Ir. H. Muhammad Ismail Yusanto, M.M. (lahir 2 Desember 1962) adalah mubalig, aktivis, penulis, akademisi, dan mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Latar belakang dan pendidikan
Ismail Yusanto lahir di Yogyakarta, 2 Desember 1962 sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama H. Sadali Abdul Hadi adalah seorang guru dan tokoh agama, sedangkan ibunya bernama Hj. Mutamimah adalah ibu rumah tangga.[1] Kedua orang tuanya berasal dari Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Pada waktu kecil orang tuanya membawanya kembali ke Majenang.[2] Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nahdlatul Ulama (NU) dan belajar kitab kuning dari kiai NU. Pada waktu remaja ia berpindah ke Yogyakarta.[3]
Ismail mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Taman Siswa Yogyakarta, SMP Negeri 1 Yogyakarta, dan SMA Negeri 1 Teladan Yogyakarta. Sejak SD, ia aktif mengikuti kegiatan keagamaan di masjid belakang rumahnya. Ia memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang di atas rata-rata temannya sehingga nilai pendidikan agamanya hampir selalu 9. Ia pernah menjadi ketua kelas dan ketua seksi kerohanian Islam OSIS saat di bangku SMP dan SMA. Ia juga menyantri kalong — menyantri tanpa tinggal di pondok — di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta pimpinan K.H. Ali Maksum.[1]
Aktivisme
Ismail berkuliah di Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) dan meraih gelar Insinyur pada 1988. Semasa berkuliah, ia aktif di seksi kerohanian Islam Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi, Himpunan Mahasiswa Islam, dan Jama'ah Shalahuddin UGM. Ia juga berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Kuntowijoyo, Watik Pratinya, dan Amien Rais. Ia menyantri kalong di Pondok Pesantren Budi Mulia pimpinan Amien Rais. Pemikiran tokoh-tokoh itu cukup menyegarkan, tetapi belum membuat Ismail puas. Ia lalu mengikuti kajian Islam kontemporer di kampus yang diadakan Forum Studi Islam (FODI), pengkajian nilai dasar islam (PNDI), pengkajian risalah tauhid (PRT), yang kemudian melahirkan Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO), faksi HMI yang tidak setuju dengan asas tunggal Pancasila. Namun, Ismail masih belum menemukan pemikiran Islam yang diinginkannya sampai ia membaca karya-karya Taqiyyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir.[3]
Pada 1985, saat pertemuan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) se-Jawa di UGM, ia berkenalan dengan dakwah Hizbut Tahrir (HT).[1] Awal 1988 sejumlah aktivis Hizbut Tahrir (HT) Bogor melaksanakan pelatihan di masjid UGM, dan Ismail direkrut menjadi anggota.[4] Setelah lulus kuliah ia ditawari bekerja di Qatar, tetapi ia tidak mengambilnya dan memutuskan fokus untuk dakwah. Ia kemudian menyantri di Pondok Pesantren Ulil Albaab Bogor yang dibimbing oleh K.H. Didin Hafidhuddin hingga tahun 1991. Saat menyantri itu ia bertemu Abdurrahman Al-Baghdadi, seorang senior Hizbut Tahrir (HT) dari Lebanon yang membawa HT ke Indonesia.[1]
Ismail sebagai juru bicara HTI mendampingi amir HTI yang kedua, Muhammad Al-Khaththath, mantan aktivis Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) Institut Pertanian Bogor.[4] Ismail mulai mengembangkan Hizbut Tahrir dari Bogor. Ia juga bertindak sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Himmah sejak 1990 hingga 1993. Ia mengisi halaqah-halaqah di Yogyakarta, Banjarmasin, hingga Sumatra.[1] Selama 1990 hingga 1995, Ismail membina Santri Terbang (Santer), kumpulan mahasiswa yang menyantri dan mengkaji ilmu Islam. Santer beranggotakan lebih kurang sepuluh orang saat itu. Pembinaan ini dilaksanakan sebulan sekali. Pada 1996, Santer mengalami kemunduran karena keluarnya anggota akibat fokus aktivitas pada HT dan akhirnya berubah menjadi Hizbut Tahrir Daerah Istimewa Yogyakarta.[4]
Pada masa Orde Baru, Hizbut Tahrir (HT) tidak terlacak karena aktivis HT menekankan kehidupan low profile dalam masyarakat. Hizbut Tahrir menghindari publikasi agar tidak diketahui aparat keamanan. Pasca Reformasi, Hizbut Tahrir memanfaatkan momentum agar HT dikenal oleh masyarakat.[3]
Karier
Ismail meraih gelar Magister Manajemen dari STIE-IPWI Jakarta pada 2000. Ia menjadi Ketua Yayasan Insantama Cendekia yang membawahi SD Islam Terpadu (IT), SMPIT, SMAIT, dan pesantren Insantama di Bogor. Ia juga menjadi Ketua Yayasan Hamfara dan pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Hamfara Yogyakarta sejak berdiri pada 2008.[1] Ia masih aktif mengajar sebagai dosen ekonomi Islam di program studi Manajemen Bisnis Syari'ah STEI Hamfara Yogyakarta.[5]
Kehidupan pribadi
Ismail Yusanto menikah sebanyak dua kali. Ia menikah pertama kali pada 1990 dengan Zulia Ilmawati, seorang psikolog lulusan UGM.[6] Dari pernikahan ini ia memiliki tiga orang anak bernama Amila Shaliha, Muhammad Alauddin Azzam, dan Atika Shafwa Khayrunnisa. Pada 2005, ia menikahi Retno Jajanti, seorang notaris lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) dan UGM. Dari pernikahan kedua ini ia mendapatkan anak bernama Muhammad Rafsyaa Rizki Ramadhan.[1]
Rujukan
Pranala luar