Islamisme (bahasa Urdu: اسلام پرستی; bahasa Arab: الإسلام السياسي), juga dikenal dengan Politik Islam, adalah seperangkat ideologi yang berkeyakinan bahwa "Islam harus menjadi pedoman bagi segala segi kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, serta kehidupan pribadi".[1] Islamisme adalah konsep yang kontroversial, bukan hanya karena paham ini menganjurkan peran politik Islam yang lebih kuat, akan tetapi juga karena pendukungnya berkeyakinan bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah pemahaman Islam yang sebenarnya; bahwa semua gagasan sebaliknya — Islam harus apolitik atau dipisahkan dari politik — adalah salah. Karena itulah kaum pendukung Islamisme secara keras menentang paham sekularisme yang menyerukan pemisahan antara agama dengan politik (pemerintahan). Kaum pendukung Islamisme dapat memiliki penafsiran yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat dan surat dalam Quran. Pandangan Islamisme menekankan pentingnya penerapan Syariah (hukum Islam); persatuan politik Pan-Islamisme; serta menyingkirkan secara selektif pengaruh-pengaruh non-Muslim dari Dunia Islam, khususnya pengaruh politik, sosial, ekonomi, dan budaya Barat yang dianggap tidak sesuai dengan Islam.[2]
Beberapa pengamat seperti Graham Fuller, berpendapat bahwa ajaran Islamisme tidak sekeras dan seketat yang diduga, dan dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk politik identitas, atau dukungan terhadap identitas Muslim, keaslian, regionalisme yang lebih luas, kebangkitan kembali, dan revitalisasi komunitas Muslim.[3] Setelah kebangkitan dunia Arab, politik Islam digambarkan menjadi "semakin saling bergantung" dengan politik demokrasi.[4]
Kaum Islamis[5] umumnya menentang penggunaan isitilah ini, dan mengklaim bahwa sikap dan cita-cita politik ini adalah bentuk ekspresi keislaman mereka semata. Beberapa ahli seperti Bernard Lewis lebih menyukai penggunaan istilah "aktivis Islam",[6][7] atau "politik Islam" (Trevor Stanley),[8] dan beberapa (Robin Wright) telah menyamakan istilah "Islam militan" dengan terorisme.[9]
Istilah Islamisme telah didefinisikan sebagai berikut:
"Paham yang percaya bahwa Islam harus menjadi pedoman bagi kehidupan sosial, politik, dan pribadi."[1]
Gerakan "pendukung pemerintah yang sesuai dengan hukum syariah [dan] memandang Quran sebagai model politik." (Associated Press's (AP) original definition of "Islamist")
"Ideologi [Islam] yang menjadi pedoman bagi masyarakat secara keseluruhan, dan [mengajarkan] bahwa hukum harus sesuai dengan syariat Islam",[11]
Sebuah gerakan fleksibel yang tidak berkelanjutan... bahwa segalanya untuk semuanya: alternatif pemenuhan tuntutan sosial bagi massa yang miskin; mimbar "kemarahan" bagi kaum muda yang kecewa; seruan terompet perang yang menyerukan 'kembali ke agama yang murni' bagi mereka yang mencari identitas; sebuah "dasar agama progresif" bagi kaum yang makmur dan liberal; ... dan pada ujung ekstrem; sebuah wahana kekerasan bagi kaum rejeksionis dan radikal.[12]
Sebuah "gerakan Islam yang membedaan dirinya dari budaya Barat, dan bercita-cita kembali ke simbol-simbol [Arab] pra-kolonial [Eropa]",[13]
"Tren politik terorganisasi, yang terbentuk berkat berdirinya Ikhwanul Muslimin di Mesir pada 1928, yang mencari pemecahan masalah politik modern dengan becermin pada kitab-kitab Islam",[14]
"Seluruh tubuh pemikiran yang berniat memasukkan ajaran Islam ke dalam masyarakat, dapat bersifat integrasionis, tradisionalis, reformasi, bahkan revolusioner",[14]
"Promosi dan penekanan aktif terhadap kepercayaan, ajaran, hukum, dan kebijakan yang berkarakter Islam,"[6]
Sebuah gerakan di mana "kaum Muslim mengambil ajaran, simbol, dan istilah Islam untuk menginspirasi, membentuk, dan menjiwai aktivitas politik;" yang mungkin berupa aktivitas yang damai, toleran, dan moderat, dan/atau mereka yang "menyerukan menolak toleransi dan mendukung penggunaan kekerasan."[15]
Istilah yang "digunakan oleh pihak luar untuk menyebutkan sejenis kegiatan yang menjustifikasi kesalahpahaman dalam memahami Islam sebagai sesuatu yang kaku, tidak bergerak, dan lebih berafiliasi tribal.."[16][17]
Sejarah definisi
Paham Islamisme memiliki berbagai wujud yang berbeda serta rentang strategi dan taktik yang luas untuk meraih kekuasaan -- "penghancuran, perlawanan, kerja sama, pengabaian"[18] dan bervariasi seiring "perubahan keadaan"[19] — dan karena itulah bukan merupakan gerakan Pan-Islamisme.
