Sarana persembahan curahan dapat berwujud berbagai macam benda, yang paling lazim adalah anggur atau minuman keras jenis lain, minyak zaitun, madu, dan minyak samin di India. Wadah-wadah yang dipakai dalam upacara persembahan curahan, antara lain patera, sering kali dibuat lebih istimewa bentuknya, sehingga terbedakan dari wadah-wadah biasa untuk keperluan sehari-hari. Persembahan curahan dapat dituangkan ke atas benda yang memiliki signifikansi keagamaan, misalnya mezbah, dan dapat pula ditumpahkan ke tanah.
Di Asia Timur, pencurahan sesaji beras ke air mengalir melambangkan pelepasan dari karma dan kekuatan jahat.
Amalan agama
Sejarah
Sumer Kuno
Bagi bangsa Sumer, akhirat adalah relung gelap dan suram nun jauh di dasar bumi.[1][2] Alam gersang ini disebut Kur.[1][3]:114[4]:184 Hanya debu yang menjadi santapan arwah-arwah di dalamnya.[3]:58 Oleh karena itu sanak keluarga yang masih hidup perlu menuang persembahan curahan ke dalam kubur si mati melalui sebatang pipa lempung, agar si mati dapat melepas dahaga.[3]:58
Mesir Kuno
Persembahan curahan adalah amalan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Mesir Kuno. Bangsa Mesir Kuno mempersembahkan sesaji minuman untuk memuliakan dan menenteramkan dewa-dewi, arwah leluhur, sesama manusia yang hadir maupun yang jauh, dan lingkungan hidup mereka. Persembahan curahan diduga mula-mula muncul di daerah hulu Lembah Sungai Nil, kemudian menyebar ke tempat-tempat lain di Afrika maupun ke seluruh dunia.[5][6] Menurut Ayi Kwei Armah, “legenda ini menjelaskan kemunculan adat penenteraman yang dijumpai di seluruh pelosok benua Afrika, yaitu persembahan curahan, yakni pencurahan alkohol atau minuman-minuman jenis lain sebagai persembahan kepada arwah nenek moyang dan dewa-dewi.”[7]
Persembahan curahan untuk berhala ditabukan, selaras dengan larangan Taurat terhadap tindakan menyembah dan mempersembahkan kurban kepada berhala secara umum.
Kristen Purba
Di dalam agama Kristen, persembahan curahan disebutkan di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru dan diamalkan Yesus maupun tokoh-tokoh Alkitab lainnya.[9]
Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: ”Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.
Persembahan curahan biasanya dijiwai semangat perdamaian. Istilah Yunani untuk persembahan curahan, σπονδή (sponde), lambat laun menjadi sinonim dengan "perjanjian damai".[10]
Yunani Kuno
Persembahan curahan (bahasa Yunani: σπονδή, spondȇ) adalah unsur pokok dan penting dari agama bangsa Yunani Kuno. Persembahan curahan merupakan salah satu amalan agama yang paling sederhana dan paling umum dilakukan.[11] Bagi masyarakat Yunani Kuno, persembahan curahan adalah salah satu unsur pokok pengamalan agama yang mencerminkan ketakwaan seseorang. Persembahan curahan sudah diamalkan sejak zaman Perunggu bahkan sejak zaman Prasejarah Yunani.[12] Persembahan curahan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Orang-orang Yunani yang bertakwa mempersembahkannya setiap hari pada waktu pagi dan senja, maupun sebelum bersantap.[13] Sarana persembahan sering kali berwujud anggur yang dicampur air, tetapi dapat pula berwujud anggur murni, madu, minyak, air, dan susu.[14]
Bangsa Yunani Kuno lazimnya mempersembahkan kurban curahan melalui upacara penumpahan anggur secara khidmat dari dalam sebuah tempayan atau mangkuk yang dipegang dengan tangan. Upacara yang paling lazim adalah menuang cairan dari oinokhoe (tempayan anggur) ke dalam fiale, sejenis mangkuk datar yang dibuat khusus untuk upacara ini. Sesudah anggur di dalam fiale dicurahkan, sisa isi oinokhoe diminum pemimpin upacara.[15] Persembahan curahan ditumpahkan kapan saja orang hendak minum anggur. Amalan semacam ini sudah tercatat pada masa penulisan wiracarita-wiracarita Homeros. Tata krama simposion mewajibkan pelaksanaan upacara persembahan curahan kepada Zeus beserta dewa-dewi Olimpos saat krater anggur pertama disajikan, kepada para pahlawan saat krater kedua disajikan, dan kepada Zeus yang memurnakan (bahasa Yunani Kuno: Ζεύς Tέλειος, Zeús Téleyos) sewaktu menyajikan krater ketiga, yang biasanya adalah krater terakhir. Alternatifnya adalah menumpahkan persembahan curahan dari krater pertama kepada agatodaimon (roh baik) dan dari krater ketiga kepada Hermes. Para hadirin simposion juga boleh secara pribadi menyeru dan menumpahkan persembahan curahan kepada dewa tertentu seturut keinginannya.
