Bank Danamon Indonesia
PT Bank Danamon Indonesia Tbk (sebelumnya bernama Bank Kopra Indonesia) atau lebih dikenal dengan nama Bank Danamon atau Danamon saja, adalah sebuah bank di Indonesia.[1] Saat ini kepemilikannya dikuasai raksasa perbankan asal Jepang, MUFG. SejarahSejarah awalBank Danamon didirikan pada tanggal 16 Juli 1956 dengan nama PT Bank Kopra Indonesia (Indonesia Copra Banking Corp. Ltd.),[2] yang dua tahun kemudian (21 Agustus 1958) berganti nama menjadi PT Bank Persatuan Nasional (Union National Bank Ltd.).[3][4] Mulanya bank ini merupakan bank kecil yang didirikan dan dimiliki oleh banyak pemegang saham, seperti Rusli Halil, Daud Badaruddin,[5] Masjhur Azhari, Roestam Gelar Radja Basa, J.P. Pardede, Tan Tju Jan, dan Tay Siew Cheng. Kepemilikan sahamnya pun sempat berganti-ganti, dengan jatuh ke sejumlah individu seperti Iwa Koswara dan Raden Soetrisno.[6] Pada 13 Agustus 1976, 100% saham PT Bank Persatuan Nasional diakuisisi oleh pengusaha asal Lampung, Usman Admadjaja (Njauw Jauw Woe) dan namanya berganti menjadi PT Bank Danamon Indonesia.[6][7] Nama "Danamon" diambil dari dua kata, yaitu "dana" dan "moneter".[8] Demi memperluas operasionalnya, pada tanggal 31 Agustus 1981 Bank Danamon melakukan merger (pertamanya) dengan PT Asia-Afrika Banking Corporation yang memiliki 6 kantor di Jakarta dan Bandung.[9][10] Meskipun demikian, kinerjanya cenderung lambat hingga akhir 1980-an, dengan hanya menjadi bank nondevisa beraset kecil,[11] dimana pada 1986 memiliki 11 kantor cabang yang mempekerjakan 500 orang.[12] Penerbitan Pakto 88 pada Oktober 1988-lah yang membuka jalan bagi Bank Danamon untuk menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia. Di tahun tersebut (5 November 1988), bank ini meraih status bank devisa, dan mencatatkan aset Rp 311 miliar, naik dari Rp 109 miliar pada 1986. Setahun kemudian, di tanggal 8 Desember 1989, Bank Danamon go public di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya, dengan melepas 12 juta sahamnya ke masyarakat seharga Rp 12.000/lembar.[11][10] Dengan promosi yang masif, bank ini memacu operasionalnya di sektor ritel dengan produk-produk simpanan atau kredit bermerek "Prima", seperti Primadana, PrimaGold, PrimaCash dan PrimaGriya serta maskot "Si Kumbang Madu" yang berhasil meraih sambutan hangat dari masyarakat.[13][9] Meskipun demikian, Danamon juga menyentuh sektor-sektor lain, seperti terlihat dari 40% pinjamannya yang dialokasikan untuk sektor ekspor-impor.[14] Sejak saat itulah, langkah Bank Danamon dan Usman seakan tidak terbendung. Di tahun 1990, didirikan bank campuran bersama Korea Exchange Bank, yang diberi nama PT Korea Exchange Bank Danamon (terakhir bernama PT Bank KEB Indonesia). Beberapa tahun kemudian, pemerintah juga meminta Bank Danamon menyehatkan keuangan sejumlah bank yang sakit, seperti Bank Sampoerna International (1992, kemudian menjadi Bank Delta, selanjutnya dimerger bersama Danamon)[9] dan Continental Bank (1994, kemudian menjadi Bank Dana Asia). Usman, dibantu oleh saudarinya, Nienie Narwastu,[15] kemudian mengepakkan sayap Danamon ke bidang finansial lewat pendirian sejumlah perusahaan di bidang asuransi, sekuritas, pembiayaan utang (financing), dan lainnya. Dalam waktu yang terbilang singkat, Bank Danamon tampil sebagai bank swasta terbesar ketiga di Indonesia, dengan memiliki 251 kantor cabang, 422 kantor pembantu, 700 ATM di 27 provinsi, ditambah kantor cabang di luar negeri.[10][7] Danamon dalam krisis moneterSayang, kesuksesan itu tidak didampingi good corporate governance dari sang pemilik bank. Tertarik dengan menjamurnya bisnis properti pada pertengahan 1990-an, Usman pun banyak menyalurkan kredit banknya ke sektor tersebut, yang diantaranya melalui perusahaan fiktif.