Pada tahun 1990, Majalah Monitor pernah melakukan sebuah angket yang diberi nama "Kagum 5 Juta". Angket tersebut pada dasarnya hanya ingin mengetahui siapakah tokoh yang dikagumi oleh pembaca Majalah Monitor pada saat itu sekaligus menambah oplah majalah yang saat itu disebut sebagai majalah dengan oplah tertinggi di Indonesia (Tempo, 27 Oktober 1990).[1][2][3] Angket ini juga diberi rangsangan kepada pembaca berupa hadiah uang tunai. Ide ini berasal dari pemikiran pemimpin redaksi Monitor saat itu, Arswendo Atmowiloto. Angket ini memicu kontroversi karena nama Arswendo berada di atas Nabi Muhammad dalam daftar tokoh yang paling dikagumi.
Akibat dari kontroversi yang bersifat nasional ini, Arswendo divonis hukuman penjara selama 5 tahun dengan tuntutan KUHPPasal 156a dan majalah Monitor sendiri dibredel (SIUPP dicabut) oleh Departemen Penerangan yang saat itu dipimpin oleh Harmoko (yang juga memiliki saham dalam Majalah Monitor) per tanggal 23 Oktober 1990.[2][4][5] Ironisnya, Arswendo dihukum lebih karena alasan demi ketertiban umum.[5]
Latar Belakang
Majalah Monitor
Awalnya, format Monitor berupa majalah yang dikelola oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) sejak tahun 1972. Akan tetapi, oplah penjualan majalah itu sangat kecil (10 ribu eksemplar) sehingga majalah tersebut berhenti produksi pada edisi ke-24 pada tahun 1973. Setelah mati suri selama lima tahun, Monitor dihidupkan kembali dengan format tabloid oleh Yayasan Gema Tanah Air pada 1979.
Tabloid Monitor mencapai titik puncaknya dengan menjadi salah satu media cetak yang mengulas dunia film, televisi, dan hiburan secara lebih lepas dan mendalam. Arswendo, yang didapuk menjadi penanggung jawab atau pemimpin redaksi, menjadikan tabloid itu lebih menarik. Tak heran jika hingga medio 1987-1990, oplah tabloid ini mencapai 800 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp 500.
Tahun 1989 adalah masa keemasan tabloid berukuran 28,5 x 41 centimeter dengan 16 halaman tersebut. Belanja iklan melejit hingga mencapai Rp 6,32 miliar. Kala itu, duduk sebagai Komisaris Utama di tabloid itu Menteri Penerangan Harmoko, yang memiliki 30 persen saham. Direktur Utama perusahaan itu Jakob Oetama, yang juga memiliki 40 persen saham. Sedangkan Pemimpin Umum dan wakilnya adalah M. Sani dan Suyanto.
Salah satu kiat sukses Arswendo mengelola Monitor adalah dengan menerapkan jurnalisme lher. Waktu itu, jurnalisme lher dikenal sebagai jurnalisme yang memadukan sensasi dan pornografi. Secara umum, konten Monitor berisi seputar dunia hiburan. Tabloid itu membahas program televisi, film, musik, dan gosip artis. Juga melengkapinya dengan infografis, tabel, dan berbagai data yang menarik.
Arswendo ingin menjadikan Monitor sebagai TV Guide. Hanya saja, untuk halaman sampul, Monitor biasa menampilkan foto-foto seronok. Judul-judulnya juga dibuat menggoda dan cenderung berasosiasi ke urusan seksualitas. Banyak yang memuji Monitor dan Arswendo pada waktu itu, tetapi juga banyak yang mencibir tabloid tersebut dengan menyebut para pengelolanya berselera rendahan.[6]
Angket
Ide Iseng Arswendo
Pada tahun 1990 Majalah Monitor (anak perusahaan PT. Kompas Gramedia) menerbitkan sebuah angket yang dirintis pada bulan September 1990 yang diberi nama "Kagum 5 Juta". Ide angket tersebut berasal dari Arswendo Atmowiloto dengan premis dasar "ingin mengetahui siapakah tokoh yang paling dikagumi oleh pembaca Monitor pada saat itu" (Tempo, 27 Oktober 1990). Pada awalnya, Angket tersebut menggantikan rubrik "Teka-teki Televisi" yang biasanya hadir dalam majalah tersebut. Angket tersebut dimuat pada edisi 15 Oktober 1990.[7] Kemudian, hasil angket tersebut terbit dengan judul “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita” pada edisi Nomor 225/IV, 15 Oktober 1990.[6]
