Aluk Todolo
Aluk Todolo adalah agama asli leluhur suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktikkan oleh sejumlah besar masyarakat Toraja. Pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi dikategorikan ke dalam agama Hindu, sehingga kerap disebut sebagai Hindu Alukta.[1] Aluk Todolo adalah salah satu agama tertua yang dalam perkembangannya banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk Todolo merupakan suatu agama yang bersifat pantheisme yang dinamistik.[2][3] EtimologiIstilah Aluk Todolo sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Toraja yaitu "aluk" dan "todolo". Kata aluk memiliki arti aturan atau cara hidup, sementara todolo berarti nenek moyang. Dengan demikian, Aluk Todolo berarti agama para leluhur, atau cara/aturan hidup para leluhur.[4] SejarahDalam Aluk Todolo, keyakinan, dan ajaran hidup orang Toraja terdahulu, mereka meyakini bahwa "Orang Toraja berasal dari Langit". Tidak hanya manusia saja, tetapi juga kerbau, ayam, kapas, hujan, besi, bisa, dan padi sebagai unsur dasar dari alam ini, dibuat dan diturunkan dari langit. Adalah Datu' Laukku yang dianggap sebagai nenek moyang manusia. Ia dibuat langsung oleh Sang Pencipta yang disebut Puang Matua, dari bahan emas murni, dengan perantaraan Sauan Sibarrung. Datu' Laukku beserta keturunannnya tetap hidup di langit hingga beberapa generasi, dan dari keturunannya itu yang pertama kali diturunkan ke bumi adalah Pong Bura Langi. Di bumi, Pong Bura Langi kemudian memiliki keturunan yang pertama dan disebut Pong Mula Tau. Pong Mula Tau inilah yang dianggap dan disebut sebagai manusia pertama. Namun menurut orang Toraja, Pong Bura Langi bukanlah satu-satunya yang turun dari langit. Beberapa keturunan Datu' Laukku lainnya juga turun ke Bumi. Di antara yang turun dari langit adalah Pong Suloara' di Sesean, Puang Tamboro Langi (Sawerigading) di Kandora, dan Puang Ri Kesu di Gunung Kesu. Mereka ini disebut tomanurun di langi’ yang artinya adalah orang yang turun dari langit. Kali ini Toraja tidak sendirian menganut kepercayaan tomanurun di Langi. Suku-suku lain yang mendiami wilayah seputaran semenanjung Sulawesi Selatan juga percaya adanya tomanurung di langi’, hanya saja mengenai tempat kedatangannya sangat bervariasi.[5] Sistem kepercayaanKepercayaan Aluk Todolo ini bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus (sanda saratu'). Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian, namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna. Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aluk karena ia meliputi upacara yang menyangkut aluk tau atau manusia.[6][7] Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak zaman dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Dalam hal kepercayaan, penduduk Suku Toraja percaya kepada Sang Pencipta, yang disebut dengan istilah Puang Matua. Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, sang pencipta ini. Di dalam menjalankan ritualnya, Aluk Todolo memiliki dua macam upacara yaitu upacara berduka disebut Rambu Solo' dan Rambu Tuka sebagai upacara kegembiraan. Upacara Rambu Solo' meliputi tujuh tahapan, yaitu Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, Todi Tanaan. Serta upacara Rambu Tuka juga meliputi tujuh tahapan diantaranya Tananan Bua, Tokonang Tedong, Surasang Tallang, Remesan Para, Tangkeuan Suru, Kapuran Pangguan. Aluk Todolo sendiri menjadi tali pengikat masyarakat Toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan sang torayan yang sangat kokoh sehingga ke manapun orang Toraja pergi, mereka akan selalu teringat dengan kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang begitu kokoh tentu saja adalah buah-buah hasil dari tempaan Aluk Todolo itu. Karena itu memprihatinkan bila aluk todolo kini nyaris lenyap diterpa arus dunia modern. AjaranMenurut ajaran Aluk Todolo, Puang Matua menciptakan segala isi bumi ini pertama-tama dengan menciptakan delapan Makhluk di atas langit melalui tempayan yang disebut Saun Sibarrung, yang menurut mitos ajarannya berbunyi: "Berangkatlah sang pencipta ke sebelah barat mengambil sebakul emas dan kembali membawa bakulnya itu dan dimasukkannya kedalam sebuah tempayan yang dinamakan Saun Sibarrung dan kemudian dihembusnya Saun Sibarrung itu lalu terciptalah delapan macam nenek makhluk dari dalamnya dan masing–masing diberi nama:
