Percandian BatujayaKompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks percandian Buddha kuno yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik. Candi-candi tersebut merupakan candi-candi tertua di Nusantara. Kompleks percandian dibangun pada zaman Kerajaan Tarumanagara yang bercorak Hindu. Pembangunan kompleks candi Buddha yang megah di kerajaan Hindu menunjukkan tingginya toleransi antar umat beragama pada masa itu. LokasiSitus Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Talagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Citarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karen tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau ataupun pada musim hujan. Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil Jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50 km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam[1] karena kondisi jalan yang ada. Situs Batujaya terletak di lokasi yang relatif berdekatan dengan Situs Cibuaya (sekitar 15 km di arah timur laut) yang merupakan peninggalan bangunan Hindu dan situs temuan pra-Hindu "Kebudayaan Buni" yang diperkirakan berasal dari masa abad pertama Masehi. Kenyataan ini seakan-akan mendukung tulisan Fa Hsien, seorang bhiksu dari Cina yang berkunjung ke Pulau Jawa pada tahun 414 Masehi, yang menyatakan: "Di Ye-po-ti (transliterasi dari Jawa Dwipa, kemungkinan besar yang dimaksud adalah Kerajaan Tarumanagara, kerajaan di Pulau Jawa yang berjaya pada masa itu) jarang ditemukan penganut Agama Buddha, tetapi banyak dijumpai brahmana dan orang-orang beragama kotor (penganut kepercayaan lokal, animisme)".[2] Lokasi candi ini dahulu merupakan danau atau rawa dan candi dibangun di tepian. Danau ini terbentuk akibat beralihnya Ci Tarum dari arah utara ke barat laut. Hal ini juga ditandakan dengan nama desa yang ada yaitu Segaran dan Telaga Jaya yang berarti laut atau badan air seperti danau dalam bahasa Sanskerta. PenelitianSitus Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan dibantu oleh EFEO (École Français d’Extrême-Orient) dan dukungan dana dari Ford Motor Company[3] digunakan untuk kegiatan kajian situs ini. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.[2] Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi). Laporan Balai Penelitian Cagar Budaya (BPCB) Serang pada tahun 2014 menyebutkan ada 40 situs sisa bangunan (candi) yang ada di kawasan Batujaya.[4] Sampai tahun 2016 diketahui terdapat 62 unur dan 51 di antaranya terkonfirmasi memiliki sisa-sisa bangunan. Banyaknya temuan ini menyisakan banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandian. Sampai 2014, empat candi di Situs Batujaya (Batujaya I atau Candi Jiwa, Batujaya V atau Candi Blandongan, Talagajaya I atau atau Batujaya VII atau Candi Serut, dan Talagajaya IV atau Batujaya VIII atau Segaran IX atau Candi Sumur) telah atau sedang dipugar.[5] Bangunan dan temuan-temuan lainnyaDari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan. Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama. Bahan bangunan candi tidak terbuat dari batu andesit seperti candi-candi di Jawa Tengah, melainkan terbuat dari batu bata. Candi JiwaStruktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Seperti candi-candi Buddha pada umumnya, ritual persembahyangan di Candi Jiwa dilakukan dengan pradaksina, yaitu dengan posisi tangan anjali dan langkah penuh perhatian mengelilingi candi sebanyak 3 kali searah jarum jam. Dan candi jiwa saat ini sudah di pugar dan di perbaiki jadi terlihat lebih bagus dalam beberapa artikel dan media informasi diantaranya Karawangportal Banyak photo-photo dan artikel yang menjelaskan candi jiwa. Candi BlandonganTerletak sekitar 100 meter dari Candi Jiwa dan memiliki ukuran lebih luas. Candi Blandongan memiliki 4 buah tangga pada setiap sisinya. Bagian bawah bangunan terdapat selasar yang memisahkan dinding selasar dengan badan bangunan yang berlapik. Dilihat dari perbedaan struktur bangunan, fungsi Candi Blandongan berbeda dengan Candi Jiwa yang merupakan candi untuk