Politik Israel
Politik Israel didominasi oleh partai Zionis. Secara tradisional, terdapat tiga haluan partai, dua yang pertama adalah yang terbesar: Zionisme Buruh (Demokrasi sosial), Zionisme Revisionis (konservatif), dan Zionisme Religius. Ada juga beberapa partai Yahudi Ortodoks non-Zionis, kelompok sayap kiri non-Zionis, serta partai Arab Israel non-Zionis dan anti-Zionis. Kondisi politikGolda Meir, Perdana Menteri Israel dari 1969 sampai 1974, pernah berkata bahwa "di Israel, ada 3 juta perdana menteri".[1] Dengan menggunakan sistem perwakilan proporsional, maka akan mendorong pembentukan partai politik dalam jumlah banyak, dengan platform yang spesifik,, dan sering mengadvokasikan hal-hal yang diperjuangkan kelompok kepentingan. Karena terdapat banyak partai di parlemen, maka partai kecil juga mempunyai pengaruh dengan sebagai suara penentu, mereka sering menggunakan kesempatan itu untuk memblokir undang-undang atau mempromosikan agenda mereka sendiri, bahkan yang bertentangan dengan manifesto dari partai penguasa. Sejak berdirinya Israel pada tahun 1948 sampai pemilu Mei 1977, Israel dikuasai oleh pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Barisan Buruh (atau Mapai sebelum 1967). Dari tahun 1967 hingga 1970, diperintah oleh pemerintahan persatuan nasional yang melibatkan hampir seluruh partai kecuali Partai Komunis Israel. Setelah pemilu 1977, Likud (yang terdiri dari Partai Herut, Liberal, dan La'am) memenangi pemilu, kemudian membentuk koalisi dengan Partai Religius Nasional, Agudat Yisrael, dan partai lainnya. Survei dan laporan tahunan Freedom in the World tahun 2013 oleh Freedom House menyatakan bila peringkat demokrasi di Israel adalah satu-satunya yang dapat dikatakan bebas di Timur Tengah dan Afrika Utara.[2] Namun, pada laporan tahun 2015 dan 2016 juga menyatakan bahwa Tunisia dikatakan negara bebas.[3] Perdana Menteri dan pemerintahan sejak 1996Netanyahu (1996-1999)Pada pemilihan umum tersebut – yang merupakan pemilu langsung pertama perdana menteri sepanjang sejarah Israel – Pemimpin Likud Benjamin Netanyahu menang dengan selisih yang sedikit. Netanyahu mengkritik tajam kebijakan perdamaian pemerintah yang gagal melindungi keamanan Israel. Netanyahu kemudian membentuk pemerintahan koalisi sayap kanan yang secara terbuka berkomitmen untuk melaksanakan Perjanjian Oslo, tetapi dengan mengutamakan keamanan dan timbal balik. Koalisi tersebut terdiri dari Likud, Tzomet dan Gesher ; tiga partai agama (Shas, Partai Religius Nasional, dan Blok Persatuan Yudaisme Torah); dan dua partai tengah, Jalan Ketiga dan Yisrael BaAliyah. Yisrael BaAliyah merupakan partai yang dibentuk untuk mewakili kepentingan imigran Rusia di Israel. Partai Gesher menarik diri dari koalisi pada Januari 1998 setelah pengunduran diri ketuanya, David Levy, dari jabatan Menteri Luar Negeri. Barak (1999-2001)Pada tanggal 27 Mei 1999, Ehud Barak dari Satu Israel (aliansi Buruh, Meimad, dan Gesher) terpilih sebagai Perdana Menteri, dan membentuk koalisi dengan Partai Tengah (yang dipimpin oleh mantan jenderal Yitzhak Mordechai dan Amnon Lipkin-Shahak), Meretz, Yisrael BaAliyah, Shas, dan Partai Religius Nasional. Koalisi ini berkomitmen untuk melanjutkan negosiasi. Namun, selama dua tahun pemerintahan, sebagian besar partai kiri meninggalkan koalisi. Barak dipaksa untuk mengadakan pemilihan lebih awal, satu-satunya pemilihan perdana menteri yang diadakan tidak bersamaan dengan pemilihan Knesset. Sharon (2001-2006)Pada 17 Februari 2001, pemilu menghasilkan pemerintahan koalisi "persatuan nasional" yang baru, yang dipimpin oleh Ariel Sharon dari Partai Likud dan Buruh. Pemerintah ini jatuh ketika Buruh menarik diri dari koalisi, dan pemilu baru diadakan pada 28 Januari 2003. Berdasarkan hasil pemilu, Sharon dapat