Artikel ini merupakan kajian kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia dari sudut pandang akademis dan sejarah serta berlandaskan referensi yang faktual. Artikel ini tidak berkaitan dengan ideologi agama yang menyangkut iman dan kepercayaan dalam suatu agama atau kepercayaan tertentu.
Dasar hukum
Hukum di Indonesia melindungi kebebasan beragama khusus untuk enam agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu.[1] Meskipun demikian, penganut agama selain keenam agama resmi tetap memperoleh jaminan penuh oleh Pasal 29 (2) UUD 1945 selama tidak melanggar hukum Indonesia. Konstitusi dan hukum yang mengatur kebebasan beragama di Indonesia adalah sebagai berikut:[2]
Versi berikut merupakan versi UUD 1945 setelah perubahan, khususnya amendemen kedua yang berkaitan dengan pasal-pasal berikut.
BAB XA. HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28E
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
BAB XI. AGAMA
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal-pasal tersebut di atas penerapannya dibatasi oleh hak-hak asasi orang lain yang diatur dalam pasal 28J sebagai berikut:[2]
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Butir-butir pengamalan Pancasila diuraikan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjadi 36 butir, khusus Sila Pertama diuraikan menjadi 4 butir. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) menguraikan kembali ke-36 butir tersebut pada tahun 1995 menjadi 45 butir, 7 diantaranya merupakan butir Sila Pertama[3] sebagai berikut:
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Pada tahun 1998, TAP MPR No. II/MPR/1978 beserta penetapan Pancasila sebagai asas tunggal dicabut melalui TAP MPR No. XVIII/MPR/1998[4] dengan alasan politis yaitu penghapusan produk Orde Baru.[3] Penghapusan ini dinilai sebagai suatu kesalahan karena menyebabkan konflik SARA menjadi tidak terbendung.[5] Di sisi lain, wacana penetapan kembali Pancasila sebagai asas tunggal ditentang oleh sebagian Ormas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus RUU Ormas (2012)[6] karena sempat menimbulkan ketegangan antara ormas dengan pemerintah Orde Baru yang dinilai represif.[7] Wakil Ketua Gerakan Pemuda AnsorJawa Timur, Andry Dewanto (2016), berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak mengesahkan organisasi-organisasi yang bertentangan dengan paham Pancasila. Ketua Pimpinan Besar Nahdlatul Ulama, Saifullah Yusuf (2016), juga menyatakan bahwa ajaran yang ingin mengubah ideologi Pancasila sangat tidak bisa dimaafkan.[8]
Peraturan perundangan lain
1. UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[9]
Pasal 4. "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun."
Pasal 22 (1). "Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Pasal 22 (2). "Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
2. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9]
Pasal 80. "Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya."
Pasal 175. "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan."
Latar belakang
Masalah kebebasan keberagamaan di Indonesia tidak lepas dari peristiwa politik yang telah terjadi selama berabad-abad, semenjak masa menjelang keruntuhan Majapahit sekitar abad ke-14 M hingga pergolakan politik di awal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik politik dan kepentingan terjadi antara pemeluk agama Siwa-Buddha dengan pemeluk agama Islam yang relatif masih baru masuk ke wilayah Nusantara; antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen yang masuk pada masa Kolonial Belanda; dan antar pemeluk agama Islam sendiri yang dibedakan menjadi Islam Putihan dan Islam Abangan.
Agama Islam masuk ke Jawa pada abad ke-13 M. Agama baru ini menimbulkan pergesekan antar lapisan masyarakat yang diwarnai oleh nuansa politik.[11] Konflik peralihan kekuasaan dan dominasi agama menyebabkan terjadinya pengungsian pemeluk agama lama ke tempat-tempat terpencil dengan tujuan menjaga warisan leluhur dari revolusi sosio-religi yang tengah terjadi. Misalnya pengungsian para bangsawan dan pandita ke Pulau Bali,[13]Ki Ageng Tunggul Wulung ke Dusun Beji di sebelah timur Sungai Progo,[14] Pangeran Singonegoro yang menyepi ke Umbul Jumprit,[15] pengungsian Suku Tengger,[13] legenda moksanyaPrabu Siliwangi menjadi maung Siliwangi sementara pengikutnya menjadi maung loreng setelah menolak bujukan Kian Santang untuk masuk Islam,[16] dan sebagainya.
Kedatangan Portugis pada abad ke-16 M ke Maluku membawa serta agama Katolik untuk diperkenalkan pada penduduk Kesultanan Ternate yang beragama Islam. Namun, terjadi bentrok akibat kepentingan politik yang berakhir dengan pengusiran Portugis, yang digantikan datangnya pasukan Kerajaan Spanyol. Kesultanan Ternate kemudian meminta bantuan Bangsa Belanda yang membawa Kristen, sehingga juga terjadi pergesekan antara agama Katolik dan Kristen.[11] Puncak penyebaran agama Kristen di Pulau Jawa terjadi pada abad ke-19 M dengan misionaris-misionaris yang tidak hanya berasal dari Belanda, melainkan juga misionari pribumi seperti Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrach. Penyebaran agama Kristen di Tanah Batak sempat memperoleh perlawanan dari Sisingamangaraja XII sebagai perwakilan Parmalim yang menyerukan pengusiran para zending Kristen disertai pengrusakan dan pembakaran. Namun, hal tersebut menjadi alasan pasukan Belanda untuk menaklukkan Batak.[17]
Aktivitas misionaris Katolik dan Kristen dipandang membahayakan kehidupan beragama masyarakat yang saat itu mayoritas sudah beragama Islam. Muhammadiyah dan Persis melihat adanya upaya kristenisasi dan katolikisasi yang dilakukan para misionaris,[note 3] sementara NU melihat bahwa Muhammadiyah juga melakukan dakwah dan misionaris.[18][note 4] Gesekan antara Islam dan misionaris Kristen terus berlangsung hingga awal masa kemerdekaan Indonesia. Masing-masing pihak menerbitkan buku-buku apologetik yang antara lain berjudul "Islam Menentang Kraemer" (1925), "Tuhan Yesus Dalam Agama Islam" (1957), dan "Isa Dalam Qur’an Muhammad Dalam Bible" (1959). Bahkan, pada tahun 1964 beredar paflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang memuat rencana kristenisasi dan katolikisasi di Jawa dalam kurun waktu 20 tahun. Isi pamflet tersebut ditolak dan dianggap tidak otentik oleh pihak Kristen dan Katolik.[18][19][note 5]
Pergesekan antara Islam putihan dan abangan sudah ada semenjak periode dakwah Walisongo. Golongan putihan adalah para wali yang berdakwah di daerah pesisir dengan pusat di Giri, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Sunan Drajat. Golongan abangan berdakwah di pedalaman dengan pusat di Gunung Muria, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Golongan putihan berdakwah dengan menegakkan syariat dan menolak budaya setempat, sementara golongan abangan menggunakan budaya lokal dalam berdakwah, selama budaya tersebut tidak terlampau bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[20]
Golongan putihan atau santri memiliki orientasi politik karena memiliki kedekatan dengan keraton, sementara golongan abangan berorientasi pada dakwah yang merakyat. Terdapat golongan ketiga yang disebut golongan priayi yang lebih condong terhadap pemikiran abangan tetapi merasa memiliki derajat yang lebih tinggi. Para priayi berupaya mengarahkan perkembangan teosofi Islam ke arah "Jawanisasi Islam" melalui berbagai literatur seperti serat, suluk, primbon, dan wirid.[21] Polemik antara pihak keraton dan pesantren memuncak setelah kekalahan Pangeran Diponegoro yang memiliki cita-cita mendirikan negara Islam di Jawa. Setelah berakhirnya perang Padri dan perang Jawa, hubungan kaum ulama dan pihak keraton semakin menjauh. Meskipun demikian, status desa perdikan yang disahkan oleh pemerintahan kolonial setelahnya, serta pemberlakuan Cultuurstelsel pada tahun 1830, memungkinkan kelompok minoritas seperti guru-guru agama memiliki tanah yang luas dan menjadi independen sehingga diperkirakan menjadi penyebab utama islamisasi di Jawa secara berkelanjutan. Selain itu, pembangunan jaringan jalan memungkinkan lebih banyak kaum intelektual muslim dari Arab untuk datang atau intelektual lokal untuk belajar ke luar Jawa. Misalnya Ahmad Rifa'i (1786-1875) yang belajar ke Mekkah dan membawa pulang Mazhab Syafi'i.[22]
Antara paska-Perang Diponegoro (1830-an) hingga reformasi Islam (1870-an), lahir beberapa karya sastra "anti-Islam" seperti Babad Kediri, Suluk Gatoloco, dan Serat Darmagandhul yang diperkirakan ditulis oleh kalangan priayi yang tidak puas terhadap aktivitas islamisasi di Pulau Jawa, atau menurut Phillipus van Akkeren adalah reaksi terhadap kegagalan politik Islami Pangeran Diponegoro.[note 6] Hal ini berujung pada pelarangan publikasi Suluk Gatholoco berdasarkan UU No 4/PNPS/1963 karena isinya anti-Islam dan porno. Di lain pihak, beberapa kalangan menganggap isi suluk sebenarnya bukan anti-Islam melainkan sebagai pengingat karena pada masa tersebut banyak orang yang mengagungkan Syariat Islam.[note 7][23]
Meskipun memperoleh dukungan dari presiden ke-7 Indonesia, banyak pihak yang menolak pelabelan "Nusantara" terhadap Islam. Azhar Ibrahim dari Universitas Nasional Singapura memandang Islam Nusantara bisa menjadi teladan bagi negara-negara muslim lain yang sebagian besar mengalami konflik.[26] Islam Nusantara yang memiliki ciri khas Islam Indonesia diklaim mengedepankan nilai-nilai toleransi yang bertolak belakang dengan Islam Arab.[27][28][note 8]
Masa awal kemerdekaan
Menjelang kemerdekaan Indonesia, elit politik di Indonesia terbagi menjadi kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dan kelompok nasionalis (terdiri atas Islam sekuler, komunis, dan Kristiani). Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato Lahirnya Pancasila yang ditindaklanjuti dengan dibentuknya Panitia Sembilan untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Terjadi perdebatan antara kelompok Nasionalis dan kelompok Islam mengenai sila pertama[note 9] sehingga dibentuk Panitia 94. Akhirnya, tanggal 22 Juni 1945 diperoleh persetujuan berupa Piagam Jakarta yang memenangkan kelompok Islam. Hal tersebut tidak mengakhiri keberatan-keberatan yang diajukan oleh kelompok Kristen (seperti Johannes Latuharhary), kelompok Islam berpendidikan Barat (seperti Hussein Jayadiningrat), dan kelompok abangan/Kejawen (seperti Wongsonegoro), tetapi baru pada tanggal 18 Agustus 1945 ketujuh kata pada Piagam Jakarta dihilangkan akibat tuntutan Umat Kristen di Indonesia Timur.[note 10] Hal tersebut menjadi salah satu titik ketegangan hubungan antara Islam dan Kristen. Hal tersebut juga menyebabkan timbulnya pemberontakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1949) yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, dan memperoleh dukungan dari Abdul Kahar Muzakkar dan Daud Beureu'eh.[19] Permasalahan ini juga kembali diangkat oleh Front Pembela Islam melalui Muhammad Rizieq Shihab (1 Juni 2016) yang menuntut Pemerintah Indonesia "kembali pada Pancasila dan UUD 1945 yang asli dan dijiwai Piagam Jakarta".[29][30]
