Samatha (Pali; Sanskerta: शमथ, śamatha) adalah praktik meditasi Buddhis (bhāvanā) mengenai penenangan kesadaran (citta) dan formasinya (saṅkhara). Hal ini dilakukan dengan menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai luhur, seperti cinta kasih (mettā), belas kasih (karuṇa), kemoralan (sīla), kedermawanan (cagga), dan lain sebagainya. Samatha umum ditemukan pada semua tradisi Buddhis.
Vipassanā (bahasa Pali) berarti melihat secara benar tentang sifat sejati dari realitas, yang tidak lain adalah dukkha, anicca, dan anatta.[1][2]
Istilah
Samatha
Istilah Tibet untuk samatha adalah shyiné (Wylie: zhi-Gnas). Menurut Jamgon Kongtrul, wawasan dapat dikumpulkan melalui penafsiran etimologi samatha dan shyiné:
Istilah Tibet (untuk samatha adalah) shyiné [shi-ne] (shi-Gnas) dan Sanskerta adalah Shamatha. Dalam istilah bahasa Tibet, suku kata pertama, shi, dan dalam istilah bahasa Sansekerta, dua suku kata pertama, shama, mengacu pada "kedamaian" dan "keamanan". Arti kedamaian atau keamanan dalam konteks ini adalah bahwa biasanya pikiran kita seperti gemuruh topan. Gemuruh tersebut adalah kecemasan pikiran. Pikiran kita pada dasarnya merupakan suatu perhatian obsesif terhadap masa lalu, konseptualisasi tentang masa kini, dan terutama perhatian yang obsesif terhadap masa depan. Ini berarti bahwa biasanya pikiran kita tidak mengalami saat sekarang sama sekali.[3]
Bidang semantik dari shi dan shama adalah "keamanan", "perlambatan atau pendinginan", "istirahat". Bidang semantik né adalah "untuk mematuhi atau tetap" dan hal ini serumpun atau setara dengan suku kata akhir istilah dalam bahasa Sanskerta, tha.[4]
Vipassanā
Vipassana adalah kata berbahasa Pali dari awalan Sansekerta "vi-" dan akar kata kerja pas. Kata ini sering diterjemahkan sebagai "pemahaman" atau "penglihatan yang jernih"; "Vi" dalam bahasa Indo-Arya setara dengan bahasa Latin "dis." Kata "vi" pada kata vipassanā kemungkinan dapat berarti untuk melihat ke dalam, melihat melalui atau untuk melihat 'dengan cara yang khusus.’ [5] Atau, kata “vi” dapat berfungsi sebagai penguat, dan dengan demikian vipassanā mungkin berarti “melihat secara mendalam.”
Sebuah sinonim untuk "Vipassana" adalah paccakkha (Pali; Sansekerta: pratyakṣa), “di depan mata," yang mengacu pada persepsi pengalaman langsung. Dengan demikian, jenis penglihatan yang dilambangkan dengan "vipassanā" merupakan bagian dari persepsi langsung, sebagai lawan dari pengetahuan yang berasal dari penalaran atau argumen.
Dalam bahasa Tibet, vipashyana adalah lhagthong (wylie: lhag mthong). Istilah “lhag” berarti “lebih tinggi”, “superior”, “lebih besar”; istilah “thong” yaitu “pandangan” atau "untuk melihat". Jadi bersama-sama, lhagthong dapat disamakan dalam bahasa Inggris sebagai “superior seeing (penglihatan superior)”, “great vision (pandangan besar)” atau “supreme wisdom (kebijaksanaan tertinggi).” Hal ini dapat ditafsirkan sebagai “superior manner of seeing (cara melihat yang unggul)”, dan juga sebagai “melihat ke hal yang bersifat penting." Sifat yang dimaksud di sini yaitu kejelasan dan kejernihan pikiran.[6]
“Melihat ke dalam sesuatu dengan kejelasan dan ketepatan, melihat setiap komponen sebagai hal yang berbeda dan terpisah, dan menusuk semua jalan masuk guna melihat kenyataan yang paling mendasar dari hal hal tersebut.” [5]}}
Gambaran umum
Samatha
Dalam kanon Pali, jalan praktik Buddha disederhanakan menjadi tiga divisi, yaitu moralitas (sila), konsentrasi (samadhi) dan kebijaksanaan (panna). Kesadaran pernapasan mengarahkan praktisinya ke dalam konsentrasi (samadhi), area pengalaman di mana indra menjadi tenang dan pikiran berdiam dalam konsentrasi yang tidak terganggu pada objek (yaitu, napas), jika tidak dalam penyerapan meditatif (Dhyana). Ini adalah kondisi untuk wawasan (vipassana) dan selanjutnya pengembangan kebijaksanaan yang membebaskan (panna). Dalam Buddhisme, moralitas (sila) dipahami sebagai dasar yang stabil untuk pencapaian (samatha). Samatha dan vipassana merupakan bagian tak terpisahkan dari Jalan Mulia Berunsur Delapan (Noble Eightfold Path) seperti yang dijelaskan oleh Sang Buddha dalam ajaran intinya (the Four Noble Truths). Empat Kebenaran Mulia, "The Way to the End of Suffering ", meliputi sila, samadhi dan panna, merupakan jalan yang mengundang praktisi untuk hidup dengan sila, samadhi dan panna.
