Homa atau hawana adalah upacara api di dalam agama Hindu Weda yang dilaksanakan pada kesempatan-kesempatan istimewa oleh seorang pedanda, biasanya atas permintaan seorang griasta (tuan rumah). Seorang griasta biasanya menjaga berbagai macam api khusus agar terus menyala di dalam rumahnya, antara lain api untuk memasak dan api untuk berdiang. Itulah sebabnya sesaji yadnya dipersembahkan secara langsung ke dalam kobaran api.[1][2] Kadang-kadang homa disifatkan sebagai "upacara kurban" lantaran adanya tindakan membakar sesaji, tetapi homa lebih tepat disifatkan sebagai "upacara bayar nazar".[1] Api adalah pengantar atau penyampainya, sementara persembahan nazarnya mencakup benda-benda nyata yang menyiratkan makna khusus, misalnya padi-padian, grita, susu, dupa, dan biji-bijian.[1][3]
Homa berakar pada agama Weda,[4] dan sudah sedari dulu diadopsi agama Budha maupun agama Jaina.[1][3] Dari Anak Benua India, homa tersebar ke Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Tenggara.[1] Dewasa ini homa masih menjadi unsur penting di dalam banyak upacara agama Hindu, bahkan masih terus diamalkan dengan beragam tata cara pelaksanaannya di dalam agama Budha, khususnya di Tibet dan Jepang.[4][5] Homa juga masih terus diamalkan di dalam agama Jaina.[4][6]
Homa disebut pula yadnya, kadang-kadang untuk menyifatkan upacara-upacara api yang lebih besar dan dihadiri masyarakat umum. Di dalam agama Budha, homa juga dikenal dengan sebutan yadnyawidana atau goma.[3][7] Pada zaman modern, homa cenderung menjadi upacara bersifat pribadi di sekeliling nyala api yang menyiratkan makna khusus, misalnya seperti yang dilaksanakan pada upacara perkawinan.[8]
Etimologi
Kata Sangsekertahoma (होम) terbentuk dari akar kata hu, yang mengacu kepada "tindakan mencurahkan ke dalam nyala api, mempersembahkan, mengurbankan".[9][10][11]
Sejarah
Tradisi-tradisi homa dapat dijumpai di seluruh Asia, mulai dari Samarkand sampai ke Jepang, dengan rentang sejarah sepanjang 3000 tahun.[4]Homa, dengan beragam tata cara pelaksanaannya di Asia, adalah upacara khidmat mempersembahkan sesaji pangan ke dalam nyala api, dan pada hakikatnya berkaitan dengan tradisi-tradisi agama Weda.[4] Tradisi homa mencerminkan penghormatan terhadap api dan masakan (pākayadnya) yang berkembang di Asia, sementara lembar-lembar SrutiBrahmana di dalam Weda adalah catatan tertua mengenai upacara penghormatan ini.[12]
Homa sanubari, raga sebagai kuil
Jadi suapan pertama seorang insan,
adalah penyulih homa.
Maka saat mempersembahkan sesaji pertama itu,
persembahkanlah kepada Prana, ucaplah swaha,
supaya berkenanlah Prana.
Jika Prana berkenan, berkenanlah mata.
Jika mata berkenan, berkenanlah Surya.
Jika Surya berkenan, berkenanlah swarga.
