Perang Kuning
Perang Kuning (Belanda: Geel Oorlog) adalah serangkaian perlawanan rakyat Lasem-Rembang dan sekitarnya terhadap kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Semarang (1741-1742) dan Lasem (1750). Konflik muncul sebagai dampak terjadinya peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740 yang diikuti migrasi besar-besaran penduduk Tionghoa dari Batavia ke Semarang dan Lasem. Peristiwa tersebut menimbulkan terjadinya pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1741-1743), sementara Perang Kuning merupakan perang yang dikobarkan oleh masyarakat Lasem secara khusus.[1][2][3] Peperangan pada akhirnya dimenangkan oleh Belanda setelah jatuhnya banyak korban jiwa pada kedua belah pihak serta menyebabkan wilayah Lasem dipisahkan dari Rembang secara de facto.[4] Akhir peperangan ini juga menandakan berakhirnya seluruh perlawanan rakyat Lasem terhadap kekuasaan Kompeni serta kekuasaan keluarga Tejakusuman di Lasem.[3] Setelah terjadi peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740, banyak imigran Tionghoa yang datang ke Lasem untuk mengungsi. Kedatangan mereka disambut oleh Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang mengizinkan mereka untuk membuka beberapa perkampungan baru. Bersamaan dengan berkobarnya pemberontakan melawan Kompeni oleh gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, warga Lasem mengangkat tiga pemimpin pemberontak bernama Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie. Pasukan pemberontak dari Lasem (juga dikenal dengan nama "Laskar Dampo Awang Lasem") pada mulanya berhasil menguasai Rembang, tetapi menderita kekalahan saat menyerang Jepara, disertai gugurnya salah satu pemimpin pemberontak Tan Kee Wie pada tahun 1742. Peperangan berhenti selama bertahun-tahun hingga akhirnya pemberontakan kembali dikobarkan oleh Kyai Ali Badawi. Pada perang pada tahun 1950 tersebut, Raden Panji Margono, diikuti oleh Oei Ing Kiat, mengalami kekalahan dan gugur. Meskipun perlawanan rakyat Lasem berakhir dengan kekalahan tersebut, nama Perang Kuning selanjutnya digunakan untuk merujuk peperangan yang dilanjutkan oleh Kwee An Say dan Tan Wan Sui.[1][4] Latar belakangLasem sebelum tahun 1741Lasem merupakan daerah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Pada tahun 1679, VOC dengan bantuan Amangkurat II menyerang Lasem agar dapat memonopoli perdagangan di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Peperangan tersebut menimbulkan kebencian warga Lasem, baik pribumi maupun Tionghoa, terhadap Belanda maupun penguasa Mataram yang menjadi boneka Belanda.[5] Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwana I mengangkat Pangeran Panji Sasongko (bergelar Tejakusuma V) menjadi Adipati Lasem (1714-1727). Meskipun demikian, Pangeran Tejakusuma V tidak menyukai Sunan Pakubowono I dan penggantinya, Sunan Pakubuwana II, karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dengan Belanda. Sebagaimana penduduk Lasem yang lain, ia menaruh kebencian terhadap Belanda. Setelah pemberontakan di Mataram mereda, Pangeran Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan, tetapi putranya yang bernama Raden Panji Margono tidak berminat menggantikan kedudukannya, karena lebih memilih bertani dan berdagang dengan penduduk Tionghoa di Lasem dan sekitarnya. Akhirnya, jabatan Adipati Lasem diserahkan kepada Oei Ing Kiat yang selanjutnya dilantik oleh Sunan Pakubuwana II pada tahun 1727 dengan gelar Tumenggung Widyaningrat.[5] Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) adalah seorang Tionghoa beragama Islam yang sangat kaya, keturunan Bi Nang Oen yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen adalah seorang pujangga dari Campa yang menjadi penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad XV. Oei Ing Kiat sendiri merupakan pengusaha dan syahbandar yang memiliki banyak kapal junk dan perahu antar pulau.