Persembahan curahan pada umumnya dipersembahkan sambil melisankan doa.[16] Sikap tubuh bangsa Yunani pada saat berdoa adalah berdiri, baik sambil mengangkat kedua belah tangan maupun sambil menuang persembahan curahan dari fiale di tangan kanan yang direntangkan.[17]
Bilamana mempersembahkan korban sembelihan, anggur akan dituangkan ke atas hewan kurban sebagai bagian dari upacara penyembelihan dan pengolahannya, kemudian juga ke atas abu dan nyala api pembakarannya.[18] Penggambaran upacara semacam ini lazim dijumpai pada karya-karya seni rupa Yunani, yang juga kerap menampilkan gambar pemberi persembahan atau dewa-dewi dalam sikap memegang fiale.[19]
Kata kerja Yunani σπένδω (spéndō), yang berarti "menuang persembahan curahan", dan dapat pula berarti "mencapai mufakat", berasal dari akar kata bahasa India-Eropa*spend-, yang berarti "mempersembahkan, melaksanakan upacara, atau melibatkan diri lewat suatu upacara". Kata bendanya adalah spondȇ (jamak: spondaí), artinya "persembahan curahan." Di dalam bentuk kalimat madya (bukan aktif maupun pasif), kata kerjanya bermakna "masuk ke dalam suatu perjanjian", maksudnya para dewata diseru untuk menjamin suatu tindakan.[20] Jika upacara persembahan darah dilaksanakan untuk mengawali perang, maka spondaí menandai berakhirnya permusuhan, dan oleh karena itu istilah spondaí sering kali digunakan dengan makna "gencatan senjata" atau "perjanjian damai". Rumusan kalimat "kami, polis, telah menuang persembahan curahan" adalah suatu maklumat damai, yang juga dimaklumkan bilamana negara-negara kota berkumpul dalam penyelenggaraan kejuaraan-kejuaraan se-Yunani, kejuaraan Olimpia, maupun upacara-upacara pemujaan rahasia di Eleusis. Dalam hal ini, spondȇ disifatkan "tidak berdarah, lemah lembut, tidak terbatalkan, dan tidak dapat diganggu gugat".[19]
Persembahan curahan yang ditumpahkan ke tanah ditujukan kepada arwah-arwah dan dewa-dewa pratala. Di dalam wiracarita Odiseya, bagian Kitab Kematian, Odiseus dikisahkan menggali sebuah liang sesaji, kemudian menuang madu, anggur, dan air berturut-turut ke sekeliling liang itu. Untuk upacara persembahan curahan yang disebut khoē (bahasa Yunani: χεῦμα, kheuma, artinya "yang dicurahkan"; dari akar kata bahasa India-Eropa *gheu-),[21] persembahan curahan ditumpahkan dari sebuah pasu ke tanah sebagai persembahan kepada dewa-dewa pratala, yang juga dibenarkan menerima spondai.[22] Para pahlawan, yakni insan-insan fana yang didewakan, dibenarkan menerima persembahan curahan darah jika semasa hidupnya pernah berjuang menumpahkan darah di medan perang, misalnya Brasidas, pahlawan Sparta.[23] Persembahan curahan yang ditumpahkan kepada arwah dalam upacara di kuburan juga mencakup susu dan madu.[24]
Pertama-tama, air segar ditimba dari sendang mengalir; belanga-belanga ditegakkan di tempat suci, dikalungi bulu domba, dan diisi air serta madu sampai penuh; sambil menghadap ke timur, pemberi persembahan mendoyongkan belanga ke arah barat; ranting-ranting zaitun di dalam genggamannya sekarang ia tebar ke tanah yang basah diresapi persembahan curahan; lalu sembari berdoa di dalam hati ia tinggalkan tempat itu, tanpa menoleh-noleh ke belakang.[25]
Heron dari Aleksandria menjabarkan cara kerja sejenis mesin yang mengautomasi proses penumpahan persembahan curahan dengan memanfaatkan daya panas dari api mezbah untuk memompakan minyak sampai tercurah dari cawan-cawan yang dipegang dua buah arca.
