Pada tanggal 8 Mei 2001 ditandatangani Perjanjian Perikatan Jual Beli antara PT Inti Innovaco dengan Badan Pekerja Majelis Sinode GKIJawa Barat. Pihak GKI mengumpulkan tanda tangan dukungan warga selama tahun 2002 sampai 2006 hingga diperoleh 445 buah tanda tangan warga yang mendukung. Pada tanggal 13 Juli 2006, wali kota Bogor mengeluarkan IMB GKI Taman Yasmin melalui SK Nomor 645.8-372.[1]
Polemik
Polemik keberadaan GKI Yasmin bermula adanya penolakan oleh 30 orang warga Kelurahan Curug Mekar pada tanggal 10 Januari 2008. Pada tanggal 22 Januari 2008, Muspika (Musyawarah Pimpinan Daerah) beserta 80 tokoh masyarakat Kelurahan Curug Mekar mengadakan rapat dan hasilnya pada tanggal 25 Januari 2008 mereka melayangkan surat kepada wali kota Bogor untuk mencabut IMB GKI Yasmin. Alasan yang mereka sampaikan adalah adanya dugaan pemalsuan tanda tangan warga pendukung untuk memperoleh IMB pembangunan GKI Yasmin. Menanggapi permintaan warga, IMB GKI Yasmin dibekukan melalui Surat Kepada Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor no. 503/208-DTKP tahun 2008.[1]
Alasan-alasan warga menentang pembangunan GKI Yasmin adalah:[2]
Pembagian dana pembangunan wilayah dan membagikan transport. Dalam pembagian dana tersebut, warga diminta menandatangani tanda terima bantuan keuangan, selanjutnya tanda tangan dipotong dan ditempelkan pada kertas yang kop suratnya berisi pernyataan warga tidak keberatan atas pembangunan gereja.
Pembangunan GKI Yasmin tidak memiliki pendapat tertulis dari Kepala Departemen Agama setempat.
GKI Yasmin tidak memiliki dan tidak memenuhi minimal pengguna sejumlah 40 Kepala Keluarga yang berdomisili di wilayah setempat.
GKI Yasmin tidak mendapatkan izin dari warga setempat.
GKI Yasmin tidak mendapatkan rekomendasi tertulis dari MUI, Dewan Gereja Indonesia (DGI), Parisada Hindu Dharma, MAWI, Walubi, Ulama/Kerohanian.
Instruksi Gubernur Jawa Barat tentang Pendirian Rumah Ibadah, No. 28 Tahun 1990, yang merupakan Aplikasi Pelaksanaan SKB 2 Menteri Tahun 1969, Tidak Terpenuhi Persyaratannya, bahkan Cacat Hukum.
Pihak GKI Yasmin juga tidak dapat memenuhi ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 (Bab IV, Pasal 14), tentang pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian Rumah Ibadah yang harus memiliki umat (jamaah) minimal 90 orang yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan disetujui oleh 60 orang masyarakat setempat, dan para pejabat setempat (Lurah/Kades) harus mengesahkan persyaratan ini.[3] Selanjutnya, rekomendasi tertulis diminta dari Kepala Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya, dan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten atau kotamadya.[2]
Proses hukum
Jemaat GKI Yasmin mengajukan gugatan atas keputusan pembekuan IMB gereja mereka ke Pengadilan TUN Bandung (2008), Pengadilan Tinggi TUN Jakarta (2009), dan Mahkamah Agung (2010) yang semuanya dimenangkan oleh mereka. Melalui Putusan Pengadilan TUN Bandung No. 41/G/2008/PTUN.BDG Tanggal 4 September 2008; Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta No. 241/B/2008/PT.TUN.JKT Tanggal 11 Februari 2009; dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 127 PK/TUN/2009 Tanggal 9 Desember 2010, surat Ka. DTKP Kota Bogor No. 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Izin tertanggal 14 Februari 2008 dibatalkan dan Kepala DTKP mencabut surat pembekuan tersebut. Wali kota Bogor menerbitkan SK No. 503.45-135 Tahun 2006 Tanggal 8 Maret 2011 untuk mencabut surat pembekuan IMB.[1]