[11][16] Alhasil, ketika krisis moneter mulai menerjang Indonesia pada akhir 1997, Bank Danamon menjadi terguncang kredit macet, mengingat sektor properti merupakan yang paling terdampak oleh krisis. Sempat berusaha menjalin kerjasama dengan Salim Group lewat pembelian 19% saham Usman di Bank Danamon,[17] nyatanya nasib Danamon kemudian semakin memburuk. Penarikan dana besar-besaran pun menimpa bank ini, dimulai pada November 1997 (pada bulan likuidasi 16 bank), yang dilanjutkan rush yang lebih masif pada Maret 1998. Akibatnya, Bank Danamon kehilangan sekitar Rp 8,1 triliun simpanan nasabahnya yang membuat situasinya makin kritis.[11] Akhirnya, pada 4 April 1998, Bank Danamon resmi diambilalih operasionalnya oleh pemerintah dan ditempatkan di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank ini dapat selamat dari upaya likuidasi karena pemerintah saat itu menganggap nasabahnya jumlahnya cukup signifikan, yaitu sebesar 3 juta rekening. Di bawah BPPN, Bank Danamon mulai melakukan sejumlah efisiensi, seperti pengurangan karyawan serta perubahan manajemen pada Juni 1998 yang sempat memperbaiki kondisinya. Namun, pada Agustus 1998, rush kembali menimpa bank ini, sehingga BPPN memutuskan menguasai seluruh saham Bank Danamon sepenuhnya, menjadikannya sebagai Bank Take Over atau BTO.[11][9] BPPN kemudian melakukan pembenahan total pada Bank Danamon dengan berusaha membersihkan aset-aset dan kreditnya yang bermasalah dari neracanya, yang tuntas dilakukan pada Januari 1999. Tiga bulan kemudian, pemerintah memberikan dana segar kepada Bank Danamon dalam bentuk obligasi rekapitalisasi yang totalnya mencapai Rp 32 triliun. Bank ini kemudian dijadikan sebagai bank jangkar dalam proyek pemerintah melakukan konsolidasi pada industri perbankan nasional. Dimulai pada Agustus-Desember 1999, sebuah bank campuran, Bank PDFCI, dimerger ke Bank Danamon. Merger yang lebih besar lagi dilakukan pada tahun 2000, dengan melakukan penggabungan bersama 8 BTO swasta lain: Bank Tiara Asia (eks-milik keluarga Santosa, pemilik Ometraco/Japfa); Bank Nusa Nasional (eks-milik Bakrie Group); Bank Pos Nusantara (eks-milik Rajawali Corporation); Bank Rama; Bank Risjad Salim Internasional (eks-milik Risjadson Group); Bank Duta (eks-milik yayasan Soeharto); Bank Jaya Internasional (eks-milik Jaya Group); dan Bank Tamara (eks-milik Tamara Group). Merger massal ini merupakan yang terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia.[11][2] Dalam merger ini pemerintah juga menyuntikkan dana segar (obligasi rekapitalisasi) kembali senilai Rp 28,9 triliun.[18] Sebenarnya, merger tersebut tidaklah menguntungkan, karena Bank Danamon harus mewarisi perbedaan kultur manajemen, kondisi bank-bank pramerger yang kurang solid, dan masalah hukum yang sempat menimpa beberapa bank tersebut. Untuk mengatasinya dilakukanlah berbagai efisiensi, yang menurunkan kantor cabangnya menjadi 500 buah saja.[11] Selanjutnya, di 3 tahun berikutnya, Bank Danamon mengalami restrukturisasi besar-besaran mulai dari bidang manajemen, sumber daya manusia, organisasi, sistem informasi, anggaran dasar dan logo perusahaan. Usaha keras yang dilakukan ini akhirnya berbuah hasil dalam membentuk fondasi dan infrastruktur bagi Bank Danamon dalam tujuannya untuk meraih pertumbuhan yang maksimal berdasarkan transparansi kerja, tanggung jawab kepada masyarakat, integritas sebagai salah satu pilar ekonomi di Indonesia dan sikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia (atau lebih dikenal dengan istilah TRIP).