berada diantara dua umur yang telah diketahui.[52] Perisphinctes
tiziani Paradoxides pinus
Neptunea tabulata
Venericardia
planicosta Inoceramus
labiatus Nerinea trinodosa
Parafusulina
bosei Palmatolepus
unicornis Tetragraptus fructicosus
Hubungan pohon keluarga dapat juga membantu mempersempit tanggal suatu garis keturunan muncul. Contohnya, bila fosil-fosil B atau C berasal dari X juta tahun lalu dan pohon-keluarga yang dihitung mengatakan A adalah leluhur B dan C, maka A seharusnya berevolusi lebih dari X juta tahun lalu. Juga mungkin untuk memperkirakan seberapa lama yang lalu dua klad hidup terpisah – i.e. kurang lebih seberapa lama lalu leluhur bersama terakhir mereka hidup – dengan menganggap bahwa mutasi DNA terakumulasi pada laju yang konstan. Namun hal ini, yang dikenal sebagai teknik jam molekuler, bisa salah, dan hanya memberi penentuan waktu dengan perkiraan yang tinggi: contohnya, mereka tidak cukup akurat dan dapat diandalkan untuk menentukan kapan kelompok-kelompok yang muncul pada Letusan Kambrium muncul,[55] dan perkiraan yang dihasilkan oleh teknik-teknik yang berbeda dapat bervariasi sampai dua kali lipat.[56] Catatan kaki
Referensi
Pranala luar |