Vipassanā
Dalam sutta Pitaka istilah “vipassanā” jarang disebutkan:
Jika Anda melihat langsung pada wacana Pali—sumber paling awal untuk pengetahuan kita tentang ajaran Buddha—Anda akan menemukan bahwa meskipun mereka memang menggunakan kata samatha yang berarti ketenangan, dan vipassanā yang berarti penglihatan jernih, mereka sebaliknya tidak mengkonfirmasi satupun terhadap penerimaan kebijaksanaan tentang istilah-istilah ini. Hanya terkadang mereka memang menggunakan kata vipassanā—kontras dengan seringnya mereka menggunakan kata jhana. Ketika mereka menggambarkan perintah Buddha kepada murid-muridnya agar melaksanakan meditasi, mereka tidak pernah mengutip bahwa Sang Buddha berkata “pergilah lakukan vipassanā,” tetapi selalu “pergilah lakukan jhana.” Dan mereka tidak pernah menyamakan kata vipassanā dengan teknik perhatian lainnya. [7]
Menurut Gombrich, perbedaan antara vipassanā dan samatha tidak berasal dari sutta, tetapi dari interpretasi terhadap sutta. Menurut Henepola Gunaratana:
Sumber klasik untuk perbedaan antara dua kendaraan ketenangan dan wawasan adalah Visuddhimagga.
Sutta mengandung jejak perdebatan kuno tentang penafsiran ajaran, serta klasifikasi dan hierarki awal. Di luar perdebatan ini dikembangkan gagasan yang melahirkan wawasan yang cukup untuk mencapai pembebasan, dengan melahirkan wawasan tersendiri pada Tiga tanda keberadaan (Tilakkhana), yaitu dukkha, anatta dan anicca. [8] Hal ini bertentangan dengan Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan, di mana jalan Buddha dimulai dengan wawasan, yang akan diikuti oleh praktik untuk mengolah pikiran dan mencapai Nirvana.
Sthaviravada menekankan wawasan-ilham:
Dalam Sthaviravada [...] kemajuan dalam pemahaman datang sekaligus, 'wawasan' (abhisamaya) tidak datang 'bertahap' (berturut-turut - anapurva). [9]
Mahasanghika memiliki doktrin ekaksana-citt, “yang dengannya seorang Buddha mengetahui segala sesuatu dalam satu pemikiran-instan”. [10]
Penekanan pada wawasan juga dapat terlihat dalam tradisi Mahayana, yang menekankan prajna:[11]
Hal yang menjadi induk dari suatu korpus besar awal pustaka Mahayana, Prajnaparamita, menunjukkan bahwa sampai batas tertentu sejarawan mungkin mengekstrapolasi tren untuk memuji wawasan, prajna, dengan mengorbankan penghilangan nafsu, viraga, yaitu pengendalian emosi. [12]
Meskipun Theravada dan Mahayana umumnya dipahami sebagai dua aliran Buddhisme yang berbeda, praktiknya juga mungkin mencerminkan penekanan pada wawasan sebagai sebutan yang serupa:
Dalam praktik dan pemahaman Zen sebenarnya sangat dekat dengan Tradisi Theravada Hutan meskipun bahasa dan ajaran-ajaran yang dimilikinya sangat dipengaruhi oleh Taoisme dan Konfusianisme.[13][14]
Penekanan pada wawasan juga dapat dilihat pada penekanan dalam Chan mengenai wawasan ilham, [9] meskipun pada tradisi Chan wawasan ini harus diikuti oleh pengolahan bertahap.
Praktik
Samatha
Samatha (ketenangan) dianggap sebagai prasyarat konsentrasi. Dalam hal praktik meditatif, samatha mengacu pada teknik yang membantu dalam menenangkan pikiran. Salah satu teknik utama yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini adalah kesadaran pernapasan (Pali:anapanasati). Praktik ini juga digunakan untuk memusatkan pikiran. Dengan demikian, meditasi samatha dan meditasi konsentrasi sering dianggap identik. Tujuannya adalah pendirian perhatian seperti yang digunakan dalam hubungannya dengan praktik wawasan (P: vipassanā; S: vipaśyanā), penyelidikan sifat benda, seperti yang ditemui dalam tradisi dzogchen, sehingga menghasilkan kebijaksanaan (P: panna, S:prajna). Samatha umumnya dilakukan sebagai awal untuk dan dalam hubungannya dengan praktik
kebijaksanaan.[15]
Melalui pengembangan meditatif dari kediaman yang tenang, seseorang dapat menekan munculnya lima rintangan. Dengan penekanan terhadap rintangan-rintangan ini, pengembangan meditatif wawasan menghasilkan kebijaksanaan yang membebaskan.[16]
Dalam tradisi Theravada, terdapat empat puluh objek meditasi. Kesadaran (sati) pernapasan (Anapana: anapanasati; S. ānāpānasmṛti) adalah praktik samatha yang paling umum. Samatha dapat mencakup praktik-praktik samadhi lainnya juga.