Pada masa demokrasi liberal tahun 1950-an, Muhammadiyah melalui Masyumi berupaya menjalin kerja sama dengan kelompok Islam tradisional dan Nasrani. Namun, insiden pada tahun 1952 menjadi titik kritis perpecahan kelompok Islam modern dan tradisional. Sementara itu, Persis menepatkan diri di tengah-tengah konflik antara Islam-Nasrani, Islam-PKI, dan Islam tradisional-reformis. Setelah perpecahan pada tahun 1952, NU mengambil sikap oposisi terhadap Masyumi sementara masih bersikap kerja sama dengan Nasrani dan komunis. Persis beranggapan bahwa universitas-universitas Islam di Indonesia masih terlalu liberal sehingga mereka mengirim siswa ke Mesir, Libya, Saudi Arabia, dan Pakistan serta bergabung dalam gerakan muslim global dalam melawan kristenisasi.[18]
Setelah Pemilu 1955, Konstituante dibentuk untuk menghasilkan UUD baru yang menggantikan UUDS 1950, keinginan pembentukan negara Islam kembali mencuat. Hal tersebut menyebabkan Konstituante gagal dalam tugasnya sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembalinya UUD 1945 sebagai konstitusi negara.[19]
Jatuhnya komunis di Indonesia menyebabkan konflik Islam-Kristiani semakin memanas, yang beberapa kali meletus menjadi konflik terbuka.[11]Alwi Shihab memperkirakan sekitar dua juta umat muslim abangan berpindah agama ke Kristen dan Katolik untuk menghindari pembataian massal terhadap orang komunis.[11] Pertambahan umat Nasrani tersebut dianggap sebagai proses kristenisasi.[31] Pada tahun 1967, pergesekan terjadi akibat sebuah gereja dibangun di Meulaboh yang masyarakatnya tidak ada yang beragama Nasrani. Hingga tahun 1970-an, akibat aktivitas misionaris Katolik dalam bentuk pendidikan dan kesehatan, Suara Muhammadiyah banyak memberikan kritik dan serangan terhadap Katolik, antara lain mengenai praktik selibat yang dilakukan oleh rohaniwan Katolik (September 1971), diskriminasi yang dilakukan umat Katolik di Filipina (Oktober 1971), dan proses kristenisasi di Indonesia (1974). Muhammadiyah, Persis, dan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) menjalin hubungan dengan organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam dan Rabit'at al-Alam al-Islami, untuk menghambat bahaya kristenisasi.[11][18]
Pemberontakan Darul Islam (Negara Islam Indonesia) antara tahun 1942-1962 (hingga 1965 di Sulawesi Selatan) dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
1. Dua gereja dirusak (1955-1964).[32] 2. Islam radikal dipandang sebagai ekstrem kanan.[19] 3. Salah satu faktor munculnya GAM (1976) oleh menteri LNNII.[33] 4. Munculnya gerakan bawah tanah separatis Islam hingga Orde Reformasi.[34]
Pemberontakan PKI 1948 merupakan pergerakan politik tetapi memiliki dampak penyerangan dan pembunuhan terhadap kaum santri (Masyumi) yang selanjutnya terjadi aksi balas dendam terhadap kaum abangan di Surakarta.[19][35][36]
1. Permusuhan Masyumi terhadap PKI.[37] 2. PKI dipandang sebagai ekstrem (pemberontak) kiri.[35]
1952
Indonesia
Pertambahan jumlah aliran kepercayaan baru menurut data Departemen Agama (1951-1965) mengalami peningkatan yang sangat pesat[19][38] sehingga dikhawatirkan akan berdampak pada kesesatan. Pada tahun 1952, Departemen Agama mengajukan definisi minimum tentang agama yaitu: "ada nabi, memiliki kitab suci, dan ada pengakuan internasional". Hal ini berdampak aliran-aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama.[39]
Usulan Depag dicabut karena memperoleh oposisi dari Hindu Bali.[39]
1961
Indonesia
Untuk menghindari disintergrasi akibat banyaknya aliran agama baru, Departemen Agama mengajukan bahwa agama harus mempunyai kitab suci, nabi, kekuasaan mutlak Tuhan Yang Maha Esa, dan suatu sistem hukum bagi para penganutnya.[19] Dari berbagai aliran agama yang ada, hanya enam agama yang berhasil memenuhi kriteria tersebut, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dan ditegaskan kembali dalam Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965.[39][40]
Perlindungan terhadap 6 agama resmi tetapi agama-agama asli Nusantara tidak memperoleh pengakuan sebagai agama di Indonesia,[41][42] melainkan sebagai kebudayaan.[43]
Orde Baru (1966–1998)
Selama Orde Baru, agama menjadi alat kontrol stabilitas politik. Jumlah tempat ibadah yang dibangun sangat banyak, tetapi jumlah kasus penutupan, pengrusakan, dan pembakaran rumah ibadah juga meningkat pesat. Pada tahun 1945-1964 tecatat 2 gereja mengalami pengrusakan, sementara periode tahun 1955-1999 meningkat menjadi 55 buah masjid dan 609 gereja (lebih dari 50% terjadi selama tahun 1995-1999).[32] Berbagai penyelesaian konflik dilakukan secara tertutup dan diakhiri dengan kompromi tanpa proses hukum. Menurut Pdt. Weinata Sairin (2002), kasus pengrusakan gereja yang diselesaikan secara hukum hanya terjadi pada kasus pembakaran GKJ Batang (1995).[30]
Pada periode ini, konflik antara Islam dan Kristen terus terjadi.[41] Untuk menyelesaikan konflik, musyawarah antar-agama pertama kali diprakarsai oleh Menag Muhammad Dahlan di Jakarta pada tanggal 30 November 1967.[44] Musyawarah ini gagal karena perwakilan Kristen memprotes masalah pembatasan dakwah sementara perwakilan Islam menolak melakukan dialog.[41] Akhirnya, pada periode Mukti Ali sebagai Menag (1971-1978), dialog antar-agama berhasil dijembatani,[44][45] meskipun masalah kristenisasi berulang kali diangkat kembali dalam berbagai aspek politik dan sosial.[41]
Disamping konflik antara Islam dan Kristen, peran pemerintah Orde Baru dalam menekan ekstrimis kanan melalui tangan militer juga membawa korban dan intoleransi pada pihak Islam. Selain itu, pergesekan antara kelompok Islam konservatif dan Islam moderat juga terjadi dan saling menjatuhkan,[46] misalnya penggusuran masjid milik minoritas Muhammadiyah (1993) yang dianggap melakukan dakwah di Lamongan.[47]
1. Diadakan Musyawarah Antar Umat Beragama (30 November 1967).[31] 2. Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[48]
Indonesia
Berdasarkan anjuran Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang diketuai oleh Kristoforus Sindhunata, pada tanggal 6 Desember diterbitkan Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Hal tersebut menyebabkan kebebasan beribadah umat Konghucu menjadi sangat terbatasi.[49][50] Peraturan ini diikuti peraturan-peraturan diskriminatif lain seperti Instruksi Mendagri No 455.2-360 (1968) tentang Penataan Kelenteng-Kelenteng di Indonesia yang menyebabkan kelenteng banyak yang terbengkalai karena renovasi bangunan harus memiliki izin dari pemerintah. Selain itu juga diterbitkan SE Mendagri No.477/1978 yang tidak mengakui Khonghucu sebagai agama resmi.[51][52]
Intoleransi terjadi sampai tahun 2000 dengan diterbitkannya Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Inpres No 14/1967 (17 Januari 2000) dan Kepres No.19/2002 tentang Ditetapkannya Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional (9 April 2003).
Pada bulan April, pengrusakan gedung gereja terjadi dengan alasan tidak mempunyai IMB.[31] Alasan penolakan adalah bahwa sudah terdapat 5 bangunan gereja di Slipi.[41]
Salah satu pemicu diterbitkannya SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969.[48]
Penolakan pembangunan RS Baptis pada bulan Desember 1969 karena dibangun di pemukiman muslim sehingga dianggap sebagai upaya kristenisasi.[31] Ketua MUIBuya Hamka menyatakan protesnya pada Presiden Soeharto pada tahun 1975 dan menyarankan pemerintah untuk mengambil alih rumah sakit tersebut.
Tanggal 23 Desember 1985, RS Baptis diserahkan kepada Mendagri dan menjadi Rumah Sakit Umum Pusat Bukittingi.[53]
Peristiwa Tanjung Priok yang mengakibatkan sejumlah korban (36 orang luka dan 23 orang tewas) terjadi pada tanggal 8-12 September 1984.[54] Meskipun dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, peristiwa ini diduga merupakan upaya pemerintah Orde Baru untuk menekan pertumbuhan ekstrimis Islam.[46]
Peristiwa ini dianggap masih belum diselesaikan dengan tuntas.[54]
Pada tanggal 15 Oktober 1990, tabloid Monitor menampilkan hasil angket tokoh-tokoh yang dikagumi pembaca. Angket tersebut menempatkan Nabi Muhammad pada urutan ke-11 (di bawah peringkat pemimpin redaksi tabloid). Hal tersebut memperoleh reaksi keras dari tokoh-tokoh Islam. Gus Dur menilai adanya kelompok-kelompok tertentu, termasuk yang tergabung dalam ICMI yang berusaha memanipulasi isu agama demi kepentingan mereka. Sebagian tokoh Islam menduga angket ini merupakan konspirasi pihak Katolik (dan Kristen) dalam mendiskreditkan Islam.[31]
Arswendo Atmowiloto menyampaikan permintaan maaf dan dihukum penjara 4 tahun 6 bulan semenjak 25 Oktober 1990.[55]
Pada tanggal 11 Juni, jemaat Katolik mengeroyok seorang pendatang bernama Taman yang beragama Kristen karena meremat hosti hingga hancur, yang berakibat terjadinya kerusuhan. Kerusuhan terjadi karena penodaan hosti telah terjadi secara berulang di kawasan tersebut.[56]
Kerusukan terjadi pada tanggal 2-5 September oleh massa Katolik yang digerakkan isu pelecehan agama oleh sipir penjara bernama Sanusi Abubakar. Kerusuhan menyebabkan pembakaran Pasar Comoro yang didominasi pendatang muslim, pengrusakan masjid Al-Ihwan, dan pengrusakan Kompleks Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin) di Dili, meliputi panti asuhan dan taman kanak-kanak, yang dianggap melakukan proses islamisasi penduduk Timor-Timur. Rombongan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM sementara Amien Rais menduga kerusuhan tersebut ditunggangi kepentingan politik.[57]
Tanggal 31 Oktober - 2 November terjadi kerusuhan akibat seorang siswi Tsanawiyah bernama Lia Yulianawati dituduh mencuri coklat pada sebuah toko serba ada.[58] Rumor yang beredar menyebutkan siswi tersebut ditampar oleh karyawan toko atau dipaksa mengepel menggunakan jilbabnya.[59]
Pekalongan
Tanggal 24 November terjadi kerusuhan akibat seorang penderita skizofrenia bernama Yoe Sing Yung, yang sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Pusat Magelang selama 4 tahun, merobek al-Quran. Kerusuhan terjadi akibat muncul isu-isu simpang siur yang beredar di antara para santri.[58]
Kerusuhan Situbondo terjadi karena Saleh yang beragama Islam dilaporkan oleh KH Achmad Zaini dengan tuduhan menghina agama Islam (12 September). Sidang tanggal 10 Oktober diwarnai kerusuhan dan ada isu bahwa Saleh disembunyikan di Gereja Bukit Sion. Kerusuhan menyebabkan kerusakan, pembakaran, dan perampokan 24 gereja, beberapa sekolah Kristen dan Katolik, satu panti asuhan Kristen, satu kelenteng, dan toko-toko yang milik keturunan Tionghoa di lima kecamatan.[59] Kerusuhan juga menyebabkan korban jiwa sebanyak 5 orang yang tewas terbakar.
120 orang pelaku kerusuhan ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang, 11 diantaranya adalah pelajar Yayasan Ibrahimi, selain sejumlah santri pondok Wali Songo.
