Pandangan (Pali: diṭṭhi; Sanskerta: दृष्टि, dṛṣṭi), juga dikenal sebagai pengertian dalam beberapa versi terjemahan, adalah salah satu ajaran sentral dalam Buddhisme.[2] Dalam pemikiran Buddhis, suatu pandangan bukanlah kumpulan proposisi yang sederhana dan abstrak, melainkan suatu penafsiran pengalaman yang secara intens membentuk dan memengaruhi pemikiran, perasaan, dan perbuatan.[3] Oleh karena itu, memiliki sikap mental yang tepat terhadap pandangan dianggap sebagai bagian integral dari jalan Buddhis, karena pandangan yang benar perlu dipraktikkan dan pandangan yang salah (micchā-diṭṭhi) perlu ditinggalkan, dan terkadang semua jenis pandangan dipandang sebagai penghalang menuju kecerahan.[4]
Pandangan benar (Pali: sammādiṭṭhi) merupakan bagian pertama Jalan Mulia Berunsur Delapan yang termasuk dalam kategori kebijaksanaan (paññā), dan diyakini sebagai dasar sebelum berlanjut ke poin-poin lainnya dalam formulasi Jalan Mulia Berunsur Delapan.[5][6]
Pandangan salah (Pali: micchādiṭṭhi) bersumber dari dua puluh pandangan tentang identitas diri. Buddha menguraikan berbagai jenis pandangan salah seperti pandangan tentang roh kekal, kehidupan kekal setelah kematian, kepasrahan atas takdir, ketiadaan akibat perbuatan, dan berbagai pandangan lainnya. Beberapa pandangan tersebut dianut oleh Enam Guru Sesat dan titthiya lainnya.
Dalam konteks Sutta Piṭaka, diṭṭhi merujuk kepada pandangan secara umum, sedangkan dalam konteks Abhidhamma Piṭaka, diṭṭhi secara spesifik merujuk pada faktor mental yang mendasari kemunculan pandangan-salah (micchā-diṭṭhi), yaitu pandangan atau opini yang keliru (vitathā diṭṭhi), tidak berdasar, atau tidak sesuai dengan realitas.[7]
Dalam kitab Dīgha Nikāya, pandangan benar dijelaskan sebagai berikut:
Pandangan benar adalah pengetahuan atau pemahaman mengenai dukkha, sebab dukkha, penghentian dukkha, serta jalan menuju penghentian dukkha.
— Dīgha Nikāya 22
Oleh karena itu, pandangan benar diartikan sebagai pengetahuan atau pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia.[5][8]
Sepuluh pandangan benar
Dalam Cunda Sutta (AN 10.176),[9] Paṭhamanirayasagga Sutta (AN 10.211),[10] dan Paṭhamasañcetanika Sutta (AN 10.217),[11] dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki pandangan benar memiliki perspektif benar sebagai berikut (sammādiṭṭhiko hoti aviparītadassano):
"Ada yang diberikan" (atthi dinnaṁ)
"Ada yang dikorbankan" (atthi yiṭṭhaṁ)
"Ada yang dipersembahkan" (atthi hutaṁ)
"Ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk" (atthisukaṭadukkaṭānaṁ kammānaṁ phalaṁ vipāko)
Keempat pandangan tersebut menegaskan bahwa pemberian (dāna), persembahan (pūjā), dan kebajikan lainnya itu bermanfaat dan menghasilkan buah atau akibat karma (kammassakatā-sammādiṭṭhi). Pandangan ini menolak pandangan amoralisme yang menyatakan bahwa tidak ada akibat dari perbuatan baik dan buruk.[8][12]
"Ada dunia ini" (atthi ayaṁ loko)
"Ada dunia lain" (atthi paro loko)
"Ada ibu" (atthi mātā)
"Ada ayah" (atthi pitā)
"Ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan" (atthi sattā opapātikā)
Lima pandangan selanjutnya menegaskan bahwa kehidupan saat ini dan kehidupan selanjutnya ada. Hal ini berkaitan dengan ajaran tentang punarbawa atau kelahiran kembali yang menekankan adanya makhluk-makhluk yang lahir dari ayah dan ibu sebagai sosok yang telah berjasa besar, atau terlahir secara spontan seperti dewa, brahma, hantu kelaparan, dan lain-lain.[8][12]
"Ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan praktik yang benar" (atthi loke samaṇabrāhmaṇā sammaggatā sammāpaṭipannā)
Pandangan terakhir dalam daftar ini menegaskan bahwa di dunia saat ini masih ada orang-orang dengan perilaku baik yang mempraktikkan Dhamma dengan benar, para makhluk yang telah mencapai empat tingkat kemuliaan.[8][12]
"Aku tak berpikir begitu. Aku tak berpikir demikian pula atau sebaliknya. Aku tak berpikir tidak atau bukan-tidak."