Beberapa praktik meditasi seperti perenungan objek kasina mendukung pengembangan samatha, praktik lainnya seperti kontemplasi kelompok yang kondusif untuk pengembangan vipassana, sementara praktik yang lainnya seperti perhatian pada pernapasan secara klasik digunakan untuk mengembangkan kedua kualitas mental tersebut.[17]
Vipassanā
Meditasi vipassanā berbeda dalam tradisi Buddhis modern dan dalam beberapa bentuk nonsektarian. Ini mencakup teknik meditasi apa pun yang memupuk wawasan termasuk kontemplasi, introspeksi, observasi sensasi tubuh, meditasi analitik, dan pengamatan tentang pengalaman hidup.
Dalam konteks Theravada, wawasan ini mendalami tiga tanda keberadaan: (1) ketidakkekalan (anicca) dan (2) penderitaan (dukkha) dan (3) tanpa-diri (anatta). Dalam konteks Mahayana, wawasan ke dalam ini umumnya digambarkan sebagai sunyata, dharmata, ketidakterpisahan antara penampakan dan kekosongan (doktrin dua kebenaran), kejelasan dan kekosongan, atau kebahagiaan dan kekosongan.[18]
Vipassana umumnya merujuk pada meditasi vipassanā, di mana satipatthana, empat landasan kewaspadaan atau anapanasati, "pernapasan secara sadar," digunakan untuk menjadi sadar akan ketidakkekalan dari segala sesuatu yang ada. Vipassana umumnya digunakan sebagai salah satu dari dua kutub untuk kategorisasi jenis praktik Buddhis; yang lainnya adalah samatha.[19]
Samatha adalah meditasi fokus, menenteramkan, dan menenangkan yang sudah dalam banyak tradisi di dunia, terutama yoga. Menurut ortodoksi Theravada kontemporer, samatha digunakan sebagai persiapan untuk vipassana, menenangkan pikiran dan memperkuat konsentrasi untuk memungkinkan terwujudnya wawasan, yang mengarah ke pembebasan.
Asal Mula
Sang Buddha dikatakan telah mengidentifikasi dua kualitas mental yang penting yang muncul dari praktik meditasi yang sehat:
Samatha, kediaman yang tenang, yang memantapkan, menyusun, menyatukan dan memusatkan pikiran;
Vipassana, wawasan, yang memungkinkan seseorang untuk melihat, mengeksplorasi dan melihat "formasi" (fenomena yang terkondisi berdasarkan lima kelompok).[20]
Sang Buddha dikatakan telah memuji ketenangan dan wawasan sebagai sarana untuk mencapai keadaan nibbana (Pali; Skt.: Nirwana.) yang tidak terkondisi. Sebagai contoh, dalam Kimsuka Tree Sutta, Sang Buddha memberikan kiasan yang rumit di mana ketenangan dan wawasan adalah "sepasang pembawa berita yang cepat" yang menyampaikan pesan dari nibbana melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.[21]
Dalam Four Ways to Arahantship Sutta, Ven. Ānanda melaporkan bahwa orang-orang mencapai tingkat kesucian arahat menggunakan kekekalan dan wawasan yang tenang melalui salah satu dari tiga cara berikut:
Mereka mengembangkan kediaman yang tenang dan kemudian wawasan (Pali: samatha-pubbangamam vipassanam)
Mereka mengembangkan wawasan dan kemudian kediaman yang tenang (Pali: vipassana-pubbangamam samatham)
Mereka mengembangkan kediaman yang tenang dan wawasan secara tandem (Pali: samatha-vipassanam yuganaddham), misalnya, memperoleh jhana pertama dan kemudian melihat kelompok terkait tiga tanda keberadaan sebelum melanjutkan ke jhana kedua.[22]
Dalam kanon Pali, Sang Buddha tidak pernah menyebutkan praktik meditasi samatha dan vipassana secara terpisah; sebagai gantinya, samatha dan vipassana adalah dua "kualitas pikiran" untuk dikembangkan melalui meditasi. Seperti yang Bhikkhu Thanissaro tulis,
Ketika [sutta Pali] menggambarkan sang Buddha yang sedang memberitahu siswa-siswanya untuk bermeditasi, mereka tidak pernah mengutipnya dengan mengatakan 'lakukanlah vipassana,' tetapi selalu ‘lakukanlah jhana'. Dan mereka tidak pernah menyamakan kata "vipassana" dengan teknik kesadaran. Dalam beberapa kasus di mana mereka menyebutkan vipassana, mereka hampir selalu memasangkannya dengan samatha - bukan sebagai dua metode alternatif, tetapi sebagai dua kualitas pikiran yang seseorang mungkin 'peroleh' atau 'akan diberkahi dengan’, dan hal itu harus dikembangkan secara bersama-sama.[23]