Islamis moderat dan reformis menerima demokrasi dan bekerja dalam koridor proses demokrasi, seperti partai Gerakan Ennahda di Tunisia. Jamaat-e-Islami Pakistan pada dasarnya adalah partai sosial-politik dan partai pelopor yang memiliki pengaruh melalui kudeta militer pada masa lalu.[18] Kelompok Islamis seperti Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Palestina berpartisipasi dalam proses politik secara demokratis tetapi juga melalui serangan bersenjata, untuk menghancurkan negara Israel. Organisasi Islam radikal seperti al-Qaeda dan Jihad Islam Mesir, serta kelompok seperti Taliban, sepenuhnya menolak demokrasi, dan sering menuduh Muslim pendukung demokrasi sebagai kuffar (lihat takfirisme), serta menyerukan kekerasan/serangan jihad dan melancarkan serangan terorisme berdasarkan alasan keagamaan.
Salah satu perpecahan besar dalam gerakan Islamisme adalah seperti yang dijelaskan Graham E. Fuller; yakni antara "penjaga tradisi" dan "pelopor perubahan dan reformasi Islam" berpusat di gerakan Ikhwanul Muslimin.[20]Olivier Roy berpendapat bahwa gerakan "Pan-Islamisme Sunni mengalami pergeseran hebat pada paruh kedua abad ke-20" ketika gerakan Ikhwanul Muslimin yang berfokus pada Islamisasi gerakan Pan-Arabisme tersaingi dan dikalahkan oleh gerakan Salafi yang menekankan pada "syariah daripada membangun pranata Islam," dan penolakan kepada kaum Islam Syiah.[21] Setelah Kebangkitan dunia Arab, Roy menggambarkan Islamisme "kian saling tergantung" dengan demokrasi di banyak negara Arab, sedemikian sehingga, "keduanya tidak dapat bertahan tanpa satu sama lain." Walaupun budaya politik Islam sendiri mungkin tidak demokratik, kelompok Islamis memerlukan pemilihan umum demokratis untuk menjaga legitimasi politik mereka. Pada saat yang bersamaan, popularitas mereka tetap terjaga, karena tidak ada pemerintah yang berhak menyebut dirinya demokratis, jika mengecualikan kelompok Islamis utama dalam dunia politik negara.[4]
Perkembangan Islamisme
Sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia,[22] perkembangan Islamisme dapat dirunut dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Pendapat yang paling banyak diterima adalah masuknya Islam pada kisaran abad ke-7 hingga abad ke-11.[23] Sejak saat itu, Islam diterima secara mendalam oleh masyarakat Indonesia, terutama karena adanya beberapa kesamaan spiritual dari antara Islam dan kepercayaan-kepercayaan lokal di beberapa tempat.[24][25] Bersamaan dengan datangnya bangsa Barat yang kemudian memulai misi menyebarkan ajaran Kristen,[26] maka muncullah perebutan kekuasaan dengan cara masing-masing demi kepentingan ideologi yang dibawa.