Penundaan penilaian.
Daftar ajaran yang ditolak Sang Buddha
Berikut ini adalah daftar ajaran-ajaran (-vāda) yang ditolak oleh Sang Buddha karena mengandung pandangan keliru berdasarkan berbagai diskursus yang tersebar dalam bagian-bagian Sutta Piṭaka:[8]
adhiccasamuppannavāda: segala sesuatu terjadi karena kebetulan.[15][16][17]
ahetukavāda atau ahetuappaccayavāda: segalanya muncul tanpa penyebab atau non-kausalitas; segalanya terjadi tanpa mengacu kepada sebab atau kondisi apa pun; makhluk di dunia ini menjadi suci/bersih kembali oleh kelahiran kembali.[18][19][20][21][22]
akiriyavāda: tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk setelah kematian.[9][19][22][23][24]
amarāvikkhepavāda: memberikan jawaban yang tidak sesuai pertanyaan dengan berbagai macam pengelakan jika ditanya.[24][15][16][17]
antānantavāda: melihat dunia sebagai terbatas atau tidak terbatas.[15][16][17]
asaññīvāda: meyakini eksistensi diri atau roh kekal setelah kematian sebagai bukan-persepsi (asaññā).[15][16][17]
ātmavāda: kepercayaan terhadap atma atau roh kekal tertentu.[21]
diṭṭhadhammanibbānavāda: Nibbāna ada di dalam kenikmatan indra dan keadaan jhāna-jhāna.[15][16][17]
ekaccasassatavāda: ada beberapa hal di dunia ini yang kekal; tetapi ada juga yang tidak kekal.[15][16][17]
issaranimmānavāda, issaranimmānahetuvāda, atau issarakatavāda: ada dewa atau Tuhan pencipta yang menciptakan dan mengatur berjalannya alam semesta; segala hal terjadi atas keinginan dari satu makhluk yang mahatinggi.[18][25]
khattavijjavāda atau khettavijjā-vāda: percaya dalam doktrin Kesatria atau "doktrin politik"; bahwa keinginan seseorang harus dipenuhi meskipun harus dengan membunuh orang tuanya;[18][26][27][28] dalam konteks pencaharian salah, khettavijjā merujuk pada ilmu geomansi.[29][30]
natthikavāda: menyangkal adanya kehidupan setelah kematian dan pembalasan kamma.[9][19][22]
nevasaññīnāsaññīvāda: meyakini eksistensi diri atau roh kekal setelah kematian sebagai persepsi (saññā) dan bukan-persepsi (asaññā).[15][16][17]
niyativāda: segalanya benar-benar telah ditentukan atau ditakdirkan.[21][22][24][31]
pubbekatavāda atau pubbekatahetuvāda: kehidupan hanya bergantung pada perbuatan (kamma) masa lampau.[18]
saññīvāda: meyakini eksistensi diri atau roh kekal setelah kematian sebagai persepsi (saññā).[15][16][17]
sassatavāda: segala hal di dunia ini kekal.[21][32]
sattakāyavāda: manusia tersusun atas tujuh tubuh (tubuh empat unsur: tubuh-tanah, tubuh-air, tubuh-api, tubuh-angin; kesenangan; kesakitan; dan jiwa/roh sebagai yang ketujuh).[22][24]
Dalam Cunda Sutta (AN 10.176),[9] Paṭhamanirayasagga Sutta (AN 10.211),[10] dan Paṭhamasañcetanika Sutta (AN 10.217),[11] dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki pandangan salah memiliki perspektif salah sebagai berikut (micchādiṭṭhiko hoti viparītadassano):
Ia menganut pandangan salah, dan memiliki perspektif keliru sebagai berikut: ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dikorbankan, tidak ada yang dipersembahkan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada di dunia ini para petapa dan brahmana yang berperilaku baik dan praktik yang benar yang, setelah merealisasikan dunia ini dan dunia lain untuk diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.’