Demikian pula, mengacu pada MN 151, ay. 13-19, dan AN IV, 125-27, Ajahn Brahm (yang, seperti Bhikkhu Thanissaro, dalam Tradisi Hutan Thailand) menulis bahwa
“Beberapa tradisi berbicara tentang dua jenis meditasi, meditasi wawasan (vipassana) dan meditasi ketenangan (samatha). Bahkan keduanya adalah aspek tak terpisahkan dari proses yang sama. Ketenangan adalah kebahagiaan yang damai yang lahir dari meditasi; wawasan adalah pemahaman yang jelas yang lahir dari meditasi yang sama. Ketenangan mengarah pada wawasan dan wawasan menyebabkan ketenangan.”[24]
Interpretasi kontemporer Theravada
Dalam Theravada, ada berbagai pemahaman mengenai samatha.[25] Di Sri Lanka, samatha mencakup semua meditasi yang diarahkan pada objek statis.[26]
Di Burma, samatha terdiri dari semua praktik konsentrasi, yang bertujuan untuk menenangkan pikiran. Selama dekade terakhir ini, samatha dalam tradisi Burma telah dipopulerkan di barat oleh Pa Auk Sayadaw. Tradisi ini menjunjung tinggi penekanan pada samatha yang termuat dalam tradisi kitab komentar Visuddhimagga. Pa Auk Sayadaw menyajikan tradisi ini melalui retret yang luas di seluruh dunia hingga masa pensiunnya pada tahun 2012. Pada tahun 2005, Tina Rasmussen dan Stephen Snyder menyelesaikan seluruh jalur samatha yang rinci di bawah pengawasan langsung Pa Auk Sayadaw. Mereka kemudian merupakan orang awam Barat pertama yang ia ijinkan untuk mengajar. Snyder dan Rasmussen, dalam retret mereka dan dalam buku mereka, Practicing The Jhanas: Traditional Concentration Meditation As Presented By The Venerable Pa Auk Sayadaw, menyajikan ajaran tradisional yang akurat dalam konteks yang dapat diakses praktisi awam Barat.[27]
Tradisi Hutan Thailand yang berasal dari Ajahn Mun dan yang dipopulerkan oleh Ajahn Chah menekankan ketidakterpisahan dari samatha dan vipassana, dan pentingnya kedua praktik tersebut.
Tradisi Indo-Tibet
Sutra Mahayana
Sejumlah sutra Mahayana menyebut samatha, biasanya dalam hubungannya dengan vipassanā.
Salah satu yang paling menonjol, the Cloud of Jewels Sutra (Ārya Ratnamegha Sutra, Tib. 'Phags-pa dkon-mchog sprin-gyi mdo) membagi semua bentuk meditasi ke dalam śamatha atau vipassanā, mendefinisikan samatha sebagai "kesadaran tujuan-tunggal" dan vipassanā sebagai "melihat ke dalam hakikat segala sesuatu".[28]
The Sūtra Unlocking Mistery (Samdhinirmocana Sūtra), sebuah sutra Yogacara, juga sering digunakan sebagai sumber dalam ajaran-ajaran tentang samatha. The Samādhirāja Sūtra sering dikutip sebagai sumber penting dalam instruksi samatha oleh tradisi Kagyu, terutama melalui komentar Gampopa,[29] meskipun ilmuwan Andrew Skilton, yang telah mempelajari Samādhirāja Sūtra secara mendalam, melaporkan bahwa Sutra itu sendiri "tidak mengandung eksposisi signifikan baik pada praktik meditasi ataupun pada kondisi pikiran.”[30]
Dhyana
Samatha membantu aspek konsentrasi yang benar dari jalan mulia berunsur delapan. Hasil keberhasilan samatha juga kadang-kadang dicirikan sebagai penyerapan meditasi (samadhi, ting nge 'dzin) dan meditasi seimbang (Samahita, mnyam-bzhag), dan kebebasan dari lima penghalang (āvaraṇa, sgrib-pa). Hal ini juga mengakibatkan siddhis dari indra ke-enam (abhijñā, mgon shes) dan emanasi ajaib (nirmana, sprul pa).[31]
Faktor-faktor dalam samatha
Sembilan kediaman mental
Dalam formulasi yang berasal dari Asanga (4 Masehi), praktik samatha dikatakan untuk peningkatan melalui sembilan "kediaman mental" atau Sembilan tahapan melatih pikiran (Sans. navākārā cittasthiti, Tib. Sem Gnas dgu), yang mengarah ke samatha yang benar (setara dengan "konsentrasi akses" dalam sistem Theravada), dan dari sana ke keadaan konsentrasi meditasi yang disebut dhyana pertama (Pali: jhāna; Tib. Bsam gtan) yang sering dikatakan sebagai keadaan ketenangan atau kebahagiaan.[32][33] Asanga melukiskan sembilan kediaman mental dalam Abhidharmasamuccaya-nya dan dalam bab Śrāvakabhūmi dari Yogācārabhūmi-sastra-nya. Hal ini juga ditemukan dalam Mahayanasutralankara dari Maitreyanātha.
