Perbandingan Buddhisme dengan Kekristenan
Dalam kajian perbandingan antara agama Buddha dan Kristen, sejumlah kesamaan dianggap terkandung dalam dua agama tersebut,[1] bermula sejak misionaris Kristen tiba di Dunia Timur pada abad ke-13, diikuti dengan kehadiran agama Buddha di Eropa Barat pada abad ke-18 dan ke-19.[2] Selama abad ke-20, perbedaan antara dua agama tersebut juga mendapat sorotan.[3] Meskipun tampaknya ada kemiripan, agama Buddha dan Kristen memiliki perbedaan inheren dan fundamental dalam jati diri masing-masing, mulai dari konsep monoteisme yang menjadi asas pokok Kekristenan, yang berbeda dengan orientasi agama Buddha yang cenderung non-teistis, serta bantahan terhadap kepercayaan akan Sang Pencipta dunia yang bertolak belakang dengan ajaran Tuhan dalam Kristen; lebih lanjut lagi, pentingnya penyelamatan oleh anugerah bertolak belakang dengan konsep karma yang tak terelakkan dalam mazhab Theravada dan sekte Buddha lainnya.[4][5] Citra figur utama dua agama tersebut juga menekankan perbedaan yang menggambarkan kerangka kepercayaan masing-masing. Buddha Gautama wafat dalam damai pada usia tua,sedangkan Yesus mati menderita di atas salib dan mengalami kebangkitan (secara berwujud yang dapat di lihat dan diraba). Kematian Yesus dikatakan sebagai pengorbanan demi menebus dosa umat manusia. Sarjana Buddhis semisal Masao Abe memandang bahwa pentingnya makna penyaliban dalam agama Kristen merupakan 'jurang pemisah' yang mutlak antara agama Buddha dan Kristen.[6] Banyak penelitian modern yang membantah dalil historis tentang perjalanan Yesus ke India atau Tibet, atau kesan mempengaruhi-dipengaruhi antara ajaran Kristen dan Buddha, dan memandang perkara ini sebagai simbolisme paralel belaka, yang disertai oleh gejala paralelomania, yaitu sikap melebih-lebihkan suatu kemiripan kecil, bahkan sepele.[7] Awal dugaan kemiripanKabar tentang ajaran Buddha mulai terdengar di Eropa Barat pada abad ke-13, setelah dibawa melalui perjalanan misionaris Kristen seperti Yohanes dari Montecorvino, dan mulai hadir pada abad ke-16 setelah misionaris seperti St. Fransiskus Xaverius bertugas di belahan bumi timur.[1] Pada abad ke-19, sebuah tema mengundang perhatian besar sejumlah pemikir. Mereka membicarakan tahun-tahun yang hilang dari kronologi kehidupan Yesus, yaitu masa yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab Injil, ketika Ia berusia antara 12 sampai 30 tahun. Ada yang berspekulasi bahwa saat itu Dia pergi ke India, mengambil ide-ide Buddhisme.[8] Pada abad ke-19, beberapa ilmuwan mulai merasakan persamaan antara ajaran Buddha dan Kristen, contohnya pada tahun 1878, T.W. Rhys Davids menulis bahwa misionaris zaman dahulu yang datang ke Tibet mengamati bahwa kemiripan sudah terlihat sejak kontak pertama: "Lamaisme dengan pendetanya yang botak, lonceng dan rosario, arca dan air suci, pemimpin agung dan kepala biara, biarawan dan rahib dengan berbagai tingkatan, prosesi dan hari puasa, pengakuan dosa dan penyucian, dan pemujaan terhadap dewi suci, sangat mirip dengan Romanisme, sehingga para misionaris Katolik mulanya berpikir bahwa itu merupakan imitasi agama Kristus yang didalangi oleh iblis."[2] Pada tahun 1880, Ernest De Bunsen membuat pengamatan serupa—dengan pengecualian tentang kematian Yesus di kayu salib, serta doktrin Penebusan Dosa dalam Kekristenan—bahwa banyak teks Buddhis kuno yang mirip dengan tulisan dalam Injil tentang kehidupan dan ajaran Yesus.[9] Pada tahun 1897, di Jerman muncul satu buku yang berjudul: “Vergleichende Ubersicht der vier Evangelien” (Studi perbandingan empat Injil) oleh S.E. Verus.