Selama terdapat keyakinan dalam eksistensi bekelanjutan pribadi manusia melalui dan setelah kematian di dunia ini, agama secara alamiah menarik hubungan antara orang-orang yang masih hidup di dunia ini dan yang telah meninggal dunia. Dan selama terdapat gagasan mengenai suatu penghakiman di masa mendatang atau Kebangkitan orang mati ataupun Purgatorium, sering kali dipersembahkan doa atau sembahyang kepada Allah demi kepentingan orang yang telah wafat.
Doa bagi orang yang telah wafat merupakan bagian dari ibadah Yahudi. Doa-doa yang dipersembahkan bagi almarhum(ah) itu terdiri dari: Pembacaan Mazmur; pembacaan suatu doa komunal tiga kali sehari dalam bahasa Aram yang dikenal sebagai Kaddish. Kaddish sebenarnya berarti "Penyucian" atau "Pengudusan" (atau "Doa untuk Menjadikan Suci") yang merupakan suatu doa "Dalam Pujian akan Allah"; atau kenangan-kenangan khusus lainnya yang dikenal sebagai Yizkor; dan juga suatu Hazkara yang didaraskan dalam peringatan tahunan yang dikenal sebagai Yahrzeit sebagaimana dalam hari-hari raya Yahudi.
Ujud yang digunakan di Inggris berisi kutipan berikut: "Kasihanilah dia; ampuni segala pelanggarannya ... Lindungi jiwanya dalam naungan sayap-Mu. Perlihatkan padanya jalan kehidupan."
El Maleh Rachamim adalah doa Yahudi sebenarnya yang dimaksudkan bagi orang yang telah wafat, kendati kurang dikenal dibandingkan dengan Kaddish Orang yang Berkabung. Kaddish tidak menyebutkan kematian melainkan lebih kepada penegasan iman yang teguh dari orang-orang yang berkabung akan kebaikan Allah, sementara El Maleh Rachamim merupakan suatu doa yang dimaksudkan bagi semua orang yang telah wafat. Terdapat beragam terjemahan teks aslinya dalam bahasa Ibrani yang cukup berbeda secara signifikan. Salah satu versi bertuliskan:
Allah, yang penuh belas kasih, yang mendiami ketinggian langit, berikan istirahat yang layak di bawah sayap Shekinah-Mu, di tengah barisan yang suci dan murni, sinarilah seperti gemerlap langit jiwa-jiwa mereka yang kami cintai dan mereka yang tak bersalah yang pergi menuju tempat peristirahatan abadi mereka. Semoga Engkau yang adalah sumber belas kasih melindungi mereka selamanya di bawah sayap-Mu, dan mengikat jiwa mereka di antara yang hidup, sehingga mereka dapat beristirahat dalam damai. Dan mari kita katakan: Amin.
Astaga, pada tiap-tiap orang yang mati itu mereka temukan di bawah jubahnya sebuah jimat dari berhala-berhala kota Yamnia. Dan ini dilarang bagi orang-orang Yahudi oleh hukum Taurat. Maka menjadi jelaslah bagi semua orang mengapa orang-orang itu gugur. Lalu semua memuliakan tindakan Tuhan, Hakim yang adil, yang menyatakan apa yang tersembunyi. Merekapun lalu mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya. Tetapi Yudas yang berbudi luhur memperingatkan khalayak ramai, supaya memelihara diri tanpa dosa, justru oleh karena telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri apa yang sudah terjadi oleh sebab dosa orang-orang yang gugur itu. Kemudian dikumpulkannya uang di tengah-tengah pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka.[1]
Jacques Le Goff, seorang agnostik dan sejarawan berdarah Prancis, mengatakan bahwa, "pada masa Yudas Makabe—sekitar tahun 170 SM, suatu periode inovatif yang mengejutkan—doa bagi orang yang telah wafat tidak dipraktikkan, namun seabad kemudian dipraktikkan oleh orang-orang Yahudi tertentu."[2]
Petikan tersebut tidak menjelaskan alasan yang mendasari argumen Le Goff bahwa doa bagi orang yang telah wafat tidak digunakan pada paruh pertama abad ke-2 SM. Laporan mengenai perbuatan Yudas Makabe ditulis pada pertengahan paruh kedua abad yang sama, sekitar tahun 124 SM,[3] dan menurut pandangan Philip Schaff penyebutan doa bagi orang yang telah wafat "tampaknya menyiratkan kebiasaan".[4]
Kekristenan
Perjanjian Baru
Suatu perikop dalam Perjanjian Baru yang mungkin mengacu pada suatu doa bagi orang yang telah wafat ditemukan dalam 2 Timotius 1:16-18, yang tertulis sebagai berikut:
"Tuhan kiranya mengaruniakan rahmat-Nya kepada keluarga Onesiforus yang telah berulang-ulang menyegarkan hatiku. Ia tidak malu menjumpai aku di dalam penjara. Ketika di Roma, ia berusaha mencari aku dan sudah juga menemui aku. Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya pada hari-Nya. Betapa banyaknya pelayanan yang ia lakukan di Efesus engkau lebih mengetahuinya dari padaku."
