Nafsu (Pali: taṇhā; Sanskerta: तर्ष, tarśa, atau तृष्णा, tṛṣṇā), juga dikenal sebagai nafsu keinginan (bedakan dari chanda), nafsu kehausan, dan kegandrungan, adalah suatu konsep dalam Buddhisme yang merujuk pada nafsu kehausan baik mental maupun fisik.[1][2][3] Dalam tradisi Abhidhamma Theravāda, taṇhā sinonim dengan lobha (keserakahan, ketamakan, atau loba).[4] Menurut kitab Niddesa di Khuddaka Nikāya, taṇhā berkaitan dengan rāga (nafsu/keserakahan) dan kilesa (pengotor batin).[5] Sinonim lainnya adalah abhijjhā (ketamakan).[6] Konsep ini merupakan konsep yang penting dalam Buddhisme.[7]
Nafsu kehausan diidentifikasi sebagai sebab penderitaan dalam Empat Kebenaran Mulia, dengan tiga jenis: kāma-taṇhā (nafsu kehausan atas kesenangan sensual), bhava-taṇhā (nafsu kehausan atas keberadaan), dan vibhava-taṇhā (nafsu kehausan atas ketidakberadaan).[8][9] Secara tradisional, nafsu kehausan atau nafsu keinginan (taṇhā) bersifat negatif dan dibedakan dari keinginan atau hasrat (chanda) yang bersifat netral.
Lobha (keserakahan/ketamakan), sinonim dari taṇhā dalam AbhidhammaTheravāda, merupakan suatu faktor mental berupa pengotor batin yang menjadi salah satu dari tiga akar kejahatan (ti akusalamūla)—lobha, dosa, dan moha.[4][10][11] Faktor mental berbeda yang memiliki sifat-sifat berlawanan dari faktor-mental keserakahan adalah alobha (tanpa-keserakahan).
Keserakahan/ketamakan diidentifikasi dalam konteks-konteks berikut:
Suatu faktor mental yang tidak baik dalam ajaran Abhidharma Mahayana
Alobha (tanpa keserakahan) adalah istilah Buddhis yang diartikan sebagai tiadanya keterikatan atau keinginan terhadap hal-hal duniawi atau kehidupan duniawi. Hal ini menyebabkan seseorang tidak melakukan tindakan yang tidak baik.[12][13] Ini adalah salah satu faktor mental dalam ajaran Abhidharma.
Tanpa-keserakahan diidentifikasi dalam konteks-konteks berikut:
Satu dari sebelas faktor mental yang baik dalam ajaran Abhidharma Mahayana
Theravāda
Taṇhā
Empat Kebenaran Mulia
Istilah taṇhā muncul dalam Empat Kebenaran Mulia.[14][15][16] Berdasarkan pada Kebenaran Mulia Kedua, asal dari penderitaan (samudaya) diidentifikasi sebagai taṇhā (nafsu kehausan) yang menciptakan keberadaan dan punarbawa (ponobhavikā); yang menyatu dengan keserakahan (nandīrāgasahagatā); dan yang mencari kesenangan saat ini dan yang akan datang (tatratatrābhinandinī).
Taṇhā dianggap sebagai penyebab utama penderitaan (dukkha) dan siklus kelahiran kembali (saṃsāra).[7][17][18] Dr. Walpola Rahula Mahāthera menjelaskan bahwa taṇhā memang sebab dukkha (penderitaan), tetapi bukanlah sebab satu-satunya. Taṇhā adalah sebab terdekat, paling jelas, dan langsung. Kemunculan taṇhā bergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedanā). Perasaan (vedanā) muncul bergantung pada kontak (phassa) antara indra dan objeknya, dan seterusnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kemunculan Bersebab. Beberapa teks kitab suci menjelaskan bahwa asal penderitaan juga termasuk pengotor batin dan noda-noda batin lainnya (kilesā, sāsavā dhammā), selain taṇhā yang berada di urutan pertama.[19] Buddha mengajarkan pengikut-Nya untuk melenyapkan taṇhā dengan mengikuti Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Tiga jenis
Terdapat tiga jenis taṇhā yang dijelaskan dalam berbagai diskursus Sutta Piṭaka, yaitu:
Kāma-taṇhā (nafsu kehausan atas kesenangan sensual): bernafsu terhadap rasa senang atau kenikmatan indrawi.[20] Walpola Rahula menyatakan bahwa taṇhā tidak hanya terbatas pada nafsu indrawi, kekayaan atau kekuasaan, tetapi juga nafsu terhadap gagasan atau idealisme, cara pandang, pendapat, teori, dan kepercayaan (dhamma-taṇhā)."[21]
