Abdullah bin Abu Quhafah (bahasa Arab: عبد الله بن أبي قحافة عثمان بن عامر; 573 – 23 Agustus634/21 Jumadil Akhir 13 H) atau yang lebih dikenal dengan Abu Bakar / Abu Bakr Ash-Shiddiq (bahasa Arab: أبو بكر الصديق), adalah salah satu pemeluk Islam awal, salah satu sahabat utama Muhammad, dan khalifah pertama yang dibai'at setelah kematian Nabi Islam Muhammad. Melalui putrinya, Aisyah, Abu Bakar merupakan ayah mertua Muhammad.[1][2]Ash-Shiddiq adalah julukan dari Muhammad kepada Abu Bakar dan menjadi salah satu gelar yang paling melekat pada dirinya.[3] Bersama ketiga penerusnya (Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), Abu Bakar termasuk dalam jajaran Khulafaur Rasyidin.[4]
Sebagai salah seorang pemeluk awal Islam,[5] Abu Bakar telah mengambil berbagai peran besar. Melalui ajakannya, Abu Bakar berhasil mengislamkan banyak orang yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting dalam sejarah agama Islam, di antaranya adalah 'Utsman bin 'Affan yang kemudian menjadi khalifah ketiga. Abu Bakar juga turut serta dalam berbagai perang seperti Perang Badar (624 M/2 H) dan Perang Uhud (625 M/3 H).[butuh rujukan] Kedekatan dan kesetiaannya kepada Muhamad merupakan satu hal yang sangat melekat pada diri Abu Bakar, utamanya terlihat saat mendampingi Muhammad hijrah ke Madinah dan kepatuhannya dalam menerima keputusan Muhamad dalam Perjanjian Hudaibiyah, meski banyak sahabat Nabi kala itu awalnya enggan menyepakati perjanjian tersebut karena dipandang berat sebelah.[6]
Abu Bakar dinyatakan sebagai khalifah setelah kematian Muhammad. Abu Bakar menjadi khalifah pertama umat Islam yang menjadi awal dari Kekhalifahan Rasyidin.[7] Masa kekuasaannya yang singkat, dipusatkan pada pemadaman pemberontakan Klain Arab yang berselisih paham dengan kekhalifahan Abu Bakar serta membantu membukukan Al Qur'an untuk pertama kalinya.[8] Dalam memerintah, Abu Bakar berusaha mengeluarkan kebijakan yang tidak berbeda dengan Muhamad, seperti penolakannya untuk mencopot Khalid bin Walid dari kedudukannya sebagai panglima.[9]
Bertemu nasabnya dengan Muhamad pada kakeknya yang bernama Murrah bin Ka'ab[12] dan ibu dari Abu Bakar adalah Ummu al-Khair Salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah Bani Taim.[4]
Nama asli Abu Bakar tidak pasti dan sumber memperdebatkan Abdullah, Abdul Ka'bah dan Atiq sebagai namanya.[13]
Muhamad memberinya gelar yaitu Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Mi'raj yang diceritakan oleh Muhamad kepada Umatnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama "Abu Bakar ash-Shiddiq".[14]
Kehidupan awal
Abu Bakar lahir di kota Makkah sekitar tahun 573 (tahun kedua dari tahun gajah[4]), dari keluarga kaya dalam Bani Taim dari suku Quraisy.[15] Abu Bakar menghabiskan masa kecilnya seperti anak Arab pada zaman itu di antara suku Badui yang menyebut diri mereka dengan nama Ahl-i-Ba'eer atau rakyat unta.[butuh rujukan] Pada masa kecilnya, Abu Bakar sering sekali bermain dengan dengan unta dan kambing, dan kecintaannya terhadap unta inilah yang memberinya nama "Abu Bakar" yang berarti, bapaknya unta.[16]
