Sunda Wiwitan (bahasa Sunda: ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮝᮤᮝᮤᮒᮔ᮪) adalah ajaran agama dengan unsur monoteisme purba, yang memiliki konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud dan disebut "Sang Hyang Kersa" yang setara dengan "Tuhan Yang Maha Esa" di dalam ideologi Pancasila.[4] Ajaran ini juga disebut-sebut sebagai kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwahleluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat asli suku Sunda.[5][6]
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang menghormati arwah leluhur. Hanya dalam perkembangannya, kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan sampai pada Islam.[8] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Hingga kini perlakuan diskriminasi masih dialami oleh para penganut agama Sunda Wiwitan, seperti penyegelan area pemakaman para penganut Sunda Wiwitan pada 20 Juli 2020 yang dilakukan oleh petugas Satpol PP bersama sejumlah massa di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penyegelan ini dilakukan lantaran bangunan pemakaman penganut Sunda Wiwitan dianggap sebuah tugu oleh pemerintah setempat, karena adanya bangunan dari batu yang menjulang, sehingga perlu adanya surat IMB dan juga pemerintah setempat mencurigai para penganut Sunda Wiwitan menyembah batu. Salah satu tokoh penganut Sunda Wiwitan, Juwita Djati Kusuma Putri menyatakan bahwa bangunan tersebut bukan tugu, tidak digunakan sebagai tempat pemujaan ataupun sesembahan, bangunan tersebut sejatinya adalah tempat pemakaman bagi penganut agama Sunda Wiwitan yang sudah ada disana selama bertahun-tahun, dimana ajaran Sunda Wiwitan sendiri sudah lebih dulu ada bahkan sebelum agama lain masuk ke tanah Sunda.[9]
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih: cinta kasih
Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
Tata krama: tatanan perilaku
Budi bahasa dan budaya
Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Sindang Barang, Kabupaten Bogor; Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Kabupaten Sukabumi; Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya; dan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Di Cigugur, Kabupaten Kuningan sendiri, merupakan salah satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.[11]
Tempat suci
Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah pamunjungan atau disebut kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di pamunjungan ini biasanya terdapat menhir, arca, batu cengkuk, batu mangkuk, batu pipih, dan lain-lain.
Pada masanya pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini merupakan salah satu alasan mengapa di Tanah Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi. Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salakanagara juga Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.
Aliran
Sunda Wiwitan terbagi menjadi beberapa aliran, contohnya:
Sucipto, Toto (Drs.); Limbeng, Julianus, S.Sn., M.Si. (2007). Dra. Siti Maria, ed. Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten. Seri pengungkapan nilai-nilai kepercayaan komunitas adat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata; Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film; Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.