[9] Selain penyehatan Bank Danamon, pemerintah juga dihadapkan pada masalah lain, yaitu pembayaran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sempat diserap bank ini, yang pertanggungjawabannya diberikan kepada Usman Admadjaja dan keluarga. Diperkirakan Bank Danamon per 29 Januari 1999 telah menyedot BLBI sebesar Rp 23,05 triliun, yang diantaranya digunakan untuk kepentingan di luar penyehatan bank. Sempat pada 6 November 1998 BPPN dan Usman menandatangani perjanjian penyelesaian utang dalam bentuk Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) yang bernilai Rp 12,53 triliun. Meskipun Usman sempat menyerahkan aset-asetnya dalam wadah PT Bentala Kartika Abadi, namun dirinya diketahui baru melunasi Rp 3 triliun saja dari upayanya tersebut. Hingga saat ini tidak jelas bagaimana pengusutan hukum atau hutang BLBI Usman yang belum terbayarkan seluruhnya.[19][20] Danamon di bawah Temasek HoldingsSama seperti bank lainnya yang diambilalih BPPN, saham pemerintah di Bank Danamon kemudian dilepas ke investor strategis, yang dimulai prosesnya pada Januari 2003.[21] Pada awalnya ada sekitar 15-20 calon investor asing yang berminat mengambilalih 51% saham pemerintah di bank ini.[22] Namun, pada 21 Maret 2003, BPPN mengumumkan hanya 3 calon konsorsium saja yang lolos: Asia Finance (Indonesia) Pte. Ltd. (milik Temasek Holdings dan Deutsche Bank), konsorsium Bank Mega (bersama Bhakti Capital Indonesia, Credit Suisse) dan konsorsium di bawah Bank Artha Graha.[23][24] Pada Mei 2003, konsorsium Asia Finance berhasil memenangkan tender tersebut dengan harga Rp 3 triliun.[25][26] Sejak 22 April 2004, Bank Danamon sudah menjadi bank sehat kembali, sehingga pengawasannya dikembalikan dari BPPN ke Bank Indonesia.[27] Dengan hadirnya manajemen baru, maka dicanangkanlah penataulangan model bisnis dan strategi usaha Bank Danamon dalam usahanya untuk terus melakukan perubahan total dalam desain yang sudah dirancang untuk menjadikan Bank Danamon sebagai salah satu bank nasional terkemuka di Indonesia dan bank pemain utama di kawasan Asia. Pada tahun 2004, Bank Danamon meluncurkan Danamon Simpan Pinjam[28] untuk menggapai pangsa pasar mikro. Pada tahun yang sama, Bank Danamon mengakuisisi 75% Adira Finance,[28][29] sebuah perusahaan pembiayaan, yang kemudian ditingkatkan kepemilikannya hingga setinggi-tingginya mencapai 95% pada tahun 2009.[28] Selanjutnya, pada 22 Februari 2006, Bank Danamon juga mengakuisisi bisnis kartu kredit dari kantor cabang American Express di Indonesia, sehingga bertindak menjadi penerbit utama dari kartu bank asal AS tersebut.[30] Pada tanggal 2 April 2012, bank asal Singapura DBS (juga milik Temasek) mengumumkan rencananya mengakuisisi 100% saham Asia Financial (Indonesia) Pte. Ltd. yang pada saat itu memiliki 67,37% saham pada Bank Danamon, dengan target untuk menjadikan Bank Danamon sebagai bank terbesar kelima di Indonesia.[31] Transaksi tersebut kemudian batal diselesaikan,[32] dengan alasan di antaranya permintaan regulator Indonesia kepada otoritas Singapura untuk mengizinkan bank asal Indonesia melakukan ekspansi bisnis di Singapura.[33][34] DBS memutuskan untuk mengakhiri perjanjian jual-beli bersyarat yang telah ditandatanganinya pada 1 Agustus 2013, yang merupakan tenggat waktu berakhirnya (lapse) perjanjian tersebut.[35] Investasi strategis MUFGPada 26 Desember 2017, grup keuangan terbesar asal Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), melalui entitas perbankannya, MUFG Bank, mengumumkan rencananya[36] untuk mengakusisi kepemilikan mayoritas Bank Danamon melalui perjanjian jual-beli bersyarat dengan Asia Financial (Indonesia) dan entitas terafiliasi lainnya.[37][38] Akuisisi tersebut telah diselesaikan hingga mencapai 19,9% pada tanggal 29 Desember 2017,[39] dan hingga 40,0% pada 3 Agustus 2018.