Sebagaimana halnya ayat-ayat dari 2 Makabe, ayat-ayat tersebut mengacu pada doa-doa yang akan membantu almarhum "pada hari-Nya" (mungkin Hari Penghakiman, lihat pula akhir zaman). Tidak disebutkan bahwa Onesiforus, yang didoakan oleh Rasul Paulus, telah meninggal dunia, meskipun sejumlah akademisi menyimpulkan demikian, didasarkan pada cara Paulus menyebutnya dalam bentuk lampau, dan memberi berkat kepada keluarganya dalam bentuk waktu sekarang, tetapi baginya hanya "pada hari-Nya". Dan menjelang akhir surat yang sama, dalam 2 Timotius 4:19, Paulus memberi salam kepada "Priska dan Akwila dan kepada keluarga Onesiforus", membedakan keadaan Onesiforus dari Priska dan Akwila.
Tradisi
Doa bagi orang yang telah wafat terdokumentasi dengan baik di dalam tulisan-tulisan Kekristenan awal, baik di antara para Bapa Gereja yang terkemuka maupun komunitas Kristen pada umumnya. Dalam Ortodoksi Timur, umat Kristen berdoa bagi "jiwa-jiwa yang telah berpulang dengan iman, namun tanpa sempat menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan".[5] Dalam Gereja Katolik, bantuan yang diterima oleh orang yang telah wafat melalui doa untuk kepentingan mereka berkaitan dengan proses pemurnian yang dikenal sebagai purgatorium (api penyucian).[6][7] Doa bagi orang yang telah wafat terus berlanjut dalam tradisi-tradisi tersebut dan juga Ortodoksi Oriental maupun Gereja Asiria dari Timur, sementara banyak kelompok Protestan menolak praktik ini.
Makam seorang Kristen yang bernama Aberkius dari Hieropolis di Frigia (akhir abad ke-2) mengandung inskripsi yang bertuliskan: "Biarlah setiap kawan yang melihat ini berdoa untuk saya", yaitu Aberkius yang melaluinya berbicara sebagai orang pertama.
Inskripsi-inskripsi dalam berbagai katakomba Romawi memperlihatkan hal serupa mengenai praktik ini, dengan adanya frasa-frasa seperti:
Kiranya engkau hidup di antara para kudus (abad ke-3);
Semoga Allah menyegarkan jiwa ...;
Damai sejahtera bagi mereka..
Di antara para penulis Gereja, Tertulianus († 230) adalah penulis pertama yang menyebutkan doa-doa untuk orang yang telah meninggal dunia: "Janda yang tidak berdoa untuk suaminya yang wafat sama seperti menceraikannya". Petikan itu ditemukan dalam salah satu tulisannya di kemudian hari, yang berasal dari awal abad ke-3. Demikian pula penulis-penulis selanjutnya menyebutkan praktik tersebut sebagai hal yang lazim, tidak melanggar hukum atau bahkan diperdebatkan (sampai Arius menentangnya menjelang akhir abad ke-4). Contoh yang paling terkenal adalah doa Santo Agustinus bagi ibunya, Monika, pada bagian akhir buku Pengakuan-Pengakuan karyanya yang ditulis sekitar tahun 398.
Salah satu elemen penting dalam liturgi Kristen baik dalam Kekristenan Timur maupun Barat yaitu diptik, atau daftar nama orang yang masih hidup dan telah wafat yang diperingati saat perayaan Ekaristi. Pencantuman dalam daftar itu merupakan penegasan akan ortodoksi seseorang, dan praktik tersebut kelak menjadi bagian dari proses kanonisasi resmi orang-orang kudus; di sisi lain, penghapusan suatu nama merupakan kecaman atas pelanggaran berat hukum gereja.
Pada pertengahan abad ke-3, St. Siprianus menyampaikan bahwa seharusnya tidak perlu ada persembahan khusus ataupun doa publik bagi seorang almarhum(ah) umat awam yang telah melanggar aturan Gereja dengan menunjuk seorang pamong imam: "Ia seharusnya tidak disebutkan namanya dalam doa para imam, [karena] ia telah membuat imam menjauh dari altar."
