Pada saat peristiwa Pemberontakan Trunajaya, Raden Mas Rahmat ditugasi oleh Amangkurat I untuk mempertahankan Plered. Namun, Raden Mas Rahmat menolak dan memilih ikut mengungsi bersama ayahnya, Amangkurat I. Pangeran Puger kakak tiri Raden Mas Rahmat menggantikan posisinya untuk membuktikan kepada Amangkurat I bahwa tidak semua anggota keluarga Kajoran terlibat dalam pemberontakan Trunajaya.
Amangkurat I kemudian wafat dalam pengungsiannya di Banyumas pada tanggal 13 Juli 1677 dan dimakamkan di daerah Tegal. Raden Mas Rahmat kemudian naik takhta sebagai Amangkurat II. Ia mulanya merupakan raja tanpa istana karena Plered telah diduduki oleh Pangeran Puger. Ia pun membangun istana baru di hutan Wanakarta yang kemudian diberi nama Kartasura pada bulan September 1680. Amangkurat II kemudian membujuk Pangeran Puger supaya bergabung dengannya tetapi ajakan tersebut ditolak.
Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya konflik. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Pangeran Puger kemudian mengakui kedaulatan Amangkurat II sebagai raja Mataram.
Terjadinya konflik
Pada tahun 1703, Amangkurat II meninggal dunia.[4] Penggantinya adalah putranya, Amangkurat III. Sedangkan pamannya, Pangeran Puger, bertikai dengannya dan terpaksa lari bersama keluarganya dari Kartasura ke Semarang untuk mencari bantuan VOC. Pangeran Puger menyatakan pada VOC bahwa Amangkurat III adalah musuh mereka bersama, dan sekutu musuh VOC, Untung Surapati. Dia juga menyatakan bahwa kebanyakan orang Jawa lebih mendukungnya sebagai raja. Cakraningrat II dari Madura mendukung tuntutan Pangeran Puger. Karena VOC menganggap Cakraningrat II sebagai sekutu yang tepercaya, akhirnya VOC setuju untuk mendukung Pangeran Puger.
Tahun 1704 VOC mengakui Pangeran Puger sebagai raja dengan gelar Pakubuwana I. Peristiwa ini merupakan awal dari apa yang disebut "Perang Takhta Jawa Pertama".
Daerah pesisir ternyata tidak tertarik mendukung Pakubuwana I. Banyak pemimpin pesisir lebih ingin menjadi bawahan VOC, terutama Cirebon, daripada terbawa dalam perang dan memikul beban kekuasaan Mataram. Namun VOC sendiri tidak tertarik dengan membawahi pemimpin tersebut.
Akhir 1704, Pakubuwana I berhasil menundukkan Demak. Agustus 1705, pasukan yang terdiri dari prajurit Jawa dan Madura, didukung orang Eropa dari VOC, Bugis, Makassar, Bali, Melayu, Banda, Ambon dan Mardijkers (orang pribumi berbahasa Portugis) menyerang Kartasura. Amangkurat III terpaksa melarikan diri ke timur dan mencari suaka pada Untung Surapati dengan membawa pusaka Mataram. Bulan September, Pakubuwana I masuk Kartasura dan menduduki takhta Mataram. Tahun-tahun berikutnya, persekutuan Mataram, VOC dan Madura menjalakan sejumlah kampanye. Untung Surapati terbunuh di Bangil tahun 1706. Pasuruan ditundukkan tahun 1707 dan Amangkurat III menyingkir ke Malang bersama para putra Untung Surapati. Dalam kampanye terakhir ini, pasukan gabungan Mataram dan sekutunya sempat berjumlah 46 000 prajurit. Perang ini sangat berat bebannya dari segi manusia dan dana.
Amangkurat III akhirnya setuju untuk berunding dengan VOC tahun 1708, dengan syarat dia diberi sebagian dari Jawa dan tidak tunduk pada Pakubuwana I. VOC mempunyai rencana lain. Mereka menangkap Amangkurat III dan mengasingkannya ke Sri Lanka, di mana dia meninggal tahun 1734.