Tipiṭaka Pāli, dalam Brahmajāla Sutta dan kitab komentarnya, menguraikan 62 jenis pandangan-salah (micchā-diṭṭhi). Kaum yang menganut setidaknya satu dari pandangan-salah tersebut disebut sebagai kaum titthiya atau micchā. Enam puluh dua pandangan salah:[15][16][17]
18 pandangan spekulasi tentang masa lalu (pubbantānudiṭṭhino):
4 ajaran kekekalan (sassatavāda), yaitu ajaran yang meyakini bahwa segala hal di dunia ini kekal, berdasarkan:
Ingatan kembali kehidupan lampau sampai 100.000 kehidupan lampau
Ingatan kembali kehidupan lampau sampai 10 kappa dari mengerutnya dunia dan mengembangnya dunia
Ingatan kembali kehidupan lampau sampai 40 kappa dari mengerutnya dunia dan mengembangnya dunia
Penalaran
4 ajaran kekekalan-parsial (ekaccasassatavāda), yaitu ajaran yang meyakini bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang kekal, tetapi juga ada beberapa hal di dunia ini yang tidak kekal:
Ajaran makhluk dewa yang rusak karena kenikmatan indrawi
Ajaran makhluk dewa yang rusak karena pikiran
Ajaran yang meyakini ketidakkekalan jasmani sekaligus kekekalan batin
4 ajaran tentang dunia-ini-luas-tidak-terbatas-atau-terbatas (antānantavāda), yaitu ajaran yang melihat dunia sebagai terbatas atau tidak-terbatas, dan dunia itu:
Terbatas
Tidak terbatas
Terbatas dalam arah vertikal tetapi tidak terbatas dalam arah horizontal
Tidak terbatas dan bukan-tidak-terbatas
4 ajaran pengelakan (amarāvikkhepavāda), yaitu ajaran yang selalu memberikan jawaban yang tidak sesuai pertanyaan jika ditanya dengan menjawab "Aku tidak mengatakannya seperti ini," "Aku tidak mengatakannya seperti itu," "Aku tidak mengatakan sebaliknya," "Aku tidak mengatakan bukan seperti itu," atau "Aku tidak mengatakan bukan tidak seperti itu." sebagai pandangan yang digenggam oleh orang yang:
Takut membuat pernyataan salah
Takut melekat
Takut berpandangan berseberangan
Bodoh dan dungu
2 ajaran kemunculan-kebetulan (adhiccasamuppannavāda), yaitu ajaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kebetulan, berdasakan:
Ingatan munculnya persepsi setelah meninggal dari alam makhluk tanpa-persepsi
Penalaran
44 pandangan spekulasi tentang masa depan (aparantānudiṭṭhino):
16 ajaran persepsi-bertahan-setelah-mati (saññīvāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal setelah kematian, roh adalah persepsi, dan roh itu:
Materi
Bukan-materi
Materi dan bukan-materi
Bukan-materi dan tidak-bukan-materi
Terbatas
Tidak-terbatas
Terbatas dan bukan-tidak-terbatas
Tidak-terbatas dan bukan-tidak-terbatas
Persepsi yang seragam
Persepsi yang beraneka ragam
Persepsi yang terbatas
Persepsi yang tidak-terbatas
Bahagia sepenuhnya
Menderita sepenuhnya
Bahagia dan menderita
Tidak-bahagia dan bukan-tidak-bahagia
8 ajaran bukan-persepsi-bertahan-setelah-mati (asaññīvāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal setelah kematian, roh adalah bukan-persepsi, dan roh itu:
Materi
Bukan-materi
Materi dan bukan-materi
Bukan-materi dan tidak-bukan-materi
Terbatas
Tidak terbatas
Terbatas dan tidak terbatas
Tidak-terbatas dan bukan-tidak-terbatas
8 ajaran bukan-persepsi-dan-tidak-bukan-persepsi-bertahan-setelah-mati (nevasaññīnāsaññīvāda), yaitu ajaran yang meyakini eksistensi roh kekal setelah kematian, roh adalah bukan-persepsi dan tidak-bukan-persepsi, dan roh itu:
