Diaspora Yahudi (bahasa Ibrani: Tefutzah, "tersebar", atau Galut גלות, "pembuangan") adalah penyebaran orang-orang Yahudi di seluruh dunia. Secara umum pengertian diaspora dianggap telah dimulai dengan pembuangan di Babel pada 597 SM, setelah sejumlah komunitas Yahudi Timur Tengah terbentuk pada waktu itu sebagai akibat dari kebijakan yang toleran dan kemudian menjadi pusat-pusat kehidupan Torah dan Yudaisme yang penting selama abad-abad berikutnya. Kekalahan orang-orang Yahudi pada Pemberontakan Besar Yahudi pada tahun 70 dan Pemberontakan Bar Kokhba pada 135 dalam menghadapi Kekaisaran Romawi merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan besarnya jumlah dan daerah pemukiman di diaspora, karena banyak orang Yahudi yang tersebar setelah hilangnya negara mereka Yudea atau dijual dalam perbudakan di seluruh kekaisaran.
Istilah ini juga digunakan - dalam pengertian rohani - bagi orang-orang Yahudi yang nenek-moyangnya berganti agama dengan agama-agama di luar Israel, meskipun misalnya orang-orang itu tidak dapat disebut hidup di dalam pembuangan.
Diaspora Pra-Romawi
Setelah kerajaan Yehuda dikalahkan oleh bangsa Khaldea pada 588 SM (lihat pembuangan Babel), dan diangkutnya sejumlah besar penduduknya ke lembah Sungai Efrat, orang-orang Yahudi mempunyai dua titik berkumpul yang utama: Babel dan Tanah Israel.
Meskipun kebanyakan orang Yahudi, khususnya keluarga-keluarga kaya, tinggal di Babel, kehidupan mereka, di bawah rentetan pemerintahan dinasti Akhemenid, Kekaisaran Seleukus, Partia, dan dinasti Sasani, suram dan tidak berarti secara politik. Unsur yang paling miskin namun hidup dari orang-orang yang hidup di pembuangan ini kembali ke Tanah Israel pada pemerintahan dinasti Akhemenid. Di sana, dengan dibangunnya kembali Bait Suci Yerusalem sebagai pusatnya, kelompok ini menata kembali dirinya menjadi sebuah komunitas, yang diwarnai oleh semangat keagamaan yang kuat dan ikatan yang erat dengan Torah, yang sejak itu menjadi pusat identitasnya. Tak lama kemudian kelompok kecil ini semakin bertambah besar dengan datangnya kelompok-kelompok tambahan dari berbagai tempat, lalu bangkitlah suatu kesadaran akan dirinya sendiri, dan mereka mulai berjuang untuk membentuk ikatan politik.
Setelah berbagai perubahan, khususnya yang disebabkan oleh pertikaian internal dalam dinasti Seleukus di satu pihak, dan karena dukungan pihak Roma yang mempunyai kepentingan di pihak lain, perjuangan kemerdekaan Yahudi akhirnya menang. Di bawah para pangeran Hasmonea yang mula-mula adalah imam agung dan kemudian raja, negara Yahudi berjaya dan merebut sejumlah wilayah. Namun, tak lama sesudah itu, terjadilah pertikaian di kalangan keluarga kerajaan. Ditambah dengan ketidakpuasan yang kian bertambah dari orang-orang yang saleh, jiwa bangsa itu, terhadap para penguasa yang tidak lagi memperlihatkan penghargaan terhadap aspirasi sejati bangsanya, menjadikan negara Yahudi itu mangsa yang empuk bagi ambisi-ambisi Roma, pengganti dinasti Seleukus. Pada 63 SM, Pompeyus menyerbu Yerusalem, dan Gabinius memaksa orang-orang Yahudi membayar upeti.
Populasi diaspora awal
Pada pertengahan abad ke-2 SM, penulis Yahudi yang mengarang buku ketiga Oracula Sibyllina, berbicara kepada "bangsa pilihan", katanya: "Setiap daratan penuh dengan engkau, demikian pula setiap lautan." Saksi-saksi yang sangat beraneka ragam, seperti misalnya Strabo, Filo, Seneca, pengarang Kisah para Rasul, dan Yosefus, semuanya memberikan kesaksian terhadap kenyataan bahwa bangsa Yahudi tersebar di seluruh bagian dunia yang diketahui pada waktu itu.
