Yahudi di IndonesiaSejarah orang Yahudi di Indonesia kemungkinan dimulai dengan kedatangan para penjelajah Yahudi pada abad ke-7 melalui Jalur Sutra Maritim dan terus berlanjut seperti penjelajah dan pemukim Eropa awal, hingga masa modern di wilayah Indonesia.[1][2][3] Agama Yahudi tidak diakui sebagai salah satu dari enam agama resmi negara Indonesia, dan anggota komunitas Yahudi setempat dapat memilih untuk dikosongkan[4] atau mendaftar sebagai "Kepercayaan kepada Tuhan YME (Yang Maha Esa)" atau agama lain yang diakui pada kartu identitas resmi mereka.[5] Walaupun tidak mendapat pengakuan resmi sebagai agama mayoritas, Kementerian Agama Republik Indonesia tetap memperbolehkan komunitas Yahudi untuk mempraktikkan agamanya,[3] seperti komunitas Sikhisme, Zoroastrianisme, Shinto, Taoisme, dan lain-lain berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.[6] Sebagian besar orang Yahudi Indonesia berasal dari Eropa Timur, Eropa Selatan, Inggris, Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, Timur Tengah, Afrika Utara, India, Tiongkok, dan Amerika Latin. Yahudi di Indonesia saat ini membentuk komunitas Yahudi yang kecil sekitar 100–550 orang,[7] kebanyakan Yahudi Sephardi dan Yahudi Mizrahi (berasal dari Semenanjung Iberia dan Timur Tengah). Sedangkan jumlah orang Indonesia keturunan Yahudi bisa mencapai ribuan yang kebanyakan tidak mempraktikkan agama Yahudi.[4] Saat ini, salah satu komunitas orang Yahudi ortodoks yang terbuka di Indonesia tinggal di Sulawesi Utara.[8] SejarahMelalui tulisan musafir Abû Zayd Hasan al-Sîrafî tentang Pembantaian Guangzhou dalam Pemberontakan An Shi di abad ke-7, menandakan sudah adanya komunitas Yahudi di Tiongkok, setidaknya di Guangzhou pelabuhan yang menghubungkan Tiongkok dan India, kapal perdagangan untuk pelabuhan tesebut diperkirakan akan melalui wilayah Indonesia. Dengan iklim setempat berupa angin monsun memerlukan kapal untuk berlabuh berbulan-bulan di berbagai pelabuhan diantara kedua lokasi tersebut, seperti di Semenanjung Malaya dan perairan Sumatra. Gambaran lebih pasti berasal dari penulis Persia Buzurg bin Shahriyar di Kitab Aja'ib Al-Hind Barrihi wa Bahrihi wa Jaza'irihi ("Hal-hal menakjubkan mengenai daratan, lautan, dan kepulauan Hindia") yang ditulis pada abad ke-10. Ia menulis seorang Yahudi dari Oman bernama Ish'âq bin al-Yahûdî yang melakukan perjalanan ke Tiongkok dan sempat singgah di Sarîra (Serboza atau Sribuza; mungkin Sriwijaya?). Bukti lain bisa dilihat berdasarkan catatan dari Ibrâhîm bin Mûsâ bin Maymûn (Avraham ben ha-Rambam, Abraham Maimonides) seorang pemimpin Yahudi Kairo (abad ke-13) yang mengeluarkan fatwa (t’shuva) bagi seorang istri yang dalam posisi aguna (terikat), karena ditinggal suaminya yang merupakan pedagang dari Aden ke bilâd al-Hind (Hindia) yang kemudian meninggal dalam perjalanan kembali. Yang menarik adalah ia merupakan pedagang kapur barus (kâfur) dari Fans'ûr, di Sumatra (sekarang Barus). Bukti-bukti tersebut menandakan adanya kaum Yahudi yang terlibat dalam perdagangan dengan wilayah Indonesia di masa lampau.