Ketika umurnya berusia 10 tahun, Abu Bakar pergi ke Suriah bersama ayahnya dengan kafilah dagang. Muhamad yang pada saat itu berusia 12 tahun juga bersama kafilah tersebut. Pada tahun 591, Abu Bakar yang pada saat itu berusia 18 tahun pergi untuk berdagang, berprofesi sebagai pedagang kain yang memang sudah menjadi bisnis keluarga.[butuh rujukan] Dalam tahun-tahun mendatang Abu Bakar sering sekali bepergian dengan kafilahnya. Perjalanan bisnis membawanya ke Yaman, Suriah dan beberapa tempat lainnya. Perjalanan bisnis inilah yang membuatnya semakin kaya dan semakin berpengalaman dalam berdagang.[butuh rujukan]
Bisnisnya semakin berkembang, mempengaruhi status sosial Abu Bakar. Meskipun ayahnya Abu Quhafah Utsman masih hidup, Abu Bakar diakui sebagai kepala sukunya.[butuh rujukan] Seperti anak-anak lain dari keluarga pedagang Makkah yang kaya, Abu Bakar adalah orang terpelajar (bisa menulis dan membaca) dan dia menyukai puisi. Abu Bakar biasanya menghadiri pameran tahunan di Ukaz dan ikut berpatisipasi dalam simposium puitis.[butuh rujukan] Ia memiliki ingatan yang bagus dan pemahaman yang baik mengenai silsilah atau asal usul suku-suku Arab, sejarah dan juga politik mereka.[17]
Sebuah cerita ketika Abu Bakar masih kecil, ayahnya membawanya ke Ka'bah, dan meminta Abu Bakar berdoa kepada berhala. Setelah itu ayahnya pergi untuk mengurus urusan bisnis lainnya, meninggalkan Abu Bakar sendirian dengan berhala-berhala tersebut. Abu Bakar lalu berdoa kepada berhala, "Ya Tuhanku, aku sedang membutuhkan pakaian, berikanlah kepadaku pakaian". Berhala tersebut tetap acuh tak acuh tidak menanggapi permintaan Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar berdoa kepada berhala lainnya dan mengatakan "Ya Tuhanku, berikanlah aku makanan yang lezat, lihatlah aku sangat lapar". Berhala itu masih tidak memberikan jawaban apapun dan acuh tak acuh. Melihat permintaannya tidak dikabulkan, kesabaran Abu Bakar habis lalu mengangkat sebuah batu dan berkata kepada berhala tersebut. "Di sini saya sedang mengangkat batu dan akan mengarahkannya kepadamu, kalau kamu memang tuhan, maka lindungilah dirimu sendiri". Abu Bakar lalu melemparkan batu tersebut ke arah berhala dan meninggalkan Ka'bah. Setelah itu, Abu Bakar tidak pernah lagi datang ke Ka'bah untuk menyembah berhala-berhala di Ka'bah.[18][Verifikasi gagal]
Abu Bakar berkulit putih, bertubuh kurus, berambut lebat, tampak kurus wajahnya, dahinya muncul, dan ia sering memakai hinaa dan katm.
Memeluk Islam
Setelah kembali dari perjalanan bisnis dari Yaman, Abu Bakar diberi tahu oleh teman-temannya bahwa ketika ia tidak berada di Makkah, Muhammad menyatakan dirinya bahwa ia adalah seorang utusan Allah. Ibnu Jarir ath-Thabari, ahli sejarawan muslim yang paling terkenal, dalam bukunya Tarikh ath-Thabari mengutip perkataan dari Muhammad bin Sa'ad bin Abi Waqqash, yang mengatakan:
Aku bertanya kepada ayahku apakah Abu Bakar orang pertama yang masuk Islam. Ia menjawab, "Tidak, lebih dari 50 orang masuk Islam sebelum Abu Bakar, tetapi ia lebih unggul sebagai seorang Muslim. Umar bin Khattab masuk Islam setelah 45 laki-laki dan 21 perempuan. Adapun salah satu yang terkemuka dalam Islam dan iman, itu adalah Ali bin Abi Thalib.[19]