Romawi Kuno
Istilah Latin untuk persembahan curahan, libatio, sesungguhnya berarti "tindakan menuang", dari kata kerja libare yang berarti "mencicip, mengecap, menuang, menumpahkan persembahan curahan" (dari akar kata bahasa India-Eropa *leib-, artinya "menuang, menumpahkan persembahan curahan").[26] Di dalam agama bangsa Romawi Kuno, persembahan curahan adalah laku ibadat dalam bentuk mempersembahkan sesaji cair, yang sering kali berupa anggur murni dan minyak wangi.[27]Liber Pater (Bapa Liber), dewa Romawi yang kemudian hari disamakan dengan dewa Yunani Dionisos atau Bakhus, adalah dewa urusan libamina, yakni "persembahan curahan," dan liba, yakni kue-kue sesaji yang disiram madu.[28]
Di dalam seni rupa Romawi, upacara persembahan curahan digambarkan terlaksana di atas sebuah mensa (meja sesaji), atau tripus. Persembahan curahan adalah sesaji yang paling sederhana, dan dengan sendirinya sudah memadai sebagai suatu persembahan.[29] Upacara pengantar (bahasa Latin: praefatio) persembahan korban sembelihan mencakup pencurahan sesaji kemenyan dan anggur ke dalam nyala api mezbah.[30] Baik kaisar maupun dewata kerap digambarkan sedang menumpahkan persembahan curahan, teristimewa pada uang-uang logam.[31] Gambar-gambar tindakan mempersembahkan persembahan curahan lazimnya mengisyaratkan pietas, yakni kadar ketaatan beragama atau ketakwaan seseorang.[32]
Persembahan curahan merupakan salah satu unsur upacara duka bangsa Romawi, dan mungkin saja merupakan satu-satunya jenis sesaji yang dipersembahkan dalam upacara-upacara duka yang sederhana.[33] Persembahan curahan ditumpahkan dalam upacara-upacara penyantunan arwah (baca artikel Parentalia dan Caristia). Beberapa makam diperlengkapi dengan pipa-pipa untuk menyalurkan sesaji kepada arwah di pratala.[34]
Susu tidak lazim dijadikan sarana persembahan curahan di Roma, tetapi secara teratur dipersembahkan kepada sejumlah kecil dewata, khususnya dewa-dewa purbakala[35] atau dewa-dewa yang berperlengkapan alami susu, misalnya Rumina, dewi persalinan dan pengasuhan anak yang menentukan kelancaran air susu ibu, dan Kunina, batari penunggu buaian bayi.[36] Susu juga dipersembahkan kepada Merkurius Sobrius (Merkurius yang "tidak mabuk"). Pemujaan terhadap Dewa Merkurius Sobrius diketahui marak dilakukan di daerah Afrika, dan mungkin dibawa masuk ke kota Roma oleh komunitas perantau Afrika.[37]
Afrika
Persembahan curahan adalah amalan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Mesir Kuno. Bangsa Mesir Kuno mempersembahkan sesaji minuman untuk memuliakan dan menenteramkan dewa-dewi, arwah leluhur, sesama manusia yang hadir maupun yang jauh, dan lingkungan hidup mereka. Persembahan curahan diduga mula-mula muncul di daerah hulu Lembah Sungai Nil, kemudian menyebar ke tempat-tempat lain di Afrika maupun ke seluruh dunia.[5][6] Menurut Ayi Kwei Armah, “legenda ini menjelaskan kemunculan adat penenteraman yang dijumpai di seluruh pelosok benua Afrika, yaitu persembahan curahan, yakni pencurahan alkohol atau minuman-minuman jenis lain sebagai persembahan kepada arwah nenek moyang dan dewa-dewi.”[7]
