Metteyya
Metteyya (Pali; Sanskerta: Maitreya) adalah seorang bodhisatwa yang dianggap oleh semua aliran Buddhisme sebagai Buddha yang akan datang.[1][2] Dalam bahasa Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa (彌勒菩薩). Dalam semua aliran agama Buddha, Maitreya dipandang sebagai penerus langsung Buddha Gautama. Sebagai Buddha kelima dan terakhir dari kalpa (eon) saat ini, ajaran Maitreya akan difokuskan untuk mengembalikan Dharma Buddha di Bumi. Menurut kitab suci, ajaran Maitreya akan serupa dengan ajaran Gautama (Śākyamuni).[3][4] Kedatangan Maitreya diperkirakan akan terjadi pada masa ketika ajaran Buddha Gautama telah diabaikan atau sebagian besar dilupakan. Meskipun banyak tokoh agama dan pemimpin spiritual yang mengaku sebagai Maitreya sepanjang sejarah, berbagai aliran agama Buddha menolak klaim tersebut, sembari menggarisbawahi bahwa Maitreya belum pernah muncul sebagai Buddha (karena ajaran Buddha belum dilupakan). Umat Buddha tradisional percaya bahwa Maitreya saat ini masih bodhisatwa (calon Buddha) dan sedang berada di surga Tushita,[5] yang merupakan tempat tinggal bagi para bodhisatwa sebelum mencapai Kebuddhaan. Buddha Gotama juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddhattha Gotama di dunia. TheravādaDalam Cakkavatti-Sīhanāda Sutta, sutta ke-26 dari Dīgha Nikāya, Sutta Piṭaka, Tipitaka Pāli, dikatakan bahwa:
MahāyānaDalam Buddhavacana Maitreya Bodhisattva Sutra (Sutra Tentang Maitreya Bodhisattva Mencapai Buddha), Tripitaka Tionghoa disebutkan:
Maitreya di Asia TimurMaitreya di TiongkokTeks ajaran Buddhisme tentang Maitreya di China berasal dari hasil terjemahan oleh biksu An Shi Gao (安世高), Lokaksema pada abad ke-2, Dharmaraksa (竺法護) pada abad ke-3, Dao'an (道安) pada abad ke-4, dan Kumarajiva pada abad ke-5.[6] Konsep tanah suci Maitreya sangat populer sehingga pada abad ke-4 sampai ke-6, muncullah keyakinan terhadap Maitreya di seluruh Tiongkok. Di masa Dinasti Utara dan Selatan (420-589), sejumlah besar “kitab-kitab palsu” Maitreya muncul.[7] Kitab-kitab ini umumnya menguraikan sutra Buddha resmi dengan penafsiran tertentu dan dijadikan kitab-kitab baru seolah-olah isi kitab tersebut adalah ajaran sang Buddha.[7] Kemunculan kitab-kitab palsu itu terkait erat dengan kondisi masyarakat yang sulit saat itu. Dengan kata lain, ketika kondisi kehidupan yang sulit melanda dan para penjahat merajalela di masyarakat, orang-orang pada umumnya benar-benar mendambakan hadirnya seorang “mesias”, seperti Maitreya, yang dapat menaklukkan semua penjahat dan menstabilkan dunia ini.[8] Di saat itu, mulai ada banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai titisan Buddha Maitreya yang akan menjadi juru selamat dan mengubah dunia ini. Sejak itulah muncullah Sekte Maitreya dan terjadi berbagai pemberontakan dengan slogan bahwa Maitreya telah datang untuk mengubah dunia ini. Di abad ke 10, ada seorang biksu eksentrik bernama Qici (契此), yang lahir di provinsi Zhejiang pada masa Dinasti Liang (907–923 M) di Tiongkok. Biksu ini dikenal dengan Budai atau Pu Tai He Sang atau Biksu Berkantong Kain[9][10], yang sering disebut sebagai Hotei dalam budaya Jepang. Sosoknya kemudian menjadi tokoh populer dalam tradisi Buddha, terutama dalam Buddhisme Mahayana dan budaya Asia Timur. Legenda mengatakan bahwa biksu ini sering berkelana membawa kantong kain pada permulaan abad ke-10. Dia juga dijuluki Buddha Ketawa, Buddha Mi Le, atau Mi Le Fo (Buddha yang akan datang). Ia dipercayai sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat meninggal dia menulis syair:
Seribu kalpa kelahiran untuk mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran. Sejak itu sosok Budai sering dijadikan figur oleh mereka-mereka yang percaya bahwa Maitreya telah lahir. Referensi
Daftar PustakaMa, Xisha; Huiying Meng (2011), Popular Religion and Shamanism, Brill, ISBN 978-9004174559 Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Maitreya.
|