[4] Pengungsian dari BataviaPeristiwa Geger Pacinan pada tahun 1740 tidak lepas dari jatuhnya harga gula yang merupakan salah satu produk ekspor utama VOC ke Eropa sehingga kondisi keuangan kongsi dagang asal Belanda tersebut memburuk. Hal tersebut meresahkan penduduk miskin Tionghoa yang menjadi buruh pabrik gula, terutama Gubernur Jenderal VOC saat itu, Adriaan Valckenier, memperketat kebijakan untuk mendeportasi warga Tionghoa yang mencurigakan ke Ceylon (Sri Lanka). Namun, terdapat isu yang mengatakan bahwa orang-orang yang dideportasi tidak diturunkan di Ceylon melainkan dibuang di tengah laut. Keresahan tersebut menyebabkan terjadinya pemberontakan oleh etnis Tionghoa yang berujung pada terjadinya pembantaian sekitar 10.000 jiwa etnis Tionghoa di Batavia (9-10 Oktober 1740). Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan Tragedi Angke dan dicatat dalam Babad Tanah Jawi sebagai Geger Pacinan. Akibat peristiwa tersebut, pada tahun 1741 sekitar 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di kota-kota pesisir Jawa yang aman, salah satunya adalah Lasem. Mereka melihat penguasa di Lasem adalah seorang dari etnis Tionghoa yang bisa melindungi mereka. Mengetahui peristiwa tersebut, Oei Ing Kiat dan penduduk Lasem baik pribumi maupun Tionghoa menjadi semakin benci terhadap Kompeni Belanda. Oei Ing Kiat atau dikenal sebagai Tumenggung Widyaningrat mengizinkan para pengungsi untuk menetap dan membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kemandung Karangturi, Pereng, dan Soditan.[3][6] Sebagai dampaknya, warga Lasem berniat melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan mengangkat tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Raden Panji Margono, Raden Ngabehi Widyaningrat (Oei Ing Kiat), dan Tan Kee Wie. Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang (Tan Pan Tjiang, berbeda dari Khe Pandjang yang memimpin para pengungsi Tionghoa dari Batavia).[4][7] Tan Kee Wie dikenal sebagai juragan bata yang dermawan.[4] Selain sebagai pengusaha, ia juga dikenal sebagai pendekar atau guru kungfu.[8][9] Diceritakan bahwa dirinya mengangkat sumpah saudara dengan Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono.[10][note 1] Perang tahun 1741-1742Selama akhir 1740 hingga Juli 1742, Pakubuwono II beserta para penasihatnya berunding, apakah sebaiknya mereka bergabung dengan pergerakan pasukan Tionghoa atau membantu Kompeni Belanda sehingga akan memperkokoh hubungan yang selama ini telah terjalin dengan baik. Di antarayang menentang rencana tersebut adalah Pangeran Ngabehi Loringpasar, Ratu Amangkurat, dan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura. Di lain pihak, Tumenggung Martopuro merupakan salah satu penasihat yang mengusulkan untuk ikut mengadakan perlawan terhadap pendudukan Kompeni Belanda. Oleh sebab itu, ia diminta untuk menyelidiki penduduk Tionghoa yang berada di wilayahnya. Pada 11 Mei 1741, Pakubuwono II meminta para penguasa di daerah pesisir untuk bersumpah setia kepadanya, jika hubungannnya dengan Belanda benar-benar putus. Keputusan Pakubuwana II menyebabkan Adipati Cakraningrat IV memberikan dukungannya kepada VOC dan memberantas pergerakan pemberontakan Tionghoa.[11][12] Penyerangan ke SemarangBabad Tanah Jawi menyebutkan dua orang pemimpin laskar Tionghoa bernama Encik Macan (Tan Pan Ciang atau Raden Panji Margono) dan Muda Tik (Oei Ing Kiat) mengumpulkan pasukan laskar Tionghoa yang berkumpul di Puwun (Jati Pohon Purwoto), Gerobogan. Pemerintah Gerobogan saat itu, Tumenggung Martopuro, memanggil keduanya untuk menegaskan siapa yang akan mereka lawan. Tumenggung Martopuro memberi nasihat supaya mereka tidak melawan pemerintah Kartasura karena merupakan milik negara, selain juga untuk menghindari supaya jangan sampai pasukan mereka diserang oleh Belanda sekaligus oleh pasukan Kartasura. Mereka diutus menemui pemimpin pasukan laskar Tionghoa di Tanjung Welahan yang disebut Shingshe (bernama asli Tan Sin Kho) untuk menanyakan kesanggupan Shingshe melawan pasukan Belanda di Semarang. Jika memang Shingshe telah bertekad untuk berperang, Tumenggung Martopuro juga akan dengan tegas mengumumkan dirinya melawan Kompeni. Setelah mengetahui bahwa pemerintahan Kartasura (Pakubuwana II) merestui penyerangan tersebut, Shingshe menyerahkan upeti berupa kain beludru terbaik (Molio Kustup), Surosari real 700 susun, dan kain sutra 2 pikul berwarna hijau dan merah sebagai ungkapan terima kasih kepada Tumenggung Martopuro. Tumenggung Martopuro gembira karena maksud dan tujuannya telah tercapai, yaitu seluruh laskar Tionghoa di Puwun dan Tanjung Welahan telah sepakat menyerang Kompeni Belanda.