[10] Verus mencatat pendapat bahwa sejumlah catatan Alkitab mengenai kehidupan Yesus berisi banyak sekali persamaannya dengan kehidupan Buddha seperti yang diyakini oleh para pengikutnya saat itu. Penulis buku Jesus's Godama Sources mengklaim bahwa dalam kebudayaan Barat, atau kebudayaan Kristen, tidak ada kesadaran untuk mengakui sikap menyerap gagasan dari luar. Untuk mendukung klaim ini, penulis mengutip kata-kata Max Muller dalam buku India, What Can it Teach Us, yang menyatakan: "Secara alami, kita pasti langsung menganggap bahwa kisah-kisah Buddhis merupakan adaptasi dari buku-buku Kristen, dan bukan sebaliknya. Namun kini pemikiran para sarjana berubah. Beberapa cerita (Kristen) ditemukan dalam kitab Buddha Hinayana dan tentu saja berasal dari masa sebelum agama Kristen."[11] Pada tahun 1904, William Crooke berpendapat bahwa rosario umat Kristen sesungguhnya berasal dari India, dan hadir di Eropa Barat karena Perang Salib, dengan bentuk awal berdasarkan versi muslim, yaitu tasbih.[12] Tahun 1921, Charles Eliot, duta besar Inggris untuk Jepang juga menulis kemiripan antara ajaran Kristen dengan padanannya dalam tradisi Buddha, dan berhipotesis bahwa keduanya berpangkal pada asal yang sama.[13] Pada awal abad ke-20, Burnett Hillman Streeter berpendapat bahwa ajaran moral Sang Buddha memiliki empat kesamaan dengan khotbah di bukit.[14] Pada akhir abad ke-20, sejarawan Jerry H. Bentley juga menulis anggapan kemiripan dan berkata bahwa ada kemungkinan "agama Buddha memengaruhi perkembangan awal agama Kristen" dan mengajukan "sejumlah hal menarik yang mengandung kemiripan seputar kelahiran, riwayat, doktrin, dan kematian antara Sang Buddha dan Yesus".[15] Beberapa pemuka Buddhis juga menarik hubungan antara Yesus dan Buddhisme, contohnya pada tahun 2001, Dalai Lama menyatakan bahwa "Yesus Kristus juga pernah mengalami kehidupan sebelumnya," dan menambahkan bahwa "Seperti yang Anda ketahui, Ia telah mencapai tingkatan yang tinggi, entah sebagai Bodhisatwa, atau orang yang tercerahkan, melalui praktik Buddhis atau semacamnya".[16] Kemiripan yang spesifikR.C. Amore menggarisbawahi mukjizat yang tercatat dalam bab pertama Mahavagga, Kitab Aturan, IV, yang menceritakan bahwa Sang Buddha pernah menunjukkan kekuatan adikodrati yang dimilikinya. Amore berpikir bahwa Yesus sendiri terpengaruh oleh ajaran Buddha, serta bahan agama Buddha terus memengaruhi agama Kristen saat masih berkembang.[18] R. Stehly memberikan enam contoh kemiripan antara kisah Yesus berjalan di atas air dengan Jataka 190 dalam sastra Buddhis. Ahli sinologi Martin Palmer mengajukan pendapat tentang kemiripan antara Bunda Maria dengan Kwan Im. Kwan Im adalah nama Tionghoa untuk seorang bodhisatwa di India dan Tibet, yaitu Awalokiteswara, yang secara perlahan mengalami proses feminisasi di Tiongkok pada akhir milennium pertama, setelah periode proselitisasi oleh orang Kristen Nestoria-Turk.[19] Yayasan Tzu-Chi, sebuah organisasi Buddhis Taiwan, juga memerhatikan kemiripan tersebut, dan mengomisi sebuah lukisan Kwan Im dan seorang bayi yang mirip dengan lukisan Bunda Maria memangku Yesus pada umumnya. Z. P. Thundy telah mensurvei kemiripan dan perbedaan antara kisah kelahiran Sang Buddha yang beribu Ratu Mahamaya, dengan Yesus yang beribu Maria, dan menekankan bahwa selain adanya kemiripan—semisal kelahiran dari seorang perawan—ada pula beberapa perbedaan, contohnya Maria berumur lebih panjang daripada Yesus, sedangkan Mahamaya wafat tak lama setelah melahirkan Buddha, sebagaimana yang terjadi pada ibu para Buddha lainnya menurut kisah Buddhis.[20] Thundy tidak menegaskan adanya bukti historis bahwa kisah kelahiran Yesus dalam Kekristenan memiliki asal usul dari kisah Buddhis, namun berpendapat bahwa dugaan itu merupakan rintisan untuk penelitian lebih lanjut.