Reaksi pertama muncul di Medan, Sumatera Utara. Harian Waspada memuat reaksi dari Hasrul Azwar (salah satu tokoh DPRD Sumatera Utara sekaligus Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan). Dalam artikelnya dituliskan bahwa Ia menganggap artikel (serta angket) tersebut tidak valid dan menghina Islam. Selain itu, reaksi serupa juga muncul dari Majalah Adil dan Mohammad Natsir.[7] Majalah Adil sendiri di dalam edisi Nomor 11 tahun 59 Oktober II/1990 menulis secara khusus tentang kontroversi ini dengan judul "Penghinaan terhadap Islam: Di balik Angket Monitor".[7] Reaksi yang lebih keras juga disuarakan oleh tokoh-tokoh yang dikenal dekat dengan kalangan Islam seperti Amien Rais, Rhoma Irama, Zainuddin MZ, Patrialis Akbar, Din Syamsuddin, K.H. Hasan Basri, Deliar Noer hingga Cak Nur (Nurcholis Madjid) yang saat itu dianggap moderat. Suara moderat dari kasus ini hanya muncul dari Gus Dur (Abdurrahman Wahid), sedangkan reaksi dari pemerintah muncul dari Harmoko (yang ironisnya memiliki saham dalam majalah ini) serta Menteri Sekretaris Negara Moerdiono (Tempo, 27 Oktober 1990).[9][10]
“Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Kalau pun pengelola menganggap angket itu sebagai suatu gurauan, harusnya mereka tahu diri, mana yang boleh diguraukan dan mana yang tidak. Keyakinan adalah hal yang hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Hasan Basri kala itu seperti dikutip Pantau dan Gramedia pada 2019.[6]
Kemarahan massa semakin meningkat. Mereka menggeruduk kantor redaksi Monitor di Jalan Palmerah, Jakarta Barat, pada 17 Oktober 1990. Arswendo meminta maaf secara terbuka melalui siaran televisi pada tanggal 19 Oktober. Ia meminta maaf karena menerbitkan hasil jajak pendapat ‘tanpa penyuntingan’. Tabloid Monitor juga merilis permohonan maaf di berbagai surat kabar nasional pada 22 Oktober. Akan tetapi, karena terlanjur emosional, massa pemuda Islam kembali menggeruduk dan mengobrak-abrik kantor Monitor pada hari itu. Kaca jendela pecah, komputer dirusak, dan foto artis yang dipajang di dinding pun menjadi sasaran. Arswendo sempat menyelamatkan diri dan meminta perlindungan ke Polres Jakarta Pusat di Jalan Kramat.[6]
Gus Dur saat itu berpendapat demikian “Saya tidak setuju dengan pencabutan SIUPP apapun. Bawalah ke pengadilan. Itulah penyelesaian yang terbaik. Bung Karno zaman kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pledoi dalam 'Indonesia Menggugat'" kata Gus Dur dalam buku Tabayyun Gus Dur (1998).[6]
Dampak
Dampak dari penerbitan angket ini adalah dicabutnya SIUPP Majalah Monitor oleh Departemen Penerangan dan Arswendo sendiri divonis 5 tahun penjara dengan Pasal 156a KUHP meskipun ia sendiri bebas pada tahun 1993. Kasus yang dialami Arswendo sendiri merupakan kasus penistaan agama yang paling sensitif di masa menjelang akhir Orde Baru (dekade 1990).[9][11]
Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan Nomor 162/Kep/Menpen/1990 pada 23 Oktober 1990 yang isinya membatalkan SIUPP atau membredel Monitor. Arswendo pun dipecat dari Group Gramedia dan resmi ditahan polisi pada 26 Oktober 1990 dan dipindahkan ke Rutan Salemba ketika kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selama persidangan, sekitar 1.000 personel polisi dan militer berjaga-jaga.
Jaksa menuntut Arswendo, pria kelahiran Surakarta, 24 November 1948, itu, dengan pasal berlapis. Arswendo dikenakan Pasal 156 KUHP tentang penghinaan agama, Pasal 157 KUHP tentang penyebaran penghinaan terhadap golongan penduduk dan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Pers tahun 1982 tentang pelanggaran fungsi dan kewajiban pers.
Dalam persidangan, Arswendo membacakan pledoi setebal 16 halaman berjudul “Sebagai Pribadi Atau Kelompok Kita Ini Lemah dan Mudah Cemas. Sebagai Bangsa Kita ini Kuat, Liat, dan Selalu Mayoritas”. Dia meminta maaf lagi dan menyatakan penyesalan dalam pledoinya sembari menjelaskan kronologi pembuatan angket “Kagum 5 Juta” itu.“Harusnya saya sudah tahu. Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun,” ungkap Arswendo saat itu.[6]