Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) adalah bank sentral Republik Indonesia sesuai Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.[2] Sebelum seluruh sahamnya dibeli oleh Pemerintah Indonesia,[3] bank ini awalnya merupakan perseroan terbatas terbuka bernama De Javasche Bank N.V. (DJB) yang didirikan berdasarkan oktroi, dan kemudian undang-undang, pada masa pemerintahan Hindia Belanda.[4] Sebagai bank sentral, BI mempunyai tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua dimensi, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa domestik (inflasi), serta kestabilan terhadap mata uang negara lain (kurs).[5] Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga tugas ini adalah:
Ketiga tugas tersebut dijalankan secara terintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi perbankan secara mikroprudensial dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur dan mengawasi perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek makroprudensial Diarsipkan 2014-10-22 di Wayback Machine. sistem perbankan.[7] BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan Gubernur yang diketuai oleh seorang Gubernur Bank Indonesia. Sejak 24 Mei 2018, Perry Warjiyo menjabat sebagai Gubernur BI menggantikan Agus Martowardojo. Dasar HukumPendirian Bank Indonesia didahului oleh proses nasionalisasi De Javasche Bank NV (DJB) yang dilakukan pada Desember 1951 berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1951 Tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV.[8][9] Setelah DJB dinasionalisasi, Republik Indonesia mendirikan Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 Tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yang disahkan pada 19 Mei 1953, diumumkan 2 Juni 1953, dan mulai berlaku pada 1 Juli 1953.[9] Tanggal berlakunya UU tersebut diperingati juga sebagai hari lahir Bank Indonesia. Selain itu, di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Bank Indonesia didirikan untuk bertindak sebagai bank sentral Indonesia.[9] Dalam perjalanannya, peran bank Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan dinamika ekonomi, sosial dan politik baik nasional maupun global. Sejalan dengan itu, UU yang menjadi dasar hukum eksistensi Bank Indonesia mengalami pergantian dan penyempurnaan. UU saat ini yang menjadi dasar hukum Bank Indonesia adalah UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (yang telah beberapa kali mengalami penyempurnaan, terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009). Tidak hanya pada tataran UU, perubahan mendasar juga terjadi pada tataran konstitusional. Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), menyisipkan satu pasal baru, 23D, yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang." SejarahPada 1827-28, Raja Willem I menerbitkan Oktroi (Hak Ekslusif) pendirian De Javasche Bank (DJB) untuk mengatasi permasalahan ekonomi dan keuangan di Koloni Hindia Belanda yang timbul pasca-kebangkrutan VOC.[10] DJB didirikan sebagai perseroan swasta dengan peran ganda: (1) sebagai bank sirkulasi dengan hak monopoli menerbitkan dan mengedarkan uang rupiah; dan (2) sebagai bank komersial yang memberikan jasa keuangan perbankan pada umumnya (general banking services).[11] Sebagai instrumen pemerintahan kolonial, pendirian DJB ditujukan untuk melakukan reformasi keuangan dan menerapkan sistem moneter yang seragam di dalam wilayah Hindia Belanda.[10] Oktroi I berakhir (kedaluwarsa) pada 1838. Akan tetapi, Kerajaan Belanda terus menerbitkan Oktroi baru sampai Oktroi VIII digantikan oleh Undang-Undang DJB (DJB-Wet) pada 1922. Selama masa Oktroi, DJB berhasil menyelesaikan permasalahan moneter (yang terutama ditimbulkan oleh penerbitan mata uang specie (terutama koin tembaga) secara berlebihan) dan menerapkan standar nilai tukar emas (gold-exchange standard).[11] Oleh karena itu, meskipun mata uang di Pusat Kerajaan (Holandia) dan di daerah koloni tidak sama, namun kedua mata uang tersebut dapat ditransaksikan dengan kurs 1:1.[11] Upaya mempertahankan kestabilan kurs tersebut sangat penting bagi persero-persero di daerah koloni, mengingat hampir seluruh keuntungan usaha dan kelebihan dana direpatriasi ke kantor-kantor pusat mereka di Belanda.[11] Pada masa Oktroi VIII, DJB juga mulai memperkenalkan sistem kliring di Batavia yang diikuti oleh 6 bank ternama masa itu: DJB, Nederlandsche Handel-Maatschappij, Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Chartered Bank of India, Australia and China, dan Nederlands-Indische Escompto Maatschappij.