Meskipun tidak mungkin, sebagai patokan, untuk menarikhkan kata-kata tepat yang digunakan dalam liturgi-liturgi kuno, namun kemunculan secara universal diptik-diptik tersebut dan doa-doa definitif bagi orang yang telah wafat dalam semua bagian Gereja Kristen, Timur dan Barat, pada abad ke-4 dan ke-5 menunjukkan kekunoan doa-doa semacam itu. Bahasa yang digunakan dalam doa-doa bagi orang yang telah berpulang memohon istirahat dan pembebasan dari rasa sakit dan dukacita. Suatu bagian dari Liturgi St. Yakobus berbunyi:
Ingatlah, ya Tuhan, Allah dari roh-roh dan segala badan, mereka yang kami ingat maupun mereka yang tidak kami ingat, orang-orang dari iman sejati, dari Habel yang benar sampai dengan hari ini. Berilah mereka istirahat di negeri orang hidup, dalam kegembiraan Firdaus, dalam pangkuan Abraham, Ishak dan Yakub, para bapa suci kami, dari mana rasa sakit dan dukacita serta kelah kesah dilenyapkan, tempat cahaya wajah-Mu menghampiri mereka dan senantiasa bersinar atas mereka.
Doa-doa publik hanya dipersembahkan bagi orang-orang yang diyakini telah wafat sebagai anggota-anggota setia Gereja. Namun, Santa Perpetua, yang wafat sebagai martir pada tahun 202, meyakini bahwa dirinya didorong oleh suatu penglihatan untuk mendoakan saudaranya, yang telah wafat saat berusia 8 tahun, yang hampir pasti belum dibaptis; dan suatu penglihatan kemudian meyakinkannya bahwa doanya telah dijawab dan saudaranya itu telah dibebaskan dari hukuman. St. Agustinus merasa perlu untuk menegaskan bahwa narasi itu bukan merupakan Kitab Suci kanonik, dan menyatakan bahwa anak tersebut mungkin telah dibaptis.
Kekristenan Timur
Teologi
Gereja Ortodoks Timur dan Oriental meyakini adanya perubahan situasi pada jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia melalui doa-doa orang yang masih hidup di dunia, serta menolak istilah "purgatorium". Doa bagi mereka yang telah meninggal dunia didorong oleh keyakinan bahwa hal tersebut bermanfaat bagi mereka, kendati bagaimana doa-doa kaum beriman membantu mereka yang telah berpulang tidak didefinisikan. Ortodoks Timur sekadar meyakini bahwa tradisi mengajarkan kalau doa-doa perlu dipersembahkan bagi orang-orang yang meninggal dunia.[8][9]
Santo Basilius Agung († 379), seorang kudus dari Kekristenan yang tak terbagi, menulis dalam karyanya yang dikenal sebagai Doa Berlutut Ketiga saat Pentakosta: "Ya Kristus Allah kami...(yang) saat Pesta yang sempurna seluruhnya dan menyelamatkan ini bermurah hati menerima doa-doa pendamaian bagi mereka yang tertawan dalam hades, menjanjikan kepada kami yang terbelenggu harapan besar akan pembebasan dari kehinaan yang menghalangi kami dan menghalangi mereka ... turunkanlah penghiburan-Mu... dan buatlah jiwa mereka berada dalam kediaman Yang Adil; serta bermurah hatilah menganugerahkan mereka damai dan ampunan; karena bukan yang mati yang memuji-Mu, ya Tuhan, bukan juga mereka yang berada dalam Neraka yang berani mengajukan pengakuan kepada-Mu. Namun kami yang hidup memohon kepada-Mu, dan berdoa, serta mempersembahkan kepada-Mu doa-doa pendamaian dan kurban-kurban bagi jiwa mereka."[10]
Santo Gregorius Dialogus († 604) dalam karyanya yang terkenal dengan judul Dialog-Dialog (ditulis tahun 593) mengajarkan bahwa, "Kurban Suci (Ekaristi) Kristus, Korban yang menyelamatkan kita, mendatangkan manfaat besar bagi jiwa-jiwa bahkan setelah kematian, jika dosa-dosa mereka (termasuk yang) dapat diampuni dalam kehidupan yang akan datang."[11] Namun, St. Gregorius melanjutkan dengan mengatakan kalau praktik Gereja mendoakan orang yang telah wafat bukan alasan untuk menjalani kehidupan yang tidak benar di bumi. "Cara yang lebih aman, secara alamiah, adalah melakukannya bagi diri kita sendiri sepanjang hidup apa yang kita harapkan akan orang lain lakukan bagi kita setelah kematian."[12] Pastor Seraphim Rose († 1982) mengatakan, "doa Gereja tidak dapat menyelamatkan siapa pun yang tidak mengharapkan keselamatan, ataupun [mereka] yang tidak pernah mempersembahkan perjuangan apa pun untuk hal itu sepanjang hidupnya."[13]
Praksis Ortodoks Timur
Doa-doa bagi mereka yang berpulang dimaksudkan demi kedamaian abadi mereka yang berpulang, menghibur yang masih hidup di dunia ini, dan mengingatkan mereka yang masih hidup dalam kefanaan. Karena alasan itu, ibadat memorial memiliki nuansa penitensi.[14]
Doa-doa Gereja bagi yang telah wafat dimulai pada saat ajal, ketika imam memimpin Doa-Doa pada Keberangkatan Jiwa, yang terdiri dari suatu Kanon dan doa-doa untuk pembebasan jiwa. Kemudian jenazah dimandikan, dikenakan pakaian, dan dibaringkan di peti jenazah, setelah itu imam memulai Panikida Pertama (ibadah doa bagi yang berpulang). Setelah Panikida Pertama, kerabat dan teman-teman almarhum(ah) mulai mendaraskan Mazmur dengan lantang di sisi peti jenazah. Pendarasan tersebut berlanjut keesokan pagi, yang umumnya adalah waktu diselenggarakannya pemakaman, hingga saat ortros.