Sembilan Kediaman Mental (navākārā cittasthiti, sem-gnas dgu) tersebut adalah:[34]
Penempatan pikiran (S. cittasthāpana, Tib འཇོག་པ - sem 'jog-pa) terjadi ketika praktisi mampu menempatkan perhatiannya pada objek meditasi, tetapi tidak dapat mempertahankan perhatiannya tersebut untuk waktu yang lama. Gangguan, kebodohan pikiran dan rintangan lainnya merupakan hal yang umum terjadi.
Perhatian yang berkelanjutan (S. samsthāpana, Tib རྒྱུན་དུ་འཇོག་པ - rgyun-du'jog-pa) terjadi ketika praktisi mengalami saat-saat perhatian yang terus-menerus pada objek sebelum akhirnya terganggu. Menurut B Alan Wallace, ini adalah ketika Anda bisa mempertahankan perhatian Anda pada objek meditasi selama sekitar satu menit.
Perhatian yang diulang (S. avasthāpana, Tib བླན་ཏེ་འཇོག་པ - slan-te 'jog-pa) adalah ketika perhatian praktisi terpaku pada objek selama sebagian besar sesi latihan dan dia mampu segera menyadari ketika dia telah kehilangan pegangan mentalnya pada objek dan mampu mengembalikan perhatiannya dengan cepat. Sakyong Mipham Rinpoche menunjukkan bahwa kemampuan untuk mempertahankan perhatian untuk 108 tarikan napas adalah tolak ukur yang baik ketika kita telah mencapai tahap ini.
Perhatian yang Saksama (S. upasthāpana, Tib ཉེ་བར་འཇོག་པ - nye-bar 'jog-pa) terjadi ketika praktisi mampu mempertahankan perhatiannya sepanjang seluruh sesi meditasi (satu jam atau lebih) tanpa kehilangan pegangan mentalnya pada objek meditasi sama sekali. Dalam tahap ini, praktisi mencapai kekuatan kesadaran. Namun demikian, tahap ini masih mengandung bentuk halus kesenangan dan kebodohan atau kelemahan.
Perhatian yang dijinakkan (S. damana, Tib དུལ་བར་བྱེད་པ - dul-bar byed-pa), pada tahap ini praktisi mencapai ketenangan dalam pikiran, tetapi harus mewaspadai terhadap bentuk-bentuk halus dari kelemahan atau kesuraman, keadaan pikiran yang damai yang bisa rancu dengan kediaman yang tenang. Dengan berfokus pada manfaat masa depan dari mendapatkan Shamatha, praktisi dapat mengangkat (gzengs-bstod) pikirannya dan menjadi lebih fokus dan jelas.
Perhatian yang ditenangkan (S. Samana, Tib ཞི་བར་བྱེད་པ་ - zhi-bar byed-pa) adalah tahap di mana kebodohan mental atau kelalaian yang halus tidak lagi menjadi kesulitan yang besar, tapi sekarang praktisi rawan terhadap kesenangan halus yang timbul di ujung perhatian meditatif. Menurut B. Alan Wallace tahap ini hanya akan tercapai setelah ribuan jam pelatihan yang ketat.
Perhatian yang sepenuhnya ditenangkan (S. vyupaśamana, Tib རྣམ་པར་ཞི་བར་བྱེད་པ་ - nye-bar-bar zhi byed-pa), meskipun praktisi mungkin masih mengalami kegembiraan atau kesuraman yang halus, hal tersebut jarang terjadi dan ia dapat dengan mudah mengenali dan menenangkannya.
Perhatian fokus-tunggal (S. ekotīkarana, Tib རྩེ་གཅིག་ཏུ་བྱེད་པ་ - Rtse-gcig-tu byed-pa) dalam tahap ini praktisi dapat mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi dengan hanya sedikit usaha dan tanpa terganggu bahkan oleh kelemahan atau kegembiraan halus selama seluruh sesi meditasi.