ritual pemujaan kepada Buddha Shakyamuni (Siddhartha Gautama). Candi Blandongan kemungkinan berfungsi sebagai candi pendharmaan raja, yakni Raja Purnawarman. Walaupun Purnawarman beragama Hindu Waisnawa (aliran Agama Hindu yang menitikberatkan pada pemujaan terhadap Dewa Wisnu), sebagai seorang raja yang membawa kemakmuran bagi rakyatnya, bukan hal yang aneh jika beliau juga dihormati oleh penganut Agama Buddha dan dibuatkan candi pendharmaan (semisal Sri Jaya Wisnuwardhana, Raja Singasari, didharmakan di Candi Jago yang bercorak Buddha dan di Candi Mleri yang bercorak Hindu Saiwa). Amulet Candi BlandonganPada saat dilakukan ekskavasi, ditemukan amulet-amulet di Candi Blandongan. Amulet-amulet tersebut memiliki bentuk, ukuran, dan hiasan yang sama, yang membedakan hanyalah ada atau tidaknya tulisan di bagian bawah amulet. Temuan lain yaitu lempengan emas 16 karat dengan tulisan Pallawa dan bahasa Sansekerta. Amulet biasanya digunakan sebagai penolak bala atau pembawa keberuntungan. Amulet-amulet yang ditemukan di Candi Blandongan berupa ukiran 6 sosok: di sisi atas terdiri dari 3 sosok Buddha dalam postur bersila dengan gestur meditasi (dhyana mudra); di sisi bawah tengah terdapat sosok Buddha dalam postur duduk dengan gestur menolak bala (abhaya mudra), di sebelah kanannya sosok Brahma Sahampati dan di sebelah kirinya sosok Dewa Sakra (Sakka) dalam posisi berdiri. Amulet-amulet tersebut menceritakan peristiwa Mukjizat Ganda yang dilakukan oleh Buddha Shakyamuni di kota Shrawasti (Savatthi). Berdasarkan cerita tersebut, Buddha Shakyamuni melakukan mukjizat air dan api di hadapan raja pada saat kontes dengan 6 guru agama lain, yaitu memancarkan api dari bagian atas tubuhnya dan aliran air dari bawah, dan kemudian memancar secara bergantian. Lidah api dan aliran air juga muncul bergantian dari sisi kanan dan dari kiri tubuhnya. Setelah menyaksikan kesaktian Sang Buddha, timbul keyakinan (shraddha/saddha) kepada Buddha dalam hati raja dan semua yang menyaksikan. Setelah itu Raja Naga Nanda dan Upananda menciptakan singgasana teratai untuk Sang Buddha. Sang Buddha pun duduk di atas singgasana teratai, didampingi oleh Brahma Sahampati di sisi kanan dan Dewa Sakra di sebelah kiri Buddha. Kemudian Sang Buddha menciptakan duplikasi teratai dan dirinya hingga memenuhi langit. Duplikasi Sang Buddha tersebut saling bertanya jawab Dharma (Dhamma) satu dengan yang lainnya, sehingga membuat mereka yang menyaksikan selain timbul keyakinan, juga mengerti ajaran Sang Buddha. Dalam penggambaran di amulet, sosok Buddha berada di bagian bawah tengah, sedangkan duplikasi Sang Buddha digambarkan dalam 3 sosok Buddha dalam postur meditasi di bagian atas. Kisah ini terdapat dalam sastra Diwyawadana (Divyavadana) berbahasa Sansekerta, di dalam kitab Pratiharya-sutra. Sastra Diwyawadana (Divyavadana) merupakan naskah Agama Buddha Aliran Mulasarwastiwada (Mulasarvastivada), yang tergolong sebagai aliran Srawakayana (Sravakayana). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Agama Buddha yang dianut pada zaman tersebut adalah Aliran Mulasarwastiwada (Mulasarvastivada). PenanggalanBerdasarkan analisis radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di Candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12 Masehi. Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik Cina, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu. Berdasarkan catatan dari Fa Hsien, diketahui bahwa pada awal abad ke-4 masih sedikit sekali penganut Agama Buddha di Pulau Jawa, maka kecil sekali kemungkinan pembangunan kompleks candi Buddha dilakukan sebelum abad ke-4. Lokasi percandian mungkin sudah menjadi pusat pemujaan sejak abad ke-2 Masehi, namun pembangunan kompleks candi yang megah ini kemungkinan besar baru dimulai pada zaman keemasan Kerajaan Tarumanagara, yakni pada masa pemerintahan Raja Purnawarman (tahun 395-434 Masehi) dan dilanjutkan secara bertahap oleh penerusnya hingga akhirnya ditinggalkan karena banjir bandang pada abad ke-7. Catatan kaki
Sumber rujukan
Pranala luar
|