Raja Agripa I, dalam suratnya kepada Caligula, menyebutkan di antara provinsi-provinsi yang dihuni oleh diaspora Yahudi hampir semua negara Helenis dan non-Helenis di Timur. Penyebutan ini sama sekali tidak lengkap, karena Italia dan Kirene tidak diikutsertakan. Penemuan epigrafi dari tahun ke tahun menambah jumlah dari komunitas-komunitas Yahudi yang diketahui. Hanya ada sedikit sekali informasi mengenai seberapa besar sesungguhnya komunitas-komunitas Yahudi yang beraneka ragam ini; dan informasi ini harus diperlakukan dengan hati-hati. Setelah Tanah Israel dan Babel, menurut Yosefus di Suriah terdapat populasi Yahudi yang paling padat; khususnya di Antiokhia dan kemudian di Damsyik. Di Damsyik inilah, pada waktu terjadi pemberontakan besar, 10.000 (menurut sebuah versi yang lain 18.000) orang Yahudi dibantai. Filo menyebutkan bahwa jumlah orang Yahudi di Mesir mencapai 1.000.000 orang; seperdelapan dari seluruh populasinya. Dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain, Alexandria adalah komunitas Yahudi yang paling penting. pada masa Filo, orang Yahudi menghuni dua dari lima bagian kota itu. Menilai dari laporan-laporan mengenai pembantaian besar-besaran pada 115, jumlah penduduk Yahudi di Kirenaika di Siprus, dan di Mesopotamia tentunya juga besar. Di Roma, pada permulaan pemerintahan Kaisar Augustus, ada lebih dari 8.000 orang Yahudi. Inilah jumlah yang mendampingi para utusan yang datang untuk menuntut digulingkannya Arkhelaus. Akhirnya, bila jumlah orang-orang yang ditangkap oleh propraetor Flakus pada tahun 62 benar-benar mewakili pajak didrakhma per kepala selama satu tahun, barangkali dapat kita simpulkan dengan aman bahwa di Asia Kecil penduduk Yahudi berjumlah 45.000 laki-laki, atau jumlah keseluruhannya setidak-tidaknya 180.000 orang.
Bila laporan-laporan ini bisa dipercaya, tampaknya tidak terhindari bahwa komunitas Yahudi yang begitu banyak di daerah-daerah seperti Alexandria tidak seluruhnya terdiri dari emigran. Kemungkinan besar sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang berpindah agama menjadi Yahudi. Perlu diketahui bahwa sebelum kehancuran Bait Allah, komunitas Yahudi melakukan kegiatan misioner. Salah seorang terkenal yang menjadi Yahudi adalah Herodes Agung, seorang Idumaea.
Pemerintahan Romawi berlanjut hingga pecahnya pemberontakan pada 66-70, yang berakhir dengan direbutnya Yerusalem dan dihancurkannya Bait Allah, pusat kehidupan nasional dan keagamaan orang Yahudi di di seluruh dunia. Setelah bencana ini, Yudea membentuk sebuah provinsi Romawi yang terpisah, yang dipimpin oleh seorang wakil resmi pemerintah, pertama-tama sebagai "pro prætore," dan belakangan, "pro consule," yang juga merupakan panglima tentara pendudukan. Penghancuran total atas Yerusalem, dan pembangunan sejumlah pemukiman Yunani dan Romawi di Yudea, menunjukkan rencana terbuka pemerintah Romawi untuk mencegah regenerasi politis negara Yahudi itu. Namun, 40 tahun kemudian orang-orang Yahudi melakukan usaha untuk merebut kembali kemerdekaan mereka yang telah hilang. Dengan lenyapnya Palestina, pertama-tama mereka berusaha membangun di atas persemakmuran Helenisme di Kirene, Siprus, Mesir, dan Mesopotamia. Usaha-usaha ini dijalankan dengan tegas, tetapi tidak bijaksana, dan ditindas oleh Trayanus (115-117); dan di bawah Hadrianus nasib yang sama pun terjadi pada upaya terakhir dan mulia dari orang-orang Yahudi Palestina untuk merebut kembali kemerdekaan mereka (133-135). Sejak masa ini, meskipun terdapat sejumlah gerakan yang tidak penting di bawah Antoninus, Markus Aurelius, and Severus, orang-orang Yahudi di Palestina, yang kini jumlahnya telah jauh berkurang, miskin, dan kalah, kehilangan dominasi mereka di dunia Yahudi. Orang-orang Yahudi tidak lagi mempunyai alasan untuk berpaut pada suatu tanah air di mana kenangan akan masa lampau mereka yang agung hanya menciptakan gamaran yang lebih pahit dan memalukan tentang masa kini mereka, di mana Yerusalem, dengan nama "Ælia Capitolina," sebuah koloni Romawi, telah menjadi kota yang sama sekali kafir, dan orang Yahudi sendiri dilarang memasukinya, dengan ancaman hukuman mati.
