Acala atau Achala (Sanskerta: अचलcode: sa is deprecated , "Yang Tak Tergoyahkan"), juga dikenal sebagai Acalanātha (अचलनाथ, "Penguasa yang Tak Tergoyahkan") atau Āryācalanātha (आर्याचलनाथ, "Penguasa Mulia yang Tak Tergoyahkan"), adalah dewa pemarah dan dharmapala (pelindung Dharma) yang menonjol dalam BuddhismeVajrayana dan Buddhisme Asia Timur.[1]
Awalnya merupakan dewa kecil yang digambarkan sebagai utusan atau pengikut BuddhaVairocana, Acala kemudian menjadi terkenal sebagai objek pemujaan atas dirinya sendiri sebagai penghilang rintangan dan penghancur kejahatan, yang akhirnya terlihat sebagai manifestasi murka dari Vairocana, Buddha Akṣobhya, atau Bodhisattva Mañjuśrī. Dalam teks-teks selanjutnya, ia juga disebut Caṇḍaroṣaṇa (चण्डरोषण, "Yang Kasar dan Murka", IPA:[t͜ɕɐɳɖɐˈroːʂɐɳɐ]) atau Caṇḍamahāroṣaṇa (चण्डमहारोषण, "Yang Kasar dan Murka Besar", IPA:[t͜ɕɐɳɖɐmɐɦaːˈroːʂɐɳɐ]), nama-nama yang lebih dikenalnya di negara-negara seperti Nepal dan Tibet.[2][3][4]
Dalam Buddhisme esoterikAsia Timur, Acala digolongkan di antara Raja-Raja Kebijaksanaan (Vidyārāja) dan merupakan yang terkemuka di antara lima Raja Kebijaksanaan Alam Rahim. Dengan demikian, ia menempati posisi hierarki penting dalam Mandala Dua Alam. Di Tiongkok, ia dikenal sebagai Bùdòng Míngwáng (不動明王, "Raja Kebijaksanaan yang Tak Tergoyahkan", terjemahan bahasa Tionghoa dari bahasa Sansekerta Acala(nātha) Vidyārāja[5]), sementara di Jepang, ia disebut Fudō Myōō, bacaan on'yomi dari nama Tiongkoknya.[6] Acala (sebagai Fudō) adalah salah satu dewa yang sangat penting dan terkenal dalam Buddhisme Jepang, yang secara khusus dihormati dalam sekte Shingon, Tendai, Zen, dan Nichiren, serta dalam Shugendō.
Acala telah disembah sepanjang Abad Pertengahan dan hingga zaman modern di Nepal, Tibet, Tiongkok, dan Jepang, tempat representasi patung dan gambarnya paling sering ditemukan.[1][3]