[1][4] Pada tahun 1850-an, musafir Yahudi Jacob Saphir adalah orang pertama yang menulis tentang komunitas Yahudi di Hindia Belanda setelah mengunjungi Batavia, Hindia Belanda. Dia telah berbicara dengan seorang Yahudi lokal yang memberitahunya tentang sekitar 20 keluarga Yahudi di kota itu dan beberapa lagi di Surabaya dan Semarang. Pada tahun 1921, seorang aktivis Zionis bernama Israel Cohen pergi ke Pulau Jawa dan berdasarkan catatannya ada sekitar 2.000 orang yahudi yang menetap. Beberapa organisasi yang dibangun berbagai komunitas Yahudi ini berupa Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan World Zionist Conference di Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, dan Yogyakarta. WZC adalah organisasi yang mengumpulkan dana untuk gerakan Zionisme. Komunitas orang Yahudi yang tinggal di Hindia Belanda pada abad ke-19 adalah Yahudi Belanda yang bekerja sebagai pedagang atau berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Anggota komunitas Yahudi lainnya adalah imigran dari Irak, Aden, atau wilayah Timur Tengah lainnya yang berpusat di Surabaya. Lalu komunitas terakhir adalah orang Yahudi yang kabur dari kejaran Nazi dan berasal dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.[9] Pada tahun 1930, sensus oleh pemerintah Hindia Belanda mencatat 1.095 orang Yahudi. Pada akhir tahun 1930-an, jumlahnya meningkat hingga 2.500 orang di Pulau Jawa, Pulau Sumatra, dan wilayah lainnya. Tetapi pada saat Perang Dunia 2, jumlah orang Yahudi di Hindia Belanda diperkirakan sekitar 2.000 jiwa.[5] Umumnya orang Yahudi Indonesia (terutama yang keturunan Belanda dan Eropa) sangat menderita di bawah Pendudukan Jepang di Indonesia, diasingkan dan mereka dipaksa untuk bekerja di kamp penampungan, walau dalam Pertempuran Surabaya, Charles Mussry (yang merupakan keturunan Yahudi Irak) ikut berjuang bersama laskar-laskar rakyat untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.[10] Setelah perang, orang Yahudi yang dilepas banyak menemui berbagai masalah dan berubahnya situasi politik di Indonesia. Pada tahun 1950-an proses nasionalisasi beberapa perusahaan asing oleh Sukarno, selain itu situasi politik mancanegara seperti Konflik Israel-Palestina, menyebabkan banyaknya migrasi orang Yahudi dari Indonesia. Alih-alih kembali ke Belanda, kebanyakan memilih bermigrasi ke California di Amerika Serikat, sedangkan kebanyakan keturunan Irak bermigrasi ke Melbourne, Australia. Tetapi komunitas Yahudi keturunan Irak yang juga memiliki keturunan Indonesia menetap lebih lama di Surabaya, walau akhirnya kebanyakan bermigrasi ke Israel pada tahun 1958. Komunitas orang Yahudi di Israel yang berasal dari Hindia Belanda dan Indonesia, mendirikan organisasi Tempo Dulu dibawah Shoshanna Lehrer.[5] Pada masa Orde Lama, agama Yahudi sempat diakui di KTP dengan nama Hebrani, walau sejak UU No. 1 PNPS/1965 oleh pemerintah Orde Baru, para keturunan Yahudi diminta untuk berasimilasi dengan penduduk lokal dan dikategorikan dalam sensus dengan agama lain. Sejak lengsernya Orde Baru dan mulainya era Reformasi, beberapa keturunan Yahudi mulai mengidentifikasi diri mereka dan mulai mempraktikkan agama Yahudi kembali, terutama pada komunitas Yahudi di Sulawesi Utara.[11][3] PopulasiAsimilasi dan perubahan populasiKarakteristik sosial dan budaya Indonesia berkontribusi pada asimilasi. Kebanyakan orang Yahudi Indonesia mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia. Orang Yahudi diwajibkan untuk mengubah nama dan kepercayaan mereka. Walau sejak Era Reformasi, beberapa keturunan Yahudi mengubah namanya kembali dan mulai mempraktikan agama Yahudi terutama bagi komunitas di Sulawesi Utara.[3] Agama di Indonesia diatur oleh pemerintah. Orang Yahudi Indonesia menghadapi tantangan untuk mendeklarasikan agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk). Setiap warga negara yang berusia di atas 17 tahun wajib membawa KTP yang mencantumkan agama pemegangnya dan Indonesia hanya mengakui enam agama atau kepercayaan kepada Tuhan YME. Kabarnya, banyak orang Yahudi yang mendaftar sebagai orang Kristen, walau ada pula yang mengosongkan kolom agama pada KTP.