Sementara proses hukum berlangsung, Satpol PPKota Bogor menyegel GKI Yasmin pada tanggal 10 April 2010 sebagai pelaksanaan perintah Wali Kota.[4] Wali kota Bogor menyediakan Gedung Harmoni sebagai pengganti gedung gereja jemaat GKI Yasmin yang disegel. Namun, semenjak keputusan MA keluar, mereka mengadakan peribadatan di trotoar hingga badan jalan K.H. Abdullah bin Nuh sehingga mengganggu pengguna jalan serta melanggar Peraturan Daerah Kota Bogor No. 8 Tahun 2006 tentang Ketertiban Umum.[1]
Keputusan pengadilan mengenai pemalsuan tanda tangan
Setelah Melaksanakan Keputusan MA, pada tanggal 8 Maret 2011. Kronologi SK Wali kota Bogor berikutnya adalah:
Karena ada vonis tanggal 20 Januari 2011, Pengadilan negeri Bogor mengeluarkan putusan No. 265/Pid.B/2010/PN.Bgr yang menyatakan bahwa Munir Karta, yang kala itu menjabat sebagai ketua RT, bersalah karena telah melakukan pemalsuan tanda tangan warga dan penipuan dalam meminta persetujuan warga pada saat proses perizinan pembangunan gereja Yasmin.[1] Maka menanggapi putusan tersebut, Wali kota Bogor menerbitkan Surat Keputusan Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin pada tanggal 11 Maret 2011 dengan alasan adanya pemalsuan tanda tangan oleh Munir Karta. Pemalsuan tanda tangan digunakan untuk menerbitkan IMB GKI Yasmin.[4] Dasar yang digunakan wali kota Bogor untuk mengeluarkan surat tersebut adalah Instruksi Gubernur Jawa Barat No. 28 Tahun 2990, ditambah pula "Peraturan Bersama Menteri Agama dan menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat beragama, dan pendirian Rumah Ibadat" serta "Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2006 tentang Bangunan Gedung". Untuk hal tersebut, Pemerintah Kota Bogor memutuskan untuk mengembalikan semua biaya perizinan yang dikeluarkan oleh GKI Pengadilan Bogor, membeli tanah GKI Yasmin atau merelokasi pada tanah milik pemerintah Bogor di tempat lain, serta menyediakan Gedung Harmoni sebagai tempat peribadatan sementara jemaat GKI Yasmin.[1]
Bondan Gunawan mengatakan konstitusi Indonesia dengan jelas menyatakan melindungi kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama yang dipeluknya. Soal pelarangan ibadah di GKI Yasmin, Mahkamah Agung telah mengukuhkan izin pendirian bangunan gereja itu melalui putusan nomor 127 PK/TUN/2009 yang dikeluarkan pada 9 Desember 2010. Namun Wali Kota Bogor dan Polres Bogor Kota dengan berbagai alasan tetap melarang jemaat beribadah di dalam gereja.[5]
Mayoritas warga perumahan Taman Yasmin dan masyarakat Kota Bogor mengeluhkan kisruh pembangunan rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Konflik tersebut dinilai sangat mengganggu kenyamanan serta aktivitas mereka, apalagi ketika terjadi unjuk rasa dan blokade jalan oleh aparat keamanan. Namun, warga yang berdekatan sebenarnya tidak meributkan keberadaan gereja di dekat rumah mereka.[6] Menurut juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging, yang mengusir mereka bukan tetangga mereka. Justru tetangga mereka yang muslim memperingatkan mereka kalau ada yang mau protes ke gereja.[butuh rujukan]