Di dalam kebudayaan Afrika, khususnya agama-agama adat di Afrika, upacara penuangan persembahan curahan adalah salah satu unsur pokok adat-istiadat seremonial dan merupakan salah satu cara meluhurkan arwah nenek moyang. Arwah nenek moyang tidak sekadar diluhurkan, tetapi juga diundang untuk melibatkan diri di dalam segala macam kegiatan masyarakat (sebagaimana yang juga diperbuat terhadap dewa-dewi dan Allah). Doa dinaikkan dalam bentuk persembahan curahan, menyeru arwah-arwah nenek moyang agar hadir. Upacara semacam ini pada umumnya dipimpin seorang sesepuh. Meskipun air dapat dijadikan sarana, persembahan curahan yang lazim dipersembahkan adalah sejenis minuman keras tradisional (misalnya tuak), dan upacara persembahan curahan dilaksanakan seraya menyampaikan undangan (dan seruan) kepada arwah-arwah nenek moyang, dewa-dewi, dan Allah. Di daerah Volta, Ghana, air bercampur tepung jagung juga dijadikan sarana persembahan curahan.
Persembahan curahan juga lazim dikenal sebagai penyela pertunjukan Agbekor, tarian ritual yang digelar berbagai kelompok budaya di Afrika Barat. Persembahan curahan juga ditumpahkan saat melangsungkan upacara adat perkawinan, pada waktu kelahiran anak, dalam upacara perkabungan, dalam pesta-pesta adat seperti Asafotu dan Homowo yang digelar masyarakat Ga Adangbe di Ghana dan Togo, dan dalam upacara penobatan raja, ratu, maupun kepala suku.
Amerika
Sebelum menenggak minuman, orang Quechua dan Aymara di daerah pegunungan Andes Amerika Selatan biasanya menumpahkan sedikit isi cawan ke tanah sebagai persembahan kepada Pachamama atau Ibu Pertiwi. Tindakan ini dilakukan bilamana mereka hendak menenggak Chicha, minuman keras khas daerah tersebut. Upacara persembahan curahan pada umumnya disebut challa dan kerap dilaksanakan, biasanya sebelum bersantap dan dalam perayaan-perayaan. Pada abad ke-16, padri Fransiskan Bernardino de Sahagún mencatat adat-istiadat masyarakat Aztec seputar urusan minum octli:
Persembahan curahan ditumpahkan sebagai berikut: Bilamana hendak minum octli, bilamana hendak mencicipi octli baru, bilamana seseorang baru selesai meramu octli...ia memanggil orang-orang. Ia menghidangkannya di dalam sebuah bejana di depan pediangan, bersama cawan-cawan kecil untuk dipakai minum. Sebelum minum-minum dimulai, ia mencedok octli dengan sebuah cawan kecil lalu mencurahkannya ke tanah di depan pediangan; octli dicurahkannya ke empat arah. Sesudah octli dicurahkan barulah orang mulai minum.[38]
Asia
Agama Buddha di Birma
Umat Buddha di Birma mengenal upacara dana air yang disebut yay zet cha (ရေစက်ချ), yakni tindakan menuang air secara khidmat sedikit demi sedikit dari bejana ke dalam sebuah wadah sebagai penutup sebagian besar rangkaian upacara agama Budha, termasuk perayaan-perayaan dana, shinbyu, dan pesta-pesta. Upacara dana air dilaksanakan demi beroleh pahala bersama-sama segala makhluk di 31 alam.[39] Upacara ini terdiri atas tiga unsur utama, yaitu pernyataan keimanan, pencurahan air, dan berbagi pahala.[40] Seiring penuangan air, hadirin mendaraskan pernyataan keimanan yang disebut hsu taung imaya dhammanu (ဆုတောင်း ဣမာယ ဓမ္မာနု), dipimpin para biksu.[41]