Bhava-taṇhā (nafsu kehausan atas keberadaan atau eksistensi): bernafsu untuk menjadi sesuatu dan bersatu dengan suatu pengalaman. Nafsu ini terkait dengan ego, yaitu pencarian identitas tertentu dan nafsu untuk terlahir kembali untuk selamanya.[9] Menurut penjelasan yang lain, nafsu ini dipicu oleh pandangan yang salah tentang kehidupan abadi.[17][22]
Vibhava-taṇhā (nafsu kehausan atas ketidakberadaan atau noneksistensi):[17] nafsu untuk tidak mengalami hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan saat ini atau masa depan, seperti orang-orang atau situasi yang tidak menyenangkan. Akibatnya, muncul keinginan untuk bunuh diri atau memusnahkan diri sendiri. Dalam kepercayaan Buddhis, tindakan tersebut hanya akan membuat mereka terlahir kembali ke alam kehidupan yang lebih buruk.[9] Menurut Phra Thepyanmongkol, nafsu ini dipicu oleh pandangan yang salah mengenai bunuh diri karena pelakunya mengira bahwa mereka tidak akan terlahir kembali.[22]
Secara tradisional, nafsu kehausan atau nafsu keinginan (taṇhā) bersifat negatif dan dibedakan dari keinginan atau hasrat (chanda) yang bersifat netral. Dalam tradisi Abhidhamma Theravāda, nafsu keinginan merupakan sebuah faktor mental tidak baik, sedangkan keinginan merupakan sebuah faktor mental sesekali.
Penyajian ajaran Buddha di negara-negara Barat sering kali mengarah pada pemahaman bahwa penderitaan muncul karena keinginan, dan oleh karena itu Anda tidak boleh tidak menginginkan apa pun. Padahal, sebenarnya Sang Buddha telah berbicara tentang dua macam keinginan: keinginan yang muncul dari ketidaktahuan dan delusi–yang disebut taṇhā–dan keinginan yang muncul dari kebijaksanaan dan kecerdasan, yang disebut kusala-chanda, atau dhamma-chanda, atau secara sederhana disebut chanda. Chanda tidak hanya bermakna hal ini saja, namun dalam kasus khusus ini saya menggunakan chanda dengan makna keinginan dan motivasi yang bijaksana dan cerdas, dan Sang Buddha menekankan bahwa hal ini mutlak diperlukan untuk kemajuan di Jalan Mulia Berunsur Delapan.... '
Chanda di sini berarti keinginan untuk bertindak (kattu-kāmatā), yaitu melakukan suatu tindakan atau mencapai suatu hasil. Keinginan semacam ini harus dibedakan dari keinginan dalam pengertian yang tercela, yaitu dari lobha (keserakahan) dan rāga (nafsu). Sementara istilah-istilah yang terakhir selalu tidak baik, chanda adalah faktor yang bervariasi secara etis yang, ketika digabungkan dengan hal-hal yang baik, chanda dapat berfungsi sebagai keinginan yang baik untuk mencapai tujuan yang baik. Karakteristik chanda adalah keinginan untuk bertindak, fungsinya adalah mencari suatu objek, manifestasinya adalah kebutuhan akan suatu objek dan objek yang sama adalah penyebab terdekatnya. Chanda harus dianggap sebagai peregangan pikiran ke arah objek.[25]
Dalam tradisi Abhidhamma Theravāda, taṇhā adalah sinonim dari faktor mentallobha yang berarti "keserakahan". Faktor mental lobha didefinisikan dalam empat batasan sebagai berikut:
Karakteristik: mencengkeram atau menggenggam objek (ārammaṇaggahaṇalakkhaṇa).
Fungsi: menempel atau melekatkan (abhisaṅgarasa).
Manifestasi: tidak rela, tidak ikhlas, atau tidak melepaskan (apariccāgapaccupaṭṭhāna).
Sebab-terdekat: melihat adanya kenikmatan di dalam dhamma-dhamma yang terkait dengan belenggu (saṃyojaniyadhammesu assādadassanapadaṭṭhāna).
Lobha adalah faktor mental yang menginginkan, mendambakan, atau merindukan objek. Lobha adalah faktor mental yang membuat seseorang tergila-gila (sārāga) pada saṃsāra. Keserakahan adalah penanggung jawab utama atas terjadinya pelekatan batin pada objeknya.[4]
Trio keserakahan
Trio keserakahan atau lobha tri adalah suatu kelompok faktor mental buruk yang terdiri dari tiga faktor mental, yaitu:
Keserakahan berperan sebagai akar dan pemimpin dari dua faktor mental lainnya. Faktor mental pandangan-salah dan kesombongan hanya bisa muncul jika keserakahan muncul. Tiga faktor mental ini disebut sebagai dhamma yang memperpanjang saṃsāra (Pāli: papañca dhamma).