[13] Dalam perjalanan menuju Semarang, pasukan yang dipimpin Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat berhasil memberantas bandit-bandit setelah melakukan pertempuran di dekat Lasem. Lokasi pertempuran terletak sekitar 3 kilometer dari Lasem, pada sebuah tempat yang dinamakan Desa Godou. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama Perang Godou Balik (Perang Godho Balik). Pada tanggal 23 Mei 1741, pasukan Tionghoa yang berkumpul di Welahan bergerak ke Timur dan menyerang Juwana serta Rembang. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Tionghoa pada tanggal 27 Juli 1741 dan menimbulkan banyak korban di pihak Kompeni. Meskipun demikian, pasukan Cakraningrat IV telah menyapu bersih seluruh etnis Tionghoa yang berada di Surabaya, Pasuruan, dan Gresik pada tanggal 12 Juli 1741. Tanggal 31 Juli 1741, pasukan Jawa-Tionghoa mulai mengepung Kota Jepara. Di Kertasura sendiri, Pakubuwana II mengerahkan pasukan untuk menyerang pos VOC di sana, mengakibatkan Kapiten Johannes van Velsen yang menjadi komandan serta beberapa serdadu lainnya tewas, dan sisanya diberi pilihan untuk memeluk agama Islam atau dibunuh.[12] Selanjutnya, pasukan Tionghoa bergerak menuju Semarang dengan kekuatan sekitar 20.000 prajurit Jawa, 3.500 prajurit Tionghoa, dan 30 buah meriam. Pasukan pemberontak berhasil menduduki wilayah Kampung Tionghoa dan Kaligawe, sementara Kompeni masih menguasai pemukiman Eropa, benteng, dan pesisir pantai. Setelah pasukan VOC di Semarang memperoleh bantuan, pasukan VOC menjadi berjumlah lebih dari 3.400 orang dan berhasil memukul mundur para pemberontak.[12] Menurut arsip Tionghoa di Kongkoan, pemimpin pasukan Tionghoa dari Tanjung bernama Ouw Seng berselisih dengan pemimpin pasukan Tionghoa dari Batavia bernama Tay Pan. Hal tersebut membuat Pakubuwana II menyetujui nasihat-nasihat untuk memutuskan hubungan dengan pemberontak Tionghoa, kecuali tujuh orang pangeran. Pakubuwana II kemudian menyuap para pemimpin pasukan Tionghoa untuk membunuh ketujuh pangeran tersebut dengan alasan bahwa mereka telah bersekongkol dengan Kompeni Belanda. Seorang dari pemimpin Tionghoa menyembunyikan ketujuh pangeran tersebut dan salah satunya disembunyikan di Kudus. Sikap mendua Pakubuwana II membuatnya kehilangan dukungan para pendukungnya yang anti-VOC sehingga mereka melakukan makar dengan menyerang keraton. Sebelumnya, pada tanggal 6 April 1742 di Pati, pasukan pemberontak menyatakan untuk menurunkan Susuhunan Pakubuwana II dan mengangkat Raden Mas Garendi sebagai susuhunan yang baru, dengan gelar Sunan Kuning. Akhirnya Keraton Surakarta jatuh pada tanggal 30 Juni 1742, Pakubuwana II, Ratu Amangkurat, dan anggota keluarga kerajaan yang lain berhasil melarikan diri. Pada tanggal 26 November 1742, pasukan Cakraningrat IV berhasil merebut kembali keraton dengan bantuan dua jenderal Tionghoa yang datang ke Jawa untuk berdagang. Setelah Pakubuwono II kembali bertahta, kedua jenderal tersebut masuk agama Islam dan diberi gelar Raden Tumenggung Jojonegoro dan Raden Tumenggung Setianegoro.[12] Penyerangan ke JuwanaPasukan laskar Dampo Awang Lasem yang dipimpin oleh Raden Panji Margono, Tan Kee Wie, dan Oei Ing Kiat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasukan yang menyerang dari laut dan pasukan infanteri di darat. Pasukan laut dipimpin oleh Tan Kee Wie, sementara pasukan infanteri dipimpin oleh Raden Panji Margana dan Oei Ing Kiat. Mereka menggunakan taktik menguasai daerah pelabuhan terlebih dahulu (oleh pasukan yang dipimpin Tan Kee Wie) selanjutnya bergerak ke pusat kota dimana tangsi Belanda berada. Dalam serangan tersebut, laskar Dampo Awang Lasem memperoleh bantuan dari para pemberontak Dresi dan Jangkungan dan berhasil memperoleh kemenangan.