Momolianisme, Bobolianisme, kepercayaan Kadazandusun adalah salah satu agama asli Nusantara, yakni aliran kepercayaan suku Dayak Kadazandusun di Sabah, Kalimantan, Malaysia. Orang Kadazandusun ialah bumiputera dan meliputi 27 subsuku: Dusun Liwan, Dusun Lotud, Rungus, Tagahas, Tangara dan lainnya yang kebanyakan kini telah beragama Kristen, akan tetapi agama nenek moyang masih bertahan dan penganutnya secara resmi mencakup 0,09% dari penduduk Malaysia.[1][2]
Kaum Bobolian
Nama Momolianisme berasal dari kata Bobohizan (logat Tangara Kadazan) alias Bobolian (logat Dusun Liwan). Bobolian merupakan gelar bagi golongan pendeta wanita yang memimpin upacara persembahan. Bobolian pertama dipercayai diajar oleh jelmaan roh Dewi Huminodun, yaitu Unduk Ngadau. Unduk Ngadau mengajarkan jampi-jampi serapah yang diamalkan sehingga sekarang. Dewi itu juga dikatakan sebagai orang yang pertama kali mengajar Bobolian mantra-mantra. Bobolian ini terdiri dari kaum perempuan, karena berdasarkan cerita rakyat, Sang Dewi selama empat tahun memanggil seseorang untuk diajari di tengah gelapnya malam, akan tetapi cuma seorang wanita berani yang tidak gentar menemui roh.[3]
Kaum Bobolian dikhawatirkan tak mampu mengendalikan roh yang kuat. Dalam upacara yang diadakan, ada kalanya pukulan gong mengiringi upacara yang diadakan untuk memanggil Roh-roh tertentu, seperti roh tempurung kepala sewaktu perayaan Magang. Selepas itu, Bobolian akan mengucapkan mantra serta memainkan kombuongo atau peralatan dalam rangka menyatukan dua alam yang berbeda. Setelah dirasuki oleh roh tersebut Bobolian bercakap-cakap dengan seseorang yang merupakan roh yang dipanggilnya. Ada kalanya roh tersebut menginginkan tumbal (ayam kampung, 10 butir telur rebus, nasi kunyit, dan tapai/lihing).[4][5][6]
Dewa-Dewi
Agama Momolianisme merupakan agama animisme. Penganutnya menyembah dan percaya kepada alam roh (Susukuon) dengan lima macam makhluk halus: Dewa-Dewi (makhluk halus tertinggi); Rusod (roh semua benda hidup kecuali manusia); Koduduwo (roh manusia, berarti “kamu kedua”); Tombiruo (roh orang yang telah meninggal di akhirat Akinabalu, gunung Kinabalu); dan Rogon (roh jahat).[7][8]
Dewa Kinoingan (logat lain: Kinorohingan/Kinoringan) disembah sebagai Tuhan (“Minamangun”) dan merupakan dewa pencipta, selain itu ada roh padi yang dikenal sebagai Bambaazon (roh sumber makanan). Istrinya ialah Dewi Suminundu. Sebelum orang menjamah hewan yang ia buru, mereka akan memotongnya sedikit dan meyerahkannya sebagai pengormatan kepada roh yang memberikannya.
Anak perempuan mereka ialah Dewi Huminodun (berarti “yang dikorbankan”) yang telah mengorbankan dirinya kepada roh bumi sebagai balasan untuk hasil tanaman yang lumayan untuk umat manusia. Suatu ketika, orang Kadazandusun mengalami bencana kelaparan karena tidak ada sumber makanan. Sang Kinoingan merasa kasihan terhadap kesengsaraan kaum Kadazandusun lalu kemudian mengorbankan Huminodun dan jasadnya disemadikan di bumi lalu tumbuhlah tumbuhan padi dan dari situlah kaum Kadazandusun mendapat sumber makanan. Dipercayai jelmaan roh Huminodun hidup kembali setelah tujuh hari sebagai Unduk Ngadau (berarti “gadis yang dinobatkan sinar matahari”) dari dalam Keakanan, setelah tujuh hari dia dikorbankan.
Perayaan
Tadau Kaamatan/Pesta Kaamatan dirayakan sepanjang bulan Mei walaupun perayaan ini hanya pada 30 dan 31 Mei) dan merupakan upacara perayaan khusus untuk menghormati Bambaazon yaitu roh padi. Perayaan ini biasanya diadakan setelah selesai panen padi.[9][6]
Puncak perayaan Kaamatan adalah ajang pemilihan Ratu Kecantikan atau Unduk Ngadau yang diadakan untuk mengenang roh Dewi Huminodun dan pengorbanannya. Kata Unduk Ngadau digunakan untuk melambangkan kecantikan dan keluhuran budi.[10]
Mantra-mantra
Antara mantranya (rinait atau inaait) adalah seperti berikut:
doi kada kati gangang arai
kotunguan ko do pais
otimbaar ko do sadap
odoi kososodop zou do mogiginipi
kosou ku do nokotimung kito do pamakanan do karamaian diti
Nga ino noh maan zou do mamagavau do paai diti
Do ounsikou nodi ka'ka do bambaazon
Do kosuni vagu do toun tiso do kaanu no vagu kotimung kito
om ogumu nodi do pamakanan tokou mantad do paai
maksudnya:
aku megambil pisau ini
untuk di jadikan persembahan
bagi menyucikan makan ini(padi)
semalam aku bermimpi
aku berjumpa dengan engkau(huminodun)dan kita telah makan bersama dalam keramaian itu
sebab itu lah aku memuja semangat padi ini
supaya bersukacitalah semangat padi(bambaazon)
dan tumbuh lagi padi-padi pada tahun hadapan supaya dapatlah kita berkumpul lagi
dan banyaklah lagi makanan kita yang tercipta dari padi
Asal-usul kaum Kadazandusun
Melalui legenda, “Nunuk Ragang” merupakan tempat tinggal pertama suku Kadazandusun (daerah Ranau, Bagian Pantai Barat, Sabah). Di mana nenek moyang mereka telah hidup di hutan secara kolektif dengan mendiami rumah panjang yang mengumpulkan beberapa keluarga (seperti sedikit suku Kadazandusun yang masih hidup bersama antara 150-200 orang) dan belum mengenal padi.
Pada tahun 2004 gerakan “Kadazan-Dusun Cultural Association (KDCA)” telah membangun sebuah tempat peringatan di lokasi kampung pertama menurut legenda.[11]
^ ab"The Last of the Shamans". The Star. 6 June 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-24. Diakses tanggal 18-02-2019.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Patrick, Tracy (30 May 2017). "Book on Way of Life of Kadazans launched". Daily Express.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
Berinai, Judy (2013). Liturgical Inculturation in Anglican Worship in Light of the Spirituality of the Indegenous people of Sabah (dalam bahasa Inggris). Oxford: Oxford Centre for Mission Studies.
Evans, I. H. N. (1953). The Religion of the Tempasuk Dusuns of North Borneo (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press.
Gidah, Mary Ellen (2001). Archetypes in the Cosmogonic Myths of the Australian Aboriginal People and the Kadazandusuns of Sabah (dalam bahasa Inggris). Kota Kinabalu: Penerbit Universiti Malaysia Sabah.
Glyn-Jones, Monica (1953). The Dusun of the Penampang Plains (dalam bahasa Inggris). London: [Colonial Social Science Research Council]. hlm. vi, 126.
Phelan, Peter R. (2001). Head-hunting and Magang ceremony in Sabah (Borneo) (dalam bahasa Inggris). Kota Kinabalu: Natural History Publication. hlm. v, 101. ISBN9838120456.