Sunni dan Syi'ah meyakini pendapat bahwa orang kedua yang secara terang-terangan menerima Muhammad sebagai utusan Allah dan menyambut dakwahnya adalah Ali bin Abi Thalib yang ketika itu masih berusia belia, dan wanita pertama yang beriman adalah Khadijah.[20]
Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah wan Nihayah memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas. Dia berpendapat bahwa wanita yang pertama kali masuk Islam adalah Khadijah. Zaid bin Haritsah adalah budak pertama yang masuk Islam. Ali bin Abi Thalib adalah anak kecil pertama yang masuk islam karena pada waktu itu Ali belum dewasa. Adapun laki-laki dewasa dan merdeka yang pertama kali masuk islam adalah Abu Bakar.[21]
Dalam kitab Hayatussahabah, dituliskan bahwa Abu Bakar masuk Islam setelah diajak oleh Muhammad.[22] Diriwayatkan oleh Abu Hasan Al-Athrabulusi dari Aisyah, ia berkata:
Sejak zaman jahiliyah, Abu Bakar adalah kawan Muhammad. Pada suatu hari, dia hendak menemui Muhammad, ketika bertemu dengan Muhammad, dia berkata, "Wahai Abul Qosim (panggilan Nabi), ada apa denganmu sehingga engkau tidak terlihat di majelis kaummu dan orang-orang menuduh bahwa engkau telah berkata buruk tentang nenek moyangmu dan lain lain lagi?" Muhammad bersabda, "Sesungguhnya aku adalah utusan Allah dan aku mengajak kamu kepada Allah." Setelah selesai Muhammad berbicara, Abu Bakar langsung masuk Islam. Melihat keislamannya itu, dia gembira sekali, tidak ada seorang pun yang ada di antara kedua gunung di Makkah yang merasa gembira melebihi kegembiraan dia. Kemudian Abu Bakar menemui Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sa'ad bin Abi Waqqas, mengajak mereka untuk masuk Islam. Lalu, mereka pun masuk Islam.[butuh rujukan]
Istri pertama Abu Bakar yang bernama Qutailah binti Abdul Uzza tidak menerima agama Islam lalu Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain yang bernama Ummi Ruman menjadi mualaf.[butuh rujukan] Semua anak Abu Bakar menerima agama Islam kecuali Abdurrahman bin Abi Bakar sehingga membuat mereka berpisah, walaupun pada akhirnya Abdurrahman kelak menjadi seorang Muslim setelah Perjanjian Hudaibiyyah.[butuh rujukan]
Masuk Islamnya Abu Bakar membuat banyak orang masuk Islam. Ia membujuk teman dekatnya untuk masuk Islam sehingga banyak temannya menerima ajakan tersebut.[23][24]
Masa bersama Muhamad
Ketika Muhamad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup bersama Abu Bakar.[butuh rujukan] Saat itu Muhamad menjadi tetangga Abu Bakar.[butuh rujukan] Sejak saat itu mereka berkenalan satu sama lainnya.[butuh rujukan] Mereka berdua berusia sama dan hanya berselisih 2 tahun 1 bulan lebih muda daripada Muhamad, pedagang dan ahli berdagang.[butuh rujukan]
Sebagaimana yang juga dialami oleh para Umat Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Makkah yang mayoritas masih menyembah berhala nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka. Hal ini mendorong Abu Bakar membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Salah seorang budak yang dibelinya lalu kemudian dibebaskan adalah Bilal bin Rabah.
Ketika peristiwa Hijrah, saat Muhamad pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar juga terikat dengan Muhamad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Muhamad beberapa saat setelah Hijrah.