Setelah Puang Matua menciptakan kedelapan mahluk terseut maka kepada Nenek Manusia yaitu Datu’ La Ukku’ diberikan kepadanya satu aturan atau ketentuan setelah Puang Matua menikahkannya dengan To Tabang Tua yang juga diciptakan oleh Puang Matua. Aturan itulah yang kemudian dinamakan sukaran aluk yang kelak diikuti oleh keturunan Datu' La Ukku' bernama Pong Mula Tau sebagai manusia pertama yang turun dari langit membawa sukaran aluk.[6] Sebelum kata Toraja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Toraja, sebenarnya dahulu negeri tersebut adalah negeri yang berdiri sendiri yang dinamai "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo" yang artinya adalah negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berketuhanan yang merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/ matahari. Nama Lepongan Bulan atau Matari' Allo adalah bersumber dari terbentuknya negeri ini dalam suatu kesatuan tata masyarakat yang terbentuk berdasarkan:
Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di dalamnya mencakup:
Rambu Solo'Upacara Rambu Solo' dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang sangat menonjol dari ajaran Aluk Todolo. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah "hidup untuk mati", di satu sisi ada kebenarannya, apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi namun dari pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa tradisi orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo' mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di dunia dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo' adalah dout des yang artinya "saya memberi agar engkau memberi" yaitu dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah mereka memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar. Dalam ajaran Aluk Todolo, orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum dilakukan upacara untuknya masih dikategorikan sebagai tomakula' (makula' berarti panas, sakit). Ia tetap dilayani oleh keluarganya layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih diberi makan, minum, rokok, sirih dan lain-lain. Menjelang upacara puncak pemakamannya barulah ia dianggap "sungguh-sungguh" telah meninggal dunia. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara ia dibaringkan dengan arah utara-selatan dengan kepala menghadap ke selatan, sebelumnya ia dibaringkan ke arah timur-barat dengan kepala menghadap ke barat. Karena upacara Rambu Solo' adalah bagian dari aluk (lesoan aluk), sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dan stratifikasi sosial masyarakat toraja tersebut dibagi ke dalam empat kelompok berikut:
Dari pembagian kelompok di atas dapat diketahui bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo'. Untuk lebih jelasnya, maka di bawah ini diuraikan secara sepintas urut-urutan pelaksanaan upacara Rambu Solo' khususnya untuk golongan menengah ke atas. Urutan-urutan ini merupakan pola umum upacara Rambu Solo' di seluruh wilayah adat Toraja. Pada prinsipnya upacara Rambu Solo’khususnya yang dirapa'i dapat dibagi dalam dua bagian. Kedua bagian ini ialah upacara yang dilaksanakan di sekitar rumah tongkonan (dikenal dengan istilah dialuk pia) dan yang dilaksanakan di rante atau lapangan upacara. Upacara yang dilaksanakan di Rante tersebut biasa disebut juga dialuk rante yaitu rangkaian acara yang berhubungan dengan pemindahan jenazah dari rumah Tongkonan ke rante. Adapun urutan acaranya secara garis besar adalah:
Simbol upacara Rambu Solo'
Hubungan dengan kepercayaan lainMasyarakat Torayaan yang merupakan penduduk asli Tana Toraja terbuka akan perbedaan. Salah satunya adalah hubungan mereka dengan penduduk yang menganut agama Islam dan Kristen. Kehidupan komunitas dua agama tersebut di Tana Toraja berlangsung serta berjalan dengan tidak adanya ketentuan batasan desa atau wilayah. Pembauran antar penganut agama bisa muncul di dalam satu rumah yang sama. Kekerabatan yang terjalin dalam satu keluarga besar jadi yang jauh lebih utama daripada perbedaan agama. Bukan hal yang sulit untuk menemukan satu tongkonan yang diisi oleh satu keluarga dengan beragam agama dan kepercayaan hingga saat ini. Masyarakat Tana Toraja yang beragama Kristen, Katolik, Islam, dan Aluk Todolo yang merupakan agama atau kepercayaan asli suku Toraja hidup bersama dalam satu rumah Tongkonan. Masing-masing agama saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Khusus agama Islam, penganutnya di Tana Toraja bukan merupakan mayoritas seperti di daerah Indonesia lain pada umumnya. Sebelum Tana Toraja mengalami pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten yaitu Tana Toraja Utara dengan ibu kota Rantepao dan Tana Toraja dengan ibu kota Makale, penganut Islam diperkirakan hanya memiliki jumlah 10% dari seluruh populasi Tana Toraja yang totalnya hampir mencapai 500.000 orang. Selain kaum pendatang yang mayoritas berasal dari Makassar, umat