Umat Kristen Ortodoks mempersembahkan doa-doa khusus secara khusyuk bagi mereka yang meninggal dunia sepanjang 40 hari setelah berpulangnya. Menurut tradisi, selain ibadat saat hari wafatnya, ibadat memorial dilaksanakan atas permintaan kerabat almarhum(ah) pada kesempatan-kesempatan berikut:
Peringatan ketiga (tiga tahun) (sebagian meminta ibadat memorial saat peringatan wafatnya)
Selain Panikida untuk individu, terdapat juga beberapa hari sepanjang tahun yang ditetapkan sebagai peringatan umum secara khusus bagi mereka yang telah wafat, saat semua mendiang Kristen Ortodoks didoakan bersama-sama (hal ini terutama bermanfaat bagi mereka yang tidak memiliki seorang pun di dunia ini yang mendoakannya). Kebanyakan peringatan umum tersebut jatuh pada hari-hari "Sabtu Arwah" sepanjang tahun (sebagian besar selama Prapaskah Agung). Pada hari-hari tersebut, selain Panikida, terdapat penambahan khusus pada Vesper dan Matutinum, serta terdapat tambahan proprium bagi para mendiang pada Liturgi Ilahi. Hari-hari peringatan umum tersebut yaitu:
Sabtu kedua sebelum Prapaskah Agung (dua hari Sabtu sebelum Masa Prapaskah Agung dimulai)—dalam beberapa tradisi keluarga dan teman-teman mempersembahkan Panikida bagi orang-orang yang mereka cintai selama minggu tersebut, yang berpuncak saat peringatan umum pada hari Sabtu
Sabtu sebelum Pentakosta—dalam beberapa tradisi keluarga dan teman-teman mempersembahkan Panikida bagi orang-orang yang mereka cintai selama minggu tersebut, yang berpuncak saat peringatan umum pada hari Sabtu
Wujud terpenting doa untuk mereka yang telah wafat terdapat dalam Liturgi Ilahi. Prosphoron dipotong-potong saat Proskomedia pada awal Liturgi. Partikel-partikel hasil pemotongan tersebut ditempatkan di balik Anak Domba (Hosti) pada diskos, dan tetap di sana sepanjang Liturgi. Setelah umat menerima Komuni, diakon menuang partikel-partikel tersebut ke dalam piala sambil mengatakan, "Bersihkanlah, ya Tuhan, dosa-dosa semua orang yang hadir dalam peringatan ini, oleh Darah-Mu Yang Berharga, melalui doa-doa semua orang kudus-Mu." Mengenai tindakan itu, Santo Markus dari Efesus mengatakan, "Kita tidak dapat melakukan apa pun yang lebih baik atau lebih besar bagi orang-orang yang telah wafat selain berdoa bagi mereka, mempersembahkan peringatan untuk mereka dalam Liturgi. Mereka selalu membutuhkan hal ini... Tubuh tidak lagi merasakan apa-apa: tidak melihat orang-orang terdekatnya yang berhimpun, tidak membaui wangi bunga-bunga, tidak mendengar orasi-orasi saat pemakaman. Tetapi jiwa merasakan doa-doa yang dipersembahkan baginya serta berterima kasih kepada mereka yang melakukannya dan secara rohani dekat dengan mereka.[16]
Pada umumnya, kandidat-kandidat santo maupun santa, sebelum Glorifikasi (Kanonisasi) mereka sebagai orang kudus, akan diperingati dengan beberapa ibadah Panikida. Kemudian, pada malam Glorifikasi mereka akan dilangsungkan suatu Requiem khusus, yang dikenal sebagai "Panikida Terakhir".