Materi
Bukan-materi
Materi dan bukan-materi
Bukan-materi dan tidak-bukan-materi
Terbatas
Tidak terbatas
Terbatas dan tidak terbatas
Tidak terbatas dan bukan-tidak-terbatas
7 ajaran kemusnahan-tentang-kehidupan-setelah-mati (ucchedavāda), yaitu ajaran yang meyakini bahwa setelah kehidupan saat ini berakhir, maka tidak akan ada lagi kehidupan selanjutnya:
Kemusnahan dari diri atau roh yang tersusun atas empat unsur
Kemusnahan dari dewa: roh yang berada pada lingkup indra
Kemusnahan dari dewa: roh yang berada pada lingkup materi-halus
Kemusnahan dari roh yang termasuk sebagai dasar ruang-terbatas
Kemusnahan dari roh yang termasuk sebagai dasar kekosongan
Kemusnahan dari roh yang termasuk sebagai dasar tanpa-persepsi dan bukan-tanpa-persepsi
5 ajaran Nibbāna-di-sini-dan-sekarang (diṭṭhadhammanibbānavāda), yaitu ajaran yang menyatakan bahwa Nibbāna adalah di-sini-dan-sekarang dalam:
Enam puluh dua pandangan-salah bersumber dari pandangan tentang identitas diri atau roh (sakkāyadiṭṭhi). Sakkāyadiṭṭhi terdiri dari dua kata, yaitu sakkāya yang berarti “tubuh yang ada,” dan diṭṭhi yang merupakan faktor-mental pandangan-salah. Sakkāya adalah istilah teknis untuk lima gugusan kehidupan yang menjadi objek pelekatan makhluk yang belum tercerahkan.
Dalam kitab Dhammasaṅgaṇī (Abhidhamma Piṭaka) dan Mahāpuṇṇama Sutta (MN 109) dijelaskan bahwa pandangan tentang identitas diri atau roh memiliki dua puluh variasi. Variasi-variasi tersebut didapatkan dari empat model untuk masing-masing dari lima gugusan atau agregat, yaitu:[7][33]
Gugusan materi (rūpakkhandha), dengan menganggap:
Materi sebagai roh (rūpaṁ attato)
Roh yang memiliki materi (rūpavantaṁ vā attānaṁ)
Materi berada di dalam roh (attani vā rūpaṁ)
Roh berada di dalam materi (rūpasmiṁ vā attānaṁ)
Gugusan perasaan/sensasi (vedanākkhandha), dengan menganggap:
Perasaan sebagai roh (vedanāṁ attato)
Roh yang memiliki perasaan (vedanāvantaṁ vā attānaṁ)
Perasaan berada di dalam roh (attani vā vedanāṁ)
Roh berada di dalam perasaan (vedanāya vā attānaṁ)
Gugusan persepsi/pencerapan (saññākkhandha), dengan menganggap:
Persepsi sebagai roh (saññāṁ attato)
Roh yang memiliki persepsi (saññāvantaṁ vā attānaṁ)
Persepsi berada di dalam roh (attani vā saññāṁ)
Roh berada di dalam persepsi (saññāya vā attānaṁ)
Gugusan formasi batin (saṅkhārakkhandha), dengan menganggap:
Formasi batin sebagai roh (saṅkhāre attato)
Roh yang memiliki formasi batin (saṅkhāravantaṁ vā attānaṁ)
Formasi batin berada di dalam roh (attani vā saṅkhāre)
Roh berada di dalam formasi batin (saṅkhāresu vā attānaṁ)
Gugusan kesadaran (viññāṇakkhandha), dengan menganggap:
Kesadaran sebagai roh (viññāṇaṁ attato)
Roh yang memiliki kesadaran (viññāṇavantaṁ vā attānaṁ)
Kesadaran berada di dalam roh (attani vā viññāṇaṁ)
Roh berada di dalam kesadaran (viññāṇasmiṁ vā attānaṁ)
Empat cara dan empat jenis pandangan
Dalam Sandaka Sutta, Majjhima Nikāya 76, Buddha menguraikan empat cara yang meniadakan kehidupan spiritual dan empat jenis kehidupan spiritual yang tidak dapat diandalkan.[24]
Empat cara yang meniadakan kehidupan spiritual:
Pandangan ucchedavāda: semuanya hanya semata-mata materi; batin akan ikut musnah setelah kematian.