Hari-hari terakhir Muhammad
Selama masa sakit Muhamad saat menjelang kematiannya, dikatakan bahwa Abu Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan posisinya. Bahkan pun setelah Muhamad telah meninggal dunia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling tabah menghadapi meninggalnya Muhamad ini. Segera setelah kematiannya, dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Tsaqifah Bani Saidah yang terletak di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun 632 M.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah adalah subyek kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, di mana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu Nabi) yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Muhamad sendiri, sementara kaum Sunni berpendapat bahwa Nabi menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum Sunni berargumen bahwa Muhamad mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara Syi'ah berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terakhir. Banyak hadits yang menjadi referensi dari kaum Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah setelah kematiannya. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbaiat) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan). Kaum Sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara kaum Syi'ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Setelah kematian Muhammad, kepala-kepala kaum Anshar, baik pihak Aus maupun persukuan Khazraj berkumpul dalam sebuah halaman milik Bani Sa'idah. Mereka bermaksud hendak memilih Sa'ad ibnu Ubadah menjadi khalifah Muhammad, sebab ia adalah kepala tertinggi kaum Anshar pada waktu itu.[4] Berita permusyawaratan itu lekas sampai kepada orang-orang besar di kalangan Muhajirin. Saat itu juga dengan segera mereka pergi ke balairung. Baru saja sampai, Abu Bakar langsung berpidato, menyarankan Anshar agar memilih salah satu dari dua tokoh Muhajirin menjadi khalifah : Abu Ubaidah atau Umar.[butuh rujukan]
Setelah selesai Abu Bakar berpidato, berdirilah Habbab ibnu Al Munzir, menyatakan penolakannya. Ia mengusulkan agar masing-masing dari kubu Anshar dan Muhajirin memiliki khalifahnya sendiri-sendiri. Mendengar itu, Umar lalu menyambung pembicaraannya, "Jangan sekali-kali menyebutkan itu. Tidak dapat berhimpun dua kepala dalam satu kekuasaan." Hebat sekali pertentangan Umar dengan Habbab pada saat itu.[butuh rujukan]
Basyir ibnu Sa'ad, seorang yang terpandang dari golongan Aus Anshar, tampil ke depan, "Wahai kaum Anshar, memang kita mempunyai beberapa kelebihan dalam perjuangan. Namun, ingatlah pekerjaan besar itu kita kerjakan bukanlah karena mengharapkan yang lain, hanyalah semata-mata mengharapkan ridha Allah dan menaati Nabi kita. Oleh sebab itu, tidaklah pantas kita memanjangkan mulut menyebut-nyebutkan jasa itu pada manusia. Ingat pula bahwa Muhammad shalallahu alaihi wasallam. jelas dari Quraisy, kaumnya lebih berhak menjadi penggantinya untuk mengepalai kita. Jangan bertingkah dengan saudara-saudara kita Muhajirin, jangan berselisih."
Majlis pun menjadi tenang. Ketika itu, berkatalah Abu Bakar, "Ini ada Abu Ubaidah dan Umar, pilihlah mana di antara keduanya yang kamu sukai dan berbaiatlah."[4] Dengan serentak keduanya membantah. Abu Ubaidah dan Umar, justru mencalonkan Abu Bakar sebagai khalifah. Pertimbangannya, Abu Bakar pernah mendampingi Muhammad ketika bersembunyi dalam gua pada saat masa hijrah ke Madinah. Selain itu, Abu Bakar juga pernah ditetapkan sebagai pengganti Muhammad dalam shalat ketika ia sakit.
Basyir ibnu Sa'ad dari Aus ikut mendukung pencalonan Abu Bakar. Berduyun-duyunlah anggota Aus yang lain membaiat Abu Bakar. Melihat itu, anggota-anggota Khazraj pun terpengaruh, juga ikut tampil ke depan untuk membaiat Abu Bakar. Melihat pihak lain telah berduyun-duyun membaiat Abu Bakar, Bani Hasyim pun tidaklah dapat mengelak lagi. Mereka sadar bahwa perkara ini bukan perkara keluarga, melainkan siapakah orang yang paling mulia di sisi Muhammad. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib tidak hadir di situ, karena sedang menjaga jenazah Muhammad. Karena itu, ia tidak turut membaiat. Ali sendiri pun akhirnya membaiatnya juga, yaitu beberapa waktu setelah istrinya, Fathimah binti Muhammad meninggal dunia.[4]
Setelah orang-orang selesai membaiatnya, Abu Bakar pun berpidato sebagai sambutan atas kepercayaan orang banyak pada dirinya.