Gereja Katolik Roma
Di Barat, terdapat cukup bukti mengenai kebiasaan berdoa bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dalam inskripsi-inskripsi yang ditemukan pada berbagai katakomba, dengan doa-doa yang dengan setia didaraskan demi kedamaian dan kesegaran jiwa-jiwa mereka yang telah berpulang, dan dalam liturgi-liturgi awal, yang biasanya berisikan peringatan atau pengenangan atas mereka yang telah meninggal dunia. Tertulianus, Siprianus, dan para Bapa Gereja awal yang lain bersaksi mengenai praktik mendoakan orang-orang yang telah meninggal dunia di antara kalangan Kristen awal.[17]
Bagaimanapun, dalam kasus orang-orang Kristen yang wafat sebagai martir, dirasa tidak patut berdoa "bagi" para martir, karena mereka diyakini tidak membutuhkan doa-doa tersebut, mereka telah langsung menerima Visiun BeatifisSurga. Secara teoretis, doa bagi mereka yang berada dalam neraka (dipahami sebagai kediaman ataupun keadaan orang-orang yang hilang selamanya) akan sia-sia, tetapi karena dipahami bahwa tidak ada kepastian kalau orang tertentu berada dalam neraka, maka doa-doa dipersembahkan bagi semua orang yang telah wafat. Dengan pengecualian bahwa ada orang-orang yang diyakini telah berada dalam surga, sehingga doa-doa tidak ditujukan bagi mereka dan mereka adalah sebagai perantara doa. Karenanya, doa-doa dipersembahkan bagi semua orang yang berada dalam Hades (Sheol; dunia orang mati), tempat perhentian mereka yang telah meninggal dunia yang tidak diketahui apakah telah berada dalam surga, yang kadang-kadang diterjemahkan sebagai "neraka".[18] Seiring dengan perkembangan doktrin purgatorium, para mendiang yang didoakan dikatakan berada dalam purgatorium dan mereka disebut sebagai "jiwa-jiwa kudus" (holy souls, atau jiwa orang jujur), mengingat adanya kepastian bahwa mereka akan berada dalam surga melalui proses pemurnian/penyucian dan bantuan doa-doa umat beriman.
Terdapat batasan-batasan tertentu mengenai persembahan publik dalam Misa bagi mereka yang belum dibaptis, umat non-Katolik, dan orang-orang yang dikenal sebagai pelaku kejahatan atau dosa, tetapi doa dan bahkan Misa individual dapat dipersembahkan bagi mereka. Kitab Hukum Kanonik 1983 dari Gereja Katolik menyatakan bahwa, jika tidak terdapat tanda-tanda penyesalan sebelum meninggal dunia maka tidak dapat dipersembahkan Misa pemakaman dalam bentuk apapun bagi orang-orang yang jelas-jelas murtad, bidat, dan skismatik, bagi mereka yang meminta dikremasi menurut alasan yang bertentangan dengan iman Kristen, dan bagi mereka yang jelas berdosa yang tidak dapat diberikan pemakaman Gereja tanpa menyebabkan skandal publik bagi umat beriman.[19] (Kan. 1183-1185)
Di sisi lain, "orang-orang dibaptis yang termasuk pada suatu Gereja ataupun persekutuan gerejawi non-katolik, dapat diberi pemakaman gerejawi menurut penilaian arif Ordinaris setempat, kecuali nyata kehendak mereka yang berlawanan, dan asalkan pelayan mereka sendiri tidak tersedia."[20]
Pada tanggal 10 Agustus 1915, Paus Benediktus XV mengizinkan semua imam di mana saja untuk mempersembahkan Misa tiga kali saat Hari Arwah selama Perang Dunia I. Kedua Misa tambahan bukan dimaksudkan untuk keuntungan imam itu: satu Misa dipersembahkan bagi semua semua umat beriman yang berpulang, satu lainnya bagi intensi Paus, yang dikatakan bahwa saat itu intensinya ditujukan bagi semua korban perang. Izin tersebut masih berlaku.
Buku Doa Umum 1549 dari Gereja Inggris memuat doa bagi orang yang telah meninggal dunia (sebagaimana dalam Layanan Komuni): "Kami memercayakan ke dalam belas kasih-Mu semua hamba-Mu yang lain, yang karenanya berpulang dari kami dengan tanda keimanan dan sekarang beristirahat dalam tidur kedamaian: kami mohon kepada-Mu, anugerahkanlah mereka belas kasih-Mu dan kedamaian abadi." Tetapi, sejak tahun 1552, Buku Doa Umum tidak lagi mencantumkan doa-doa bagi mereka yang telah meninggal dunia, dan praktik ini dikecam dalam Homili "Tentang Doa" (bagian 3).[21] Kalangan nonjuro memasukkan doa-doa bagi mereka yang telah wafat, suatu praktik yang menyebar di dalam Gereja Inggris pada pertengahan abad ke-19, dan diotorisasi pada tahun 1900 bagi pasukan-pasukan yang bertugas di Afrika Selatan dan sejak saat itu terdapat dalam bentuk-bentuk lain ibadah. Banyak yurisdiksi dan paroki dengan tradisi Anglo-Katolik yang terus mempraktikkan doa-doa bagi orang yang telah wafat, termasuk mempersembahkan liturgi hari Minggu bagi kedamaian umat Kristen yang telah wafat dan mempertahankan Hari Arwah.