Pandangan akiriyavāda: tidak meyakini adanya perbuatan baik dan buruk; juga akibat dari perbuatan baik dan buruk.
Pandangan niyativāda: semuanya sudah ditakdirkan; makhluk-makhluk tidak memiliki kekuatan untuk mengubah takdirnya.
Pandangan sattakāyavāda: semuanya [semata-mata] tersusun atas tujuh tubuh, yaitu tubuh empat unsur (tubuh-tanah, tubuh-air, tubuh-api, tubuh-udara), kenikmatan, kesakitan, dan jiwa atau atma.
Empat jenis kehidupan spiritual yang tidak dapat diandalkan dengan:
Mengaku sebagai maha-tahu dan maha-melihat, mengaku memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap sebagai berikut: ‘Apakah Aku berjalan atau berdiri atau tidur atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan terus-menerus dan tanpa terputus ada pada-Ku.’
Menganggap tradisi lisan sebagai kebenaran [satu-satunya]; ia mengajar melalui tradisi lisan, melalui legenda yang turun-temurun, dan melalui otoritas kitab-kitab. Beberapa disampaikan dengan tepat dan beberapa disampaikan dengan tidak tepat.
Hanya menggunakan penalaran dengan mengikuti serangkaian penyelidikan; sebagai seorang pemikir atau penyelidik; sebagian dipikirkan dengan baik, dan sebagian dipikirkan dengan keliru.
Mengalihkan pembicaraan dalam geliat-belut ucapan (amarāvikkhepavāda); sebagai seorang yang bodoh dan bingung; ketika ditanya suatu pertanyaan, ia menjawab:
Nyingma Mantrayana dari aliran Vajrayana memiliki model Sembilan Yana yang terampil dalam doksografi dan pedagogi, yang masing-masing memiliki paradigma yang menentukan atau menjadi ciri khas tertentu. Masing-masing dari sembilan yana ini dipahami sebagai kategori historis kepustakaan yang ditetapkan dalam waktu, tempat, dan keadaan serta kerangka eksegetis untuk membahas dan merenungkan karya-karya ini. Modalitas Sembilan Yana ini juga memungkinkan penjelasan terpisah dari garis keturunan sadhana berdasarkan pengalaman yang berbeda dengan sendirinya; inklusivitas terhadap salah satu dari sembilan yana tersebut menurut sekelompok besar kesamaan dan kesesuaian perilaku dan 'pandangan' (Wylie Tibet: lta ba; diucapkan: lawa)[34] harus dikembangkan di dalamnya.[35][36]
^Fuller, Paul (2005). The notion of ditthi in Theravāda Buddhism: the point of view. RoutledgeCurzon critical studies in Buddhism. London: RoutledgeCurzon. hlm. 1. ISBN978-0-415-34293-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Fuller, Paul (2005). The notion of ditthi in Theravāda Buddhism: the point of view. RoutledgeCurzon critical studies in Buddhism. London: RoutledgeCurzon. hlm. 1–2. ISBN978-0-415-34293-3.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)