Sesudah pencurahan air, orang yang berdana (disebut အမျှဝေ, ahmya wei) membagi-bagikan pahala dengan cara tiga kali melisankan kalimat berikut ini:[40]
(Dengar, dengarlah semua), moga-moga segala makhluk beroleh pahala dari amal kebajikan kami (Kya kya thahmya), ahmya ahmya ahmya yu daw mu gya ba gon law ((ကြားကြားသမျှ) အမျှ အမျှ အမျှ ယူတော်မူကြပါ ကုန်လော)
Ucapan tersebut diamini seluruh hadirin secara serentak dengan tiga kali melisankan kata thadu (သာဓု, sadhu), artinya "semoga demikian", sama seperti ucapan amin di dalam agama Kristen. Sesudah itu, air yang didanakan dicurahkan ke tanah agar kembali kepada Wasudara, dewi bumi yang diseru sebagai saksi amal kebajikan tersebut.[41]
Sebelum zaman penjajahan, upacara dana air juga digelar dalam acara penobatan raja-raja Birma, sebagai bagian dari rangkaian tata cara yang termaktub di dalam Raza Thewaka Dipani Kyan, karya tulis dari tahun 1849 yang merangkum berbagai tindakan terpuji raja-raja Birma.[42][43]
Meskipun persembahan air kepada Wasudara mungkin berasal dari kepercayaan bangsa Birma sebelum masuknya agama Budha, upacara ini diyakini tercipta atas prakarsa Raja Bimbisara, yang menuang persembahan air demi beroleh pahala bagi para leluhurnya yang sudah menjadi preta (arwah kelaparan).[44][45][46]
Upacara ini juga dikenal umat Budha di Muangthai dan Laos, dinamakan kruat nam (กรวดน้ำ) di Muangthai dan yaat nam di Laos, dan digelar pada akhir upacara berbagi pahala.[47]
Agama Hindu
Dalam agama Hindu, persembahan curahan adalah bagian dari upacara tarpana, dan juga digelar dalam perayaan Pitrepaksa (paruh pitarah) pada paruh-gelap bulan Badrapada (September–Oktober) menurut penanggalan Hindu.[48]
Di India dan Nepal, pratima (arca maupun lambang) Dewa Siwa (juga Dewa Wisnu dan dewa-dewi lain) diabiseka (dimandikan secara khidmat) dengan air oleh umat Hindu di mandira-mandira yang mereka kunjungi. Pada kesempatan-kesempatan istimewa, murti diabiseka dengan air, susu, dadih masam, minyak samin, madu, dan gula pasir.
Tiongkok
Dalam adat-istiadat orang Tionghoa, arak beras atau teh ditumpahkan di depan meja sembahyang atau batu nisan sebagai sesaji kepada dewa-dewi atau untuk meluhurkan arwah. Cawan berisi sesaji minuman dipegang dengan kedua belah tangan, kemudian dicurahkan melintang dari kanan ke kiri. Minuman biasanya terlebih dahulu disajikan di atas meja sembahyang sebelum ditumpahkan. Dalam upacara-upacara yang lebih rumit untuk memuja dewa-dewi, persembahan curahan dapat pula ditumpahkan ke dalam nyala api pembakaran sesaji kertas, sementara untuk meluhurkan arwah, arak hanya ditumpahkan ke tanah.
Jepang
Dalam agama Shinto, baik persembahan curahan maupun minuman yang dipersembahkan disebut miki (神酒), artinya "minuman dewata". Minuman yang biasanya digunakan dalam berbagai upacara di kuil-kuil Shinto adalah sake, tetapi sesaji minuman di sanggah-sanggah rumah tangga boleh diganti dengan air segar yang dapat diganti setiap pagi. Sesaji minuman dihidangkan di dalam cawan polos tanpa hiasan yang terbuat dari keramik atau logam.