Namun, berdasarkan Surat Pengurus RT 08/08, tahun 2002 - 2006, Bapak Muchtar, yang merupakan Ketua RT di lokasi Rencana GKI Yasmin, ternyata justru Warga Setempatlah yang menolak Pembangunan GKI Yasmin, karena Ketidak Jujuran proses perizinan Pembangunan GKI Yasmin tersebut. Bahkan Warga yang rumahnya menempel dengan Rencana Pembangunan GKI Yasmin tersebut menolak, dan mereka menyatakan diri sebagai anggota Forkami. maka Pernyataan Bona Sigalingging jelas bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, sehingga membuat warga kesal dengan media yang selalu pro dengan GKI Yasmin.[butuh rujukan]
Hal ini justru semakin metampakkan keanehan, yaitu Bahwa Panitia Pembangunan GKI Yasmin tidak pernah meminta pendapat Masyarakat terdekat serta tidak memakai cara-cara yang wajar sehingga konflik bermunculan.[butuh rujukan]
Tanggapan terhadap SK Nomor 645.45-137 Tahun 2011
Ombudsman RI kemudian mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada tanggal 8 Juli 2011 tentang pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin, tetapi tetap tidak ada tindakan dari Pemerintah Kota Bogor.[4] Rekomendasi tersebut menyatakan bahwa Wali kota Bogor telah melakukan penyimpangan praktik administrasi, menilai tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan mengabaikan kewajiban hukum, meminta Wali kota Bogor untuk mencabut SK Nomor 645.45-137 tanggal 11 Maret 2011 dalam waktu 60 hari (18 September 2011), serta meminta Gubernur Jawa Barat agar berkoordinasi dengan Wali kota Bogor untuk melaksanakan rekomendasi tersebut dibawa pengawasan Menteri Dalam Negeri.[1]
Mahkamah Agung pada tanggal 1 Juni 2011 mengeluarkan fatwa bahwa Pemerintah Bogor harus melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 127 PK/TUN/2010, tentang Pembekuan IMB, yang sudah dilaksanakan oleh Wali kota Bogor Diani Budiarto, pada tanggal 8 Maret 2011.
MA juga menghimbau jika jemaat GKI Yasmin merasa dirugikan atas dikeluarkannya SK Nomor 645.45-137 Tahun 2011, tgl 11 Maret 2011, tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin, mereka dapat melakukan upaya hukum ke pengadilan yang berwenang.[1]
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengeluarkan rekomendasi bahwa Pemerintah Kota Bogor, Polresta Bogor, dan Polda Jabar terus melaksanakan langkah dan proses hingga mendapat kepastian hukum. Langkah persuasif terhadap pihak GKI Yasmin juga perlu diintensifkan, serta menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan jika jemaat GKI Yasmin bersedia untuk direlokasikan. Kementerian terkait diminta untuk memberikan dukungan kepada pemerintah Bogor hingga masalah ini dapat dfiselesaikan dalam waktu 3 bulan (19 Agustus 2011), Polresta Bogor dan Polda Jabar memberikan pengamanan terutama saat jemaat GKI Yasmin melaksanakan peribadatan pada hari minggu. Komunitas inteljen diminta melaksanakan penyelidikan terhadap usaha pihak tertentu yang berusaha memblow-up masalah ini menjadi isu internasional tentang diskriminasi antar umat beragama sehingga merugikan nama Indonesia di forum internasional.[1]
Pasca konflik hukum
Putusan PTUN dan MA sudah dilaksanakan sebelum rekomendasi Ombudsman muncul sehingga kini yang berlaku adalah Surat Keputusan (SK) Wali kota Bogor No. 645.45-137 tahun 2011 yang dikeluarkan pada 11 Maret 2011 tentang pencabutan IMB GKI Yasmin. Ketua Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia), Ahmad Iman, menegaskan bahwa kasus GKI Yasmin bukan persoalan kerukunan umat beragama, melainkan murni permasalahan hukum, yakni pemalsuan tanda tangan warga dalam proses pengajuan IMB GKI Yasmin. Forkami adalah perkumpulan warga Curug Mekar, Wangkal, dan Perumahan Taman Yasmin yang berdiri untuk mengawal kinerja aparat pemerintah dalam menangani kasus GKI Taman Yasmin Bogor, agar bekerja dengan baik, jujur, dan amanah.[2]
Tahun 2012, Albert Hasibuan, salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden, berinisatif menyelesaikan sengketa dengan mengajukan usulan agar wali kota Bogor menaati keputusan MA dan rekomendasi Ombudsman RI. Setelah gereja difungsikan kembali, maka di samping gereja dibangun masjid sebagai lambang kerukunan antar umat beragama. Kedua pihak setuju dengan tawaran tersebut. Menkopolkam TB Silalahi mengontak pengurus PGI (Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia) dan Sinode GKI untuk ikut menyelesaikan konflik, tetapi pengurus PGI menolak tawaran itu. Pengurus PGI mengingatkan TB Silalahi untuk tidak membuat opsi relokasi karena akan menjadi yurisprudensi bagi masalah gereja lain. Selain itu, menurut pendeta Gomar dari PGI, kebijakan relokasi akan memunculkan "kampung Islam dan kampung Kristen".[7]
TB Silalahi bersama Sinode GKI, tanpa melibatkan jemaat GKI Yasmin, mengadakan pertemuan dengan Wali kota Bogor. Pemerintah kota Bogor mengirimkan surat bernomor 452.1/1845/huk kepada Sinode GKI yang isinya adalah penawaran relokasi GKI Yasmin ke jalan Sumeru no 33 sebagai lokasi yang baru. GKI Pengadilan Bogor, induk Bapos Jemaat Yasmin, menghentikan pengurus Jemaat GKI Yasmin, kemudian menyerahkan penyelesaian persoalan kepada Sinode GKI. Sinode GKI mengeluarkan surat edaran kepada seluruh jemaat yang isinya pengambilalihan kasus GKI Yasmin serta semua publikasi yang menyangkut GKI Yasmin harus mendapat persetujuan dari Sinode. Kepada pengurus PGI, Sinode GKI mengirim surat yang isinya pelarangan ibadah di seberang istana sejak Maret 2012. Sinode GKI tidak akan bertanggungjawab jika masih ada ibadah yang mengatasnamakan GKI Yasmin di seberang istana. Semua aktivitas menyangkut GKI Yasmin yang bukan berasal dari Sinode tidak berada di bawah tanggungjawab Sinode.[7]
Bulan Desember 2012, pengurus Sinode GKI mengadakan rapat kerja dan memberikan keputusan menyangkut GKI Yasmin sebagai berikut:[7]
Sinode meminta wali kota Bogor mematuhi putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman RI yang menyebutkan bahwa GKI Yasmin tidak melanggar hukum.
Sinode meminta pencabutan pembekuan IMB bangunan gereja Yasmin.
Wali kota Bogor diminta membuka gembok gereja.
Tidak akan dilakukan relokasi.
Jika keempat keputusan itu dilaksanakan oleh wali kota Bogor, Sinode akan mengapresiasinya dengan tidak menjadikan lahan tempat berdirinya gereja Yasmin sebagai tempat ibadah.
Jemaat GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi memutuskan melaksanakan ibadah di depan Istana Negara dengan harapan bisa mendapat perhatian dari Presiden. Setiap dua minggu sekali para jemaat dari dua rumah ibadah tersebut melaksanakan ibadahnya di depan Istana Merdeka di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.[8]
Banyak kalangan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk turun tangan menertibkan Wali kota Bogor dan bertanggung jawab menutup polemik GKI Yasmin, karena dikhawatirkan kasus serupa akan menjalar kemana-mana. Pejuang HAM sekaligus pendiri lembaga pemantau HAM Imparsial, Rachland Nashidik, mengatakan, tidak tersedia dasar hukum yang cukup bagi presiden untuk melakukan intervensi. Meskipun Mendagri memerintahkan Wali kota membatalkan pencabutan IMB Gereja Yasmin, wali kota berkeras menolak dengan argumen putusan pengadilan pada tingkat PN dan Banding justru mengalahkan GKI Yasmin. Dalam kompleksitas masalah demikian, tidak tersedia dasar hukum yang cukup bagi Presiden untuk melakukan intervensi. Dalam era otonomi daerah saat ini, Presiden tidak bisa memecat kepala daerah yang melanggar konstitusi sekalipun. Pemcetan, bila dimungkinkan, hanya bisa dilakukan pada level pemerintahan daerah.[9]
Tanggal 15 Januari 2015, Majelis Jemaat GKI Pengadilan yang memiliki Wewenang Membawahi GKI Yasmin, Membubarkan GKI Yasmin.
Ranah internasional
Human Rights Watch
Kekisruhan rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin masuk dalam laporan dunia yang dikeluarkan Human Rights Watch tahun 2012. Laporan yang diberi nama "Human Rights Watch World Report 2012, Events of 2011", halaman 337, alinea 2 dan 3, dikeluarkan dan disebarluaskan secara mendunia oleh Human Rights Watch.[10]
"In January the Supreme Court ordered the reopening of a Presbyterian church known locally as GKI Yasmin, overturning the Bogor administration’s ruling which had revoked the church’s building permit. However, Bogor Mayor Diani Budiarto refused to comply. Government ministers offered the church “relocation.” In October an Islamist organization began to harass churchgoers who were holding Sunday services on a sidewalk outside the sealed church."
"Senior government officials—including Minister of Religious Affairs Suryadharma Ali, Home Affairs Minister Gamawan Fauzi, and Minister of Human Rights and Law Patrialis Akbar—continued to justify restrictions on religious freedom in the name of public order."
"Pada Januari Mahkamah Agung memerintahkan untuk membuka kembali sebuah gereja Presbyterian yang secara lokal dikenal sebagai GKI Yasmin, membatalkan keputusan pemerintah Bogor yang mencabut surat izin mendirikan bangunan gereja tersebut. Namun, Wali kota Bogor Diani Budiarto menolak untuk melaksanakan. Pejabat pemerintahan menawarkan "merelokasi" gereja. Pada Oktober sebuah organisasi Islam mulai melakukan kekerasan pada umat yang beribadah pada hari Minggu di tepi jalan gereja yang ditutup."
"Pejabat tinggi pemerintahan senior—termasuk Menteri AgamaSuryadharma Ali, Menteri Dalam NegeriGamawan Fauzi, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi ManusiaPatrialis Akbar— terus menegaskan pembatasan kebebasan beragama atas nama ketertiban umum."
Yang perlu dicermati, Ketua Desk Bidang Kebebasan Beragama dan Kepercayaan Komnas HAM, yaitu Jayadi Damanik, adalah anggota Jemaat GKI Yasmin. sehingga Komnas HAM dalam hal ini sudah mengalami Conflict of Interest, dan membuat Komnas HAM terlalu jauh menjadikan Permasalahan Hukum berubah menjadi permasalahan HAM.
Peduli Yasmin
Peduli Yasmin adalah perjuangan damai jemaat GKI Yasmin yang belandaskan keyakinan bahwa semangat iman dan kebangsaan mereka adalah satu, dengan demikian mereka memiliki hak yang sama untuk beribadah sebagaimana penduduk Indonesia yang lain.
Pada tanggal 25 Desember 2013, Anita Hayatunnufus Wahid dan Inayah Wulandari Wahid, dua putri Gus Dur, hadir dalam kebaktian Natal yang digelar jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia di depan Istana Negara. Mereka sengaja datang untuk memberikan dukungan kepada jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia Tambun agar dapat memperoleh kebebasan dan hak untuk beribadah di tempat yang layak.[11]