[12] Pada masa Perang Dunia I, Belanda menghentikan sementara penerapan standar nilai tukar emas akibat menipisnya cadangan emas di Eropa. Selain itu, Kerajaan Belanda juga mengubah secara drastis tata kelola DJB dengan menerbitkan Undang-Undang DJB (De Javasche Bankwet) pada 1922. Berdasarkan beleid tersebut, DJB diwajibkan meminta arahan dari Pemerintah Kerajaan dalam menjalankan kebijakan di daerah koloni. DJB juga wajib memperoleh persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk urusan-urusan operasional tertentu.[13] Selain itu, UU tersebut lain memperkenalkan fungsi baru kepada DJB, yaitu sebagai agen fiskal atau pemegang kas umum pemerintahan kolonial.[13] Beberapa amandemen terhadap UU tersebut dilakukan setelah 1922. Namun kemudian kedatangan Jepang ke Indonesia pada masa perang dunia kedua membuat De Javasche Bank diubah menjadi NKG (Nanpo Kaihatsu Ginko) sebagai bank sentral pemerintahan militer Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Usai kekalahan Jepang pada perang dunia kedua Belanda kembali datang dan merebut kembali Nanpo Kaihatsu Ginko dan merubah namanya menjadi seperti dulu De Javasche Bank pada 1945. Akan tetapi, struktur dan tata kelola DJB relatif tidak berubah sampai ketika Pemerintahan Revolusi Indonesia mengambil alih DJB dan mengubahnya menjadi Bank Indonesia pada 1952. Pada tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB sebelumnya. Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamendemen dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan. Amendemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek dari Bank Indonesia. Status dan KedudukanSebagai Lembaga Negara yang IndependenBabak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara independen dan bebas dari campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien. Sebagai Badan HukumStatus Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan. Tugas dan TujuanDalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah. Tiga Pilar UtamaUntuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:
Pengaturan dan PengawasanDalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank. Upaya Restrukturisasi PerbankanSebagai upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh langkah restrukturisasi perbankan yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna memfungsikan kembali perbankan sebagai lembaga perantara yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, disamping sekaligus meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter. Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan kepercayaan masyarakat, program rekapitalisasi, program restrukturisasi kredit, penyempurnaan ketentuan perbankan, dan peningkatan fungsi pengawasan bank. Otoritas MoneterSebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk memutuskan dan melaksanakan kebijakan moneter yang tepat. Kebijakan itu bisa berupa Open Market Operation, Discount Policy, Sanering, dan Selective Credit. Sistem PembayaranMenjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar. BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran. Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN. Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang. Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi perencanaan pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan uang yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan. Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran dan penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem monitoring. Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang kecil. Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia. Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank Indonesia (BI). BI Fast [14] adalah penganti sistem kliring yang mendukung pembayaran nasional serta terintegrasi dengan kuangan digital yang lebih mudah digunakan serta cepat secara end to end. Dewan GubernurDalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin, dibantu oleh seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan Gubernur dan Deputi Gubernur selama-lamanya lima tahun, dan mereka hanya dapat dipilih untuk sebanyak-banyaknya tiga kali masa tugas. Pengangkatan dan Pemberhentian Dewan GubernurGubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan tindak pidana kejahatan. Pengambilan keputusanSebagai suatu forum pengambilan keputusan tertinggi, Rapat Dewan Gubernur (RDG) diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, serta sekurang-kurangnya sekali dalam seminggu untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter atau menetapkan kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis. Pengambilan keputusan dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur, atas dasar prinsip musyawarah demi mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, Gubernur menetapkan keputusan akhir. Daftar GubernurLihat pula
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Bank Indonesia.
|