Sakka (bahasa Sanskerta: शक्र Śakra; bahasa Pali: सक्क Sakka) merupakan seorang dewa yang menguasai dan memimpin Tāvatiṃsa Bhummi yang merupakan alam dari 33 dewa dalam kosmologi agama Buddha, dia juga sering disebut sebagai Sakka, raja para dewa (bahasa Pali: Sakka devānaṁ inda). Dalam pelbagai literatur agama Buddha, dewa Sakka sering digambarkan sebagai seorang dewa yang selalu mencari keterangan mengenai moralitas kepada Sang Buddha.
Julukan
Karakter dan mitologi mengenai dewa Sakka dijelaskan dalam Kanon Pali, yakni pada bagian Sakka Saṁyutta dalam Saṁyutta Nikāya. Dalam Tipitaka, dewa Sakka juga diceritakan memiliki peran yang penting dalam pelbagai cerita Jataka. Salah satu bagian Saṁyutta Nikāya mengisahkan bahwa dewa Sakka dahulunya merupakan seorang manusia dan merupakan seorang brahmana muda yang memiliki banyak nama dan julukan karena perbuatan dan kebajikannya (SN 11.12)[1][2]
Sāvatthiyaṃ jetavane. Tatra kho bhagavā bhikkhū etadavoca – ‘‘sakko, bhikkhave, devānamindo pubbe manussabhūto samāno magho nāma māṇavo ahosi, tasmā maghavāti vuccati. Di Sāvatthī di Hutan Jeta. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu, pada masa lampau, ketika Sakka, raja para dewa, adalah seorang manusia, ia adalah seorang brahmana muda bernama Magha; oleh karena itu ia dipanggil Maghavā.
‘‘Sakko, bhikkhave, devānamindo pubbe manussabhūto samāno pure dānaṃ adāsi, tasmā purindadoti vuccati. “Para bhikkhu, pada masa lampau, ketika Sakka, raja para dewa, adalah seorang manusia, ia memberikan pemberian di kota demi kota; oleh karena itu ia disebut Purindada, si Pemberi kepada Penduduk Kota.
‘‘Sakko, bhikkhave, devānamindo pubbe manussabhūto samāno sakkaccaṃ dānaṃ adāsi, tasmā sakkoti vuccati. “Para bhikkhu, pada masa lampau, ketika Sakka, raja para dewa, adalah seorang manusia, ia memberikan dengan penuh pertimbangan; oleh karena itu ia disebut Sakka.
‘‘Sakko, bhikkhave, devānamindo pubbe manussabhūto samāno āvasathaṃ adāsi, tasmā vāsavoti vuccati. “Para bhikkhu, pada masa lampau, ketika Sakka, raja para dewa, adalah seorang manusia, ia memberikan rumah peristirahatan; oleh karena itu ia disebut Vāsava.
‘‘Sakko, bhikkhave, devānamindo sahassampi atthānaṃ muhuttena cinteti, tasmā sahassakkhoti vuccati. “Para bhikkhu, Sakka, raja para dewa, memikirkan seribu persoalan dalam sesaat; oleh karena itu ia disebut Sahassakkha, Bermata-seribu.
‘‘Sakkassa, bhikkhave, devānamindassa sujā nāma asurakaññā pajāpati, tasmā sujampatīti vuccati. “Para bhikkhu, istri Sakka, adalah gadis Asura bernama Sujā; oleh karena itu ia disebut Sujampati, suami Sujā.
‘‘Sakko, bhikkhave, devānamindo devānaṃ tāvatiṃsānaṃ issariyādhipaccaṃ rajjaṃ kāreti, tasmā devānamindoti vuccati. “Para bhikkhu, Sakka, raja para dewa, menjalankan kekuasaan dan pemerintahan tertinggi atas para dewa Tāvatiṃsa; oleh karena itu ia disebut raja para dewa.
‘Sakkassa, bhikkhave devānamindassa pubbe manussabhūtassa satta vatapadāni samattāni samādinnāni ahesuṃ, yesaṃ samādinnattā sakko sakkattaṃ ajjhagā... “Para bhikkhu, pada masa lampau, ketika Sakka, raja para dewa, adalah seorang manusia, ia mengambil dan menjalankan tujuh sumpah yang dengan memenuhinya ia memperoleh status sebagai Sakka..."
Tujuh sumpah
Pada Samyutta Nikaya, diceritakan bahwa Dewa Sakka memperoleh statusnya sebagai raja para dewa Tāvatiṃsa Bhummi akibat dari perbuatan dan kebajikannya untuk memenuhi ketujuh sumpahnya sendiri. (SN 11.11)[3][4]
Yāvajīvaṃ mātāpettibharo assaṃ, “‘Seumur hidupku aku akan menyokong orangtuaku.’
yāvajīvaṃ kule jeṭṭhāpacāyī assaṃ, “‘Seumur hidupku aku akan menghormati kakak-kakakku.’
yāvajīvaṃ saṇhavāco assaṃ, “‘Seumur hidupku aku akan berbicara dengan lembut.’
yāvajīvaṃ apisuṇavāco assaṃ, “‘Seumur hidupku aku tidak akan berbicara yang bersifat memecah-belah.’
yāvajīvaṃ vigatamalamaccherena cetasā agāraṃ ajjhāvaseyyaṃ muttacāgo payatapāṇi vossaggarato yācayogo dānasaṃvibhāgarato, “‘Seumur hidupku aku akan berdiam di rumah dengan pikiran yang tanpa-kekikiran, bersikap dermawan, tangan-terbuka, gembira dalam pelepasan, bermurah-hati, gembira dalam memberi dan berbagi.’
yāvajīvaṃ saccavāco assaṃ, “‘Seumur hidupku aku akan membicarakan kebenaran.’
yāvajīvaṃ akkodhano assaṃ – sacepi me kodho uppajjeyya, khippameva naṃ paṭivineyya’’nti. “‘Seumur hidupku semoga aku terbebas dari kemarahan, dan jika kemarahan muncul dalam diriku, semoga aku dapat melenyapkannya dengan segera.’[2]
Syair Termahsyur
Dalam Mahaparinibbana Sutta, dewa Sakka mengatakan suatu syair yang mahsyur dalam ayat berikut yang kemudian selalu dibacakan dalam setiap ritual upacara pemakaman agama Buddha dan juga menjadi media perenungan mengenai ketidakkekalan makhluk.[5]
Teks bahasa Indonesia
Ketika Sang Bhagava parinibbana, pada saat parinibbana itu, dewa Sakka, raja para dewa, mengucapkan syair ini: “Segala yang berbentuk tidak kekal adanya, bersifat timbul dan tenggelam, setelah timbul akan hancur dan lenyap, bahagia timbul setelah gelisah lenyap.[7]”