membentuk pemerintahan sayap kanan yang terdiri dari Likud, Shinui, Partai Religius Nasional dan Persatuan Nasional. Kebijakan Koalisi berfokus pada peningkatan keamanan Israel melalui perang melawan teror dan menangani resesi ekonomi. Namun, ketika Sharon memutuskan rencana penarikan sepihak pada tahun 2004, yang termasuk evakuasi dari permukiman Israel di teritorial Palestina (khususnya Gaza), Persatuan Nasional dan Partai Religius Nasiona; menarik diri dari koalisi. Sharon mencoba mengajak Persatuan Haredi Yudaisme Torah untuk bergabung dengan koalisi dan mengeluarkan Shinui dari koalisi, dan memaksa Sharon untuk mengajak Partai Buruh kembali ke dalam koalisi. Karena tidak semua anggota Knesset dari Likud mendukung rencana penarikan sepihak yang diajukan Sharon, dia masih belum mengamankan posisi di Knesset. Dari hasil perhitungan popularitas pribadi yang ternyata lebih besar dari Likud, Sharon keluar dari Likud pada 21 November 2005 dan membentuk partai baru Kadima. Setelah itu, Shimon Peres bergabung dengan Kadima setelah keluar dari Partai Buruh da mendukung Sharon untuk membentuk pemerintahan. Hal ini menandai perubahan dalam politik Israel, dengan orang kanan dan kiri bergabung di satu partai sentris yang baru dengan didukung banyak pihak (tidak seperti partai sentris di Israel pada umumnya yang tidak memiliki popularitas yang tinggi). Olmert (2006–2009)Pada 4 Januari 2006, Perdana Menteri Sharon menderita stroke berat dan akhirnya koma, kemudian meninggal pada tahun 2014.[4] Penjabat Perdana Menteri Ehud Olmert mengambil alih kekuasaan setelah Sharon tidak dapat menjalankan tugasnya. Ia tidak Perdana Menteri resmi karena pemilu diadakan pada bulan Maret dan pemerintahan baru sedang dibentuk. Setelah pemilu Maret 2006, partai Kadima menjadi partai terbesar di Knesset, Olmert menjadi perdana menteri. Dia mengajak Partai Buruh, Shas, dan Gil untuk bergabung dengan koalisi. Pada November 2006, Yisrael Beiteinu (11 kursi) juga bergabung dengan pemerintah, tetapi menarik diri dari koalisi pada Januari 2008. Dihadapkan dengan oposisi di internal partai karena tuduhan korupsi, Olmert mengumumkan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri dalam pemilu berikutnya yang diselenggarakan pada Februari 2009. Tzipi Livni memenangkan pemilihan ketua Kadima tahun 2008, tetapi gagal membentuk pemerintahan koalisi baru. Netanyahu (2009–sekarang)Pada tanggal 31 Maret 2009, Knesset menyetujui penunjukan Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri, meskipun Kadima mendapat jumlah suara lebih dari Likud. Pemerintahan Netanyahu dilantik keesokan harinya, tanggal 1 April 2009. Pada tanggal 19 Maret 2013, Netanyahu ditunjuk kembali sebagai Perdana Menteri setelah Likud-Yisrael Beiteinu mendapat kursi terbanyak di pemilu bulan Januari. Koalisi baru ini terdiri dari partai Yesh Atid, Rumah Yahudi dan Hatnuah. Netanyahu terpilih kembali pada 18 Maret 2015, dan kemudian membentuk pemerintahan koalisi dengan Likud sebagai ketua, yang beranggotakan Rumah Yahudi, Kulanu, Shas, dan Persatuan Yudaisme Torah. Partai politik dan pemiluDibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah partai yang ikut serta dalam pemilu anggota Knesset relatif tinggi. Hal ini menyebabkan Knesset terpecah-pecah dengan partai kecil memiliki perwakilan di Knesset dan tidak ada partai yang mendapat lebih dari 60 kursi yang diperlukan untuk membentuk Pemerintahan sendiri. Sistem ini juga memungkinkan partai-partai yang memiliki pandangan di luar arus umum dan memiliki perwakilan di Knesset. Contohnya adalah partai religius Haredi, partai-partai yang mewakili agama nasional atau agenda terbatas seperti Gil, yang mewakilkan pensiunan dalam pemilu 2006.
Isu politikIsu utama di politik Israel antara lain:
Lihat pulaReferensi
|