Era reformasi atau era pasca-Soeharto di Indonesia dimulai pada tahun 1998, tepatnya saat Kejatuhan Soeharto Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden saat itu, B.J. Habibie.
Masa reformasi dalam arti sempit meliputi periode 1998–2004, yaitu sampai dengan pemilihan umum Presiden Indonesia 2004 pertama; dalam arti luas, hal itu berlanjut hingga kini. Periode ini didirikan oleh lingkungan sosial politik yang lebih terbuka.
Isu-isu selama periode ini di antaranya dorongan untuk menerapkan demokrasi dan pemerintahan sipil yang lebih kuat, elemen militer yang mencoba untuk mempertahankan pengaruhnya, Islamisme yang tumbuh dalam politik dan masyarakat umum, serta tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Proses reformasi menghasilkan tingkat kebebasan berbicara yang lebih tinggi, berbeda dengan penyensoran yang meluas saat Orde Baru. Akibatnya, debat politik menjadi lebih terbuka di media massa dan ekspresi seni makin meningkat. Peristiwa-peristiwa yang telah membentuk Indonesia dalam periode ini di antaranya serangkaian peristiwa terorisme (termasuk bom Bali 2002) serta gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004.
Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai presiden dan melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Partai Politik[2] yang mencabut pembatasan jumlah partai politik (parpol). Sebelumnya, pada masa Soeharto, hanya tiga parpol yang diperbolehkan. Parpol juga tidak diwajibkan berideologi Pancasila. Hal ini mengakibatkan partai politik bermunculan dan 48 di antaranya akan bersaing dalam pemilihan legislatif 1999.
Pada Mei 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Otonomi Daerah[3] yang merupakan langkah pertama dalam desentralisasi pemerintahan Indonesia dan memungkinkan provinsi-provinsi untuk lebih berperan dalam mengatur daerahnya. Pers lebih dibebaskan pada pemerintahan Habibie, meskipun Kementerian Penerangan tetap dipertahankan. Tahanan politik seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan Xanana Gusmão juga dibebaskan atas perintah Habibie.
Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang merupakan pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif 1955. Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen, bukan komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan Timor Timur. Tindakan ini mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa orang. Pada tanggal 30 Agustus, penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka. Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan aliansi politik Habibie.
Gus Dur bermaksud memberikan referendum kepada Provinsi Aceh—yang saat itu memberontak—untuk menentukan model otonomi mereka alih-alih opsi untuk memerdekakan diri seperti di Timor Timur.[5] Gus Dur juga ingin mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Aceh dengan menurunkan lebih sedikit personel militer di sana. Pada bulan Maret 1999, pemerintahan Gus Dur mulai membuka negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada bulan Mei, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM yang berlaku hingga awal 2001, saat kedua belah pihak melanggar perjanjian tersebut.[6]
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura, ibu kota Provinsi Papua (saat itu disebut "Irian Jaya"). Gus Dur berhasil meyakinkan para pemimpin Papua Barat bahwa dirinya merupakan pemicu perubahan dan bahkan mendorong penggunaan nama Papua.[7]
Pada Maret 2000, Gus Dur menyarankan agar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) 1966 tentang pelarangan Marxisme–Leninisme dicabut.[8] Pada bulan September, Gus Dur mengumumkan darurat militer di Maluku. Pada bulan yang sama, penduduk Papua Barat mengibarkan bendera Bintang Kejora. Gus Dur menanggapi dengan mengizinkan pengibaran tersebut asalkan bendera Bintang Kejora ditempatkan lebih rendah dari bendera Indonesia.[9] Tanggapan ini dikritik keras oleh Megawati dan Akbar Tanjung. Pada 24 Desember 2000, serangkaian pengeboman dilakukan terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota di seluruh Indonesia.