[4] Diperkirakan 20.000 keturunan Yahudi masih tinggal di Indonesia, meski banyak yang kehilangan identitas sejarahnya. Karena sebagian besar orang Yahudi Indonesia sebenarnya juga merupakan keturunan dari Belanda, Eropa Selatan dan Timur Tengah, bahasa yang digunakan oleh mereka termasuk bahasa Indonesia, Melayu, Arab, Ibrani, Portugis, dan Spanyol.[12] SinagogeKomunitas Yahudi Indonesia sangat kecil, dengan sebagian besar anggotanya tinggal di Sulawesi Utara dan sebagian kecil di ibu kota Jakarta dan di Surabaya. Banyak pemakaman Yahudi masih ada di seluruh negeri seperti di Pemakaman Kerkhof di Aceh, Semarang dan Surabaya di Jawa, di Pangkalpinang di Pulau Bangka, di Palembang di Sumatera Selatan, dan di Pineleng dan Matungkas di Sulawesi Utara. Berdasarkan penelitian Zainal Abidin,[3] komunitas Yahudi di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu aliran Ortodoks dan Reformasi (atau disebut juga liberal). Kelompok Ortodoks berpusat di Tondano dibawah pimpinan rabi Yaakov Baruch. Sedangkan kelompok kedua terbagi menjadi Konservatif, Reformasi, dan Rekonstruksionis yang bergabung dalam satu organisasi United Indonesia Jewish Community (UIJC), seperti rabi Benjamin Meijer Verbrugge, yang membawahi 6 'para-rabi' untuk komunitas kecil seperti di Ambon, Jakarta, Jayapura, Timika, dan Manado.[13][14] Torat Chaim, JakartaJemaat kecil yang dipimpin oleh Rabbi Tovia Singer, yang sebelumnya adalah satu-satunya rabbi di Indonesia saat ini. Sinagoge ini beroperasi bersama dengan Yayasan Eits Chaim Indonesia, satu-satunya organisasi Yahudi di Indonesia yang memiliki sanksi resmi, di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen di Kementerian Agama Republik Indonesia. Sinagoge Beit Torat Chaim, JayapuraSebuah jemaat kecil di Jayapura yang mendirikan sinagoge tahun 2014 di atas lahan seluas 120 meter milik rabi Aharon Sharon Melamdim, pemimpin komunitas Yahudi di Jayapura.[15] Sinagoge SurabayaTerdapat sinagoge di Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur di Indonesia. Selama bertahun-tahun itu adalah satu-satunya sinagoge di negara itu. Sinagoge ini menjadi tidak aktif mulai tahun 2009 dan tidak memiliki gulungan Taurat atau rabi. Itu terletak di Jalan Kayun 6 2.000 m2 diatas tanah dekat Sungai Kali Mas di rumah yang dibangun pada tahun 1939 selama pemerintahan Belanda. Rumah itu dibeli oleh komunitas Yahudi setempat (asal Irak) dari seorang dokter Belanda pada tahun 1948 dan diubah menjadi sinagoge. Hanya mezuzah dan 2 Bintang Daud di pintu masuk yang menunjukkan keberadaan sinagoge. Komunitas di Surabaya tidak lagi cukup besar untuk mendukung minyan, yaitu kumpulan sepuluh orang yang dibutuhkan untuk melakukan ibadah umum. Gedung sinagoge yang merupakan cagar budaya, dijual oleh pemiliknya dan dihancurkan oleh pihak swasta pada tahun 2013 dan dijadikan hotel.[16][17] Sinagoge Sha'ar HasyamayimSejak tahun 2003, Sinagoge Shaar Hasyamayim telah melayani komunitas Yahudi lokal sekitar 30-50 orang di kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Saat ini merupakan satu-satunya sinagoge terbuka di Indonesia yang menyediakan layanan,[18] dan merupakan aliran Sefardi, tidak seperti aliran Hasidut seperti kebanyakan keturunan Belanda. Sebuah komunitas kecil Yahudi lokal tetap berada di daerah tersebut, sebagian besar merupakan keturunan Yahudi dan beralih kembali ke Yudaisme.[3] Orang keturunan Yahudi Indonesia
Lihat juga
Referensi
Pranala luar
|