Keseimbangan Pikiran (S. samādhāna, Tib མཉམ་པར་འཇོག་པ་བྱེད་པ་ - Mnyam-par 'jog-pa) meditator sekarang mudah mencapai konsentrasi yang diserap (ting-nge-'dzin, S. samadhi) dan bisa mempertahankannya selama sekitar empat jam tanpa gangguan apapun.
(10. samatha, Tib ཞི་གནས་, shyiné- puncaknya, kadang-kadang disebut sebagai tahap kesepuluh)
Lima kesalahan dan delapan penangkal
Tradisi tekstual Buddhisme Tibet mengidentifikasi lima kesalahan dan delapan penangkal dalam praktik meditasi samatha. Lima kesalahan mengidentifikasi hambatan dalam praktik
meditasi, dan delapan penangkal diterapkan untuk mengatasi lima kesalahan tersebut. Formulasi ini
berasal dari Madhyānta-vibhāga dari Maitreyanātha dan
diuraikan dalam teks-teks lanjutan, seperti dalam Stages of Meditation (Bhāvanākrama)
oleh Kamalaśīla.[35]
Lima kesalahan
Untuk berlatih samatha, seseorang harus memilih salah satu objek pengamatan (ālambana,
dmigs-pa). Maka seseorang harus mengatasi
lima kesalahan (ādīnava, Nyes-dmigs)
berikut:[36]
Kelemahan (laya, bying-ba) dan kegembiraan (auddhatya, rgod-pa). Kelemahan mungkin dapat berbentuk kasar (audārika, kain-pa) atau halus (suksma, phra-mo). Kelesuan (styāna, rmugs-pa) sering juga hadir, namun dikatakan kurang umum.
Non-terapan (anabhisamskāra, 'du mi-byed-pa)
[Terlalu] diterapkan (abhisamskāra, 'du byed-pa)
Delapan penangkal
Berikut ini delapan penangkal (pratipakṣa, gnyen-po) atau terapam (abhisamskāra, 'du-byed pa) yang
dapat diterapkan untuk mengatasi lima
kesalahan tersebut:[37]
terhadap kemalasan:
1. Keyakinan (Sraddha, ayah-pa)
2. Aspirasi (chanda, 'dun-pa)
3. Tenaga (vyayama, rtsol-ba)
4. Kelenturan (praśrabdhi, shin-sbyangs)
terhadap lupa terhadap instruksi:
5. Kesadaran diri (smrti, dran-pa)
terhadap kelemahan dan kegembiraan
6. Kesadaran (samprajaña, Shes-bzhin)
terhadap non-terapan:
7. Penerapan (abhisaṃskāra, 'du byed-pa)
terhadap terlalu banyak diterapkan:
8. non-terapan (anabhisaṃskāra, 'du mi-byed-pa)
Enam Kekuatan
Enam kekuatan (bala, stobs) juga diperlukan untuk samatha:[38]
Mendengar (śruta, thos-pa)
Berpikir (cinta, bsam-pa)
Kesadaran diri (smrti, dran-pa)
Kesadaran (samprajaña, Shes-bzhin)
Usaha (virya, brtson-'grus)
Keakraban (paricaya, yong-su 'dris-pa)
Empat metode keterlibatan mental
Empat motode keterlibatan mental (manaskāra, yid-la byed-pa) yang
dikatakan mungkin untuk dilakukan adalah:[37]
Samatha dipahami secara agak berbeda dalam tradisi Mahamudra seperti yang dipraktikkan dalam garis keturunan Kagyu. Seperti yang Traleg Kyabgon Rinpoche jelaskan,
Dalam praktik meditasi ketenangan Mahamudra ... kita memperlakukan semua pikiran sebagai hal yang sama untuk mendapatkan jarak dan obyektifitas yang cukup dari kondisi mental kita saat ini, yang akan memungkinkan kita untuk masuk secara alami ke dalam keadaan ketenangan tanpa usaha atau rencana [.. .] Agar pikiran diam, kita perlu untuk menangguhkan pertimbangan nilai yang kita terapkan dalam aktivitas mental kita [...] adalah penting bahwa kita tidak mencoba untuk menciptakan keadaan tenang tetapi mengijinkan pikiran untuk masuk ke dalam ketenangan secara alami. Ini merupakan gagasan penting dalam tradisi Mahamudra, yaitu mengenai tidak melakukan apa-apa. Kita tidak melakukan mediasi ketenangan, kita membiarkan ketenangan muncul dengan sendirinya, dan akan melakukannya hanya jika kita berhenti memikirkan keadaan meditasi sebagai hal yang perlu kita lakukan secara aktif [...] Dengan kata lain, menangkap diri Anda di tengah gangguan adalah ujian sejati dalam meditasi ketenangan, karena yang penting adalah bukan kemampuan untuk mencegah timbulnya pikiran atau emosi tetapi kemampuan untuk menangkap diri kita dalam keadaan mental atau emosional tertentu. Ini adalah inti dari meditasi ketenangan [dalam konteks Mahamudra] [...] Gaya meditasi Mahamudra tidak mendorong kita menuju berbagai tingkat konsentrasi meditasi tradisional seperti