Perdukunan Siberia
Perdukunan masyarakat Siberia menampakkan ciri-ciri umum amalan perdukunan yang sangat beragam.[49] Di dalam beberapa kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar Pegunungan Altai, tambur baru seorang dukun terlebih dahulu harus diupacarai secara khusus. Tindakan ini dianggap "menghidupkan tambur". Pohon dan rusa yang telah mengorbankan kayu dan kulitnya untuk diolah menjadi tambur baru tersebut menceritakan seluruh riwayat hidup mereka dan berjanji akan melayani si dukun. Upacara menghidupkan tambur adalah suatu upacara persembahan curahan. Bir dituang ke atas selaput maupun badan tambur. Kedua benda itu sekonyong-konyong "bernyawa" dan berkata-kata melalui mulut si dukun atas nama pohon dan rusa. Di kalangan masyarat Tubalar, si dukun meniru bunyi maupun tindak-tanduk hewan tersebut.[50]
Kebiasaan-kebiasaan modern
Orang Kuba biasa menumpahkan sedikit rum satu atau dua kali dari gelas yang dipegangnya sambil berkata para los santos (untuk para aulia), sama seperti yang diperbuat orang Brasil bilamana hendak menenggak cachaça. Orang Brasil biasa menumpahkan sedikit mimumannya sambil berucap para o santo atau para o santinho. Kebiasaan ini mirip dengan amalan orang Bisaya di Mindanao, Filipina, yang biasanya menumpahkan rum secangkir penuh saat botol baru dibuka sambil berkata "para sa yawa" (untuk iblis).[51]
Menumpahkan vodka ke atas kuburan sudah lama menjadi kebiasaan masyarakat Rusia dan negeri-negeri tetangganya. Kebiasaan ini mungkin sekali berkaitan dengan adat dziady (memanggil arwah). Di dalam budaya masyarakat Georgia yang sangat mengistimewakan minuman anggur, orang lazim menumpahkan segelas anggur ke atas kuburan, khususnya sekitar hari raya Paskah.
Di Amerika Serikat, kadang-kadang sesaji curah dipersembahkan atas nama orang yang sudah wafat dalam berbagai kesempatan, biasanya dalam acara minum-minum santai bersama handai tolan. Ada pula tradisi menumpahkan sedikit arak kecambah dari botol ukuran besar sebelum diminum sebagai penghormatan kepada orang-orang terdekat yang sudah wafat. Amalan ini dikaitkan secara khusus dengan para penyanyi rapAmerika keturunan Afrika, dan disebut "tipping to my homies" (bagi sedikit buat sobat)[52] atau "pouring one out" (tuang seteguk).[53] Kebiasaan ini ditampilkan di dalam film-film, misalnya Boyz n the Hood, dan diungkapkan dalam berbagai lirik lagu, misalnya lagu Gangsta Lean (This Is For My Homies) dari grup musik DRS (lirik "I tip my 40 to your memory") yang dirilis tahun 1993, dan kadang-kadang disertai ungkapan-ungkapan ritual seperti "one for me, and one for my homies" (seteguk untukku, seteguk untuk sobatku), demikian pula dengan lagu Pour Out a Little Liquor dari penyanyi 2Pac yang dirilis tahun 1994. Amalan ini diparodikan di dalam film Austin Powers: The Spy Who Shagged Me yang dirilis tahun 1999.[54]
^ abcBlack, Jeremy; Green, Anthony (1992), Gods, Demons and Symbols of Ancient Mesopotamia: An Illustrated Dictionary, The British Museum Press, ISBN0-7141-1705-6
^ abJames, George G. M. (1954) Stolen Legacy, New York: Philosophical Library
^ abArmah, Ayi Kwei (2006) The Eloquence of the Scribes: a memoir on the sources and resources of African literature. Popenguine, Senegal: Per Ankh, hlm. 207
^Louise Bruit Zaidman dan Pauline Schmitt Pantel, Religion in the Ancient Greek City, diterjemahkan oleh Paul Cartledge (Cambridge University Press, 1992, 2002, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Prancis pada tahun 1989), hlm. 28.