Hubungan dengan militer
Ketika naik ke kursi kepresidenan, salah satu tujuan Gus Dur adalah mereformasi TNI dan menghilangkan peran sosiopolitik mereka yang dominan. Dalam usaha ini, Wahid bersekutu dengan Agus Wirahadikusumah, yang ia jadikan Panglima Kostrad pada bulan Maret 2000. Pada bulan Juli, Agus mulai mengungkap skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang berafiliasi dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Gus Dur untuk mencopot Agus. Gus Dur mengalah pada tekanan ini tetapi kemudian berencana untuk mengangkat Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang ditanggapi oleh para pemimpin TNI dengan mengancam akan pensiun dan Gus Dur sekali lagi mengalah pada tekanan tersebut.[10]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika di bulan yang sama terungkap bahwa milisi Laskar Jihad telah tiba di Maluku dan dipersenjatai dengan senjata militer, meskipun Gus Dur telah memerintahkan TNI untuk memblokir masuknya mereka ke wilayah tersebut. Milisi telah merencanakan sejak awal tahun untuk pergi ke Maluku dalam rangka melibatkan diri dalam konflik sekretarian di sana.[11]
Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat dalam dua skandal yang mencoreng masa kepresidenannya. Pada Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan hilangnya dana sebesar US$4 juta. Uang tersebut digelapkan oleh tukang pijat Gus Dur sendiri, yang menyatakan bahwa Gus Dur mengirimnya ke Bulog untuk mengambil uang tersebut.[12] Meski uangnya telah dikembalikan, musuh-musuh politik Gus Dur mengambil kesempatan ini dengan menuduhnya terlibat dalam skandal yang disebut sebagai Bulog gate ini. Di saat yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan sumbangan US$2 juta dari Sultan Brunei yang diberikan sebagai bantuan untuk Aceh. Skandal ini dikenal sebagai Brunei gate.
Pemakzulan
Pada akhir 2000, banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur; yang paling menonjol adalah Amien Rais yang menyayangkan telah mendukung Gus Dur sebagai presiden pada tahun sebelumnya. Amien berusaha menggalang oposisi dengan mendorong Megawati dan Akbar Tanjung untuk menunjukkan kekuatan politik mereka. Megawati secara mengejutkan membela Gus Dur sementara Akbar memilih untuk menunggu pemilu legislatif 2004. Pada akhir November, 151 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menandatangani petisi yang menuntut pemakzulan Gus Dur.[13]
Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur opsional.[14] Ia menindaklanjutinya pada bulan Februari dengan mencabut larangan tentang perayaan Imlek secara terbuka. Pada bulan Februari, Gus Dur mengunjungi negara-negara di Afrika Utara serta Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.[15] Gus Dur melakukan kunjungan luar negeri terakhirnya pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur berkomentar tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan bahwa ia terpaksa membubarkan DPR jika hal itu terjadi.[16] Meskipun isi pertemuan ini tidak untuk konsumsi publik, tetapi cukup banyak kehebohan yang timbul. Pada 1 Februari, DPR mengajukan memorandum terhadap Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR, yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan presiden. Dari hasil pemungutan suara, sangat banyak anggota DPR yang mendukung memorandum, sementara anggota PKB hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai bentuk protes. Memorandum tersebut menimbulkan protes luas di kalangan anggota Nahdlatul Ulama (NU). Di Jawa Timur, anggota NU menyerang kantor Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi mulai menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya dan bertemu dengan para pengunjuk rasa di kota Pasuruan dan mendorong mereka untuk berhenti berdemonstrasi.[17] Meski demikian, pengunjuk rasa NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati untuk presiden.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari anggota kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dicopot karena secara publik menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail juga dicopot karena dicurigai menyalurkan dana departemennya kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi hal itu, Megawati mulai menjauhkan diri dan tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti. Pada 30 April, DPR mengeluarkan memorandum kedua dan esok harinya menyerukan Sidang Istimewa MPR digelar pada 1 Agustus 1998.
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan keadaan darurat. SBY menolak dan Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien Rais mengumumkan Sidang Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI, yang memiliki hubungan buruk dengan Gus Dur selama masa jabatannya sebagai presiden, menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan menempatkan tank yang mengarah ke Istana Presiden untuk unjuk kekuatan.[18] Untuk mencegah Sidang Istimewa MPR berlangsung, Gus Dur kemudian mengeluarkan maklumat pembubaran MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak memiliki kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan keputusan Gus Dur, MPR melanjutkan Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat memilih untuk memakzulkan Gus Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana Kepresidenan tetapi kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera terbang ke Amerika Serikat untuk merawat kesehatannya.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, putri pendiri Indonesia sekaligus presiden pertama Sukarno, proses reformasi demokrasi yang dimulai pada periode Habibie dan Gus Dur terus berlanjut, meskipun berjalan lambat dan tidak menentu. Megawati mengumumkan susunan Kabinet Gotong Royong pada 10 Agustus 2001 untuk membantunya mengatur negara. Selama kabinet ini bertugas, Megawati tidak pernah melakukan perombakan kabinet dan hanya mengangkat beberapa pelaksana tugas karena beberapa menteri mengundurkan diri sehubungan dengan pencalonan mereka pada Pilpres 2004.
Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Suharto ke kursi kepresidenan pada awalnya disambut secara luas, tetapi segera terlihat bahwa kepresidenannya ditandai dengan ketidaktegasan, kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "dikenal pasif dalam urusan kebijakan penting".[19][20][21] Sisi baik dari lambatnya kemajuan reformasi dan menghindari konfrontasi adalah bahwa Megawati menstabilkan proses demokratisasi secara keseluruhan dan hubungan antara legislatif, eksekutif, dan militer.[19]
Meskipun pada tahun 2004 ekonomi telah stabil dan cukup pulih dari krisis 1997, angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Konstitusi Indonesia kemudian diamendemen agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan Megawati mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Ia secara konsisten tertinggal dalam berbagai jajak pendapat. Sebagian penyebabnya adalah pemilih Muslim yang cenderung memilih kandidat laki-laki dan kinerja Megawati dipandang biasa-biasa saja selama menjabat sebagai presiden. Meski tampil lebih baik dari perkiraan pada putaran pertama pemilu presiden 2004, tetapi di putaran kedua ia dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada masa pemerintahan Megawati.
Pada 1 Oktober 2005, bom bunuh diri terjadi di pulau Bali. Kelompok Islam militan Jemaah Islamiyah diduga berada di balik serangan tersebut, meskipun penyelidikan polisi masih dilakukan. Kelompok tersebut juga bertanggung jawab atas bom Bali 2002. SBY mengutuk serangan itu serta berjanji untuk "memburu para pelakunya dan membawa mereka ke pengadilan".[23]
Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%[24] yang kemudian menurun menjadi 5,5% pada tahun 2006.[25] Inflasi mencapai 17,11% pada tahun 2005, tetapi menurun menjadi 6,6% pada tahun 2006.[26]
SBY juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan. Pada tahun 2004, 18 triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan, yang meningkat menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun pada tahun 2006.[27] Pada bulan Maret dan Oktober 2005, SBY membuat keputusan untuk memotong subsidi bahan bakar yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar.[28] Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi pemotongan subsidi kemudian menurunkan popularitas SBY. Pada Mei 2008, kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY untuk sekali lagi memotong subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada Mei dan Juni 2008.
Pada pemilu presiden 2014, Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Jusuf Kalla (yang kembali dicalonkan sebagai wakil presiden) mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Jokowi adalah presiden pertama tanpa latar belakang politik atau militer yang tinggi.[31] Dalam kampanye pemilu 2014, Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 7% dan mengakhiri kebijakan bagi-bagi kursi (memberikan jabatan pemerintahan pada koalisi politiknya), meski janji tersebut belum terpenuhi. Pada masa pemerintahannya, rupiah mencapai rekor terendah dalam 20 tahun terakhir.[32][33]
Ada kekhawatiran akan menurunnya kebebasan berekspresi selama periode ini, terbukti dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan banyak orang karena aktivitas media sosial mereka yang diartikan sebagai "penghinaan" kepada presiden.[37]
Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik melaporkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen. Ini adalah pertama kali tingkat kemiskinan di Indonesia turun hingga di bawah dua digit. Sebelumnya, angka kemiskinan selalu di atas 10 persen, bahkan mencapai 23,4 persen pada 1999 pascakrisis 1997–1998.[38]
Meski tidak mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, Jokowi secara eksplisit menyatakan kepada media bahwa ia tidak akan menjadi aktor netral,[51] dan akan "ikut campur" dalam Pemilihan Presiden 2024. Ia juga melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik dalam kapasitasnya sebagai presiden.[52][53][54] Pada bulan September 2023, dalam rapat umum, Jokowi menyatakan bahwa ia memiliki informasi intelijen yang dikumpulkan oleh badan-badan pemerintah (menyebutkan BIN dan BAIS) pada cara kerja internal partai politik.[55][56] Pada Oktober 2023, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kakak ipar Jokowi) mengeluarkan putusan yang memberi celah pada persyaratan usia minimal calon presiden dan wakil presiden, sehingga membolehkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai cawapres Prabowo pada tahun 2024. Usman kemudian ditegur oleh majelis hakim atas keputusan tersebut dan diminta mundur sebagai Ketua Mahkamah Agung.[57]
^Miller, Michelle. Rebellion and Reform in Indonesia. Jakarta's Security and Autonomy Policies in Aceh (London: Routledge, 2008), pp.66-68. ISBN978-0-415-45467-4
^Chang, Yau Hoon (April 2004). "How to be Chinese". Inside Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March 2007. Diakses tanggal 31 December 2006.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Tsunami Bulletin". Pacific Tsunami Warning Center. 2010-10-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-02-23. Diakses tanggal 2010-10-27.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)