Kerusuhan menyebabkan kerusakan 83 toko, 4 pabrik, dan 4 gereja pada tanggal 26 Desember.[59] Selain itu, korban meninggal berjumlah 2 orang. Kerusuhan dipicu oleh perlakuan sewenang-wenang oknum-oknum polisi terhadap pengasuh pesantren Riadulum wal Dakwah.[60]
Empat orang organisasi mahasiswa Islam dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman.[60]
Kerusukan Rengasdengklok (30 Januari) terjadi akibat tindakan intoleran sebuah keluarga etnis China yang merasa terganggu akibat para pemuda membangunkan warga untuk sahur dengan memukul bedug di Musala Miftahul Jannah. Kerusuhan menyebabkan pengrusakan dan pembakaran 77 rumah, 73 toko, 4 gereja, 2 vihara, 4 pabrik, 2 bank, dan 1 sekolah. Kerusuhan juga disebabkan keresahan warga muslim karena banyak rumah penduduk yang berubah fungsi menjadi tempat ibadah non-masjid.[61]
Banjarmasin
Pada tanggal 23 Mei terjadi Kerusuhan Banjarmasin atau Jumat Kelabu. Kerusuhan yang awalnya dipicu kampanye Golkar dengan jemaah sholat jumat yang mengusung atribut PPP merambah menjadi kerusuhan SARA yang mengarah pada etnis Tionghoa, serta pengrusakan gereja Katolik, gereja Kristen, kelenteng, dan sekolah Katolik. Koran Dinamika Berita menyebutkan korban tewas sebanyak 142 orang dengan 132 orang tewas terbakar di Mitra Plaza, yaitu sebagian besar adalah penjarah. Mabes Polri melaporkan korban tewas sebanyak 123 orang, 121 orang tewas di Mitra Plaza.[62]
Sebanyak 106 orang perusuh ditangkap untuk dimintai keterangan.[62]
1998
Banyuwangi
Pembantaian Banyuwangi 1998 terjadi pada bulan Februari-September. Korban tewas sebanyak 148 orang berasal terduga dukun santet, korban dipenjara sebanyak 118 orang terduga dukun santet, meskipun pada kenyataannya sebagian korban merupakan NU.[63]
Penangkapan hanya dilakukan pada warga yang ikut-ikutan membantai. Pelaku intelektual tidak diketahui.[63]
Ketapang
Kerusuhan Ketapang terjadi pada tanggal 22 November antara FPI dan para preman etnis Ambon di wilayah tersebut. Kerusuhan dipicu oleh tindakan sewenang-wenang para preman terhadap penduduk Betawi dan pengrusakan masjid Khairul Biqa'. Selain 13 orang tewas, kerusuhan juga menyebabkan 11 gereja dirusak dan dibakar.[64]
Kerusuhan Kupang (30 November-1 Desember) dimulai dari aksi Gemakristi (Gerakan Perkabungan Umat Kristiani) akibat kerusuhan Ketapang. Aksi berubah menjadi kerusuhan isu pembakaran gereja seingga terjadi pengrusakan dan pembakaran setidaknya 5 masjid, pondok pesantren, pertokoan muslim, dan rumah ketua PPP.[65][66]
Reformasi (1998–sekarang)
Suasana kebebasan pada Orde Reformasi dimanfaatkan orang atau golongan untuk kepentingan dan menurut tafsiran masing-masing.[67] Semenjak Orde Baru berakhir, era kebebasan di Indonesia meluas, demikian pula dengan militansi agama. Pemerintah dinilai tidak menanggapi dengan tegas saat terjadi intoleransi keagamaan, seperti kekerasan, intimidasi, dan sebagainya. Bahkan, peristiwa pengeboman semakin marak semenjak Orde Baru berakhir.[68] Temuan peneliti LIPI menyebutkan penyebaran paham radikal meningkat di kalangan anak muda setelah reformasi.[69]
Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaluddin Rakhmat, mengatakan bahwa intoleransi keberagamaan disebabkan oleh keinginan kelompok mayoritas untuk dominan. Ia berkesimpulan bahwa paham Islam dan Kristen yang dominan selalu cenderung tidak toleran. Jalaluddin Rakhmat juga menyebutkan survei bahwa wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua dan Maluku adalah yang paling toleran sementara Jawa Barat yang paling tidak toleran.[70] Sebagaimana laporan Komnas HAM dalam Kongres Kebebasan Beragama (2016), Jawa Barat tetap menjadi lokasi tertinggi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama.[71]
Menurut survei Pew Research Center (2010), Indonesia merupakan salah satu dari empat negara yang tingkat penghambatan dan kekerasan terhadap praktik keagamaannya sangat tinggi. Survei yang sama menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 dari 11 negara yang memiliki kekerasan sosial keagamaan tertinggi.[72]
Semenjak tahun 2014, berbagai gerakan masyarakat mulai aktif untuk menolak masuknya paham radikalisme yang dituduhkan kepada HTI, PKS, dan Wahabi.[73] Pada tahun 2016, mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta menolak gerakan khilafah di kampus mereka.[74] Langkah pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangkal gerakan radikal yang dapat mengancam keutuhan Negara Indonesia adalah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia pada bulan Juli 2017.
Peran negara dan hukum
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam "Dialog Kebangsaan tentang Toleransi Beragama" (Jakarta, 13 Februari 2014) menyatakan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam mencegah tindakan intoleransi di Indonesia, misalnya dengan menghilangkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan mencegah pelaksanaan hukum yang timpang antar kelompok sosial.[67] Brian J. Grim, Presiden Religious Freedom & Business Foundation (2014), menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, tingkat perlindungan pemerintah terhadap kebebasan beragama setara dengan ada atau tidaknya kekerasan terhadap agama minoritas maupun kekerasan sektarian dalam masyarakat.[75]
Menurut Human Rights Watch, oknum pejabat pemerintah dan polisi justru memberikan dukungan baik secara diam-diam maupun terbuka kepada kelompok-kelompok militan yang terlibat atau mendukung penyerangan terhadap minoritas, seperti Forum Umat Islam (FUI), Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Gerakan Islam Reformis (Garis).[68] Komnas HAM (2016) mengemukakan bahwa pemerintah kabupaten dan kota menempati peringkat tertinggi dalam daftar pihak yang diadukan sebagai pelaku dugaan pelanggaran hak kebebasan beragama dan keyakinan, bahkan menjadi bagian dan turut serta dalam perbuatan intoleran. Hal tersebut disebabkan Pemda tidak berani menghadapi massa intoleran sehingga mengorbankan yang menjadi korban intoleransi, misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12/2011 tentang larangan kegiatan jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.[76]
Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR-RI menegaskan adanya upaya sistematis kelompok intoleran di Indonesia dengan cara membiayai, mencetak buku, menyusup ke dalam Kementerian Agama, dan mengontaminasi aparat keamanan. Ia menyayangkan adanya kapolres yang merujuk kepada fatwa Muspida dan MUI untuk menegakkan hukum, bukan pada konstitusi.[note 11][77] Kasus masuknya paham radikal dalam buku-buku pelajaran agama dari TK hingga sekolah menengah, serta dalam lingkungan universitas, mencuat semenjak tahun 2015 dan menjadi perhatian serius dinas pendidikan dan pemerintah.[73][78][79]
Semenjak periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004), Setara Institute melaporkan peningkatan kekerasan terhadap agama dan mazhab minoritas, antara lain penyerangan terhadap lebih dari 430 gereja dan penyegelan puluhan masjid Ahmadiyah.[68][note 12][80][81] Sesuai laporan ke Komnas HAM serta pemantauan berbagai lembaga seperti Wahid Institute, Setara Institute, dan Moderate Muslim Society, pelanggaran hak kebebasan beragam mengalami peningkatan selama periode tahun 2007-2012. Komnas HAM menilai Indonesia sedang menghadapi keadaan darurat HAM pada akhir tahun 2013. Masyarakat mulai apatis untuk melaporkan tindakan kekerasan dan intoleransi karena kasus-kasus yang ditangani tidak ada yang ditangani secara tuntas oleh lembaga-lembaga pemerintah terkait demi "kerukunan umat beragama", misalnya kasus Sampang tahun 2012.[67][68] Pada tanggal 26 Desember 2012, warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang mengalami penyerangan oleh 200 orang dari mazhab Sunni sehingga terjadi korban tewas 2 orang dan puluhan rumah dibakar. Pemerintah melalui Menag Suryadharma Ali menyatakan bahwa kasus Sampang merupakan murni permasalahan keluarga yang berlarut-larut.[67][82][83][84]
Masalah ketimpangan hukum misalnya terjadi pada puluhan gereja yang memenuhi syarat hukum pembangunan rumah ibadah tetapi akhirnya dicabut izinnya setelah ditekan kelompok militan Islamis, sekalipun bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan izin.[68] Tindakan intoleransi tersebut dilaporkan dan menjadi topik dalam sidang PBB di Jenewa (Mei 2012), tetapi pelaporan tersebut disayangkan oleh beberapa pihak. KH Hasyim Muzadi menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara muslim yang paling toleran di dunia saat ini; selain menyebutkan bahwa Swiss melarang pembangunan menara masjid, Prancis mempermasalahkan jilbab, dan negara-negara lain yang tidak menghormati agama karena melegalkan pernikahan sejenis.[85] Suara Islam (30-5-2012) melalui artikel berjudul "LSM Liberal Jualan Isu Intoleransi ke PBB" juga menyatakan bahwa isu intoleransi di Indonesia adalah tidak benar; bahwa selain Indonesia mengakui hari raya keenam agama, juga disebutkan bahwa di wilayah umat muslim menjadi minoritas "pendirian masjid juga dipersulit".[43] Bahkan, Harits Abu Ulya di Kantor MUI Jakarta (7 Juni 2012) menduga adanya persekongkolan antara pihak gereja dan jaringan liberal berbentuk LSM sehingga Dewan HAM PBB menuding umat Islam Indonesia intoleran.[86] Sementara itu, Ust. Zainal Abidin Al-Floresi menggugat tudingan bahwa umat Islam di Indonesia intoleran dengan membandingkan terhadap kondisi umat muslim minoritas di negara-negara lain serta adanya stigma negatif terhadap syariat Islam serta kelompok-kelompok Islam.[87]
Pada tahun 2014, Indonesia kembali mendapat sorotan PBB dalam Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-26 (10 Juni 2014) mengenai masalah "hak kebebasan berkumpul" kelompok agama atau mazhab minoritas, disamping lemahnya penegakan hukum yang melindungi. Muhamad Subhi dari the Wahid Institute menyebutkan bahwa terdapat pihak-pihak tertentu, bahkan dari pihak penyelenggara negara, yang mempertanyakan tindakan advokasi internasional karena dianggap mempermalukan Indonesia di mata internasional. Ia menyatakan bahwa, "Padahal, pelaporan ke dunia internasional terjadi karena ada kebuntuan di nasional, keengganan di tingkat nasional untuk sungguh-sungguh menyelesaikan ancaman intoleransi."[80]
Komnas HAM dan the Wahid Institute menunjukkan data bahwa masih terjadi pengingkatan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama pada tahun 2015. Intoleransi keberagamaan paling sering dialami jemaat Ahmadiyah. Intoleransi juga dialami oleh komunitas Gafatar.[70] Setara Institute melaporkan adanya peningkatan kasus intoleransi beragama pada tahun 2015 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, Menag Lukman Hakim Saifuddin dalam laporan tahunan kehidupan keagamaan Indonesia 2015 menyebutkan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia dinilai sangat baik (75,36%). Ia menegaskan bahwa isu agama sering kali dilatari oleh motif lain, misalnya saat menjelang pilkada.[88]
Penetapan agama resmi negara
Peristiwa separatisme ekstrimis kanan (1950-an), munculnya berbagai aliran kepercayaan baru yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama, serta ketegangan antara PKI dengan NU pada pertengahan tahun 1960-an menyebabkan Menteri Agama Saifuddin Zuhri mendesak Presiden Soekarno mengeluarkan[89] Penpres No. 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA) [90] yang ditetapkan menjadi UU melalui UU No. 5/1969[91] Selain ditujukan untuk melindungi enam agama resmi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal demi pasal UU PPA Pasal 1, UU ini dipandang diskriminatif terhadap agama-agama lain. Pada akhir tahun 2009, tujuh LSM (Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Perkumpulan Masyarakat Setara, Desantara Foundation, dan YLBHI) dan empat individu (Abdurrahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq) mengajukan uji materi atas UU PPA.[89]
Menurut Ester I. Jusuf (2010), UU PPA memberikan kewenangan pada pemerintah hingga masuk ke dalam wilayah pribadi antara warga negaranya dengan kepercayaannya. UU PPA mendiskriminasi kelompok yang dianggap memiliki kepercayaan menyimpang oleh suatu kelompok agama tertentu dan seharusnya sudah tidak berlaku semenjak 10 November 2008 dengan diterbitkannya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU PDRE).[92] Menteri Agama Suryadharma Ali (2010) berpendapat bahwa UU PPA harus dipertahankan untuk mencegah konflik horisontal pada masyarakat karena perlindungan hukum dari pemerintah menjadi hilang, dan pelaku penistaan agama akan lolos dari jerat hukum. Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI, Slamet Effendy Yusuf (2010), menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi harus berhati-hati karena belum ada UU pengganti.[93] Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto, menyatakan bahwa UU PPA hanya perlu direvisi atau diganti dengan yang lebih ketat membedakan antara kelompok beragama atau keyakinan dengan kelompok sempalan.[94]
Penerapan UU PPA ini menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap penganut agama asli Nusantara yang tidak termasuk ke dalam enam agama resmi. Penganut agama asli kerap memperoleh perlakuan diskriminatif secara sosial dan hukum,[95] dan sulit dalam mengurus akta seperti KTP dan akta pernikahan.[96]Siti Musdah Mulia dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM (2008) menegaskan bahwa UU ini jelas menguntungkan mazhab mayoritas dalam agama-agama resmi untuk mengontrol munculnya mazhab-mazhab lain dalam agama mereka. Aliran mayoritas dilegalkan dalam organisasi-organisasi seperti MUI, Walubi, PGI, KWI, dan PHDI serta diberi wewenang dalam kegiatan dan tafsir keagamaan dalam masyarakat, apakah menyimpang atau tidak.[97][note 13] Beberapa aliran yang dianggap menyimpang dan dikenai UU ini adalah Lia Eden dengan kelompoknya yang disebut Salamullah (selanjutnya menjadi Kaum Eden)[98] dan aliran Ahmadiyah yang ditetapkan sebagai aliran sesat oleh fatwa MUI.[99] Contoh kasus lain adalah pemuka agama Syiah bernama Tajul Muluk yang dituduh melakukan penistaan agama pada tahun 2012 dan mengalami penganiayaan serta penahanan, dan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Alexander Aan pada tahun 2012 melalui Facebook. Meskipun tindakannya cukup jelas menodai agama Islam, beberapa organisasi dalam dan luar negeri menilai tuntutan hukum terhadap Alexander Aan terlalu berlebihan dan memasung kebebasan berekspresi individu. Di lain pihak, Forum Umat Islam menyatakan bahwa Alexander seharusnya dihukum mati.[100] Mazhab-mazhab yang dianggap menyimpang atau sesat dalam agama lain misalnya adalah aliran Maitreya dalam agama Buddha dan Saksi-Saksi Yehuwa dalam agama Kristen.