Buku Doa Umum 1979 Gereja Episkopal memuat doa-doa untuk orang yang telah meninggal dunia. Doa-doa saat Liturgi Ekaristi Minggu meliputi doa-doa perantaraan demi istirahat umat beriman yang telah berpulang. Selain itu, kebanyakan doa dalam ritus penguburan dimaksudkan bagi almarhum(ah), termasuk doa pembukaannya (kolekta):
Ya Allah, dengan belas kasih tak terkira: Terimalah doa-doa kami mewakili hamba-Mu N., dan anugerahkanlah dia pintu masuk ke dalam negeri terang dan sukacita, dalam persekutuan para kudus-Mu; melalui Yesus Kristus Putra-Mu Tuhan kami, yang hidup dan berkuasa bersama Engkau dan Roh Kudus, Allah yang esa, sekarang dan selama-lamanya. Amin.[22]
Menurut Katekismus dalam Buku Doa Umum 1979, "Kita berdoa untuk (orang-orang yang telah wafat), karena kita masih memegang mereka dalam cinta kita, dan karena kita percaya bahwa di hadapan Allah mereka yang telah memilih untuk melayani-Nya akan bertumbuh dalam kasih-Nya, sampai mereka memandang-Nya sebagaimana Ia adanya."[23] Meskipun pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa doa ini biasanya diberikan untuk mereka yang diketahui adalah anggota Gereja ("mereka yang telah memilih untuk melayani-Nya"), doa juga dipersembahkan bagi mereka yang imannya tidak menentu atau tidak diketahui—berbagai alternatif resmi dalam Buku Doa ritus pemakaman memungkinkan doa-doa yang karenanya memercayakan almarhum(ah) pada belas kasih Allah sekaligus mempertahankan integritas mengenai apa yang diketahui dari kehidupan religius yang bersangkutan. Sebagai contoh, setelah doa-doa perantaraan, terdapat dua pilihan doa penutup: yang pertama diawali dengan "Tuhan Yesus Kristus, kami memercayakan kepada-Mu saudara (saudari) kami N., yang terlahir kembali melalui air dan Roh dalam Baptisan Kudus ..."; sementara yang kedua lebih sesuai bagi mereka yang iman dan kedudukannya di hadapan Allah tidak diketahui:
Bapa dari segala, kami berdoa kepada-Mu bagi N., dan semua orang yang kami cintai namun tidak lagi kami lihat. Anugerahkanlah kepada mereka istirahat kekal. Biarlah cahaya abadi menyinari mereka. Semoga jiwanya dan jiwa-jiwa mereka yang telah berpulang, melalui belas kasih Allah, beristirahat dalam damai. Amin.[24]
Protestan
Gereja Lutheran
Untuk menghibur para wanita yang anak-anaknya tidak dapat dilahirkan dan dibaptis, Martin Luther pada tahun 1542 menuliskan: "Singkatnya, melihat bahwa di atas segalanya kamu adalah seorang Kristen sejati dan bahwa kamu mengajarkan kerinduan yang tulus dan berdoa kepada Allah dalam iman yang benar, baik dalam hal ini ataupun dalam kesulitan yang lain. Maka jangan kecewa atas anakmu atau dirimu sendiri. Ketahuilah bahwa doamu menyenangkan Allah dan bahwa Allah akan melakukan segala sesuatu dengan jauh lebih baik daripada yang dapat kamu pahami atau ingini. 'Berserulah kepada-Ku,' kata-Nya dalam Mazmur 50. 'Pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku.' Karena alasan itu, kita tidak seharusnya mengutuk bayi-bayi tersebut. Orang-orang percaya dan umat Kristen mencurahkan hasrat dan kerinduan mereka serta berdoa bagi [bayi-bayi tersebut]."[25] Pada tahun yang sama, tahun 1542, ia menyatakan dalam bukunya Kata Pengantar untuk Himne-Himne Penguburan: "Karenanya, kita telah menghapuskan dari gereja-gereja kita dan menghapuskan sepenuhnya keburukan yang berkenaan dengan paus, seperti vigili, misa untuk orang yang telah meninggal dunia, prosesi, purgatorium, dan semua hocus pocus lainnya atas nama orang yang telah meninggal dunia".[26][27]
Para Reformis Lutheran mengurangi penekanan pada doa bagi orang yang telah wafat, karena mereka meyakini bahwa praktik ini telah menyebabkan banyak pelanggaran dan bahkan doktrin palsu, khususnya doktrin purgatorium dan Misa sebagai kurban pendamaian untuk orang yang berpulang. Tetapi mereka mengakui bahwa Gereja perdana mempraktikkan doa bagi orang yang telah wafat, dan menerimanya secara prinsip. Oleh karena itu, dalam Buku Concordia 1580, Gereja Lutheran mengajarkan:
"... kita tahu bahwa orang-orang zaman dahulu berbicara tentang doa bagi orang yang telah meninggal dunia, yang tidak kita larang; tetapi kita tidak menyetujui penerapan ex opere operato dalam Perjamuan Tuhan untuk kepentingan orang yang telah wafat."[28]
Terlepas dari izin tersebut dalam panduan doktrinal Lutheran, kalangan Lutheran modern umumnya tidak mempraktikkan doa bagi orang yang telah meninggal dunia dan terkadang mengutuknya secara terang-terangan. Edisi Katekismus Kecil karya Luther yang digunakan secara luas di kalangan Lutheran Amerika Serikat menyatakan:
Untuk siapa seharusnya kita berdoa?...Kita seharusnya berdoa untuk diri kita sendiri dan untuk semua orang lainnnya, bahkan untuk musuh-musuh kita, namun tidak untuk jiwa-jiwa mereka yang telah meninggal dunia.