[20] Kepercayaan yang sama sekali berbedaAda perbedaan inheren dan fundamental antara agama Buddha dan Kristen; salah satu perbedaan yang signifikan adalah monoteisme sebagai kepercayaan dasar agama Kristen dan ketergantungan terhadap Tuhan personal, sedangkan agama Buddha pada umumnya bersifat nonteisme dan menolak adanya Tuhan personal sehingga nilai-nilai ketuhanan sudah terkandung dalam dunia itu sendiri.[4] Doa Syahadat Nicea, yaitu kredo Kekristenan yang sering ditemui di seluruh dunia, menyatakan bahwa "Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan".[5] Akan tetapi, gagasan penciptaan yang teistis pada umumnya terasa asing dalam filsafat Buddhis, dan perdebatan mengenai keberadaan Tuhan barangkali merupakan 'dinding penghalang' tak terelakkan antara ajaran Kristen dan Buddha.[4][21] Meskipun ajaran mazhab Buddha Mahayana menyiratkan kepercayaan akan Bodisatwa, hal ini sangatlah berbeda dengan gagasan Tuhan Sang Pencipta dalam ajaran Kristen.[21][22] Sungguhpun beberapa aliran Buddhisme meyakini keberadaan Buddha abadi yang impersonal atau kekuatan daya cipta, pada umumnya ajaran Buddha memandang alam semesta sebagai sesuatu yang tak pernah dimulai dan tak akan berakhir.[23][24] Ada perbedaan inheren antara kepercayaan Kristen dan Buddha tentang akhir zaman dan eskatologi.[25] Jan Nattier menyatakan bahwa kendati Buddhisme memiliki gagasan "eskatologi relatif" yang mengacu kepada siklus kehidupan yang spesifik, istilah "eskatologi Buddha" tidak mengajarkan adanya akhir zaman, atau kepercayaan bahwa dunia akan hancur dalam satu hari; kitab Buddhis berkali-kali menekankan bahwa "reinkarnasi yang terus berputar" merupakan siklus kelahiran-kematian yang tidak pernah berawal.[25] Di sisi lain, eskatologi Kristen secara langsung mengajarkan konsep "musnahnya seluruh ciptaan" pada Hari Pengadilan Terakhir, ketika dunia sudah mencapai batas umurnya.[26] Ditinjau secara umum, pandangan Buddhis dan Kristen tentang akhir zaman benar-benar sama sekali berbeda.[25] Ada perbedaan fundamental lainnya, contohnya penyelamatan oleh anugerah dalam agama Kristen merupakan salah satu iman pokok dalam teologinya, sedangkan mazhab Buddha Theravada mengajarkan bahwa tiada satu pun yang dapat mencampuri jalannya karma sehingga segala macam usaha penyelamatan tidak diakui dalam ajaran tersebut.[22] Meskipun demikian, mazhab Buddha Mahayana memandang perihal tersebut secara berbeda.[27] Penyaliban Yesus merupakan sebuah peristiwa bersejarah yang diyakini oleh umat Kristen sebagai upaya penebusan dosa.[3] Maka dari itu, keyakinan ini menimbulkan perbedaan besar antara ajaran Kristen dan Buddha.[3][28] Sarjana Buddhis Masao Abe berpendapat bahwa meskipun "peristiwa penyaliban" merupakan keyakinan dasar agama Kristen, tidak menutup kemungkinan bagi agama Buddha untuk mengakui pentingnya peristiwa tersebut.[28] Filsuf Buddhis D. T. Suzuki menyatakan bahwa tiap kali melihat gambaran penyaliban, ia teringat akan "jurang pemisah yang dalam" antara agama Kristen dan Buddha.[6] Perbedaan inheren dalam sistem kepercayaan juga tersirat pada citra ikonis dari dua agama tersebut.[3] Gambaran penyaliban Yesus yang penuh derita sebagai pengorbanan untuk menebus dosa umat manusia merupakan ikonografi penting dalam agama Kristen, dan sama sekali berbeda dengan kematian damai yang dialami Buddha Gautama saat berumur 80 tahun, yang berbaring di bawah dua pohon serta menanti Nirwana.[3] Selain itu, penelitian modern secara umum menolak pendapat tentang pengaruh agama Buddha terhadap Kekristenan, dan menganggapnya rekaan belaka tanpa dalil historis.[7][29][30] Paula Fredriksen menyatakan bahwa tidak ada tulisan ilmiah tepercaya yang menceritakan Yesus tanpa memakai latar belakang situasi Yahudi Palestina abad ke-1.[31] Lihat pula
Referensi
|