[3][4] Setelah kemenangan di Rembang, pasukan pemberontak bergerak ke Barat menuju tangsi Belanda yang terletak di sisi timur Sungai Juwana. Armada kapal jung yang dipimpin Tan Kee Wie berangkat dari Dresi bersama-sama dengan kelompok pemberontak (disebut "brandal") Dresi dan Jangkungan. Saat singgah di pesisir Tayu, mereka kembali memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Tionghoa Tayu. Namun, tangsi di Juwana telah diperkuat senapan dan meriam dari Semarang. Pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat antara Ujung Watu dan Pulau Mandalika, armada Tan Kee Wie ditembaki oleh meriam yang diletakkan di kedua sisi dan menyebabkan pemimpin pemberontak tersebut gugur karena kapalnya menjadi korban. Untuk menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan pasukan yang gugur, sebuah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi, di tepi muara sungai Paturen yang membelah kota Lasem.[3] Penyerangan dilanjutkan keesokan harinya menjelang subuh, pasukan pemberontak menggunakan rakit bambu dan batang pisang untuk menyeberang. Pertempuran besar di alun-alun menjadi pertempuran jarak dekat sehingga penggunaan meriam dan senapan menjadi tidak efektif. Pasukan pemberontak memperoleh bantuan dari pasukan Jawa-Tionghoa dari Purwodadi (Gerobogan), Jaken, dan Blora yang menyerang Kota Juwana dari utara. Namun, pasukan Belanda memperoleh bantuan dari pasukan Pati dan Semarang serta pasukan Tumenggung Cakraningrat IV dari Tuban sehingga pasukan pemberontak mengalami kekalahan. Pasukan pemberontak yang tersisa berusaha mundur ke laut tetapi tidak berhasil, akhirnya mereka menembus pasukan dari darat dalam keadaan tercerai-berai.[3][4] Raden Panji Margono dan pengawalnya yang bernama Ki Galiyo pada saat itu mengenakan pakaian khas Tionghoa. Agar dapat lolos dan kembali dengan selamat ke Lasem, mereka mengganti pakaian mereka dengan pakaian Jawa di Desa Raci. Selain itu, mereka membeli berbagai pekakas dapur bekas dan menyamar sebagai tukang loak barang tembaga hingga ke Lasem. Oei Ing Kiat sendiri melepas pakaian hitamnya dan menyamar menjadi orang Jawa. Sesampainya di Kartasura, ia melapor ke Sunan Pakubuwono II bahwa ia lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Meskipun demikian, Oei Ing Kiat dicurigai keterlibatannya dengan pemberontakan sehingga kedudukannya sebagai Adipati Lasem dicopot oleh Sunan Pakubuwono II dan diganti jabatan buatan VOC, yaitu Tumenggung Mayor Tituler yang hanya memiliki wewenang untuk mengatur orang Tionghoa Lasem. Pada tahun 1745, Gubernur Jendral VOC Baron van Imhoff mengangkat Suro Adimenggolo III sebagai Bupati Lasem yang berkedudukan di Tulis.[3][5] Penguasaan BelandaSetelah Kartasura berhasil kembali direbut, Belanda menetapkan kembali Pakubuwono II sebagai raja atas Mataram, sementara ibu kota kerajaan dipindahkan ke Surakarta. Cakraningrat IV tidak memperoleh kekuasaan atas Jawa Timur sebagaimana yang dijanjikan oleh Belanda sehingga ia merasa ditipu dan melancarkan pemberontakan pada tahun 1745. Namun, pemberontakannya mengalami kegagalan setelah putranya menyerah dan diangkan menjadi Bupati Sampang. Cakraningrat IV melarikan diri ke Banjarmasin, tetapi dikhianati dan diserahkan ke VOC. Pada tahun 1746, ia diasingkan ke Tanjung Harapan hingga akhir hidupnya.[12] Pakubuwono II sendiri pada tahun 1743 dipaksa untuk menandatangani perjanjian bahwa ia menyerahkan pantai utara Jawa, Madura, dan wilayah timur Jawa kepada Belanda; melepas hak untuk membuat uang; menyerahkan upeti sebanyak 5000 koyan (8600 metrik ton) beras setiap tahunnya; melarang penduduk Jawa untuk berlayar keluar pulau Jawa, Madura, dan Bali; patih hanya dapat dipilih atas persetujuan VOC; dan harus ada garnisun VOC di dalam keraton.[7][12] Dengan kekuasaan tersebut, VOC mengangkat Suro Adimenggolo III sebagai Bupati Lasem pada tahun 1745. Suro Adimenggolo III memiliki sikap yang memihak VOC sehingga keberadaannya di Lasem tidak disukai masyarakat di sana. Ia tidak menempati istana Tejakusuman yang ditempati oleh Raden Panji Margono atau istana yang dibangun Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat), melainkan membangun kediamannya sendiri di Tulis. Pada tahun 1747, ia mengeluarkan pengumuman yang menyulut kemarahan penduduk Lasem sebagai berikut:[5]