— Pertanyaan 201 dari Katekismus Kecil Luther dengan Penjelasan (Concordia Publishing House, edisi 1991) Sinode Missouri Gereja Lutheran
Pertanyaan dan jawaban tersebut tidak terdapat dalam teks asli Luther, tetapi mencerminkan pandangan kaum Lutheran abad ke-20 yang menambahkan penjelasan itu ke dalam katekismus.
Demikian pula WELS (Sinode Lutheran Evangelikal Wisconsin), suatu denominasi konservatif Lutheran, mengajarkan:
Umat Lutheran tidak berdoa bagi jiwa-jiwa yang berpulang. Ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya pergi entah ke surga atau neraka. Tidak ada kesempatan kedua setelah kematian. Alkitab mengatakan, "Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja dan sesudah itu dihakimi" (Ibrani 9:27, lihat pula Lukas 16:19-31). Tidak ada gunanya berdoa bagi seseorang yang telah meninggal dunia.[29]
Gereja Metodis
John Wesley, pendiri Gereja Metodis, menyatakan bahwa: "Saya meyakininya sebagai suatu kewajiban untuk dipatuhi, untuk berdoa bagi Umat Beriman yang Berpulang".[30] Ia mengajarkan "kepatutan Berdoa bagi Orang yang Telah Meninggal Dunia, mempraktikkannya sendiri, menyediakan Wujud-Wujud yang dapat dipraktikkan oleh orang lain."[31] Dua contoh doa dalam Wujud-Wujud tersebut misalnya: "Anugerahkanlah agar kami, bersama mereka yang telah wafat dalam rasa takut dan iman kepada-Mu, dapat bersama-sama ambil bagian dalam suatu kebangkitan yang menggembirakan", dan juga, "Menurut kemurahan hati-Mu yang tanpa batas, sudilah menghantar kami, bersama mereka yang wafat dalam Engkau, untuk bersukacita bersama di hadapan-Mu".[31] Dengan demikian, banyak umat Metodis yang berdoa "bagi mereka yang tertidur".[32] Shane Raynor, seorang penulis Metodis, menjelaskan praktik ini dengan mengatakan bahwa "patutlah berdoa bagi orang lain dalam komunitas, bahkan melintasi waktu dan ruang", merujuk pada doktrin Persekutuan Para Kudus sebagai suatu "komunitas yang terdiri dari semua umat Kristen masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang", serta mengutip bahwa "dalam Lukas 20, Yesus mengatakan kalau Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, 'bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.' (Lukas 20:38)".[33]
Gereja-gereja bebas
Doa bagi orang yang telah meninggal dunia tidak dipraktikkan oleh jemaat gereja-gereja bebas.[17] Sebagai contoh, jemaat Baptis beranggapan bahwa "orang yang telah wafat tidak mendapat manfaat dari doa, kurban, dll. dari mereka yang masih hidup."[34]
Dalam Islam, umat Muslim dari komunitas mereka berkumpul untuk berdoa bersama demi pengampunan orang yang telah meninggal dunia, suatu doa (sembahyang) didaraskan dan doa ini dikenal sebagai salat Jenazah.
Salat Jenazah adalah sebagai berikut:
Sama seperti salat Id, salat Jenazah meliputi empat tambahan Takbir, istilah Arab untuk frasa Allahu Akbar, tetapi tidak dilakukan rukuk (membungkuk) maupun sujud.
Doa permohonan bagi almarhum(ah) dan umat manusia didaraskan.
Dalam keadaan-keadaan luar biasa, doa tersebut dapat ditunda dan didoakan di lain waktu sebagaimana dilakukan dalam Pertempuran Uhud.
Dogma menyebutkan bahwa setiap laki-laki Muslim yang telah dewasa diwajibkan untuk melakukan salat Jenazah bagi seorang Muslim yang wafat, tetapi dogma tersebut juga mencakup praktik dalam kondisi tertentu, ketika salat Jenazah telah dilakukan oleh beberapa umat maka mengurangi kewajiban bagi umat lainnya.
Selain itu, "Salawat dan salam baginya" (terkadang secara tertulis disingkat SAW) merupakan suatu doa yang terus menerus diulang bagi orang yang telah wafat seperti Nabi Muhammad.
