Dinasti Ikhsyidiyah
Dinasti Ikhsyidiyah adalah dinasti yang memerintah Mesir pada tahun 935 sampai 969. Muhammad bin Tughj al-Ikhshid, adalah seorang tentara budak keturunan Turki,[1][2][3] yang ditunjuk sebagai Gubernur oleh Kekhalifahan Abbasiyah[4] Dinasti menggunakan gelar Arab Wali karena posisi mereka sebagai gubernur di bawah Abbasiyah. Ikhsyidiyah berkuasa sampai Fatimiyah menguasai Fustat pada tahun 969.[5] BerdiriBerdirinya negara Ikhsyidid adalah bagian dari disintegrasi dan desentralisasi Abbasiyah karena perluasan wilayah setelah anarki di Samarra, dimana pemerintahan menjadi lebih terdesentralisasi. Pendirinya, Muhammad bin Tughj al-Ikhsyid, memiliki beberapa bentuk kekuatan militer [6] dan bersahabat dengan Mu'nis al-Muzaffar, seorang pemimpin militer yang kuat. Sebelum diangkat ke Futsat dia memegang jabatan Gubernur Damaskus. Dia pertama kali diangkat menjadi Gubernur Mesir pada 933 namun bukan merupakan tugas pertamanya.[7] Pada 935 dia diangkat untuk kedua kalinya menjadi gubernur sementara negara tersebut dalam keadaan perang dengan berbagai faksi. Dia meluncurkan sebuah kampanye untuk menaklukkan Mesir melalui darat dan laut, pasukan angkatan laut membawa Tinnis dan mampu memaksa mundur Ahmad bin Kayghalagh sebagai lawan utama, dan memfasilitasi masuknya Ibnu Tughj ke Futsat pada bulan Agustus.[8] Fatimiyah merupakan ancaman utama pada saat itu dan banyak usaha dilakukan untuk mengusir mereka, yang berpuncak pada kekalahan mereka oleh Ubaidillah, saudara laki-laki Ibnu Tughj pada 936 November.[9] Stabilitas terjadi pada tahun-tahun awal, dengan tidak adanya kekacauan ekonomi dan serangan Badui ditambah dengan larangan penjarahan yang membantu menenangkan Mesir. Ibnu Tughj mendapatkan gelar kehormatan (laqab) Al-Ikhshīd, yang berarti "Raja orang Farisi" dari Abbasiyah dan penunjukan resmi tiba pada bulan Juli 939.[10] KonsolidasiMuhammad bin Ra'iq mengambil alih Suriah pada 939, yang mengancam Mesir. Dengan marah, ibnu Tughj mengancam untuk membelot ke Kekhalifahan Fatimiyah, yang merupakan musuh Abbasiyah, padahal ibnu Tughj diangkat sebagai gubernur de jure yang tidak resmi oleh khalifah Abbasiyah. Namun, tindakannya yang defensif pada akhirnya mencapai kesepakatan dengan ibnu Ra'iq bahwa ibnu Tughj akan tetap memiliki Mesir dan Suriah untuk ibnu Ra'iq, dibatasi sepanjang Ramlah hingga Tiberias.[11] Pada tahun 944 ibnu Tughj memberikan jabatan gubernur Mesir, Suriah dan Hijaz selama 30 tahun ke keluarganya, dan pos-pos ini akan diberikan kepada anaknya, Abu'l-Qasim.[12] Sebelumnya pada tahun 942 ia mulai membuat koin atas namanya sendiri, dan melakukan perubahan sistem kekuasaan di Baghdad dengan mengurangi kekuasaan sentralistik. Pada 945 dia mengalahkan Sayf al-Dawla, musuhnya yang lain yang mengambil alih Damaskus,[13] yang menghasilkan sebuah gencatan senjata sampai kematiannya pada tahun 946. Abu'l-Qasim mewarisi konflik dengan Sayf al-Dawla dan melawannya di Damaskus, dan al-Dawla segera menduduki Aleppo pada tahun 947. Ada pemberontakan yang terus menerus oleh Ghabun, gubernur Mesir Tengah yang berhasil menduduki Futsat sebelum kematiannya pada tahun yang sama. Meskipun demikian, kelanjutan kebijakan penahanan oleh Kafur berhasil dilakukan untuk menegosiasikan penyelesaian antara konflik antara Ikhsyidid dan Dinasti Hamdaniyah di mana Damaskus dipimpin oleh orang Mesir lagi dan menyebabkan penghormatan kepada Hamdanid berhenti, dengan perbatasan sebagian besar sesuai dengan status quo ante bellum.[14] Perdamaian ini praktis menyelesaikan perbatasan Ikhsyidid dan meninggalkan Fatimiyah, sekali lagi sebagai ancaman utama, dengan pihak Bizantium sekarang bertanggung jawab atas Hamdanid. Kafur memegang kekuasaan setelah kematian ibnu Tughj pada tahun 946 yang sangat dipandang di kalangan orang sezaman.[14] KemunduranPenyerbuan Nubia terjadi pada tahun 950 dan invasi yang lebih serius terjadi pada tahun 965, ketika Aswan dijarah. Ini bertepatan dengan peristiwa kelaparan pada tahun 963-968 sementara itu Berber, Badui dan Qarmatians semuanya memanfaatkan negara yang lemah tersebut.[15] Pada tahun 966 Kafur mengambil alih setelah kematian Abu'l-Hasan, yang kemudian meningkatkan ketidakpastian karena statusnya sebagai seorang kasim. Meskipun demikian ia menerima gelar 'Ustādz,' yang berarti "tuan", dari Baghdad, yang secara legal memberinya legitimasi. Ibnu Killis, wali Kafur, ditangkap menyusul kematian Kafur pada tahun 968. Setelah dibebaskan ia melakukan perjalanan ke Fatimiyah Ifriqiyah dan memberikan informasi penting kepada mereka.[16] Pada tahun 934 sebuah invasi Fatimiyah yang dipimpin oleh kasim Raydan berhasil menaklukan Alexandria namun kemudian dipecat.[17] Baru kemudian usaha Jenderal Fatimiyah Jawhar al-Siqilli berhasil menaklukkan Mesir pada tahun 969. Ubaidillah, saudara Muhammad bin Tughj, bertahan di Suriah sampai bulan Maret 970, yang kemudian dia dapat dikalahkan dan dipenjarakan oleh Ja'far bin Fallah, menandakan berakhirnya dinasti Ikhsyidid sebagai penguasa yang berkuasa. Wali Mesir dan Syam di bawah Dinasti Ikhsyidiyah
Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|