[40][41] Pada tanggal 25 April 2019, Bank Danamon mengumumkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan telah memberi persetujuan dilakukannya merger antara Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan (bank lain milik MUFG di Indonesia).[42] Pada tanggal 29 April 2019, MUFG Bank mengumumkan telah meningkatkan kepemilikan sahamnya pada Bank Danamon dari 40,0% menjadi 94,0%.[43][44] Merger antara Bank Danamon dan Bank Nusantara Parahyangan kemudian efektif berlaku pada tanggal 1 Mei 2019.[45][46] Akuisisi portofolio Pinjaman Ritel Konvensional Standard Chartered Bank IndonesiaPada tanggal 17 April 2023, Bank Danamon menandatangani perjanjian akuisisi portofolio Pinjaman Ritel Konvensional Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI). Nasabah yang terdampak adalah nasabah kartu kredit, kredit pemilikan rumah, kredit tanpa agunan, dan kredit kendaraan bermotor. Peralihan portofolio keempat hal tersebut dari SCBI ke Bank Danamon telah selesai pada tanggal 9 Desember 2023, dan semua kartu kredit Standard Chartered berubah menjadi kartu kredit Danamon.[47] Jaringan usahaHingga akhir tahun 2017, Bank Danamon memiliki lebih dari 1.600 cabang, meliputi kantor cabang konvensional, unit Danamon Simpan Pinjam, unit usaha syariah, dan kantor-kantor cabang anak perusahaan.[48] Selain itu, jaringan Bank Danamon juga meliputi lebih dari 1.300 anjungan tunai mandiri (ATM) dan 70 mesin setoran tunai di seluruh Indonesia.[49] Seluruh jaringan Bank Danamon di Indonesia beroperasi di bawah sembilan kantor wilayah:[50]
Kantor pusatSepanjang berdirinya, Bank Danamon beberapa kali memindahkan kantor pusatnya ke beberapa gedung. Mulanya kantor pusatnya di Jakarta berlokasi di Jl. Malaka No. 5, yang kemudian didampingi gedung lain yang berlokasi di Jl. Telepon Kota No. 7.[51][52][53] Adapun yang terakhir ini sampai sekarang masih menjadi salah satu kantor cabangnya. Memasuki akhir 1980-an, Bank Danamon memusatkan operasionalnya di gedung yang lebih besar dan berlokasi di wilayah strategis, yaitu di Jl. Kebon Sirih No. 15. Pada tahun 1997 bank ini memindahkan kantor pusatnya lagi di gedung yang berlokasi di Jl. Jenderal Sudirman No. 45-46, yang diberi nama Anggana Danamon. Gedung kembar tersebut dibangun dari tahun 1993-1996 dan kepemilikannya dikuasai perusahaan Usman Admadjaja bernama PT Danamon Land. Sayangnya, akibat terjerat hutang BLBI untuk banknya, Usman terpaksa melepas gedung Anggana Danamon kepada BPPN, yang setelah sempat berganti pemilik[54] dan renovasi, kini dikenal dengan nama Sampoerna Strategic Square.[55] Sementara itu banknya sendiri (yang kini juga sudah tidak dikuasai Usman Admadjaja) pada 28 Agustus 2002[9] berpindah ke kantor sewa yang berlokasi di Menara Asiatic yang baru selesai dibangun. Bank ini kemudian membeli hak penamaannya juga, sehingga nama gedung tersebut menjadi Menara Bank Danamon. Gedung milik perusahaan properti PT Roda Vivatex Tbk tersebut kini dikenal dengan nama Mandiri Inhealth Tower setelah Danamon tidak lagi menempatinya.[56] Alasan efisiensi menjadi pertimbangan bank ini untuk memiliki kantor pusat yang dimiliki sendiri kembali. Maka, di tahun 2013, sebuah gedung kantor cabang Bank Danamon di Jl. H.R. Rasuna Said No. 10 yang sudah ada sejak awal 1990-an, dibongkar. Di atasnya dibangun gedung baru berlapis kaca setinggi 108 meter dan memiliki 22 lantai, yang selesai pengerjaannya pada Maret 2016. Sejak 29 Juli 2016, gedung ini resmi diberi nama Menara Bank Danamon dan menjadi kantor pusatnya hingga sekarang.[57] Lini UsahaBank Danamon bergerak dalam berbagai lini bisnis perbankan.
Slogan dan Motto
SponsorSejak tahun 2012, Bank Danamon adalah mitra perbankan resmi klub sepakbola asal Inggris Manchester United di Indonesia.[28] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|