Amangkurat II

Amangkurat II
ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧒꧇
Sunan Amral
Amangkurat II menusuk Raden Trunajaya dengan keris setelah berakhirnya Pemberontakan Trunajaya (1680). Lukisan dari akhir abad ke-19.[1]
Susuhunan Mataram
ke-5
Berkuasa1677–1703 (26 tahun berkuasa)
Penobatan1677; 346 tahun lalu (1677)
PendahuluAmangkurat I
PenerusAmangkurat III
KelahiranRaden Mas Rahmat
Tidak diketahui
Kesultanan Mataram Mataram
Kematian1703
Kesultanan Mataram Mataram
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping II
Nama anumerta
Sunan Amral
Bahasa Jawaꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧒꧇
WangsaWangsa Mataram
AyahAmangkurat I
IbuRatu Kulon
AgamaIslam

Sunan Amangkurat II (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧒꧇, translit. amangkurat kapindo, har. 'amangkurat dua', dikenal juga sebagai Sunan Amral) adalah susuhunan Mataram kelima yang memerintah dari tahun 1677 hingga 1703 dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Keraton Plered menuju ke Keraton Kartasura.[2] Ia merupakan sunan yang suka memakai seragam angkatan laut Belanda sehingga Amangkurat II dijuluki sebagai Sunan Amral. "Amral" merupakan ejaan Jawa untuk admiral (laksamana).[3]

Kehidupan awal

Sunan Amangkurat II atau Sunan Amral adalah putra dari Amangkurat I dan Ratu Kulon, dan memiliki nama asli Raden Mas Rahmat.[4] Setelah ibunya meninggal dunia, ia dibesarkan di Surabaya oleh kakeknya dari pihak ibu, Pangeran Pekik.[5] Semasa menjadi putra mahkota, Raden Mas Rahmat berselisih dengan ayahnya sendiri karena ada berita bahwa jabatan Adipati Anom (putra mahkota) akan digantikan dengan putra Amangkurat I yang lain, yaitu Pangeran Singasari.[4] Akhirnya pada tahun 1661, Raden Mas Rahmat melakukan pemberontakan, tetapi Amangkurat I dapat menumpasnya.

Perselisihan ini semakin memburuk di tahun 1668 ketika Raden Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, seorang gadis dari Surabaya yang hendak dijadikan sebagai selir ayahnya. Berkat bantuan kakeknya, ia bisa mengambil Rara Oyi dari ayahnya untuk dinikahkan. Akibatnya, Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga beserta pengikutnya. Raden Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.[4][5]

Pindah ke Kartasura

Pada tahun 1680, Amangkurat II memerintahkan pembersihan hutan di daerah Wanakarta (berjarak sekitar 10 kilometer di selatan Surakarta)[6] untuk dibangun sebuah keraton baru. Keraton ini kemudian diberi nama Keraton Kartasura.[7] Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Keraton Plered setelah kota itu ditinggalkan oleh Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukanlah Raden Mas Rahmat (kakaknya), melainkan anak Cornelis Speelman yang menyamar sebagai Raden Mas Rahmat. Berita simpang siur ini muncul pada 1680 dan akhirnya menyebabkan kericuhan di tengah rakyat.

Perang antara Keraton Plered (Pangeran Puger) dengan Keraton Kartasura (Amangkurat II) meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kalah. Babad Tanah Jawi menyebut istana Plered di Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah keraton baru sebagai penerus dari keraton Plered, seusai pemberontakan Trunajaya. Kemudian yang memberikan legitimasi pengasahan kekuasaan Amangkurat ke II adalah Panembahan Natapraja dari Adilangu yang dianggap sebagai sesepuh Mataram.

Sikap terhadap VOC

Lukisan dari abad ke-18 yang menggambarkan kematian François Tack.

Amangkurat II dikisahkan sebagai sunan berhati lemah yang mudah dipengaruhi. Pangeran Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan. Amangkurat II naik takhta atas bantuan VOC dan pada awal pemerintahannya tampak dengan mudah tunduk pada VOC.[8] Ia juga berhutang atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang tersebut.

Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini berhasil dipadamkan.

Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma. Untung Suropati diberinya tempat tinggal di desa Babirong untuk menyusun kekuatan.

Bulan Februari 1686 Kapten François Tack tiba di Kartasura untuk menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC dalam pertempuran di keraton Kartasura. Setelah Pasukan Tack masuk dalam perangkap, Untung Suropati serta pasukannya lalu menumpas habis pasukan Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh pasukan Untung Suropati.

Amangkurat II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati Jangrana.

Kehidupan pribadi

Amangkurat II dikabarkan memiliki banyak istri, tetapi hanya memiliki satu putra, yaitu Raden Mas Sutikna. Menurut Babad Tanah Jawi, ibunya mengguna-guna semua istrinya yang lain sehingga mandul.[9]

Kehidupan selanjutnya

Setelah Amangkurat II berhasil menumpas berbagai pemberontakan berkat bantuan VOC dan kerajaannya dirasa aman, ia mulai hilang rasa hormat pada VOC dan tidak lagi bergantung pada VOC.[8] Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar oleh VOC. Pihak VOC menemukan surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi VOC. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan Kapitan Jonker tahun 1689.

Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di Pasuruan.

Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ "Vorst Mangkoe Rat II doorsteekt met zijn kris, genaamd "de eerwaarde Blabor", den opstandeling Troenadjaja, dien hij met zijne twee vrouwen Kliting Koening en Kliting Woengoe, zusters van den vorst voor zich had laten komen, niettegenstaande dien opst..." Digital Collections - Leiden University Libraries. Diakses tanggal 2021-05-21. 
  2. ^ Ricklefs 1998, hlm. XXII.
  3. ^ Pemberton 1994, hlm. 58.
  4. ^ a b c BPCB Jateng (2014-06-19). "Komplek Makam Tegal Arum Kabupaten Tegal". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-11. Diakses tanggal 2021-04-11. 
  5. ^ a b Matanasi, Petrik. "Permusuhan Raja Jawa dengan Anaknya Sendiri". Tirto.id. Diakses tanggal 2021-04-11. 
  6. ^ Galbraith, Francis J. (1949). Preliminary Observations for a Study of Javanese Culture. Department of State, Foreign Service Institute. 
  7. ^ Ricklefs 1998, hlm. 79.
  8. ^ a b Ricklefs, M.C (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. 
  9. ^ "Amangkurat II". Situs Web Kepustakaan Keraton Nusantara. Diakses tanggal 2021-04-11. 

Daftar pustaka

Amangkurat II
Lahir: Tidak diketahui Meninggal: 1703
Gelar
Didahului oleh:
Amangkurat I
Susuhunan Mataram
1677 ‒ 1703
Diteruskan oleh:
Amangkurat III

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41