Bulan Pejeng (bahasa Inggris: Moon of Pejeng) adalah sebutan terhadap sebuah genderang (nekara) perunggu purbakala yang terdapat di Desa Pejeng, Pulau Bali. Nekara ini diyakini sebagai yang terbesar ukurannya di dunia,[1] dan juga merupakan artefak tinggalan Zaman Perunggu yang terbesar yang masih ada.[2]
Nekara ini tersimpan di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng, Tampak Siring, Gianyar dan dipercaya orang Bali memiliki kekuatan supranatural. Nekara ini dianggap suci dan diceritakan bahwa genderang ini bukan dibuat oleh manusia melainkan jatuh dari langit. Diperkirakan bahwa dahulunya nekara ini dipergunakan dalam upacara meminta hujan. Sejak November 2019, Bulan Pejeng telah berstatus Benda Cagar Budaya.
Bentuk dan ukuran
"Bulan Pejeng" ini memiliki ukuran dan pola hiasan yang unik. Bentuknya mirip dandang, dengan pinggang yang agak sempit, tetapi dengan bagian yang terbuka di sebelah bawah. Hanya saja ukurannya luar biasa, tinggi 186,5 cm dan garis tengah bidang pukulnya 160 cm.[3]:64-71
Nekara Pejeng dan yang setipe, memiliki perbedaan dengan nekara hasil kebudayaan Dong Son. Nekara tipe Pejeng cenderung ramping, dengan lempengan bidang pukul melebar, lebih lebar lk. 25 cm daripada dinding penyangganya. Kadang-kadang, antara tubuh nekara dengan lempengan bidang pukul dituang terpisah, baru kemudian dilekatkan.[4]
Nekara tipe Pejeng diduga dibuat di Indonesia. Bekas-bekas cetakan tuang-logam dari batu, dengan pola yang mirip dengan pola hias nekara Pejeng, telah ditemukan di Manuaba, Desa Kenderan (dan juga di Sembiran), yang tidak terlampau jauh letaknya dari Pejeng.[3] Nekara tipe Pejeng, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil, juga ditemukan di beberapa tempat yang lain seperti di Pacung, Buleleng, serta di Pulau Jawa (misalnya Lamongan, dan Semarang).[5]:405-8
Sejarah
"Bulan dari Pejeng" pertama kali diberitakan keberadaannya oleh Rumphius, seorang naturalis terkenal abad XVII yang berdiam di Ambon. Ia menyebutkan artefak ini ketika menguraikan logam perunggu di Hindia Timur dalam bukunya "D'Amboinsche Rariteitkamer", yang selesai ditulis pada 1699. Disebutkan bahwa di Pedjing, Baly terdapat suatu barang logam serupa yang berukuran besar, yang dipercaya penduduk setempat [dahulunya] sebagai roda kereta yang dikendarai "Bulan", yang terjatuh dari langit.[6]
Nekara Pejeng (dan yang setipe) kemungkinan berperan penting dalam upacara-upacara terkait penanaman padi sawah pada abad-abad awal Masehi di Bali. Temuan-temuan nekara ini kebanyakan didapat dari lokasi di dekat sumber air untuk pengairan seperti halnya danau, mata air, atau bendungan.[7]
Legenda
Banyak legenda tentang nekara ini, salah satunya adalah bahwa nekara ini dahulu merupakan roda dari kereta langit yang menyebarkan sinar terang, sehingga dahulu malam hari selalu terang benderang. Legenda lain mengatakan bahwa nekara ini adalah perhiasan telinga dari Dewi Ratih (Dewi Bulan dalam mitologi Bali).
Menurut penuturan kuno diceritakan juga bahwa dahulu kala ada 13 bulan di atas bumi. Pada suatu hari salah satu bulan ini jatuh ke atas bumi dan tersangkut di ranting pohon. Sinar yang dipancarkan bulan ini sangatlah terang sehingga tidak ada pencuri yang berani mencuri di malam hari. Namun pada suatu ketika para pencuri itu berunding dan mereka bersepakat untuk memadamkan bulan itu, salah satu dari mereka memanjat pohon itu dan dengan air seninya ia berusaha memadamkan bulan tersebut yang diliputi lidah-lidah api. Seketika juga bulan itu meledak dan salah satu pecahan bulan itu menjadi nekara bulan Pejeng tersebut. Kerusakan yang ada di balik nekara itu diceritakan berasal dari ledakan itu.
Konservasi
Untuk melindungi benda prasejarah yang sangat berharga ini, Pemerintah Indonesia melalui Bupati Gianyar Made Mahayastra pada Sabtu (30/XI/2019) telah menetapkan Nekara Pejeng Pura Penataran Sasih sebagai Benda Cagar Budaya. Ketetapan ini dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Gianyar nomor 1345/E-01/HK/2019 tertanggal 13 November 2019, yang melindungi empat objek cagar budaya, yakni Nekara Pejeng (Pura Penataran Sasih), Arca Bhairawa (Pura Kebo Edan), serta Pura Pegulingan dan Pura Mengening sebagai Struktur Cagar Budaya. Penetapan ini dilakukan setelah melewati beberapa tahapan kajian sejak bulan Juni s/d September 2019 oleh Tim Registrasi Cagar Budaya Kabupaten Gianyar bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali-NTB-NTT.[8]