Hindu
Dalam agama Hindu, terdapat pembacaan-pembacaan dalam upacara pemakaman dengan doa-doa yang dimaksudkan bagi orang yang telah wafat.[35][36][37]
Banyak dari bacaan-bacaan dalam upacara pemakaman tersebut diambil dari Mahabharata, biasanya dalam bahasa Sanskerta.
Para anggota keluarga akan berdoa di sekeliling jenazah sesegera mungkin setelah Kematian. Orang-orang akan menghindarkan diri dari menyentuh jenazah tersebut karena dianggap mencemari.
Berikut adalah suatu contoh bacaan dalam upacara pemakaman saat Pemakaman Hindu:
Orang bijak mengatakan bahwa Atman adalah abadi:
Dan bahwa fenomena kematian hanyalah pemisahan tubuh astral dari tubuh fisik. Kelima elemen yang menyusun tubuh kembali ke sumbernya. Kitab suci kita mengajarkan kita bahwa karena para peziarah bergabung dan berpisah di suatu pemondokan umum, demikian juga para ayah, ibu, anak, saudara, istri, kerabat bergabung dan berpisah dalam dunia ini. Dia yang karenanya mengerti sifat dari tubuh dan segala hubungan manusia berdasarkan padanya akan memperoleh kekuatan untuk menanggung kehilangan orang-orang yang kita sayangi. Dalam rencana Ilahi, suatu hari setiap penggabungan harus diakhiri dengan perpisahan.
Banyak dari bacaan-bacaan tersebut merupakan suatu kumpulan teks-teks kitab suci mengenai Kehidupan dan Kematian.
^Timothy Ware, The Orthodox Church (Penguin Books, 1964, ISBN 0-14-020592-6), p. 259
^Isabel F. Hapgood, Service Book of the Holy Orthodox-Catholic Apostolic Church (Antiochian Orthodox Christian Archdiocese, Englewood, New Jersey, 1975, 5th edition), p. 255.
^Fr. Seraphim Rose, The Soul After Death (Saint Herman of Alaska Brotherhood, Platina, California, ISBN 0-938635-14-X), p. 191.
^For instance, the Panikhida does not have the chanting of "God is the Lord..." as the Moleben does; but instead, the "Alleluia" is chanted, reminiscent of the "Alleluia" that is chanted at Lenten services.
^In calculating the number of days, the actual day of death is counted as the first day. According to St. Macarius the Great, the reason for these days is as follows: from the third day to the ninth day after death, the departed is soul is shown the mansions of Paradise (the funeral is normally performed on the third day); from the ninth to the fortieth days, the soul is shown the torments of hell; and on the fortieth day, the soul stands before the throne of God to undergo the Particular Judgement and is assigned the place where it will await the Second Coming. For this reason, the fortieth day is considered to be the most important. In some traditions, there is also a commemoration at six months.
^Quoted in Seraphim Rose, The Soul After Death, p. 192, op. cit.
^ abOxford Dictionary of the Christian Church (Oxford University Press 2005 ISBN 978-0-19-280290-3), article "dead, prayer for the"
^"Neither let us dreame any more, that the soules of the dead are any thing at all holpen by our prayers: But as the Scripture teacheth us, let us thinke that the soule of man passing out of the body, goeth straight wayes either to heaven, or else to hell, whereof the one needeth no prayer, and the other is without redemption" (An Homilie or Sermon concerning Prayer, part 3)
^Walker, Walter James (1885). Chapters on the Early Registers of Halifax Parish Church (dalam bahasa English). Whitley & Booth. hlm. 20. Diakses tanggal 15 October 2015. The opinion of the Rev. John Wesley may be worth citing. "I believe it to be a duty to observe, to pray for the Faithful Departed."Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abHolden, Harrington William (1872). John Wesley in Company with High Churchmen. London: J. Hodges. hlm. 84. Diakses tanggal 10 April 2014. Wesley taught the propriety of Praying for the Dead, practised it himself, provided Forms that others might. These forms, for daily use, he put fort, not tentatively or apologetically, but as considering such prayer a settled matter of Christian practice, with all who believe that the Faithful, living and dead, are one Body in Christ in equal need and like expectation of those blessings which they will together enjoy, when both see Him in His Kingdom. Two or three examples, out of many, may be given:--"O grant that we, with those who are already dead in Thy faith and fear, may together partake of a joyful resurrection."
^Holden, Harrington William (1872). John Wesley in Company with High Churchmen. London: J. Hodges. hlm. 84. Diakses tanggal 10 April 2014. The Prayers passed though many editions, and were in common use among thousands of Methodists of every degree, who, without scruple or doubtfulness prayed for those who sleep in Jesus every day that they prayed to the common Father of all.
^Raynor, Shane (14 October 2015). "Should Christians pray for the dead?". Ministry Matters (dalam bahasa English). The United Methodist Publishing House.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Crosby, Thomas (1738). The History of the English Baptists. Church History Research & Archives. hlm. 38. That dead men receive no benefit from the prayers, ſacrifices, &c. of the living.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)