Wahai manusia, sekarang aku telah menjabat pekerjaan ini, tetapi tidaklah aku orang yang lebih baik daripada kamu. Jika aku telah berlaku baik dalam jabatanku, sokonglah aku. Namun, jika aku berlaku salah, tegakkanlah aku kembali. Kejujuran adalah suatu amanat, kedustaan adalah suatu khianat. Orang yang kuat di antara kamu, di sisiku ia lemah, karena aku tarik darinya untuk hak si lemah. Orang yang lemah di sisimu, di sisiku ia kuat, sehingga akan kuberikan haknya dari si kuat, insyaa Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, kalau aku melanggar perintah Allah dan Rasul, tidak usah kamu mengikutiku.[4]
Memadamkan pemberontakan
Baru saja tersiar kabar wafat Nabi Muhammad, bergeraklah kelompok-kelompok pemberontak hendak melepaskan diri dari persatuan Islam yang baru tegak.
Sebelum mengatur persiapan untuk memerangi pemberontak, Abu Bakar lebih dahulu hendak menyempurnakan angkatan perang di bawah Usamah. Pada saat itu, Usamah baru kira kira 17 tahun. Usamah diangkat langsung oleh Muhammad menjadi kepala perang.[4] Banyak ketua Quraisy menjadi prajurit di bawah perintahnya.
Abu Bakar pergi ke tempat pemberhentian angkatan perang Usamah, untuk melepasnya berangkat. Abu Bakar meminta Usamah untuk mengizinkan Umar tidak ikut berperang. Abu Bakar membutuhkan Umar untuk menemaninya dalam mengatur pemerintahan dalam negeri.[4] Permintaan itu dikabulkan oleh Usamah.
Ketika mereka akan berangkat, Abu Bakar berpidato :
Jangan berkhianat. Jangan memungkiri janji. Jangan menganiaya jasad musuh yang telah mati. Jangan membunuh anak-anak, orang tua dan perempuan. Jangan memotong batang kurma. Jangan membakar dan jangan menumbangkan kayu-kayuan yang berbuah. Jangan menyembelih kambing, sapi dan unta, kecuali sekadar untuk dimakan. Kalau kamu bertemu dengan suatu kaum yang telah menyisihkan dirinya dalam gereja-gereja, hendaklah dibiarkan saja. Kalau diberi makanan oleh orang lain, hendaklah membaca nama Allah ketika memakannya. Hai Usamah, berbuatlah dengan apa yang diperintahkan Muhammad kepadamu di negeri Qudha'ah, jangan engkau lalaikan sedikit pun perintah Muhammad.[4]
Setelah itu Abu Bakar melepaskan tentara itu di Jurf, lalu ia kembali ke Madinah. Usamah berangkat dan mengepung negeri Qudha'ah. Setelah empat puluh hari pertempuran hebat, Usamah kembali dengan kemenangan. Tentara yang pergi ke Qudha'ah bukan sedikit jumlahnya, sehingga menimbulkan kesan pada musuh-musuh yang lain.
Setelah pulang, Usamah dan tentaranya disuruh untuk beristirahat. Abu Bakar turun tangan memimpin pasukannya langsung untuk menyelesaikan pemberontakan kaum Abs dan Dzubyan di luar Kota Madinah. Selama memimpin pasukan, Abu Bakar menyerahkan kepemimpinan Kota Madinah kepada orang lain. Setelah Abu Bakar berhasil memadamkan pemberontakan itu, ia mengumpulkan tentaranya di Zhul Qishshah[4], sekitar 15 km dari Madinah, menghadap ke Najd. Disana, ia membagi sebelas buah bendera kepada sebelas orang panglima perang.[4]
Berkat para kepala perang itu, dalam masa yang tidak berapa lama, seluruh pemberontakan dan huru-hara dapat disapu bersih. Seluruh Jazirah Arab bersatu kembali di bawah satu bendera.
Penaklukan Persia
Setelah aman huru-hara dalam negeri, khalifah menghadap ke luar negeri untuk menaklukkan negeri Persia. Diangkatnya kepala perang besar yang masyhur, yakni Saifullah (Khalid ibnu Al-Walid).[4] Kalau rencana ini berhasil, perjalanan boleh diteruskan hingga ke batas-batas Hindustan. Sebagai pembantunya, diangkat Iyadh ibnu Ghanam yang datang dari Irak.