Setelah pengumuman tersebut, ribuan kitab dan lontar dikumpulkan di alun-alun dan dibakar. Hanya kitab-kitab di kediaman Raden Panji Margono yang selamat karena VOC tidak berani mengambil. Kejadian tersebut menyebabkan adanya ancaman pembunuhan terhadap Adi Suromenggolo sehingga ia memindahkan kediamannya dari Tulis ke Magersari, Rembang. VOC juga memindahkan benteng Tulis ke Rembang.[5] Perang tahun 1750Setelah selama beberapa tahun tidak terjadi perlawanan terhadap kekuasaan VOC, pada Agustus 1750 Raden Panji Margono mendengar bahwa para pemberontak di Argosoka berniat untuk mengangkat senjata. Hal tersebut membuat semangatnya kembali bangkit. Ia meminta penduduk Lasem untuk berkumpul di alun-alun depan masjid Lasem pada keesokan harinya, pada saat sembahyang Jumat. Pengajian tersebut dipimpin oleh Kyai Ali Badawi, seorang ulama besar di lasem yang mengasuk Pondok Pesantren Purikawak di Sumurkepel, selatan masjid Lasem. Setelah memimpin pengajian, Kyai Ali Badawi mengajak umat untuk berperang jihad mengusir Belanda dari Rembang dan bergabung dengan para pemberontak Tionghoa. Oei Ing Kiat juga kembali bangkit memimpin para pemberontak Tionghoa untuk berperang. Namun, rencana penyerangan bocor dua minggu sebelumnya sehingga Belanda dan Adipati Suroadimenggolo III sempat mengungsi ke Jepara.[4][6] Peperangan antara VOC dan pasukan pemberontak kembali meletus. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Aragosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran. Pasukan VOC dari Jepara berusaha melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem), tetapi kehadiran mereka dihadang pasukan Lasem dibawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang. Selama ini senjata-senjata tersebut disembunyikan di dalam terowongan yang digali di tepi Sungai Paturenan. Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan yang dipimpin Kyai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma, tetapi banyak yang tewas akibat serangan meriam dari kapal VOC. Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut. Di Narukan, perut sebelah kiri Raden Panji Margono terkena sabetan pedang hingga sebagian ususnya keluar. Ia digendong oleh pengawal pribadinya, yaitu Ki Galiya, dengan perlindungan Ki Mursada. Setelah mencapai tempat aman di utara Gombong, luka Raden Panji Margono dirawat, tetapi ia meninggal karena kehabisan banyak darah. Sebelumnya, ia meninggalan wasiat sebagai berikut:[4]
Berita kematian Raden Panji Margono membuat Oei Ing Kiat menjadi gelap mata. Ia maju ke depan medan peperangan dengan menggunakan pedang hingga akhirnya tertembak di dada oleh serdadu dari Ambon. Pada saat mundur, ia ambruk dan dikelilingi orang-orang. Ia meninggalkan pesan sebagai berikut:
Hasil akhir peperanganSetelah kematian Oei Ing Kiat, perlawanan di Lasem benar-benar padam. Lasem kembali dikuasai oleh Belanda, rumah Oei Ing Kiat digunakan oleh keponakannya yang diangkat menjadi Kapten Tituler Lasem, sementara seluruh jung dan perahunya disita. Kediaman Tejakusuman milik Raden Panji Margono ditinggali oleh Mr. Happen, seorang kontrolir Belanda, pada tahun 1751.[3] Wilayah Lasem dipisahkan dari Rembang secara de facto. Rembang dipimpin oleh Hangabei Honggojoyo sementara Lasem dipimpin Tumenggung Citrasoma IV. Suroadimenggolo III dikembalikan ke Semarang karena dinilai gagal mencegah pemberontakan masyarakat Lasem.[4] Pada tahun 1780, setelah keadaan di Lasem tenang, penduduk Tionghoa di Babagan, Lasem mendirikan Klenteng Gie Yong Bio untung mengenang jasa ketiga pemimpin pemberontakan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.[14] Catatan
Referensi
|