Desa adat merupakan unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus wilayah (hak ulayat) dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa adat.[1] Desa adat mempunyai penyebutan yang beragam di berbagai wilayah seperti nagari, huta, marga, dan negeri.[1]
Desa adat adalah suatu bentuk masyarakat tradisional yang masih mempertahankan nilai-nilai dan tradisi leluhur. Ciri khas desa adat adalah adanya struktur sosial yang hierarkis, dengan pembagian peran berdasarkan status sosial dan keluarga. Masyarakat desa adat seringkali memiliki sistem hukum adat yang berbeda dengan hukum negara, yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti tanah, kepemilikan, dan perselisihan.[2]
Desa adat di Indonesia merupakan contoh konkret dari masyarakat tradisional. Desa-desa ini seringkali memiliki struktur pemerintahan adat yang terpisah dari pemerintahan negara, dengan pemimpin adat yang memiliki otoritas dalam mengatur kehidupan masyarakat setempat. Desa adat juga seringkali mempertahankan tradisi-tradisi budaya yang unik, seperti upacara adat, kesenian, dan kerajinan tangan.[3]
Dalam Konteks Modernisasi
Desa adat merupakan contoh masyarakat tradisional yang bertahan dalam konteks modernisasi. Meskipun desa adat seringkali mempertahankan nilai-nilai dan tradisi leluhur, mereka juga dapat mengalami perubahan dan adaptasi terhadap pengaruh modern. Beberapa desa adat mungkin telah mengadopsi teknologi modern atau terlibat dalam kegiatan ekonomi pasar, tetapi tetap mempertahankan identitas budaya mereka.[4]
Hubungan antara desa adat dan modernisasi dapat bersifat kompleks dan beragam. Beberapa desa adat mungkin mengalami konflik dengan perkembangan modern, sementara yang lain dapat berhasil mengintegrasikan tradisi dengan inovasi. Hal ini tergantung pada berbagai faktor, seperti kebijakan pemerintah, kondisi geografis, dan sikap masyarakat setempat.[5]
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, desa adat dapat memainkan peran penting. Mereka dapat menjadi contoh keberlanjutan lingkungan dan sosial, dengan mempertahankan praktik-praktik tradisional yang ramah lingkungan dan memperkuat solidaritas sosial. Desa adat juga dapat berperan dalam pelestarian budaya dan tradisi lokal, yang merupakan bagian penting dari identitas nasional.[6]
Desa adat di Bali
Di Bali, Desa adat disebut juga Desa pekraman.[7] Desa adat memiliki perbedaan status, kedudukan dan fungsi dengan desa dinas (desa administratif pemerintahan). Baik yang ditinjau dari segi pemerintahan maupun dari sudut pandangan masyarakat. Desa adat fungsinya dibidang adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan dari lembaga adat)" sedangkan "Desa dinas" dilihat dari fungsinya di bidang pemerintahan merupakan lembaga pemerintah yang paling terbawah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Ciri desa adat di Bali antara lain (Pitana, 1994:145):
Mempunyai batas wilayah tertentu yang jelas. Umumnya berupa batas alam seperti sungai, hutan, jurang, bukit atau pantai.
Mempunyai anggota (krama) yang jelas dengan persyaratan tertentu.
Mempunyai kahyangan tiga atau kahyangan desa (tiga pura desa), atau pura lain yang mempunyai fungsi dan peranan sama dengan kahyangan tiga.
^Langlois, S. (2001). "Traditions: Social". International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. International Encyclopedia of the Social. hlm. 15829–15833. doi:10.1016/B0-08-043076-7/02028-3. ISBN9780080430768.
^S. Langlois, Traditions: Social, In: Neil J. Smelser and Paul B. Baltes, Editors-in-Chief, International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, Pergamon, Oxford, 2001, Pages 15829-15833, ISBN978-0-08-043076-8, DOI:10.1016/B0-08-043076-7/02028-3
^Claude Lévi-Strauss, The Savage Mind (1989) p. 233–36
^Rostow, W. W. (1990). "The Five Stages of Growth." In Development and Underdevelopment: The Political Economy of Global Inequality. Boulder and London: Lynne Rienner Publishers. hlm. 9–16.
^John R. Hall et al, Sociology on Culture (2003) p. 71-4