Di Indonesia, Tridharma digolongkan sebagai bagian dari majelis agama Buddha di bawah Binaan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Buddha Kementrian Agama Republik Indonesia.[1]
Beberapa tempat ibadah Tridharma yang ada di Indonesia antara lain Vihara Sui Kheu Thai Pak Kung (Kota Singkawang), Kelenteng Kwan Sing Bio (Tuban), Kelenteng Tay Kak Sie (Kota Semarang), dan Vihara Bodhisatva Karaniya Metta/Kelenteng Tiga (Kota Pontianak).
Definisi dan etimologi
Tridharma (Pinyin: San Jiao; Fujian/Hokkian: Sam Kauw) memiliki pengertian Tiga Ajaran. Istilah ini merujuk pada tiga ajaran yang menjadi dasar ajaran Tridharma, yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme.
Tridharma berasal dari kata Tri dan Dharma. Tri berarti "tiga" dan Dharma berarti "ajaran kebenaran". Jadi secara harafiah, Tridharma berarti "tiga ajaran kebenaran", yaitu ajaran Buddha Sakyamuni, ajaran Nabi Khong Hu Cu, dan ajaran Nabi Lo Cu. Ketiga tokoh penting tersebut sering disebut sebagai Trinabi Agung. Tridharma merupakan Agama yang penghayatannya menyatu dalam ajaran Buddha, Khong Hu cu, dan Lo Cu. Ketiga ajaran tersebut tidak dicampuraduk dan tetap berpegang pada kitab suci masing-masing.[2]
Sejarah
San Jiao di Tiongkok
Istilah Tridharma (San Jiao) muncul pada masa Dinasti Donghan (sekitar Abad I) setelah agama Buddha masuk ke negeri Tiongkok. Sebenarnya Buddhisme merupakan ajaran pertama yang berbentuk lembaga keagamaan yang pertama kali hadir di Tiongkok, setelah itu barulah Taoisme (Dao Jiao) dan Konfusianisme (Ru Jiao). Namun, pada zaman itu, urutan kronologis San Jiao ditetapkan oleh kaisar sebagai agama Ru, Dao, dan Buddha.[3]
Semenjak awal mula masuknya Buddhisme ke Tiongkok, berbagai usaha untuk menyatukan ketiga ajaran tersebut sudah diusahakan. Sepanjang sejarah Tiongkok, hubungan antara ketiga ajaran tersebut memang tidak selalu mulus, tetapi hal itu umumnya diakibatkan ulah para penguasa yang menjadikannya sebagai komoditas politik. Cerita "Si Kera Sakti" (Sun Go Kong) yang cukup terkenal di Indonesia sangat kental bernuansa Taoisme (ilmu gaib, roh, siluman, dan berbagai simbol Taoisme lainnya), tetapi kisahnya menceritakan perjalanan biksu Tang Xuanzang (Fujian/Hokkian: Tong Sam Cong) ke India untuk mengambil Kitab Suci Buddhis. Sedangkan penulisnya sendiri, Wu Cheng'en, adalah seorang sastrawan Konfusianis. Pengaruh ketiga ajaran sudah bercampur sedemikian rupa sehingga sebelum tahun 1949, setiap kegiatan masyarakat Tiongkok Daratan berpedoman rambu-rambu San Jiao. Akibatnya, orang Barat sampai berpendapat: "orang Tionghoa itu dibesarkan dalam pendidikan Konfusianis, saat dewasa menjadi Buddhis, dan setelah lanjut usia tertarik pada ajaran Laozi."[3]
Setelah paham komunis memasuki Tiongkok, pengaruh San Jiao di Tiongkok Daratan memudar, tetapi tetap eksis di Taiwan, Hong Kong, Macau, Singapura, Indonesia, dan negara-negara lain yang memiliki banyak populasi masyarakat Tionghoa perantauan. Kini, di Indonesia, San Jiao (Sam Kauw) resmi disebut Tridharma, sedangkan klenteng diakui sebagai badan keagamaan yang disebut sebagai "Tempat Ibadah Tri Dharma" (disingkat TITD). Penetapan tersebut diberlakukan oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 19 November 1979.[3]
Tridharma di Indonesia
Tridharma di Indonesia kembali bangkit berkat usaha yang dirintis oleh Kwee Tek Hoay adalah tokoh Buddha Tri Dharma di Indonesia, dan dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Ia memprakarsai berdirinya Sam Kauw Hwee atau "Perkumpulan Tiga Agama" di Jakarta pada tahun 1920-an, serta mendirikan "Penerbitan & Percetakan Moestika" yang menerbitkan Majalah Moestika Dharma yang banyak mengupas ajaran Buddha, Khong Hu Cu, Lo Cu, bahkan ajaran agama lain. Sam Kauw Hwee bersifat Indonesia-sentris, yaitu dibangun dan diciptakan di Indonesia meskipun ketiga ajarannya berasal dari luar Indonesia.[2] Selain Kwee, The Boan An, yang kelak menjadi seorang biksu dengan nama Ashin Jinarakkhita, juga pada awalnya aktif di perkumpulan Sam Kauw. Tokoh Tri Dharma lainnya adalah Asoka yang kemudian ditahbiskan menjadi Bhikkhu Sri Subalaratano. Perbedaannya, Ashin Jinarakkhita mendirikan Sangha Agung Indonesia (SAGIN) dengan semangat Buddhayana, sedangkan Sri Subalaratano bergabung dalam Sangha Theravada Indonesia (STI).
Tradisi orang Tionghoa semenjak zaman purbakala sampai kini adalah pemujaan terhadap Roh (Bai Shen). Roh-roh yang dipuja itu pada mulanya adalah arwah para leluhur (Di), Roh Tanah (She), Roh Padi-Padian (Ji), Roh Langit (Tian), Roh Bumi (Di), hingga meluas ke Roh seisi alam semesta. Mereka percaya bahwa roh-roh itu bisa membantu keberadaan manusia apabila dihormati. Itulah kepercayaan Animisme dan Dinamisme yang umum dijumpai pada semua masyarakat purba di muka bumi. Meskipun kepercayaan semacam itu sebagian besar sudah luntur pada masa modern ini, tetapi pada bangsa Tionghoa masih tetap bertahan dan berkembang. Bahkan, masuknya agama Buddha dan lahirnya agama Tao serta Konghucu di Tiongkok makin menambah banyaknya roh-roh yang dipuja. Roh-roh itu disebut Roh Suci (Shen Ming). Untuk lebih memusatkan perhatian pada pemujaan, dibuatlah patung sebagai lambang dari roh-roh tersebut.[3]
Kendati demikian, Buddhisme menolak eksistensi roh atau arwah dengan ajaran tentang anatta (Pali; Sanskerta: anatman) yang dianutnya. Ajaran tersebut menekankan bahwa tidak ada roh, arwah, atau diri kekal apa pun yang berdiam di dalam tubuh setiap makhluk, melainkan gugusan-gugusan yang membentuk kesatuan yang secara konvensional dianggap sebagai 'diri'.[4][5][6]
Dalam pengertian umum, "pemujaan" biasanya dilakukan oleh pihak yang lebih rendah kepada pihak yang lebih tinggi derajatnya. Namun, bagi orang Tionghoa, "pemujaan terhadap roh" berarti: "upaya untuk mengormati keberadaan roh, dan untuk berhubungan dengannya." Oleh karena itu, tujuan pemujaan di Klenteng menjadi beraneka rupa:[3]
Untuk refleksi diri atau menyelaraskan rohani dengan alam semesta.
Untuk menghormati para Roh Suci yang telah berjasa. Misalnya kepada Laozi, Kong Hu Cu, dan Buddha Sakyamuni yang merupakan guru-guru besar ketiga ajaran.
Untuk memohon kesaksian Shen Ming. Misalnya berikrar di hadapan Gong ZuGuan Gong di Klenteng Tuban.
Untuk menunjukkan rasa bakti atau kasih. Misalnya kepada arwah leluhur, keluarga, dan sahabat dalam Festival Qingming.
Untuk membantu arwah leluhur dan arwah semua makhluk hidup yang sedang berada di alam menderita. Menurut kepercayaan, arwah para penjahat atau yang tidak ikhlas pada kematiannya akan tersesat dan bergentayangan. Arwah-arwah seperti ini perlu dibantu dengan doa-doa dan persembahan, misalnya dalam ritual Cioko atau Ulambana.
Hari-hari sembahyang yang penting
Upacara keagamaan yang diadakan di Klenteng sebenarnya berkaitan erat dengan tradisi perayaan di kalangan rakyat. Secara garis besar, ritual-ritual tersebut terbagi menjadi tiga bagian.[3]
Festival Yuan Xiao Jie (Cap Go Meh) sebagai penutupan Tahun Baru Imlek. Tanggal 15 bulan 1 Imlek.
Festival Duan Wu (menyambut Musim Panas) yang dimeriahkan lomba Perahu Naga. Imlek tanggal 5 bulan 5.
Festival Zhong Qiu Jie (Tiong Ciu). Festival Musim Gugur atau Festival Kue Bulan. Imlek tanggal 15 bulan 8.
Festival Qixi (Perayaan Malam Tujuh). Festival pertemuan antara Niu Lang (Gembala Kerbau) dengan Zhi Nu (Gadis Penenun). Imlek tanggal 7 bulan 7.
Festival Chong Yang (Tiong Yang) yang dirayakan tanggal 9 bulan 9 Imlek. Masyarakat Tionghoa menggangap angka ganjil (1,3,5,7,9) bersifat Yang (positif, maskulin). Angka 9 merupakan angka ganjil tertua (titik balik dari kelimpahan (8) menuju kekurangan (0)). Tanggal 9 bulan 9 dianggap tanggal sangat jelek sehingga diadakan ritual untuk menangkalnya.
Festival Dongzhi (Tang Cek; Hari Wedang Ronde) untuk merayakan titik balik matahari saat musim dingin, dirayakan sekitar tanggal 22 Desember.
Festival Chu Xi atau malam Ji Kau Meh. Malam pada hari terakhir tahun Imlek.
^ abcdefBidang Litbang PTITD/Matrisia Jawa Tengah. 2007. Pengetahuan Umum tentang Tridharma, hal. 11. Semarang: Penerbit Benih Bersemi.
^Richard Gombrich (2006). Theravada Buddhism. Routledge. hlm. 47. ISBN978-1-134-90352-8., Quote: "All phenomenal existence [in Buddhism] is said to have three interlocking characteristics: impermanence, suffering and lack of soul or essence."