Khalid berhasil memasuki Persia, mulai dari pinggir Sungai Furrat sampai ke Ubullah, mengelilingi Syam dan Irak. Di beberapa tempat, mereka bertempur dengan tentara-tentara Persia, Romawi dan Arab. Khalid lebih suka berduel beradu tombak melawan kepala-kepala kaum, sebab dengan demikian tempo perang dapat disingkatkan. Kalau suatu negeri ditaklukkannya, maka disana ia akan mengangkat seorang amir untuk mengatur khiraj (cukai) dari ahli dzimmah.
Di satu sisi, nama Khalid menakutkan musuh. Namanya lebih dahulu mengegerkan tempat-tempat yang belum dimasukinya. Di sisi lain, Khalid sangat dipuji oleh musuhnya, sebab para petani dan pertaniannya tidak pernah diganggu, melainkan dipeliharanya.[4] Oleh sebab itu, jika Khalid masuk ke negeri Arab yang masih berada sebagai vassal Persia, orang-orang itu lebih suka diperintah Khalid dan membelot dari pemerintahan yang lama. Sementara itu, agama mereka tidak diganggu, karena memeluk agama masehi.
Pasukan 'Iyadh berhasil menguasai Daumatul Jandal sampai ke Irak. Mereka bertemu dengan pasukan Khalid di Hirah.
Penaklukan Syam
Abu Bakar mengirimkan surat kepada penduduk Mekah, Tha'if, Yaman, negeri Arab yang lain sampai ke Najd dan seluruh Hijaz. Mereka diperintahkan bersiap untuk membentuk suatu bala tentara besar untuk menaklukan negeri Syam, pusat Kerajaan Romawi pada masa itu.[4] Tiap-tiap panglima perang telah diberikan daerah tugas mereka. Abu Ubaidah ke Homsh. Yazid ibnu Abu Sufyan ke negeri Damsyik. Syurahbil ibnu Hasanah ke negeri Ardan. Amr ibnu al-Ash dan Alqamah ibnu Mujzri ke Palestina. Kalau sudah selesai, Alqamah dapat melanjutkan ke Mesir.[4]
Puncaknya adalah pertempuran besar di Yarmuk. Pertempuran berlangsung alot, berminggu-minggu. Hal ini disebabkan tiap-tiap kepala perang khalifah mengendalikan tentaranya sendiri-sendiri, tidak ada panglima perang besar untuk menyatukan komando. Padahal, orang Romawi sudah bermaksud untuk hendak keluar dari benteng untuk melakukan serangan besar.
Pada suatu waktu, datanglah Khalid dengan tiba-tiba, setelah selesai menaklukan Persia. Ia mendapat surat dari Khalifah yang menyuruhnya lekas bergerak ke Romawi. Setelah sampai di sana, Khalid mengusulkan sistem bergilir untuk memimpin komando seluruh pasukan menjadi satu.[4] Panglima-panglima itu pun menerima usulan Khalid. Untuk hari pertama, Khalid memimpin komando seluruh pasukan. Baru saja Khalid memimpin, pasukan khalifah mendapatkan kemenangan, sehingga besoknya tidak ada yang berani menggantikannya lagi.
Pada hari ketujuh bulan Jumadil Akhir tahun 13 H, Abu Bakar ditimpa sakit. Setelah Abu Bakar merasa bahwa telah dekat ajalnya, ia mengusulkan Umar bin al-Khattab untuk menjadi khalifah. Kehendak Abu Bakar diterima oleh sahabat-sahabatnya. Setelah lima belas hari lamanya menderita penyakit itu, ia meninggal pada 21 Jumadil Akhir 13H (22 Agustus 634 M). Ia memerintah selama 2 tahun, 3 bulan dan 10 hari.[4] Ia dimakamkan di samping makam Muhammad.
Ketika peperangan sangat hebatnya, datang surat dari Madinah yang menyatakan bahwa Abu Bakar telah meninggal dunia. Sekarang yang memerintah adalah Umar, bukan Abu Bakar lagi. Khalid diperintahkan Umar untuk berhenti memimpin peperangan untuk digantikan oleh Abu Ubaidah. Surat itu hanya disimpannya sampai peperangan selesai, untuk mencegah kekacauan dalam pasukan.