Yadnyā atau api kurban merupakan unsur khas upacara-upacara śruti perdana.[4] Upacara śrauta adalah suatu bentuk quid pro quo, dalam arti melalui upacara api tersebut orang mempersembahkan sesuatu kepada dewa-dewi dan berharap menerima sesuatu sebagai gantinya.[15][16] Upacara Weda terdiri atas berbagai macam tindakan mengurbankan benda yang dapat dimakan atau diminum,[17] misalnya susu, grita, dadih, beras, jelai, hewan, atau sesuatu yang berharga, kepada dewa-dewi dengan bantuan para pedanda api.[18][19] Tradisi Weda ini terbelah menjadi śrauta (berasaskan śruti) dan smarta (berasaskan smerti).[4]
Menurut Phyllis Granoff, berbagai macam aliran agama Budha maupun Jaina memelihara amalan-amalan upacara homa, dan sastra homa mereka menyerap "eklektisisme ritual" aliran-aliran agama Hindu, kendati dengan beragam tata cara pelaksanaan yang muncul dan berkembang sepanjang zaman madya.[4][6][20] Menurut Musashi Tachikawa, upacara kurban agama Weda bergaya homa diserap ke dalam agama Budha Mahayana, malah beberapa aliran agama Buddha di Tibet, Tiongkok, dan Jepang melanggengkan pelaksanaan upacara homa.[5][21]
Agama Hindu
Asas-asas upacara homa lumrah didapati pada berbagai upacara sangaskara (upacara keberanjakan) di dalam berbagai aliran agama Hindu.[22][23][24] Upacara api agama Weda, yang berada di jantung berbagai macam variasi pelaksanaan upacara homa dalam agama Hindu, adalah suatu struktur upacara yang "simetris secara bilateral".[25] Upacara ini kerap memadukan api dengan air, kurban bakaran dan soma, api sebagai hakikat jantan, tanah dan air sebagai hakikat betina, api berkobar vertikal mengarah ke atas, sementara perapian, persembahan, dari cairan bersifat horisontal.[25] Perapian atau mezbah upacara homa itu sendiri dibuat simetris, seringkali dibentuk persegi, salah satu asas rancang-bangun yang juga menjadi unsur pokok bangunan-bangunan kuil dan mandapa di dalam agama-agama India.[26] Urut-urutan upacara homa dari awal hingga akhir pun ditata menurut asas-asas simetri.[25][25]
Mezbah api (wedi, homakunda, atau hawanakunda) pada umumnya terbuat dari bata atau batu, dapat pula berupa sebuah wadah tembaga, dan hampir selalu dibuat untuk dipakai dalam satu kesempatan khusus saja, karena langsung dibongkar seusai upacara. Mezbah api ini selalu dibuat berbentuk persegi. Meskipun kadang-kadang dibuat dengan ukuran yang sangat besar untuk keperluan upacara-upacara besar yang dihadiri khalayak ramai, wedi lumrah dibuat sekurang-kurangnya berukuran 1 × 1 kaki persegi dan jarang melebihi 3 × 3 kaki persegi.
Sebagai bagian dari ruang upacara homa, perapian bersifat sementara dan dapat dipindah-pindah.[1] Langkah pertama upacara homa adalah membuat sanggar upacara (mandapa), dan langkah terakhir adalah membongkarnya.[1] Perapian dan mandapa disucikan pedanda dengan pembacaan mantra, sehingga tercipta suatu ruang suci sebagai tempat pelaksanaan upacara. Diiringi lantunan gita puja, perapian dinyalakan dan sesaji dikumpulkan. Pemberi sesaji masuk ke sanggar upacara, bersuci dengan air, lalu melibatkan diri dalam upacara. Selanjutnya dewa-dewi diundang hadir, doa-doa didaraskan, sangka ditiup. Diiringi lantunan gita puja, pemberi sesaji mencurahkan sesaji dan persembahan curah ke dalam api setiap kali kata swaha diucapkan.[27] Sesaji dan persembahan biasanya terdiri atas grita, susu, dadih, gula, kuma-kuma, padi-padian, kelapa, air wangi, dupa, biji-bijian, bunga tabur, dan herba.[28][29]