Selain UU PPA, beberapa peraturan juga dianggap melanggar kebebasan beragama, misalnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP yang menyebutkan "Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Budha". Semenjak dikeluarkannya SE Mendagri ini, istilah agama resmi dan tidak resmi menjadi muncul sehingga terjadi pengabaian hak-hak agama lain seperti agama-agama asli dan agama Konghucu. Pengakuan terhadap "agama resmi negara" secara eksplisit ditegaskan dalam UU Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, bahwa negara hanya mengakui enam agama resmi.[98]
TAP MPR Nomor II/MPR/1998 tentang GBHN juga dinilai sangat diskriminatif dan menyerang penganut agama asli.[97] Pasal yang dipermasalahkan adalah Butir 6 tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbunyi:
"Penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa perlu terus dimantapkan pemahaman bahwakepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agamadan oleh karena itu,pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama barudanpenganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat."[101]
Pasal tersebut menyebabkan komunitas agama asli seperti Sunda Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target islamisasi atau kristenisasi agama-agama pendatang.[97] Sebagian penganut agama asli seperti Sunda Wiwitan berusaha mempertahankan kepercayaan mereka meskipun harus menghadapi perlakuan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari[95] dan memilih untuk mengosongkan kolom agama di KTP semenjak dikeluarkannya UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.[96] Sementara itu, beberapa agama asli lain seperti Kaharingan dan Tolotang memilih untuk bergabung dengan agama Hindu meskipun disertai ketidakpuasan.[42][102]
Pembangunan tempat ibadah
SKB Menag-Mendagri No. 1/Ber/MDN-MAG/1969 diterbitkan setelah terjadi beberapa kerusuhan lintas agama. Namun, SKB tersebut tidak memiliki petunjuk pelaksanaan sehingga dalam praktiknya sering mempersulit pembangunan tempat ibadah non-masjid karena menjadi wewenang bupati atau wali kota setempat untuk tidak atau memberikan izin. Setelah terjadi berbagai peristiwa intoleransi pada tahun 2005 terkait penutupan tempat ibadah, antara Oktober 2005-Maret 2006 dilakukan musyawarah antar majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, dan Walubi) dan SKB tersebut disempurnakan menjadi Perber Menag-Mendagri No. 9/8 Tahun 2006.[41][48][103]
Perber Menag-Mendagri 2006 masih menuai protes karena dianggap tidak memberikan toleransi kepada umat agama yang minoritas, khususnya pasal 13 dan 14 (batasan 90 orang pengguna dan 60 orang dukungan masyarakat setempat).[104] Di samping itu, dikeluarkannya Perber 2006 tersebut memicu peningkatan penolakan tempat-tempat ibadah minoritas hingga pemukulan dan penusukan aktivis dan pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi (12 September 2010),[105] meskipun dalam sambutannya, Menag M.M. Basyuni telah menegaskan bahwa tempat ibadah yang telah dipergunakan secara permanen atau memiliki nilai sejarah tetapi belum memiliki IMB sebelum berlakunya Perber 2006, Bupati/Wali kota wajib membantu memfasilitasi penerbitannya.[103] Perber ini juga meningkatkan ketegangan antar kelompok-kelompok minoritas dan mayoritas, yaitu bahwa ada usaha-usaha kelompok tertentu untuk mencegah pendirian tempat ibadah melalui penolakan atas nama penduduk setempat atau usaha pencegahan kuota 60 orang pendukung tidak terpenuhi.[105]
Kasus pengrusakan tempat ibadah yang terkait dengan Perber Menag-Mendagri 2006 antara lain adalah pengrusakan sebuah rumah yang digunakan sebagai tempat ibadah Kristen Pantekosta di Ngaglik, Sleman oleh Front Jihad Islam pada tanggal 2 Juni 2014, setelah sebelumnya disegel pada tahun 2012 karena izin IMBnya ditolak oleh masyarakat pada tahu 2010.[106] Pembakaran juga dialami Sanggar Sapta Darma di Rembang (11 November 2015) oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Forum Umat Islam (FUI) Desa Plawangan yang disayangkan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang karena pembangunan sanggar aliran kepercayaan diatur dalam peraturan bersama Mendagri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[107]
Pernikahan beda agama
Pasal 28 B (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah." Dalam pelaksanaannya, pernikahan diatur dengan UU No. 1 tentang Perkawinan (UPP). Pasal 2 UPP menimbulkan polemik karena tidak mengakui adanya pernikahan di luar hukum masing-masing agama[note 14][108] Permohonan uji materi pasal 2 UPP ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (2015) dengan alasan bahwa Negara Indonesia "berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" sehingga "tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negara mempunyai hubungan yang erat dengan agama dan salah satunya adalah perkawinan".[109] Pemerintah Indonesia saat itu mendukung penolakan karena khawatir akan munculnya "kerawanan dan gejolak sosial di tengah masyarakat" yang menolak pernikahan beda agama. Pemerintah memandang bahwa pernikahan berhubungan erat dengan agama dan hak konstitusional tiap individu tidak bisa dilakukan dengan sebebas-bebasnya tetapi ada batasan-batasan untuk menghormati hak konstitusional orang lain, sesuai dengan Pasal 28 J (22) UUD 1945. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menambahkan bahwa tidak diakuinya pernikahan beda agama merupakan ketentuan dari ajaran agama itu sendiri.[110][111] Sementara itu, lima orang mahasiswa dan alumnus FH UI (2014) menganggap UU Perkawinan mengandung unsur “pemaksaan” dan bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.[112]
Pada tanggal 20-4-1985, Ketua MA melalui surat bernomor KMA/72/IV/1981 yang ditujukan kepada Menag dan Mendagri RI memohon dalam membantu pelaksanaan pernikahan beda agama, mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga pernikahan agama tidak dapat dihindari serta untuk mencegah perkawinan tidak resmi. Pada tahun 1986, MA melalui Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 mengarahkan Kantor Catatan Sipil untuk mencatat pernikahan pasangan beda agama Andi Vonny Gani P dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan.[113] Pada bulan Mei 2006, Sudhar Indopa, pegawai Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, menyatakan bahwa larangan pernikahan beda agama berasal dari agama dan bukan dari negara, sehingga kantor catatan sipil tidak dapat mencatat perkawinan tersebut.[114]
Pernikahan beda agama dianggap haram dan tidak sah oleh MUI melalui Fatwa Mui Nomor: 4/Munas Vii/Mui/8/2005[115] serta didukung oleh NU dan Muhammadiyah.[116][117]PHDI juga tidak mengakui pernikahan beda agama dengan berlandaskan aturan dalam agama Hindu, sedangkan Konghucu melalui MATAKIN menyatakan bahwa pemberkatan pernikahan hanya dapat dilakukan bila kedua mempelai beragama Konghucu, tetapi tetap menghormati dan memberikan surat keterangan pernikahan jika ada umatnya yang menikah berbeda agama.[118] Sementara itu, agama Kristen melalui PGI menilai bahwa UU Pernikahan telah mengabaikan hak seseorang untuk menikah sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan moral.[116] Katolik melalui KWI juga menganggap bahwa negara telah melampaui kewenangannya dengan terlalu jauh mencampuri urusan warga negaranya dengan Tuhan.[118]Walubi menyebutkan bahwa agama Buddha tidak memberikan aturan ketat mengenai pernikahan beda agama meskipun diusahakan seiman.[119]
Fatwa tanggal 7 Maret 1981 dikeluarkan oleh MUI di bawah kepemimpinan Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dengan alasan umat muslim pada saat itu sering menyetarakan perayaan Natal (kelahiran Yesus atau Nabi Isa) dengan perayakan Maulid Nabi Muhammad. Sebagian umat muslim bahkan ikut dalam perayaan dan kepanitiaan Natal.[120] Pada tahun 2012, Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin kembali menegaskan agar umat Islam tidak memberikan ucapan Selamat Natal dan mengikuti Natalan bersama karena akan merusak aqidah dan keimanan umat Islam. Namun, ucapan Selamat Tahun Baru masih diperbolehkan. Selain itu, umat Islam diharapkan untuk menghormati perayaan Natal[121] dengan cara tidak mengganggu umat kristiani yang merayakan.[122] Wakil Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lukman Hakim Saifuddin, berpendapat bahwa fatwa 1981 hanya tentang mengikuti ritual Natal, pengucapan Selamat Natal merupakan upaya memelihara kerukunan beragama dan tidak memasuki wilayah keimanan.[123] Pernyataan tersebut juga dikritik oleh tokoh-tokoh muslim seperti Zuhairi Misrawi (NU), Salahuddin Wahid, dan Jusuf Kalla. Tokoh Kristen Theophilus Bela berpendapat bahwa MUI telah lama mengeluarkan fatwa-fatwa antipluralisme serta anti-toleransi.[122] Pelarangan ini menimbulkan perdebatan hingga aksi pemasangan spanduk pelarangan ucapan Selamat Natal pada berbagai kota di Indonesia.[124][125][126] Pada tahun 2014, Ketua Umum MUI Pusat, Din Syamsuddin, menyatakan bahwa memberikan ucapan selamat Natal tidak haram dan tidak diatur dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tahun 1981.[120][127] Sementara itu, FPI melalui Muchsin Alatas (2014) menyatakan bahwa pelarangan tersebut bukan merupakan kebencian umat Islam kepada umat Kristiani.[128]
Fatwa MUI 1981 juga digunakan untuk melarang penggunaan pakaian Sinterklas oleh umat Islam, terutama karena adanya keresahan para ulama di Jawa Timur dan Aceh.[129] Hal ini didukung oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof. Yunahar Ilyas (2014).[130] Pada tahun 2014, penolakan terhadap instruksi pemakaian jilbab dan atribut muslim lain menjelang Ramadhan 2014 terjadi di Bali karena adanya anggapan upaya islamisasi dan berhubungan dengan pelarangan penggunaan pakaian Sinterklas dan atribut Natal lainnya.[131] Pada tahun tersebut juga terjadi pelarangan penggunaan jilbab pada sekolah-sekolah di Bali[132][133] yang dianggap sebagai suatu tantangan terhadap umat Islam.[134]
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh (2013) juga mengharamkan ucapan ‘Salam Natal’ dan perayaan tahun baru karena tidak ada dalam ajaran Islam dan bukan terkait masalah toleransi.[135] Selain Natal dan Tahun Baru, perayaan hari valentine juga diharamkan.[136]
Perlindungan oleh negara
Pada pertengahan tahun 2016, seorang siswa kelas XI SMK Negeri 7 Semarang penganut aliran Kepercayaan yang awalnya ditetapkan tidak naik karena nilai agama Islamnya kosong, dengan mediasi LBH APIK dan Wali kota Semarang Hendrar Prihadi, dinyatakan naik ke kelas XII dan mulai bersekolah kembali sejak 31 Agustus 2016.[137] Pada tahun 2017, terdapat kasus kewajiban berjilbab bagi siswi non-muslim yang diterima bersekolah di SMP Negeri 3 Genteng atas anjuran Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah Teguh Lumekso. Hal tersebut menadapat perhatian serius dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang memerintahkan untuk membatalkan aturan tersebut. Namun, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti, menyebutkan bahwa aturan serupa juga ditemukan juga di Sumatera Barat dan Kabupaten Bima.[138][139]
Pada tanggal 10 Desember 2016, Wali kota Bandung, Ridwan Kamil, memberikan sanki tegas kepada ormas Pembela Ahlus Sunnah (PAS) yang memaksa pembubaran KKR di Bandung (6-12-2016).[140][141] Sebelumnya, KKR dibubarkan dengan alasan panitia KKR belum memenuhi kelengkapan prosedur serta dianjurkan untuk tidak beribadah di luar gereja, tetapi hal tersebut dibantah oleh panitia yang menyatakan bahwa mereka telah melengkapi segala persyaratan yang diperlukan untuk peribadatan pada siang maupun malam harinya.[142]