yang dijelaskan dalam panduan mediasi eksoteris [...] Dari sudut pandang Mahamudra, kita tidak boleh menginginkan keseimbangan meditasi atau memiliki keengganan untuk pikiran diskursif dan emosi yang saling bertentangan tetapi untuk melihat kedua keadaan tersebut dengan tenang. Sekali lagi, poin pentingnya adalah bukan apakah meditasi yang seimbang telah hadir tapi apakah kita mampu mempertahankan kesadaran keadaan mental kita. Jika pikiran-pikiran yang mengganggu benar-benar timbul, karena hal tersebut pasti akan muncul, kita hanya perlu mengenali pikiran-pikiran dan emosi tersebut sebagai fenomena sementara.[39]
Bagi Kagyupa, dalam konteks Mahamudra, samatha melalui perhatian pada pernapasan dianggap sebagai cara yang ideal bagi meditator untuk melakukan transisi dalam mengambil pikiran itu sendiri sebagai objek meditasi dan menghasilkan vipassanā atas dasar tersebut.[40]
Yang cukup mirip adalah pendekatan samatha yang ditemukan dalam semde dzogchen (Sansekerta: mahāsandhi cittavarga). Dalam sistem semde, samatha merupakan yang pertama dari empat yoga (Tib. naljor, Wylie: rnal-'byor),[41] yang lainnya adalah vipassanā (Wylie: lhag-mthong), Non-dualitas (advaya, Tib. nyime, Wylie: gnyis-med),[42] dan kehadiran spontan (anābogha atau nirābogha, Tib. lhundrub, Wylie: lhun-grub).[43] Ini merupakan paralel dari empat yoga dalam Mahamudra.
Pada Juni 1996, Ajahn Amaro mendirikan Biara Abhayagiri di Redwood Valley, California, di mana ia adalah kepala biara bersama dengan Ajahn Pasanno hingga Juli 2010. Ajahn Amaro kembali ke Amaravati pada bulan Juli 2010 dan sebagai pelajar lama dalam tradisi Theravada Hutan Thailand dari Ajahn Chah, ia juga telah melatih pendekatan samatha semde dzogchen di bawah Tsoknyi Rinpoche. Ia menemukan kesamaan dalam pendekatan dari dua tradisi tersebut terhadap samatha.[44]
Hubungan dengan vipassanā
Dzogchen Pönlop Rinpoche dengan jelas menggambarkan grafik hubungan perkembangan praktik samatha dan vipassanā:
Bagaimana kedua aspek meditasi tersebut dipraktikkan adalah ketika seseorang mulai dengan praktik shamatha; atas dasar itu, maka ada kemungkinan untuk melatih vipassana atau lhagthong. Melalui praktik vipassana yang berbasis dan dijalankan di tengah-tengah shamatha, seseorang pada akhirnya berlatih penyatuan [yuganaddha] dari shamatha dan vipassana. Penyatuan tersebut mengarah kepada pengalaman yang sangat jelas dan langsung dari sifat segala sesuatu. Hal ini membawa seseorang sangat dekat dengan apa yang disebut dengan kebenaran mutlak.[45]
Praktik-praktik serupa dalam agama-agama lain
Meditasi dari tradisi agama lain mungkin juga diakui sebagai meditasi samatha, yang berbeda dalam fokus konsentrasinya. Dalam pengertian ini, samatha bukanlah meditasi Buddhis murni. Samatha dalam fokus tunggal dan konsentrasi pikirannya adalah serumpun dengan keenam "dahan" yoga’ Astanga, yoga raja yang merupakan konsentrasi (Dharana).
Rujukan
^Essentials of Mahamudra: Looking Directly at the Mind, oleh Khenchen Thrangu Rinpoche. Amazon.com.
^Henepola Gunaratana, Mindfulness in plain English, Wisdom Publications, hal. 21.
^Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambhala Publications. ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.69.
^Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambhala.ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.70.
^Brahm (2006). Mindfulness, Bliss, and Beyond. Wisdom Publications, Inc. hal. 25. ISBN 0-86171-275-7.
^The Experience of Samadhi: An In-depth Exploration of Buddhist Meditation by Richard Shankman. Shambhala: 2008. ISBN 1-59030-521-3
^Schumann, Hans Wolfgang (1997), Boeddhisme, Asoka
^Practicing The Jhanas: Traditional Concentration Meditation As Presented By The Venerable Pa Auk Sayadaw by Snyder, Stephen; Rasmussen, Tina. Shambhala: 2009. ISBN 978-1-59030-733-5
^"How to practice Calm-Abiding Meditation," Dharma Fellowship.