Perapian dan upacara homa adalah representasi simbolis kosmologi Hindu, pranala yang menautkan alam nyata dengan alam dewata dan makhluk hidup.[10] Upacara homa juga adalah suatu pertukaran simetris, "quid pro quo", karena manusia mempersembahkan sesuatu kepada dewa-dewi lewat perantaraan api, dan sebagai gantinya mengharapkan balasan dari dewa-dewi berupa anugerah kekuatan dan kewibawaan.[10][16]
Agama Budha
Para biksu Syin Gon mengamalkan upacara homa, kadang-kadang diringi tabuhan genderang dan tiupan horagai (sangka).[30][31]
Upacara homa (護摩, goma) api suci dapat dijumpai di dalam beberapa aliran agama Budha di Tibet, Tiongkok, dan Jepang.[5][21] Sumbernya adalah upacara agama Weda, tetapi dewa-dewinya adalah dewa-dewi agama Budha, dan pelaksananya adalah para biksu kawakan.[5][32] Di dalam pustaka-pustaka agama Budha yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa semisal Kutadantasuta, Diganikaya, dan Sutanipata, yang diperkirakan berasal dari rentang waktu abad ke-6 sampai abad ke-8, amalan homa agama Weda dinisbatkan kepada anjuran Sang Budha dengan klaim bahwa Sang Budha jualah yang membabarkan Weda dalam kehidupan-kehidupannya yang silam.[32]
Di dalam beberapa tradisi homa agama Budha, misalnya di Jepang, biasanya dewa utama yang diseru adalah Acalanāta (Fudō Myōō 不動明王, secara harfiah berarti raja bijak tak tergoyahkan). Acalanāta adalah nama lain bagi Dewa Rudra dalam tradisi Weda, bagi Wajrapani atau Cakdor dalam tradisi-tradisi Tibet, dan bagi Sotsyirwani di Siberia.[33][34] Prosedur upacara homa Acala mengikuti protokol-protokol Weda yang terdapat di dalam agama Hindu, yakni melibatkan pencurahan sesaji ke dalam kobaran api oleh pemimpin ibadat yang merapal mantra-mantra sebagai bagian inti upacara, dan peserta ibadat bertepuk tangan seusai pelantunan tiap-tiap rangkaian dari sekian banyak gita puja.[35] Berbagi versi lain dari homa (goma) agama Weda juga didapati di dalam agama Budha aliran Ten Dai dan Syin Gon maupun di dalam agama Syugendo dan agama Syinto di Jepang.[36][37][38]
Di kebanyakan wihara Syin Gon, upacara ini dilaksanakan setiap hari pada waktu pagi atau sore, dan semua acarya diwajibkan mempelajarinya pada saat menjadi biksu.[39] Sasta-sastra asli upacara goma dari zaman madya ditulis dengan aksara Sidang dan aksara Tionghoa, ditambahi aksara katakana untuk membantu pelafalan para biksu.[40] Upacara-upacara berskala besar kerap melibatkan banyak biksu, parita, tabuhan taiko, dan tiupan horagai (sangka) di sekeliling mandala dengan api sebagai pusat upacara.[30][31] Upacara homa (sbyin sreg) kerap diselenggarakan di lingkungan agama Buddha maupun agama Bön di Tibet, dan dikaitkan dengan bermacam-macam tokoh Budha Mahayana maupun dewa-dewi Tantrayana.[41]
Agama Jaina
Upacara homa juga terdapat di dalam agama Jaina.[4][6] Upacara Gantakarna adalah salah satu contoh upacara kurban homa di dalam agama Jaina, yang berkembang sedikit demi sedikit selama berabad-abad. Di dalam upacara Gantakarna, aneka rupa sesaji dibakar bersama-sama ramuan pancamerta (susu, dadih, gula, kuma-kuma, grita) dan berbagai benda lain yang menyiratkan arti tertentu, misalnya kelapa, dupa, biji-bijian, dan herba.[42][43] Mantra-mantra yang dirapal umat Jaina mencakup mantra-mantra dalam bahasa Sangsekerta, dan Gantakarna Mantra Stotra, pustaka aliran Swetambara dari abad ke-16, adalah sebuah pustaka berbahasa Sangsekerta yang menjabarkan upacara homa bagi Gantakarna Mahawira yang dilaksanakan salah satu aliran agama Jaina.[42][44]
Pustaka Adipurana bagian 47.348 meriwayatkan pelaksanaan upacara api Weda untuk mengenang Begawan Risaba.[45] Sebagaimana upacara perkawinan Hindu, upacara perkawinan tradisional Jaina pun merupakan upacara kurban api khas agama Weda.[43][46]