Peran individu dan masyarakat
Brian J. Grim menyatakan bahwa selain peraturan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, aksi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok juga berpengaruh terhadap kebebasan keberagamaan dalam masyarakat.[75]
Proselitisme sering kali dipandang sebagai upaya islamisasi atau kristenisasi yang dilakukan kelompok agama minoritas terhadap masyarakat mayoritas, misalnya kegiatan dakwah di Tengger yang mayoritas beragama Hindu.[143] Masyarakat atau kelompok tertentu tidak jarang memprotes kegiatan yang diduga sebagai proselitisme, misalnya pembangunan Rumah Sakit Siloam di Padang (2013-2014) dan Solo (2015-2016) yang dianggap sebagai upaya kristenisasi. Menurut MUI, pemilik Rumah Sakit ini, yaitu James T. Riady, pernah menyatakan ingin mengkristenkan desa-desa miskin di Indonesia. Wali kota Padang, Fauzi Bahar, menuduh Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, sebagai dalang di balik demonstrasi masyarakat Minangkabau, terutama karena Irwan Prayitno berasal dari PKS yang dikenal sebagai partai dakwah.[144][145] Sementara itu, Wali kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, dianggap tidak mendengarkan aspirasi warga yang menolak pembangunan Rumah Sakit Siloam karena mengkhawatirkan dampak lingkungan dan alasan akidah.[146][147]
Hubungan antara kelompok agama mayoritas dan minoritas di Indonesia secara keseluruhan atau pada daerah-daerah tertentu beberapa kali mengalami ketimpangan, terutama pada wilayah yang pemeluk agama mayoritasnya memiliki paham radikal. Ketegangan antara mayoritas dan minoritas mulai meningkat pada masa Orde Reformasi karena peran serta pemerintah tidak setegas selama masa Orde Baru yang menekan aliran-aliran agama berpaham radikal.[148]
Selain itu, pemerintah terkesan membiarkan pertumbuhan kelompok-kelompok agama garis keras yang bahkan bertujuan melengserkan dasar negara Pancasila dengan paham agama yang mereka anut. Perselisihan yang terjadi pada daerah-daerah umumnya berupa penolakan kelompok agama mayoritas terhadap pembangunan tempat ibadah atau pelaksanaan ibadah umat minoritas, yang terkadang bahkan diikuti kekerasan. Beberapa pemerintah daerah juga terlibat dan mendukung penekanan yang dilakukan kelompok agama mayoritas terhadap minoritas.
Aksi kekuasan mayoritas di tingkat nasional terjadi pada demonstrasi yang diakhiri kericuhan pada tanggal 4 November 2016 ("Demonstrasi 411") yang melibatkan ormas-ormas Islam berdemonstrasi ke Jakarta untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama agar diproses hukum karena dituduh telah melakukan pelecehan terhadap ayat Al-Qur'an. Hal tersebut dipicu tulisan Buni Yani melalui media Facebook yang mengomentari pidato Pilkada Basuki. The Guardian dan South China Morning Post menganggap pemerintahan Basuki sebagai gubernur di Jakarta sebagai anomali karena ia merupakan bagian dari dua kelompok minoritas, yaitu etnis Tionghoa yang beragama Kristen.[148][149] Beberapa media luar negeri lain, seperti theThe New York Times, juga mengungkapkan bahwa peristiwa ini merupakan peristiwa politik yang dilatarbelakangi agama karena ketakutan kelompok mayoritas akan kehilangan kekuasaan yang selama ini dipegang oleh mereka.[150] Penetapan Basuki sebagai tersangka oleh kepolisian menyebabkan Indonesia menjadi sorotan dunia internasional yang menunggu bukti terjaminnya pluralisme di Indonesia dan bahkan mempertanyakan kebenaran terjaminnya pluralisme pada masa Orde Baru.[148][149][150][151] Sementara itu, peristiwa Bom Samarinda (13 November 2016) yang terjadi sekitar seminggu setelah Demonstrasi 411 dianggap MUI sebagai pengalihan isu terhadap kasus Basuki.[152] Komentar tersebut dicerca berbagai lapisan masyarakat karena kasus pengeboman gereja Kristen tersebut menyebabkan seorang balita meninggal dan tiga lainnya mengalami luka bakar.[153] Selain itu, sebagian masyarakat juga mempertanyakan mengapa kasus Bom Samarinda tidak ramai ditanggapi sebagaimana Demonstrasi 411, terutama oleh para ulama dan pelaku demo 411.[154][155] Sebelumnya juga terjadi teror bom pada beberapa tempat, seperti Sekolah Kristen Gloria di Surabaya dan Gereja Katolik Gembala Baik di Kota batu paska-demonstrasi 411.[156][157]
Kerusuhan antar agama
Berikut ini merupakan daftar kerusuhan dengan latar belakang agama yang terjadi di Indonesia selama masa Orde Reformasi.
Penyerangan umat Islam terhadap umat Buddha dan Konghucu akibat desakan komunitas muslim setempat untuk menurunkan patung Buddha di Vihara Tri Ratna semenjak tahun 2010, serta dipicu protes warga etnis Tionghoa akibat suara adzan yang terlalu keras.[158]
Menurut Prof. Didin Hafidhuddin, radikalisme dianggap sebagai pangkal dari terorisme meski tidak semua radikalis merupakan teroris. Ia menyatakan bahwa radikalisme diduga memiliki dua ciri, yaitu mudah memberikan cap kafir kepada kelompok lain dan memahami jihad secara sempit dalam arti perang semata. Namun, lanjut Prof. Didin Hafidhuddin, penggunaan istilah "terorisme berbasis agama" adalah kurang tepat karena dapat menimbulkan kesan pembenaran bahwa radikalisme yang merupakan akar terorisme diajarkan dalam agama.[169]
Berdasarkan pernyataan mantan petinggi Jamaah Islamiah (JI) Abdul Rahman Ayub, jaringan teroris saat ini melakukan perekrutan anggota melalui dunia maya.[170] Usaha pihak-pihak tertentu dalam menyebarkan berita kebohongan mengenai agama Islam (dikenal dengan sebutan "hoax Islami")[171] kerap kali menyebabkan terjadinya cyberbullying.[172][173]NU, melalui sekelompok anggotanya yang disebut Cyber Warriors, mencoba menghadang propaganda Islam radikal dan teroris di internet, antara lain dengan pembuatan meme dan melalui twitter.[174][175]
Aksi teror juga menimpa Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, pada awal tahun 2016. Bupati Dedi dianggap sebagai penista dan perusak akidah agama Islam karena banyak membangun patung dan mengedepankan budaya Sunda di Purwakarta, yaitu lebih mengedepankan salam menurut budaya Sunda (sampurasun) dibandingkan salam secara Islam. Selain memperoleh tuntutan hukum atas kasus penistaan agama, Dedi juga memperoleh ancaman melalui media sosial dan secara fisik.[176][177]
Dalam paparan hasil pantauan Wahid Institute yang dilakukan selama Januari hingga Desember 2013, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menduduki peringkat pertama sebagai pelaku pelanggaran toleransi dalam beragama. Menurut Kalau Subhi Azhari, salah satu peneliti Wahid Institute, hal ini dikarenakan MUI sering mengeluarkan fatwa-fatwa yang cenderung intoleran. Peringkat kedua ditempati oleh Front Pembela Islam (FPI) yang sebelumnya menduduki peringkat pertama. Selain MUI dan FPI, pelaku intitusi lain yang masuk ke dalam pantauan Wahid Institute di antaranya Forum Umat Islam (FUI) dengan 8 kasus, Aliansi Ormas Islam dengan 5 kasus, 3 kasus dikoleksi oleh JAT, perusahaan dan Aliansi Anti Ahmadiyah. Sementara dua kasus pelanggaran oleh GARIS, GP Ansor, Kampus, MMI, MTA, Muhammadiyah, dan LSM Muslim. Sisanya satu kasus oleh BASSRA, FBR, FKUM Pasar Minggu, Formasat Tasik, FUIB, GEMPA, Gerakan Masyarakat Peduli Kerukunan, UNS Solo, Pengelola Website, Solidaritas Indonesia Anti Penindasan, KUIB, LDII, Lembaga Kajian, dan Ormas Almanar.[179] Namun, hasil penelitian tersebut ditepis oleh Ketua MUI Ahmad Cholil Ridwan yang menyatakan bahwa fatwa dibuat atas dasar ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist serta berfungsi untuk menyelamatkan umat Muslim dari kesesatan.[180]
Kebebasan beragama di berbagai wilayah
Kebebasan beragama di Jawa Barat
Riset oleh Setara Institute (2015) menyimpulkan Kota Bogor sebagai kota yang paling intoleran di antara 94 kota administratif yang menjadi sampel, antara lain disebabkan penanganan kasus GKI Yasmin, pemerintah memfasilitasi kegiatan kelompok intoleran (Aliansi Nasional Anti Syiah atau ANNAS),[181] dan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor: 300/321-Kesbangpol tentang larangan perayaan Asyura oleh Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto. Hal tersebut menyebabkan sejumlah warga Bogor yang bernaung dalam Yayasan Satu Keadilanmenyomasi wali kotanya untuk menarik kembali surat edaran tersebut.[182] Terkait survei tersebut, Bima Arya berkata bahwa mereka punya cara tersendiri dalam mengelola keberagaman dan kebersamaan di Kota Bogor.[183]
Sementara itu, Kabupaten Purwakarta dinilai sebagai kabupaten yang menghargai kebebasan beragama bagi penduduknya serta menjadi salah satu calon penerima penghargaan sebagai daerah paling toleran oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa.[184] Pada Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Jakarta, 23-2-2016), Komnas HAM memberikan penghargaan kepada Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, atas perannya dalam menegakkan hukum di wilayahnya. Dedi Mulyadi membentuk "Satgas Toleransi" dalam usaha membendung massa intoleran, mendirikan sekolah ideologi yang menanamkan nilai-nilai Pancasila, dan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 450/2621/Kesra tentang Jaminan Melaksanakan Ibadah Berdasarkan Keyakinan.[185] Sementara itu, FPI dan Manhajus Solihin menyebut Purwakarta sebagai darurat akidah, dengan salah satu alasannya karena Dedi Mulyadi mengubah Assalamualaikum menjadi Sampurasun.[186] Ketua Umum PBNUSaid Aqil Siroj menghimbau masyarakat Purwakarta untuk tidak menghiraukan tundingan tersebut dan berkomentar untuk membubarkan ormas yang sudah memprovokasi hingga dianggap meresahkan.[187]
Kebebasan beragama di Aceh
Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh ditawarkan oleh Gus Dur (2001) sebagai jalan untuk menyelesaikan kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meskipun UU No 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa Hukum Syariat berlaku untuk umat Islam sementara masyarakat non-muslim hanya wajib menghormati pelaksanaannya, penerapannya terus memperoleh sorotan dari dalam dan luar negeri.[188]Suraiya Kamaruzzaman, seorang aktivis HAM di Aceh, menilai bahwa peraturan pemberlakuan Syariat di Aceh (2014) atau Qanun Jinayat bersifat diskriminatif terhadap non-muslim.[189] Sementara itu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, memastikan bahwa Syariat Islam hanya diberlakukan bagi penduduk Aceh yang muslim, tidak bagi non-muslim yang menetap atau melakukan kegiatan di Aceh, sesuai Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 Pasal 13.[190] Pada tahun 2016, hukuman cambuk diberlakukan kepada seorang wanita non-muslim yang berjualan minuman keras di Takengon. Meskipun hukuman tersebut merupakan pilihannya sendiri untuk menghindari hukuman penjara, Komnas HAM khawatir peristiwa tersebut akan dipraktikkan secara meluas karena "hukum positif tidak berlaku di sana" dan menjadi "suatu pergeseran dalam penerapan hukum Islam."[191]