Islam yang ada di Tana Toraja didominasi oleh masyarakat asli Toraja itu sendiri. Terdapat dua versi mengenai sejarah masuknya Islam ke Tana Toraja. Versi pertama menyebutkan, Islam masuk lewat jalur perdagangan di wilayah Madandan, Kecamatan Saluputti, yang berada di sebelah barat Makale. Islam masuk lewat hubungan perdagangan dengan saudagar Bugis, dengan memanfaatkan arah arus Sungai Madandan, yang berfungsi sebagai jalur perdagangan dari wilayah Selatan. Jejak tersebut dapat dilihat dengan ditemukannya sisa bangunan yang beralaskan tanah dengan ukuran 4x6 meter di daerah perbukitan sekitar Desa Madandan. Bangunan dengan kondisi setengah permanen dengan menggunakan bilah bambu atau potongan bambu sebagai dindingnya itu dipercaya menjadi lokasi pertama Masjid Madandan, masjid yang dipercaya oleh masyarakat sekitar menjadi masjid pertama dan tertua di Tana Toraja tersebut menjadi tempat ibadah yaitu salat bagi para saudagar Bugis. Sementara versi kedua menyebutkan, diperkirakan Islam ini masuk ke wilayah Toraja pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Hal ini ditunjukkan dengan adanya bukti berupa sebuah makam tua di Sangalla, yang lokasinya berjarak sekitar 10 km dari Makale sebagai bukti. Di atas nisan makam tersebut terdapat tulisan yang menggunakan huruf Arab. Meskipun tahun pembuatannya tidak dinyatakan secara jelas, makam itu diperkirakan merupakan makam dari saudagar atau pendatang dari Bugis yang meninggal dunia di Tana Toraja pada kurun waktu sekitar 300 tahun lalu. Suku Bugis yang merupakan salah satu suku di Sulawesi Selatan selain Makassar dan Toraja, diperkirakan menjadi pionir atau pelopor kedatangan Islam di wilayah Tana Toraja. Hubungan mereka dengan masyarakat Tana Toraja terjalin lewat transaksi dagang yang diwujudkan dalam bentuk barter. Masyarakat pada saat itu belum mengenal uang sebagai media atau alat tukar. Hasil pertanian terkemuka masyarakat Tana Toraja salah satunya yaitu kopi, ditukar dengan pakaian oleh para pedagang Bugis. Bahkan ketika timbul perang antara pasukan Toraja dan pasukan Bone yang saat itu bertujuan ingin menguasai Tana Toraja di mana insiden tersebut kemudian dikenal dengan peristiwa Untulak Buntunna Bone, tidak hanya bahan pokok, tetapi senjata dan budak juga menjadi alat barter. Banyak warga Toraja yang dijadikan budak pada saat itu. Namun simbiosis mutualisme yang timbul pada saat itu belum begitu membawa perubahan yang berarti. Masyarakat Tana Toraja mayoritas masih berpegang teguh pada adat istiadat, kebiasaan setempat, dan kepercayaan Aluk Todolo yang tentunya merupakan ajaran warisan nenek moyang. Apalagi, hadirnya Islam sebagai salah satu kekuatan politik bagi kerajaan Bugis justru malah dipandang sebagai kekuatan agresor yang berusaha untuk menguasai Tana Toraja sepenuhnya. Hingga pada abad ke-19 ada salah seorang bangsawan Toraja yang akhirnya memilih untuk masuk dan memeluk Islam yang dikenal memiliki gelar Puang Sondong atau Puang Pitu. Penyebaran Islam di Tana Toraja kemudian lebih banyak dilakukan lewat perkawinan. Minimnya proses dakwah dan trauma sejarah terhadap Kerajaan Bone, yang kemudian diasosiasikan sebagai perwujudan Islam agresif, dimanfaatkan betul oleh penjajah Belanda saat itu. Ketika menginjakkan kaki pada tahun 1902, Belanda juga turut membawa kalangan misionaris dengan tujuan melakukan penginjilan Kristen di wilayah Tana Toraja. Sekolah-sekolah didirikan dan guru-guru sekolahnya didatangkan dari Sangihe Talaud dan Ambon. Pada awalnya, proses penginjilan dan penjajahan itu tidak berjalan mulus sebagaimana mestinya. Masyarakat kemudian mengadakan perlawanan, termasuk diantaranya perlawanan bersenjata oleh Pong Tiku atau Ne'Baso, pahlawan nasional yang merupakan orang asli Toraja, untuk menghalau dan mengusir Belanda dari Tana Toraja dalam kurun waktu 1905 hingga 1907. Puncaknya, terjadi pembunuhan terhadap seorang misionaris Belanda bernama A.A. van de Loosdrecht pada 1917. Namun setelah menempuh cara melalui kekuatan senjata, penginjilan itu akhirnya bisa berjalan lebih cepat. Perlawanan perlahan-lahan mulai surut dan akhirnya bisa diredam. Sikap adaptif dari kalangan penginjil terhadap nilai-nilai yang ada dalam Aluk Todolo membuat agama Kristen menjadi lebih mudah diterima masyarakat Toraja. Begitulah gambaran hubungan yang dibina antara masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo dengan agama lainnya yang masih bertahan hingga sekarang. Tongkonan menjadi lambang toleransi antar kepercayaan yang berbeda tersebut di dalam masyarakat Toraja.[10] Referensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Hinduism in Indonesia. |