Penyebaran orang Yahudi
Penghancuran Yudea menimbulkan pengaruh yang menentukan terhadap penyebaran orang Yahudi di seluruh dunia, karena pusat peribadahan beralih dari Bait Allah kepada wibawa rabinik.
Sebagian orang Yahudi dijual sebagai budak atau diangkut sebagai tawanan setelah jatuhnya Yudea. Yang lainnya bergabung dengan diaspora yang sudah ada, sementara yang lainnya lagi tinggal di Yudea dan mulai menyusun Talmud Palestina. Orang-orang Yahudi yang hidup di diaspora pada umumnya diterima di dalam Kekaisaran Romawi. Namun kebangkitan agama Kristen menyebabkan munculnya berbagai pembatasan. Pengusiran paksa dan penganiayaan muncul di pusat-pusat internasional kehidupan Yahudi yang sering kali dicari oleh komunitas-komunitas yang tersebar jauh. Orang Yahudi tidak selalu bersatu, karena penyebaran mereka, yang pindah dari Yudea ke Babel ke Spanyol ke Polandia ke Amerika dan akhirnya kembali ke Israel.
Pada Abad Pertengahan, orang Yahudi dibagi menjadi beberapa kelompok regional yang pada masa kini biasanya dimasukkan ke dalam dua golongan besar: orang Yahudi Ashkenazi (orang Yahudi Eropa Utara dan Timur) dan orang Yahudi Sefardim (orang Yahudi Spanyol, Mediterania, dan Timur Tengah). Pengelompokan ini menggabungkan sejarah-sejarah yang paralel—penganiayaan dan pengusiran paksa yang sama-sama dialami—yang akhirnya berpuncak pada peristiwa-peristiwa pada abad ke-20 yang menyebabkan terbentuknya Negara Israel.
Diaspora dalam kehidupan orang Yahudi
Antara penghancuran Yudea oleh kekaisaran Romawi dengan pembentukan kembali sebuah negara Yahudi, yaitu Israel pada 1948, semua orang Yahudi dianggap hidup di Diaspora. Saat ini, istilah ini digunakan untuk mengacu kepada orang-orang Yahudi yang hidup di luar Israel.
Berbagai pembuangan dan penganiayaan maupun kondisi dan kesempatan politik dan ekonomi memengaruhi jumlah dan dinamika diaspora Yahudi. Pada 2005, jumlah terbesar orang Yahudi hidup di Amerika Serikat (5.280.000), Bekas Uni Soviet (1.000.000), Prancis (494.000), Argentina (395.000) Kanada (372.000), dan Britania Raya (298.000).[1] Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Yahudi di Israel (5.235.000[2]) lebih besar dari di manapun juga kecuali di Amerika Serikat; lihat Demografi Israel.
Catatan kaki
^ Sergio DellaPergola, Yehezkel Dror, and Shalom S. Wald. Annual Assessment 2005: A Rapidly Changing World. Jerusalem: Jewish People Policy Planning Institute. (Summary, pdfDiarsipkan 2005-12-16 di Wayback Machine.)