Setara Institute menyampaikan bahwa Provinsi Aceh berada di urutan kedua tertinggi terjadinya pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia dengan pelaku pelanggaran terbanyak adalah aparatur Pemkab atau Pemkot.[192]Intoleransi keberagamaan banyak terjadi di Aceh Singkil. Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas), Boas Tumangger, dan tokoh muslim Ramli Manik, dan perwakilan Posko Kemanusiaan Lintas Iman mendatangi Komnas HAM (2016) untuk mengadukan persoalan kebebasan beragama dan beribadah di Aceh Singkil. Disebutkan bahwa sesudah peristiwa pembakaran gereja HKI (13 Oktober 2015), izin pembangunan gereja dipersulit.[193][note 15][194] Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama Aceh Singkil juga melakukan praktik diskriminasi bahwa semua peserta didik wajib mengikuti pelajaran agama Islam[194] sehingga selama puluhan tahun semua SDN di Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Semua siswa non-muslim harus mengikuti pelajaran agama Islam, termasuk baca tulis Arab dan Al-Quran, supaya bisa naik atau lulus.[193] Forcidas dan Posko Kemanusiaan Lintas Iman juga menuntut peradilan yang adil dan independen untuk Wahid Tumangger serta menuntut Komisi Yudisial mengusut Majelis Hakim PN Singkil yang terlibat karena diduga memberikan keputusan hukum yang tidak adil.[194]
Peristiwa pembakaran gereja HKI menyebabkan ribuan penduduk Kristen Singkil mengungsi ke beberapa kabupaten di Sumatera Utara. Dewan Pakar NU Aceh, Teuku Kemal Fasya (2015), menilai bahwa proses islamisasi dan kristenisasi berjalan secara alamiah di Singkil, tetapi isu kristenisasi diangkat dalam kampanye hitam dan bernuansa politis. Ia menilai kekerasan di Singkil, termasuk perobohan 10 gereja oleh bupati, dimobilisasi oleh aktor tertentu karena massa mengabaikan himbauan ulama Singkil, polisi kurang memberikan respon, dan massa anarkis datang dari wilayah yang jauh.[195] Ramli Manik menyampaikan bahwa sebenarnya tidak ada ketegangan antar umat Islam dengan Kristen dan Katolik di Aceh Singkil, terutama karena mereka juga terikat hubungan keluarga. Namun, Pemkab Aceh Singkil mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif dan restriktif sehingga menyebabkan terjadinya intoleransi keberagamaan.[194][196]
Kebebasan beragama di Sumatera Utara
Di Sumatera Utara terjadi beberapa kasus diskriminasi dan persekusi terhadap umat Islam. Misalkan kasus penghancuran Masjid Al-Khairiyah dan Madrasah Al-Khairiyah. Kasus ini pernah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan hingga kini tidak ada kejelasan. Bahkan, terdakwa tidak pernah ditahan. Selain itu, ada juga kasus pelarangan pembangunan Masjid Al-Munawar di Desa Sarula, Kabupaten Tapanuli Utara, oleh aparat desa setempat. Bupati dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sudah memberi izin prinsip dan syarat dalam surat keputusan bersama (SKB) dua menteri yang sudah terpenuhi. Tetapi, karena ada tekanan dari pihak non-Muslim, lurah tidak mau memberi rekomendasi. Dan, hingga sekarang pembangunan masjid pun terbengkalai.[197]
Pada tahun 2011 terjadi kasus penyerangan 300 warga bersenjata tajam terhadap jamaah di Masjid Al-Barokah di Kampung Melayu, Desa Amplas, Selambo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Termasuk, pembakaran rumah warga sipil di sekitar masjid, hingga saat ini tidak pernah ada upaya bantuan dari pemerintah untuk membangun kembali.
Di Medan terjadi kasus penghancuran Masjid Raudatul Islam oleh pihak pengembang. Pengembang beralasan penghancuran tersebut karena adanya rekomendasi dari Wali Kota Medan. Di Kabupaten Asahan terjadi pembakaran dua masjid pada Maret 2013. Salah satunya, Masjid Nur Hikmah di Kecamatan Aek Kuasan, Asahan. Menurut pihak kepolisian, masjid terbakar karena dibakar oleh orang gila.
Di Kabupaten Karo, terjadi kasus penghinaan terhadap syariat Islam. Seorang siswi SD Negeri 8 Brastagi di Kabupaten Tanah Karo diusir oleh oknum guru karena siswi tersebut menggunakan jilbab. Siswi bernama Dini itu diperbolehkan belajar asal melepaskan jilbabnya.[198][199]
Kebebasan beragama di Yogyakarta
Setelah beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia, seperti Cikeusik, Temanggung, dan Jawa Timur, Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (Aji Damai) mendeklarasikan "Yogya Kota Toleran" bersama tokoh lintas agama DIY pada tanggal 3 Maret 2011. Menurut koordinator pelaksana, Subkhi Ridho, Yogyakarta sebagai kota budaya dan kota pendidikan pantas menjadi teladan toleransi keberagamaan di Indonesia.[200] Namun, berbagai kasus kekerasan dan intoleransi agama menyebabkan Yogyakarta dinilai sebagai Kota Intoleran,[201] misalnya penyerangan umat Katolik di Sleman (2014 dan 2016),[202][203] penutupan Lembaga Rausyan Fikr (2014) akibat MUI Yogyakarta mengeluarkan fatwa sesat atas permintaan Front Jihad Islam (FJI),[204] pengusiran dan penganiayaan, penyerangan dan penutupan gereja yang sudah atau belum memiliki IMB, penolakan perayaan keagamaan, pembubaran diskusi, pengrusakan situs makam dan kelenteng, dan sebagainya.
Berdasarkan dokumentasi Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) di Universitas Gadjah Mada (2016), Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah yang tingkat intoleransinya paling tinggi.[note 16][205][206] Menurut Najib Azca (2014), sosiolog dan peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, pada tahun 2000-an banyak eksmujahid Poso dan Ambon membangun komunitas di Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa, "Mereka dulu giat menyerang minoritas dalam Islam, seperti Syiah dan Ahmadiyah, tapi sekarang sudah menyasar nonmuslim."[207] Pada Desember 2016, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk menurunkan baliho mereka yang menampilkan mahasiswi berjilbab atas desakan Forum Umat Islam (FUI).[208] Sementara itu, Rektor Universitas Sanata Dharma menyatakan akan menolak tuntutan FUI untuk menurunkan baliho mereka yang juga menampilkan mahasiswi berjilbab, karena selain tidak ingin kewenangan universitas Katolik tersebut diatur oleh ormas tertentu, penampilan mahasiswi berjilbab merupakan bentuk penghargaan terhadap semua mahasiswa muslim yang berkuliah di kampus tersebut.[209]
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) memandang Sultan Hamengkubawana X membiarkan tindakan intoleransi yang terjadi dan mendesak pengusutan serta penangkapan pihak yang melakukan kekerasan.[210] Bahkan, Masyarakat Anti-Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) mendesak agar Penghargaan Pluralisme yang diberikan oleh oleh Jaringan Antar-Iman (JAI) kepada Sultan (Mei 2014) untuk dicabut.[211] Sultan Hamengkubuwana X (2014) menyadari bahwa penegakan hukum yang lemah merupakan penyebab permasalahan intoleransi di Yogyakarta, tetapi ia kesulitan "menggunakan otoritas tertingginya sebagai kepala daerah untuk mendesak Kepala Kepolisian Daerah DIY menuntaskan kasus-kasus intoleransi secara hukum".[212]
Kebebasan beragama di Bali
Melestarikan nama Bali
Pada masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, kebebasan beragama tergolong tinggi karena, menurut IDG Ngurah Utama, Hindu memiliki ajaran yang sangat toleran, yaitu "om basudewa kumtu ba kamyang" (semua manusia bersaudara).[213]Bimas Islam Bali menyebutkan bahwa kehidupan umat beragama di Bali tergolong tinggi dan patut ditiru oleh provinsi lain di Indonesia. Di Bali tidak pernah terjadi bentrok antar umat beragama, tempat ibadah antar agama banyak yang berdampingan, dan terdapat tradisi Ngejot atau mengirim makanan kepada tetangga saat hari raya kepada umat berbeda agama sebagai tanda kehidupan yang rukun dalam bertetangga.[214] Akulturasi budaya juga tampak dalam bidang keagamaan, seperti umat Katolik di Dusun Tuka, Dalung yang beribadah menggunakan pakaian khas Bali serta masih melestarikan nama Balinya.[215] Ketua Matakin Bali, Ahi Matain (2015), juga menegaskan bahwa kerukunan beragama di Bali sudah terjalin sejak lama.[216] Pada tahun 2016, FKUB Bali memutuskan memberi toleransi umat Islam untuk salat sunah gerhana pada saat Nyepi.[note 17][217] Meskipun demikian, Perda Nyepi di Bali dianggap sebagai salah satu perda diskriminatif di Indonesia karena memaksakan umat beragama lain untuk tidak beraktivitas sebagaimana mayoritas Hindu. Kegiatan keagamaan Hindu yang kerap menggunakan badan jalan juga dianggap mengganggu oleh sebagian umat non-Hindu, sementara yang lain memaklumi karena kegiatan tersebut merupakan budaya turun-temurun di Bali.[218]
Menolak pendirian bank syariah
Pasca Bom Bali I dan II, ketegangan kerap terjadi antara umat Hindu dan Islam di Bali,[215] misalnya pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri di Bali. Meskipun akhirnya diterbitkan Permendikbud 45/2014 yang melegalisasi penggunaan jilbab oleh pelajar sehingga sekolah-sekolah bersedia menerima siswi berjilbab. Pada tahun 2014, ratusan pemuda Bali berdemonstrasi di depan kantor Bank Indonesia (BI) Denpasar untuk menolak perbankan syariah. Aliansi Hindu Muda Bali menyatakan bahwa tujuh kabupaten di Bali menolak pendirian bank syariah. Melalui Dr Shri I.G.N. A. Wedakarna M.W.S., ia tidak mempermasalahkan sistem ekonomi syariah, tetapi curiga ada keinginan dari pihak-pihak tertentu di balik branding syariah yang dibawa ke Bali, misalnya karena ada karyawan beragama Hindu yang tidak boleh memasang sarana persembahyangan umat Hindu di bank syariah. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa umat Islam kurang dapat menyesuaikan dengan unsur budaya lokal. Ali Rama, perwakilan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), menyayangkan pandangan bahwa perbankan syariah berkaitan dengan agama tertentu.[219]
Instruksi penggunaan peci dan kerudung pada beberapa perusahaan seperti PT Jasamarga Bali Tol (JBT), Hypermart, Smartfren, Hoka Hoka Bento, dan Taman Nusa untuk menyambut Lembaran (2014) juga menuai protes dari Aliansi Hindu Bali yang terdiri atas Cakrawahyu, Yayasan Satu Hati Ngrestiti Bali, Yayasan Hindu Nusantara, dan Pusat Koordinasi Hindu Nusantara karena dianggap atribut khas agama tertentu.[219] Sikap tersebut dinilai Ketua PHDI Jakarta Pusat, IDG Ngurah Utama, sebagai tindakan intoleran yang dilakukan oknum fanatik yang ada di tiap agama. Ketua PHDI Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, menganjurkan seluruh umat Hindu untuk tidak mengusik kenyamanan kelompok berbeda keyakinan dengan menuntut pelarangan jilbab, peci, atau pendirian bank syariah. Wasekjen MUI Bidang Budaya, Natsir Zubaedi, menegaskan bahwa penggunaan lambang keagamaan adalah hak; pelarangan terhadap hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia.[213]
Aliansi Hindu Nusantara menggelar aksi damai di depan Kantor Gubernur Bali pada tanggal 25 Oktober 2021. Aksi ini dilakukan untuk menolak Mahasabha XII PHDI[220] dan masuknya sampradaya yang dianggap menyimpang dari ajaran Hindu Nusantara di Nasional Indonesia. Aksi damai yang dilakukan oleh Aliansi Hindu Nusantara tidak berhenti di Kantor Gubernur Bali. Setelah menyampaikan aspirasinya di sana, para peserta kemudian melanjutkan aksi mereka ke gedung DPRD Provinsi Bali. Hal ini menunjukkan bahwa Aliansi Hindu Nusantara ingin menyampaikan pesan mereka kepada kedua lembaga penting di Bali tersebut[221]. Aliansi Hindu Nusantara secara tegas menyatakan bahwa Mahasabha XII PHDI yang akan datang tidak memiliki legitimasi hukum. Dalam pernyataan sikap yang disampaikan kepada Gubernur Bali dan Ketua DPRD, massa berargumen bahwa kepengurusan PHDI periode 2016-2021 telah berakhir sejak diselenggarakannya Mahasabha Luar Biasa pada 19 September 2021. Aliansi Hindu Nusantara bertujuan untuk membersihkan tubuh Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) di tingkat nasional dari pengaruh aliran Sampradaya seperti Hare Krishna dan ISKCON, yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Hindu Nusantara. Upaya ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara praktik keagamaan di tingkat lokal dengan pengaruh aliran keagamaan internasional.