Setelah Romawi kalah dan pasukan khalifah menang, barulah Khalid datang kepada Abu Ubaidah untuk menyerahkan kekuasaan pimpinan pasukan. Khalid menjadi serdadu biasa dan meneruskan pertempuran di tempat-tempat yang lain. Setelah kemenangan di Yarmuk, secara berturut turut jatuh negeri Quds, Damsyik, Homsh, Humat, Halb, dan lain lain.
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis al-Qur'an. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-Kazzab dalam Perang Yamamah, banyak para penghafal al-Qur'an yang terbunuh dalam pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan koleksi dari al-Qur'an oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, dikumpulkan lembaran al-Qur'an dari para penghafal al-Qur'an dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khattab dan kemudian disimpan oleh Hafshah, anak dari Umar dan juga istri dari Muhamad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Utsman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al-Qur'an yang dikenal saat ini.
Kematian
Pada tanggal 23 Agustus 634, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Dia mengalami demam tinggi dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Penyakitnya berkepanjangan, dan ketika kondisinya memburuk, dia merasa ajalnya sudah dekat. Menyadari hal ini, dia memanggil Ali dan memintanya untuk memandikan (ghusl) karena Ali juga melakukannya untuk Muhammad.
Abu Bakar merasa bahwa dia harus mencalonkan penggantinya agar masalah ini tidak menjadi penyebab perselisihan di kalangan umat Islam setelah kematiannya, meskipun sudah ada kontroversi mengenai tidak diangkatnya Ali.[25] Dia menunjuk Umar untuk peran ini setelah mendiskusikan masalah ini dengan beberapa sahabat.
Abu Bakar kemudian mendiktekan wasiat terakhirnya kepada Utsman bin Affan sebagai berikut:
Atas nama Tuhan Yang Maha Penyayang. Ini adalah wasiat dan wasiat terakhir Abu Bakar bin Abu Quhafah, pada detik-detik terakhirnya di dunia, dan awal perjalanannya menuju akhirat; yaitu suatu waktu di mana orang-orang yang ingkar akan percaya, dan orang-orang fasik akan meyakini serta melihat hasil dari kejahatan mereka, saya mencalonkan Umar bin al-Khattab sebagai pengganti saya. Karena itu, dengarkan dan patuhilaj dia. Jika dia bertindak sesuai kebenaran, maka dukunglah dan itulah yang saya ketahui dari dirinya. Hanya kebaikan yang saya inginkan, tetapi saya tidak bisa melihat hasil di masa depan. Namun, orang-orang yang zalim dan jahat kelak akan mengetahui tempat kembali seperti apa yang akan mereka dapati. Semoga nikmat dan barakah dari Allah senantiasa tercurah kepada kalian.[26]
Umar memimpin salat Jenazah untuknya dan dia dimakamkan di samping makam Muhammad.[27]
Keluarga
Orangtua
Ayah — 'Utsman bin 'Amir (540– Maret 635), juga dikenal dengan nama Abu Quhafah. Berasal dari Bani Taim. Abu Quhafah baru menganut Islam setelah penaklukkan Makkah. Dia meninggal beberapa bulan setelah mangkatnya Abu Bakar.[28](hlm.87)
Ibu — Salma binti Shakhar, juga dikenal dengan sebutan Ummu al-Khair. Salma merupakan sepupu Abu Quhafah dan juga berasal dari Bani Taim. Salma termasuk orang yang telah masuk Islam sebelum Muhammad hijrah dan yang mendatangi kediaman Arqam.[29][30] Dia meninggal pada masa kekhalifahan putranya.[31]
Pasangan
Abu Bakar menikahi empat wanita, yang melahirkannya tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan dan mereka masing-masing:[32]
Qutailah binti Abdul Uzza bin Sa'ad bin Jabir bin Malik bin Hasl bin Amir bin Lu'ay, dan dia adalah ibu dari Abdullah dan Asma'.
Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair al-Khazrajiyah al-Anshariyah, dikatakan namanya Mulaikah binti Kharijah, dan dia adalah ibu dari Ummu Kultsum.[35]
Anak
Abu Bakar memiliki enam anak, tiga laki-laki dan tiga perempuan:[36]
Abdurrahman bin Abi Bakar, ibunya adalah Ummu Ruman, dan dia adalah saudara Aisyah, meninggal pada tahun 53 H atau 55 H atau 56 H.[37]
Abdullah bin Abi Bakar, ibunya adalah Qutailah binti Abdul Uzza, dan dia adalah saudara Asma', dan dialah yang membawakan makanan dan memberitahukan berita tentang kaum Quraisy kepada Muhammad dan ayahnya Abu Bakar saat mereka berada di gua Hira selama hijrah pertama setiap malam, meninggal pada masa kekhalifahan pertama Abu Bakar di bulan Syawal pada tahun 11 H.[38]
Muhammad bin Abi Bakar, ibunya adalah Asma' binti Umais, dan dia adalah saudara Abdullah bin Ja'far dari ibunya dan saudara Yahya bin Ali dari ibunya.[39]
Asma' binti Abi Bakar, ibunya adalah Qutailah binti Abdul Uzza, dia adalah istri dari az-Zubair bin al-Awwam dan ibu dari Abdullah bin az-Zubair, ia dijuluki "Dzatun Nithaqain".[40]
Aisyah binti Abi Bakar, ibunya adalah Ummu Ruman, dan dia adalah istri dari Muhammad dan yang paling terkenal di antara para wanita, dia dijuluki "Ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq" dan Ummul Mu'minin, dan dia adalah orang yang paling dicintai Muhammad dari seluruh orang-orang, meninggal pada 57 H atau 58 H pada malam selasa tujuh belas malam selama bulan Ramadhan, dan dimakamkan di pemakaman al-Baqi'.[41]
Ummu Kultsum binti Abi Bakar, ibunya adalah Habibah binti Kharijah, ia dilahirkan setelah kematian Muhammad.[42]
^ abcdefghijklmnopqrProf. Dr. Hamka (2016) Sejarah Umat Islam : Pra-kenabian hingga Islam di Nusantara Jakarta : Gema Insani
^Ibn Hishām, ʻAbd al-Malik (2000). Sirat Ibn Hisham (edisi ke-1st). Cairo: al-Falah Foundation. hlm. 41. ISBN9775813808. Diakses tanggal 16 July 2021.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Zuhri, Muhammad (1989). Terjemah Tarakh al-Tasryi' al-Islami. Indonesia: Darul Ikhya.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hathaway, Jane (2015). "Amīr al-ḥajj". Dalam Kate Fleet; Gudrun Krämer; Denis Matringe; John Nawas; Everett Rowson. The Encyclopedia of Islam, THREE. BRILL Online.
Hitti, Philip Khuri (2011). The Origins of the Islamic State: A Translation from the Arabic Accompanied With Annotations, Geographic and Historic Notes of the Kitab Futuh al-Buldan. Cosimo. ISBN9781616405342.
Rippin, Andrew (2009). The Blackwell Companion to the Qur'an. Chichester, West Sussex: Blackwell Publishing. ISBN978-1-4051-8820-3.
Gleave, Robert M. (2008). "Ali ibn Abi Talib". Encyclopaedia of Islam, THREE. Brill Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 April 2013. Diakses tanggal 29 March 2013.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Andrae, Tor (2013). Mohammed: The Man and his Faith. Routledge. ISBN9781135030537.
Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani (2014). Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God. ISBN9781610691789.
Drissner, Gerald (2016). Islam for Nerds – 500 Questions and Answers. Createspace. ISBN9781530860180.
Steigerwald, Diana (2004). "ʿAli (600–661)". Encyclopaedia of Islam and the Muslim world; vol.1. New York: Macmillan Reference USA. hlm. 35–38. ISBN978-0-02-865604-5.
Pranala Dalam
Cari tahu mengenai Abu Bakar ash-Shiddiq pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: