Pada tanggal 19 Juli 2017 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM secara resmi mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Pencabutan tersebut dilakukan sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[1][2]
Alasan pembubaran
Tiga alasan utama pembubaran HTI yang dipaparkan oleh Menko Polhukam Wiranto yaitu:
- Sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional.
- Kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
- Aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain dari alasan utama tersebut, sebelumnya telah banyak beredar statement-statement dari para pegiat HTI yang menentang dasar negara Pancasila dan UUD 45 dan menyebutkan bahwa Pancasila dan UUD 45 tersebut adalah sistim thaghut yang harus ditinggalkan sehingga akhirnya menimbulkan keresahan dimasyarakat. Keresahan masyarakat tersebut akhirnya mendorong pemerintah mengeluarkan PERPPU tentang organisasi masyarakat yang berujung dibubarkannya ormas Hizbut tahrir Indonesia ini.[3]
Uji materi atas Perppu No. 2 tahun 2017
Atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017, pada tanggal 18 Juli 2017 HTI mengajukan judicial review uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan didampingi oleh kuasa hukumnya, Prof. Yusril Ihza Mahendra. Melalui gugatan tersebut HTI bermaksud membatalkan beberapa pasal yang berpotensi multitafsir. Selain itu, terdapat ketidakjelasan mengenai definisi ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Salah satu materi gugatannya adalah menyinggung pasal 59 Ayat (4) sebagai salah satu pasal yang bersifat karet. Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan, "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun Perppu tersebut tidak menjelaskan secara rinci mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain, penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah.[4]
Pada tanggal 12 Desember 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Mahkamah menilai dalam salah satu poin pertimbangannya, bahwa para pemohon telah kehilangan objek perkara. Sebab, Perppu ormas yang diuji materi telah disahkan menjadi undang-undang.
Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di ruang sidang MK, "Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima, Mahkamah menilai pemohon kehilangan objek materi karena Perppu Ormas yang diuji materi sudah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. "Bahwa pemeriksaan terhadap permohonan a quo sesungguhnya telah sampai pada tahap pemeriksaan persidangan bersama-sama dengan permohonan lainnya yang memuat objek pengujian yang sama. Namun, sebelum sempat dilakukan pemeriksaan lebih jauh, Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal 24 Oktober 2017 telah menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang." [5]
Lihat pula
Referensi