Majelis Desa Adat
Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-107/J.A/5/1984, yang melarang peredaran materi yang memuat ajaran Hare Krishna di seluruh Indonesia, Desa Adat dan Kelian Adat secara tegas menolak keberadaan dan aktivitas aliran tersebut di wilayahnya[222]. Keputusan ini menjadi dasar hukum bagi penolakan tersebut. Kelian Adat adalah pemimpin tertinggi di tingkat desa adat di Bali. Dalam konteks penolakan terhadap aliran Hare Krishna, Kelian Adat memiliki peran penting dalam menegakkan aturan adat dan agama di wilayahnya. Mereka seringkali bertindak atas instruksi dari Majelis Desa Adat (MDA)Provinsi Bali untuk melarang kegiatan aliran Hare Krishna yang dianggap bertentangan dengan ajaran Hindu Nasional dan adat istiadat setempat.[223]
Kebebasan beragama di Papua
Menurut survei Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama dengan Yayasan TIFA selama tahun 2011-2012, Papua merupakan provinsi terbaik di Indonesia berkenaan dengan kebebasan beragama, diikuti oleh Kalimantan Barat. Disebutkan bahwa hampir tidak ada persoalan tentang keberagamaan di Papua, kecuali bahwa tidak ada perda khusus yang mengatur perlindungan kebebasan beragama.[224] Menurut Ketua Presidium Perhimpunan Indonesia Timur (PPIT), Laode Ida (2015), warga asli Papua sangat menghormati kebebasan beragama dan toleran dengan penganut keyakinan yang berbeda.[225] Namun, pada tahun 2015, terjadi pelarangan perayaan Idul Fitri yang berujung pada pembakaran masjid di Tolikara hingga korban meninggal di pihak GIDI (17 Juli 2015). Komnas HAM menyampaikan bahwa Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, bersama dua fraksi DPRD Tolikara (2013), mengakui telah menandatangani Perda tentang pelarangan dan pembatasan agama dan pengamalan agama tertentu di Tolikara. Gereja Injili di Indonesia (GIDI) juga mengeluarkan surat nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 yang ditujukan kepada umat Islam Tolikara bahwa akan diadakan kegiatan Kebaktian kebangunan rohani (KKR) tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015. Bersama dengan surat tersebut, umat Islam tidak diizinkan merayakan Lebaran di wilayah Kabupaten Tolikara dan dilarang memakai pakai jilbab.[226] Insiden ini menyebabkan banyak media menyulut kebencian terhadap umat Kristen hingga hoax yang menyebutkan bahwa Idul Fitri sudah dirayakan di Papua semenjak tahun 1945, bahkan terjadi pembakaran gereja di Kota Palu, Yogyakarta, Solo, dan Purworejo sambil menyebut pelaku pembakaran di Tolikara sebagai teroris Kristen. Meskipun pada tanggal 15 Juli 2015, perayaan Idul Fitri di Tolikara sudah tidak lagi dilarang,[227] insiden tanggal 17 Juli 2015 terjadi akibat Arianto Koyoga dan Jundu Wanimbo menghasut 80 orang untuk menyerang 300 warga yang sedang beribadah di halaman Koramil Karubaga.[228]
Catatan
^Prasasti Kelurak menyebutkan bahwa pemujaan kepada Siwa, Wisnu, dan Brahma merupakan titik awal kesadaran menuju Manjusri.
^Pupuh 139 bait 5 dalam Kakawin Sutasoma tertulis: "Rwanekā dhātu winuwus Buddha Wiswa, bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" yang berarti "Konon (mereka) yang terpilih, Buddha dan Wiswa (Siwa), merupakan dua elemen dasar. (Keduanya) tidak tunggal, terpisah, konon karena dapat segera dibagi dua. (Padahal) kebenaran Jina ("yang berhasil menaklukkan", yaitu Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua."
^Perihal penghapusan Pasal 177 Indische Staatsregeling (IS), Suara Muhammadiyah no I bulan April 1939 menuliskan bahwa "Berdasarkan perintah Allah, Nasrani dan Yahudi dengan taktik mereka masing-masing akan selalu melawan Islam dan berusaha memasukkan muslim ke dalam agama mereka, keluar dari Islam. Oleh sebab itu kita harus selalu waspada dan bersedia untuk berdiri melawan mereka, dengan cara memperkuat dan menyebarkan Islam ke seluruh Indonesia."
^NU cenderung mengkritik ketidaksensitifan umat Nasrani terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam serta pemberian subsidi yang tidak adil antara umat Nasrani dan Muslim, yang sekali lagi memicu kemarahan Muhammadiyah. Mereka menyuarakan pemberian subsidi yang adil atau penghapusan subsidi sama sekali. Mengenai permasalahan Pasal 177 dan 178 Indische Staatsregeling (IS), suara mereka terpecah antara mendukung penghapusan kedua pasal, atau hanya Pasal 178, atau mempertahankan keduanya. Meskipun NU berupaya agar tidak terjadi polemik terhadap umat Nasrani, insiden pemakaman di Wonosobo menyebabkan mereka menuntut pemerintah untuk memberikan ketegasan bahwa pemakaman Islam tidak boleh digunakan untuk memakamkan umat Nasrani."
^Bisjron A. Wardy (1964) menerbitkan pamflet berjudul "Memahami Kegiatan Nasrani" yang menduga konferensi yang dilakukan gereja-gereja Katolik dan Kristen pada tahun 1962 adalah untuk menyusun rencana pengonversian iman muslim di seluruh Jawa dalam kurun waktu 50 tahun. Kebenaran isi pamflet tersebut ditolak keras oleh pihak Katolik maupun Kristen, mengingat kedua agama tersebut tidak pernah bekerja sama dalam hal misionaris dan bahkan kerap terjadi pergesakan di antara keduanya dari segi iman.
^Carel Poensen (1872) beranggapan bahwa dalam segi sastra, Suluk Gatholoco kurang berharga dan vulgar meskipun mengangkat tema tentang akhlak dan kebajikan. Ia berusaha agar karya tersebut tidak tersebar karena isinya yang mempermalukan umat Islam dan para pembawanya, serta "kaum putihan" yang menggerakkan reformasi Islam 1870-an.
^Damardjati Supadjar, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, berpendapat bahwa Suluk Gatholoco merupakan pengingat umat Islam bahwa "setelah syariat yang informatif, masih ada bentuk yang lebih lanjut yaitu tarekat yang transformatif, hakikat yang konformatif, dan pada akhirnya akan berpuncak pada makrifat yang illuminatif." Heru Nurcahyo dalam bukunya yang berjudul "Jalan Jalang Ketuhanan" menyatakan bahwa suluk ini "hadir untuk menuntaskan pemahaman mengenai Islam itu sendiri."
^Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, dalam pembukaan "Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU", 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta, berkata, "Islam Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran bukan Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara".
^Sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dipandang tidak jelas oleh kelompok Islam sehingga diajukan untuk ditambah tujuh kalimat yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
^Pada tanggal 17 Agustus 1945 sore, seorang perwira Angkatan Laut Jepang menyampaikan keberatan kelompok Kristen dan Katolik dari Indonesia Timur kepada Mohammad Hatta. Mohammad Natsir dalam tulisannya yang berjudul "Islam dan Kristen di Indonesia" menyebutkan bahwa mereka tidak bermaksud melakukan diskusi melainkan menyampaikan peringatan bahwa "ada 7 kata yang tercantum dalam Muqqadimah Undang-undang Dasar Republik yang harus dicabut" atau mereka "tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia." Keputusan diambil dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang berlangsung selama 2 jam.
^Eva Kusuma Sundari dalam konferensi pers "Melawan Intoleransi Beragama" (Jakarta, 3 Januari 2014) berkata, "Saya juga sedih dengan laporan tiga puluh ponpes yang tradisi filsafatnya kuat tutup di Aceh. Karena semua kelompok intoleran maunya tekstual. Gak mau elaborasi kontekstual yang lebih kontemplatif dan itu terancam di Aceh. Aceh walaupun syari'ah Islam, tetapi dipilih, Islam yang mana. Bukan semua Islam begitu."