^Walter Burkert, Greek Religion (Harvard University Press, 1985, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1977), hlmn. 70, 73.
^Hesiod, Works and Days 724–726; Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 39.
^Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 40; Burkert, Greek Religion, hlmn. 72–73.
^Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 40.
^William D. Furley, "Prayers and Hymns," dalam A Companion to Greek Religion (Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 127; Jan N. Bremmer, "Greek Normative Animal Sacrifice," hlm. 138 dalam jilid yang sama.
^Zaidman dan Pantel, Religion in the Ancient Greek City, hlm. 36; Burkert, Greek Religion, hlm. 71.
^D.Q. Adams dan J.P. Mallory, lema "Libation," dalam Encyclopedia of Indo-European Culture (Taylor & Francis, 1997), hlm. 351. Dari akar kata yang sama diturunkan kata kerja Latin spondeo, yang berarti "janji, kaul."
^D.Q. Adams dan J.P. Mallory, lema "Libation," dalam Encyclopedia of Indo-European Culture (Taylor & Francis, 1997), hlm. 351.
^John Scheid, "Sacrifices for Gods and Ancestors," dalam A Companion to Roman Religion (Blackwell, 2007), hlm. 269.
^Isidorus dari Sevilla, Etymologies 6.19.32; Adams dan Mallory, Encyclopedia of Indo-European Culture, hlm. 351; . Robert Turcan, The Gods of Ancient Rome (Routledge, 2001; pertama kali diterbitkan dalam bahasa Prancis pada tahun 1998), hlm. 66.
^Katja Moede, "Reliefs, Public and Private," dalam A Companion to Roman Religion, hlm. 165, 168.
^Moede, "Reliefs, Public and Private," hlmn. 165, 168; Nicole Belayche, "Religious Actors in Daily Life: Practices and Related Beliefs," dalam A Companion to Roman Religion, hlm. 280.
^Jonathan Williams, "Religion and Roman Coins," dalam A Companion to Roman Religion, hlmn. 153–154.
^Scheid, "Sacrifices for Gods and Ancestors," hlm. 265.
^Scheid, "Sacrifices for Gods and Ancestors," hlmn. 270–271.
^Nicola Denzey Lewis, lema "Catacombs," The Oxford Encyclopedia of Ancient Greece and Rome (Oxford University Press, 2010), jld. 1, hlm. 58; John R. Clarke, Art in the Lives of Ordinary Romans: Visual Representation and Non-elite Viewers in Italy, 100 B.C.–A.D. 315 (University of California Press, 2003), hlm. 197.
^ abဝတ်ရွတ်စဉ်(PDF) (dalam bahasa Burma). Austin, Texas: သီတဂူဗုဒ္ဓဝိဟာရ. 2011. hlm. 34–35. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2011-10-18. Diakses tanggal 2012-02-28.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-05-25. Diakses tanggal 18 Juni 2010.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Houtman, Gustaaf (1990). Traditions of Buddhist Practice in Burma. ILCAA. hlm. 53–55.
^"Archived copy". www.usamyanmar.net. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 Maret 2021. Diakses tanggal 15 Januari 2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Hayashi, Yukio (2003). Practical Buddhism among the Thai-Lao: religion in the making of a region. Trans Pacific Press. hlm. 146–147. ISBN978-4-87698-454-1.
^"40ozMaltLiquor.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-03-07. Diakses tanggal 2010-07-27.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Eliade, Mircea (1983). Le chamanisme et les techniques archaïques de'l extase. Paris: Éditions Payot.
Eliade, Mircea (2001). A samanizmus. Az extázis ősi technikái. Osiris könyvtár (dalam bahasa Hungaria). Budapest: Osiris. ISBN963-379-755-1. Diterjemahkan dari Eliade 1983.