Konflik-konflik beratasnamakan agama pun bermunculan. Banyak di antaranya yang juga mengusung isu-isu penguasaan sumber-sumber ekonomi, perubahan arus kebudayaan, hingga semangat kebangsaan.[27][28] Hal ini berimplikasi pada masa-masa di mana semangat Islamisme mulai berakar kuat di Indonesia, yakni ketika ajaran Islam, terutama Quran dan Hadis, mengalami tafsir-tafsir politik.[29] Pengaruh Islamisme cukup kuat untuk didayagunakan sebagai perlawanan terhadap penjajah, sekaligus ideologi yang dibawa, yakni modernisme dan kapitalisme. Sejarah panjang ini meninggalkan jejak yang bisa dilihat sampai saat ini sehingga terjadilah reproduksi tafsir-tafsir politik untuk memusuhi Barat dan Sekularisme.
Diberlakukannya Politik Etis pada tahun 1901 hingga 1942 merupakan masa transisi yang penting di Indonesia karena dinilai mampu memperjuangkan segelintir hak-hak masyarakat pribumi untuk menyejahterakan diri.[30] Politik etis kemudian mematik pergerakan intelektual untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat Indonesia sekaligus mencanangkan agenda mengenai semangat kebangsaan dan kemerdekaan.[31] Munculnya peluang pergerakan itu turut memuat semangat perjuangan Islam seperti yang tampak pada Piagam Jakarta yang sila pertamanya berbunyi: "Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sila ini kemudian menuai protes dan diubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” untuk menghilangkan bias agama sebagai bentuk dari perwujudan intisari Eka Sila, yakni gotong royong.[32] Dari sini dapat diketahui bahwa perjuangan pemeluk Islam di Nusantara tidak hanya membawa agenda untuk memerdekakan diri tetapi juga bersama dalam kesepakatan untuk membentuk bangsa yang berdaulat untuk menaungi mereka sebagai umat beragama.
Platzdasch (2009:116)[33] mengemukakan bahwa sejarah pahit politik Islamisme di Indonesia adalah kepercayaan bahwa sekuleris, intelektual yang dididik dengan paham Barat, dan segala konspirasi Zionisme Amerika merupakan penghalang masyarakat Indonesia dalam menerima identitas fundamental mereka sebagai muslim dan keinginan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Ada pola yang dikemukakan oleh beberapa perwakilan Partai Masyumi tentang potensi dan dukungan mereka dalam masyarakat, dengan klaim bahwa aspirasi mayoritas Muslim adalah agar negara menjadi aktif dalam menegakkan syariah.
Hasan (2013:157)[29] mengungkapkan bahwa Islamisme adalah wacana politik dan aktivisme yang bertujuan untuk mengubah sistem sekuler masyarakat dan keadaan untuk membentuk sebuah negara Islam dengan mengeksploitasi simbol-simbol dan identitas-identitas religius. Hal ini tampak terutama pada pendukung implementasi syariat (hukum Islam) dan bahkan berjihad pada konflik-konflik komunal. Peristiwa-peristiwa ini cukup sering terjadi sehingga menyadarkan kita akan meningkatnya radikalisme Islam yang bertujuan membuat negara seperti Pakistan, Irak, dan Iran (lihat Aksikas, 2009;[34] Knudsen dan Ezbidi (ed.)., 2014;[35] Shahibzadeh, 2016;[36] Badamchi, 2017[37]).
Rujukan
^ abBerman, Sheri (2003). "Islamism, Revolution, and Civil Society". Perspectives on Politics. 1 (2): 258. doi:10.1017/S1537592703000197.
^Wright, Robin, Sacred Rage: The Wrath of Militant Islam,
^Fuller, Graham E., The Future of Political Islam, Palgrave MacMillan, (2003), p. 120
^Shepard, W. E. Sayyid Qutb and Islamic Activism: A Translation and Critical Analysis of Social Justice in Islam. Leiden, New York: E.J. Brill., (1996). p. 40
^Ayatollah Fadlallah, in interview by Monday Morning (Beirut), Aug. 10, 1992. "Fadlallah later revised his position" saying he preferred the phrase 'Islamist movement,' to Islamic 'fundamentalism.' Quoted in Coming to Terms: Fundamentalists or Islamists? by Martin Kramer
Teti, Andrea; Mura, Andrea (2009). Jeff Haynes, ed. Sunni Islam and politics. Routledge Handbook of Religion and Politics. Abingdon (Oxon), New York: Routledge.
Volpi, Frédéric (2010). Political Islam Observed. Hurst.
Volpi, Frédéric, ed. (2011). Political Islam: A Critical Reader. Routledge.