^Collected Works of Chogyam Trungpa, Vol. II Shambhala Publications. halaman 19
^"State or Statement?: Samādhi in Some Early Mahāyāna Sūtras." The Eastern Buddhist. 34-2. 2002, halaman 57
^Meditative States in Tibetan Buddhism By Lati Rinpoche, Denma Locho Rinpoche, Leah Zahler, Jeffrey Hopkins Wisdom Publications: December 25, 1996. halaman 53-85
^The Practice of Tranquility & Insight: A Guide to Tibetan Buddhist Mediation by Thrangu Rinpoche. Snow Lion Publications; 2 edition. 1998 ISBN 1-55939-106-5 hal.19
^Meditative States in Tibetan Buddhism By Lati Rinpoche, Denma Locho Rinpoche, Leah Zahler, Jeffrey Hopkins Wisdom Publications: December 25, 1996. ISBN 0-86171-119-X halaman 53-85
^Study and Practice of Meditation: Tibetan Interpretations of the Concentrations and Formless Absorptions by Leah Zahler. Snow Lion Publications: 2009 halaman 23
^Study and Practice of Meditation: Tibetan Interpretations of the Concentrations and Formless Absorptions by Leah Zahler. Snow Lion Publications: 2009 halaman 5
^ abMeditative States in Tibetan Buddhism By Lati Rinpoche, Denma Locho Rinpoche, Leah Zahler, Jeffrey Hopkins Wisdom Publications: Desember 25, 1996. hal. 53-85
^Meditative States in Tibetan Buddhism By Lati Rinpoche, Denma Locho Rinpoche, Leah Zahler, Jeffrey Hopkins Wisdom Publications: Desember 25, 1996. hal. 54-58
^Mind at Ease, by Traleg Kyabgon, Shambhala Publications, halaman 149-152, 157
^Pointing Out the Great Way: The Stages of Meditation in the Mahamudra tradition by Dan Brown. Wisdom Publications: 2006 halaman 221-34
^Unbounded Wholeness by Anne C. Klein, Tenzin Wangyal. ISBN 0-19-517849-1 hal. 349
^Unbounded Wholeness by Anne C. Klein, Tenzin Wangyal. ISBN 0-19-517849-1 hal. 357, 359
^Ajahn Chah's 'View of the View'", in Broad View, Boundless Heart by Ajahn Amaro.
^Ray, Reginald A. (Ed.)(2004). In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers. Boston, Massachusetts, USA: Shambala.ISBN 1-57062-849-1 (pbk.: alk. paper) hal.76.
Daftar pustaka
Bond, George D. (1992), The Buddhist Revival in Sri Lanka: Religious Tradition, Reinterpretation and Response, Motilal Banarsidass Publishers
Buswell, Robert E. JR; Gimello, Robert M. (editors) (1994), Paths to Liberation. The Marga and its Transformations in Buddhist Thought, Delhi: Motilal Banarsidass PublishersPemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
Glickman, Marshall (1998), Beyond the Breath: Extraordinary Mindfulness Through Whole-Body Vipassana Meditation, Tuttle Publishing, ISBN1-58290-043-4
Gombrich, Richard F. (1997), How Buddhism Began. The Conditioned Genesis of the Early Teachings, New Delhi: Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd.
Khantipalo, Bikkhu (1984), Calm and Insight. A buddhist Manual for Meditators, London and Dublin: Curzon Press Ltd.
King, Winston L. (1992), Theravada Meditation. The Buddhist Transformation of Yoga, Delhi: Motilal Banarsidass
Koster, Frits (2009), Basisprincipes Vipassana-meditatie. Mindfulness als weg naar bevrijdend inzicht, Asoka
Mathes, Klaus-Dieter (2003), Blending the Sūtras with the Tantras: The influence of Maitrīpa and his circle on the formation of Sūtra Mahāmudrā in the Kagyu Schools. In: Tibetan Buddhist Literature and Praxis: Studies in its Formative Period, 900–1400. Tibetan Studies: Proceedings of the Tenth Seminar of the International Association for Tibetan Studies, Oxford
McMahan, David L. (2008), The Making of Buddhist Modernism, Oxford University Press, ISBN9780195183276
Nyanaponika (1998), Het hart van boeddhistische meditatie (The heart of Buddhist Meditation), Asoka
Ray, Reginald A. (Ed.) (2004), In the Presence of Masters: Wisdom from 30 Contemporary Tibetan Buddhist Teachers, ISBN1-57062-849-1Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
Schumann, Hans Wolfgang (1974), Buddhism: an outline of its teachings and schools, Theosophical Pub. House