^Terkait masalah GKI Yasmin, Bona Sigalingging menyatakan bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak berniat menyelesaikan intoleransi melainkan melakukan penyangkalan dengan cara mengecilkan persoalan. "SBY gagal total, tanpa kita tahu apakah SBY berniat menyelesaikan ini dalam sisa pemerintahannya." (Tempo, 11 Juni 2014) Di lain pihak, Dirjen Multilateral Kemenlu Hasan Kleib, terkait tudingan bahwa Bandung dicap sebagai kota intoleran, menyatakan bahwa "tuduhan tersebut hanya suara minoritas yang tidak menggambarkan realitas yang lebih luas dari penerapan HAM di kota Bandung". (Rakyat Merdeka Online Group, 1 Agustus 2016)
^Dalam artikelnya mengenai "Potret Kebebasan Beragama di Indonesia" (2016), Musdah Mulia berpendapat bahwa "Bicara tentang agama hakikatnya adalah bicara tentang interpretasi agama, dan faktanya tidak ada interpretasi tunggal dalam agama dan kepercayaan mana pun." Baginya, hal yang penting adalah bukan menekan kebhinekaan agama maupun mazhab agama, melainkan menjaga agar setiap warga negara dapat hidup rukun dan saling bertoleransi.
^Pasal 2 UPP menyebutkan: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." dan "(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dalam penjelasan pasal demi pasal, dijelaskan bahwa "tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini." Dalam penjelasan umum pasal 2, UPP menjabarkan berbagai hukum perkawinan yang berbeda-beda bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah, yaitu orang Indonesia Asli beragama Islam, orang Indonesia Asli non-Islam, orang Indonesia Asli beragama Kristen, orang Timur Asing Cina dan WNI keturunan Cina, orang Timur Asing non-Cina dan WNI keturunan Timur Asing lain, serta orang Eropa dan WNI keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka.
^Pemerintah Kabupaten dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh Singkil dituding kerap mengubah-ubah kebijakannya untuk mempersulit pengurusan izin pembangunan gereja. Dari 13 gereja yang sudah mengajukan perizinan, semuanya dikembalikan oleh FKUB dan harus mengulang dari awal (2016), sementara jumlahnya disusutkan menjadi 8, kemudian 5, dan akhirnya hanya 4 gereja. Ketentuan-ketentuan lain yang diubah adalah jumlah KTP yang dibutuhkan untuk perizinan, yaitu 150 KTP pengguna rumah ibadah dan 120 KTP dukungan masyarakat setempat yang beragama Islam. Selain memperoleh persetujuan dan rekomendasi dari kecik (lurah atau kepala desa), camat, bupati, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), persetujuan juga harus diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Pekerjaan Umum (PU), yang dianggap sama sekali tidak relevan.
pelanggaran oleh negara demi mengontrol ekspresi keagamaan;
pelanggaran oleh negara dan non-negara akibat perilaku intoleran;
pelanggaran akibat kegagalan negara mengatasi diskriminasi atau pelanggaran sosial terhadap kelompok-kelompok agama tertentu;
pelanggaran karena penerapan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
^Saat hari raya Nyepi, umat Hindu melakukan catur brata penyepian yaitu amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan). Pada hari tersebut, seluruh penduduk Bali dilarang menyalakan api, penerangan, bepergian ke luar rumah. Listrik dan saluran televisi juga dipadamkan karena dikhawatirkan mengganggu kegiatan keagamaan Nyepi, kecuali tempat-tempat tertentu seperti hotel. Banyak penduduk Bali yang non-Hindu bertamasya keluar dari Bali selama 3 hari tersebut, atau ada juga wisatawan yang khusus datang ke Bali untuk merasakan suasana Nyepi di Bali. Pada tahun 2016, hari raya Nyepi bersamaan dengan peristiwa gerhana matahari yang digunakan umat Islam untuk salat gerhana. Mohammad Anwar, seorang imam di Bali, mengatakan bahwa toleransi di Bali sangat tinggi karena FKUB memberikan "toleransi untuk salat sunah gerhana di tempat-tempat terdekat. Tetapi dengan syarat, tidak menggunakan pengeras suara dan harus berjalan kaki, tidak memakai kendaraan."
^"Indonesia". International Religious Freedom Report 2010. U.S. State Department. Diakses tanggal 29 July 2012.
^ abShanti Rachmadsyah, S.H. (17-9-2010). "HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia". Hukum Online. Diakses tanggal 21-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Sarlito (14-10-2014). "Pembubaran BP 7 sebuah Kesalahan Sejarah". Pusaka Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-16. Diakses tanggal 21-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abcdefSukamto (2015). Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara: Masa Hindu-Buddha Sampai Sebelum Masuknya Portugis. Deepublish. hlm. 1-4. ISBN6022806917.
^Tim Edu President (2015). Tes CPNS 2015 Edisi Lengkap Sistem CAT. Cmedia. hlm. 68. ISBN6021609875.
^Mumfangati, Titi (2007). "Tradisi ziarah makam leluhur pada masyarakat Jawa". Jurnal Sejarah dan Budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. ISSN1907-9605.
^ abcdefgSukamto, Amos (2013). "Ketegangan Antar Kelompok Agama pada Masa Orde Lama sampai Awal Orde Baru: Dari konflik Perumusan Ideologi Negara sampai Konflik Fisik". 1 (1). Jurnal Teologi Indonesia.
^Riyadi, M. Irfan (2012). "Arah Perkembangan Ajaran Theosofi Islam Dalam Literatur Sastra Pujangga Jawa (Pendekatan Genealogi)". 10 (2). Dialogia.
^Michael Laffan (2016). Sejarah Islam di Nusantara. Bentang Pustaka. hlm. 51-55. ISBN6022910587.
^Aryono (12-12-2012). "Kitab Lelaki Sejati". Historia. Diakses tanggal 6-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Nur Hidayat Muhammad (2012). Benteng Ahlussunnah Wal Jama’ah (Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, Hizbut Tahrir Dan LDII). Kediri: Nasyrul Ilmi.
^Mahbib (22-4-2015). "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Suara Nahdlatul Ulama. Diakses tanggal 6-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abWeinata Sairin (2002). Visi Gereja Memasuki Milenium Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 84-98. ISBN9796871262.
^ abcdefJan. S. Maritonang (BPK Gunung Mulia). Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN9796872218.Periksa nilai tanggal di: |year= (bantuan)
^ abDaniel Dhakidae (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 513-516. ISBN9792203095.
^ abWright, Jonathan; Casey, Steven (2015). Mental Maps in the Era of Détente and the End of the Cold War 1968–91. Springer. hlm. 124-125. ISBN1137500964.
^M.C. Ricklefs (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. hlm. 480-482. ISBN9790241151.
^Firman Noor (2-10-2015). "Masyumi dan Sikap Anti-PKI". Republika. Diakses tanggal 6-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Presiden Republik Indonesia (1965). "PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA". Presiden Republik Indonesia.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abcdefghMelissa Courch (2013). Law and Religion in Indonesia: Conflict and the courts in West Java. Routledge. ISBN1134508360.
^ abShodiq Ramadhan (30-5-2012). "LSM Liberal Jualan Isu Intoleransi ke PBB". Suara Islam. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-09-20. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abDjohan Effendi (2009). Merayakan kebebasan beragama: bunga rampai menyambut 70 tahun. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN6029556606.
^ abcdWeinata Sairin (2006). Gereja, agama-agama & pembangunan nasional. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 3-16. ISBN9796873257.
^Benny G. Setiono (2003). Tionghoa dalam Pusaran Politik. TransMedia. hlm. 1008. ISBN9797990524.
^Premadha Novita Shandy (2014). INSTRUKSI PRESIDEN NO. 14 TAHUN 1967 DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN BUDAYA & EKONOMI KETURUNAN TIONGHOA DI PECINAN SEMARANG, 1967-2002. Semarang: Universitas Diponegoro.
^Todung Mulya Lubis (27 November 2014). "Kolom Agama dalam Perspektif HAM". Kompas. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-12. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abAgus Basri (24-6-1995). "Karena Terpantau dari Balkon". GATRA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-20. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Suarjana, I Made; Widjoseno, Genot (21-9-1995). "Ada Bara di Balik Huru-hara SARA". GATRA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-20. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^ abAgus Basri (2-12-1995). "Rusuh Gara-gara Orang Gila". Majalah Berita Mingguan GATRA. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-20. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abcAkhmad danial (2009). Iklan politik TV: modernisasi kampanye politik pasca Orde Baru. PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 146-147. ISBN9791283745.
^ abRudianto Pangaribuan (5-12-1997). "Menuai Vonis Kambing Hitam". Tempo.co. Tempo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-20. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^"Kerusuhan Ketapang 13 Tewas, 11 Gereja Dibakar Dan Dirusak". Suara Pembaruan. 23-11-1998.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^"Kerusuhan di Kupang". Kompas. 1-12-1998. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-20. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Ahwan Fanani. "konflik islam kristen pada era reformasi". Walisongo Mediation Center. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-24. Diakses tanggal 8-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abcdAsshiddiqie, Jimly (2014). "TOLERANSI DAN INTOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA PASCA REFORMASI". Ormas Gerakan Masyarakat Penerus Bung Karno.
^M. Faridu Ashrih (22-5-2014). "Penjelasan tentang Fatwa Aliran Ahmadiyah". MUI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-07. Diakses tanggal 21-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Amiruddin@fajar.co.id (2010). "Tolotang, Hindu karena Pemerintah". Ana Ogi. Diakses tanggal 4-9-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abBenyamin F. Intan (21-9-2010). "Peraturan Bersama Kontraproduktif". Reformed Center for Religion Society. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-10-04. Diakses tanggal 7-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Presiden Republik Indonesia Soeharto (2-1-1974). "UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan". Pemerintah Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-27. Diakses tanggal 21-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Gabrillin, Abba (19-6-2015). Gatra, Sandro, ed. "Ini Alasan MK Tolak Permohonan Nikah Beda Agama". Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 21-8-2016. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sementara undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.Lebih dari satu parameter author-name-list parameters yang digunakan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Weinata Sairin (1994). Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam perspektif Kristen: himpunan telaah tentang perkawinan di lingkungan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. hlm. 9,339-340. ISBN979415010X.
^ abAgus Sahbani (24-11-2014). "Hindu Tolak Kawin Beda Agama". Hukum Online. Diakses tanggal 21-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Juven Martua Sitompul (23-12-2013). "Larangan Ucapan Natal dari MUI Picu Protes". Merdeka. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abFathurrahman (18-8-2014). "Memahami Pelarangan Jilbab di Bali". HMI News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-22. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Eko Huda S, Suryanta Bakti Susila (6-5-2011). "Beda NII dan Jamaah Islamiyah". VIVA.co.id. Viva. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Julkifli Marbun (1-5-2015). "Islamophobia Bisa Muncul di Indonesia". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Didin Hafidhuddin (24-1-2016). "Isu Terorisme dan Dakwah Islam". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Olivia Rondonuwu (8-5-2016). "Indonesia's Muslim cyber warriors take on IS". World-Wide Religious News. Diakses tanggal 12-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Wiyono, Aryo Putranto Saptohutomo,Andrian Salam; Wiyono, Andrian Salam (13-7-2016). Saptohutomo, Aryo Putranto, ed. "Prahara belum mau pergi dari Bupati Dedi". Merdeka.com. Merdeka. Diakses tanggal 10-12-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Wiyono, Aryo Putranto Saptohutomo,Andrian Salam; Wiyono, Andrian Salam (13-7-2016). Saptohutomo, Aryo Putranto, ed. "Prahara belum mau pergi dari Bupati Dedi". Merdeka.com. Merdeka. Diakses tanggal 10-12-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Teuku Kemal Fasya (19-10-2015). Wiwoho, Laksono Hari, ed. "Memperbaiki Keberagaman Singkil". Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 25-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Erdianto, Kristian (23-4-2016). Galih, Bayu, ed. "Tidak Ada Intoleransi di Aceh Singkil..."Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 27-8-2016.Lebih dari satu parameter author-name-list parameters yang digunakan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)
^Yulianingsih (23-3-2016). "LBH Nilai Yogya Jadi Kota Intoleran". Republika. Diakses tanggal 9-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abNashih Nashrullah (24-8-2014). "Intoleransi di Bali Dikecam". Republika. Diakses tanggal 27-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^ abSyalaby Ichsan (26-8-2014). "Toleransi Diuji di Bali". Republika Online. Diakses tanggal 27-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Hardin Halidin (30-7-2015). "Membaca Kasus Tolikara". Wahid Institute. Diakses tanggal 27-8-2016.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)