Agama Buddha merupakan agama ketiga terbesar di Bangladesh dengan sekitar 0.7% dari total populasi penduduknya menganut Buddhisme Theravada.[1] Kebanyakan dari umat Buddha adalah suku Jumma yang menetap di Bukit Chittagong, di mana mereka berjumlah sekitar 45% dari populasi di daerah tersebut.
Demografi
Saat ini, penganut agama Buddha kebanyakan adalah orang-orang keturunan Arakan yang tinggal di daerah sub-tropis Bukit Chittagong. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Chakma, Chak, Marma, Tenchungya and the Khyang, yang sudah sejak zaman dahulu kala mempraktikkan agama Buddha. Suku lainnya, terutama mereka yng mempraktikkan Animisme, juga telah mendapatkan beberapa pengaruh agama Buddha sepertihalnya yang terjadi pada Khumi dan Mru, dan pada beberapa suku kecil lainnya.
Legenda mengatakan bahwa Gautama Buddha datang ke kawasan ini untuk menyebarkan agama Buddha dan terdapat spekulasi di mana satu atau dua orang kemudian menjadi biksu untuk mengikuti Dia. Akan tetapi, agama Buddha tidak mendapatkan banyak pengikut pada masa itu. Ketika masa kejayaan Asoka barulah agama Buddha memperoleh tempatnya disana.
Berbagai macam aliran agama Buddha mendapat ancaman pada masa penaklukkan dari Turki pada 1202.[3] Pasukan penyerang menemukan banyak wihara yang kemudian mereka hancurkan dengan alasan meyakini bahwa wihara-wihara itu adalh benteng pertahanan. Dengan hancurnya sumber ilmu pengetahuan dan pusat pembelajaran, agama Buddha secara cepat menurun. Pada abad-abad selanjutnya dan hingga tahun 1980an, hampir semua umat Buddha yang tersisa di Bangladesh adalah mereka yang tinggal di kawasan sekitar Chittagong, yang memang belum pernah dikuasai sampai pada masa British Raj (1858-1947). Di Bukit Chittagong, suku-suku buddhis merupakan mayoritas penduduk dan agama mereka adalah perpaduan dari kepercayaan suku dan ajaran Buddha. Menurut sensus 1981, terdapat sekitar 538.000 umat Buddha di Bangladesh, mewakili kurang dari 1 persen dari total penduduk.
Budaya
Terdapat beberapa wihara di kawasan Bukit Chittagong, dan di banyak desa-desa Buddhis terdapat sebuah sekolah (kyong) di mana anak laki-laki tinggal dan belajar membaca bahasa Burma dan Pali (sebuah bahasa kuno agama Buddha).[3] Umum bagi para lelaki yang telah menyelesaikan pendidikan mereka untuk kembali menetap di sekolah pada kurun waktu tertentu. Altar buddhis desa biasanya merupakan bagian penting dari kehidupan di desa.
Agama Buddha yang berkembang di luar retreat monastik telah menyerap dan beradaptasi dengan kepercayaan tradisional populer di mana mereka berkembang.[3]
Menteri Urusan Agama menyediakan bantuan untuk melestarikan tempat-tempat peribadatan buddhis dan relik-relik buddhis.[3] Wihara kuno do Paharpur (di wilayah Rajshahi) dan Mainamati (di wilayah Comilla), berasal dari abad ketujuh hingga kesembilan Masehi, dianggap unik karena ukuran dan peletakkannya, dan dilestarikan sebagai monumen yang dilindungi negara.