Sunan Amangkurat III (bahasa Jawa: ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀꧇꧓꧇, translit. amangkurat katelu, har. 'amangkurat tiga', dikenal juga sebagai Sunan Mas; tanggal lahir tidak diketahui, wafat di Sri Lanka tahun 1734), adalah susuhunan Mataram yang memerintah antara tahun 1703 – 1705.
Silsilah
Sunan Amangkurat III atau Sunan Mas memiliki nama asli Raden Mas Sutikna. Dia adalah satu-satunya putra almarhun Amangkurat II. Ia juga dijuluki sebagai Pangeran Kencet, karena menderita sakit di bagian tumit.
Setelah wafatnya Amangkurat II pada 1703, timbul polemik di kalangan keluarga karaton dalam proses suksesi kepemimpinan Mataram selanjutnya. Adanya perbedaan pandangan dalam keluarga karaton Raden Mas Sutikna segera mengukuhkan diri sebagai penerus takhta Mataram selanjutnya dengan gelar Susuhunan Amangkurat III. Namun, timbul penolakan dari berbagai kalangan.
Sebagian pejabat karaton dan rakyat kebanyakan meyakini bahwa sejatinya yang lebih layak menjadi susuhunan Mataram selanjutnya adalah Pangeran Puger, paman Raden Mas Sutikna atau adik kandung Amangkurat II.
Sebagai satu-satunya anak lelaki Amangkurat II, Raden Mas Sutikna tetap naik takhta dan dinobatkan sebagai susuhunan Mataram. Ia menyandang gelar Amangkurat III, sering pula disebut dengan nama Sunan Mas.
Pemerintahan
Suksesi di Kartasura
Amangkurat III naik takhta di Karaton Kartasura menggantikan Amangkurat II, ayahnya yang meninggal tahun 1702. Menurut Babad Tanah Jawi, sebenarnya yang mendapat restu adalah pamannya, yaitu Pangeran Puger.
Dukungan terhadap Pangeran Puger pun mengalir dari para pejabat yang kurang menyukai kepemimpinan Amangkurat III. Hal ini membuat Amangkurat III resah. Ia menceraikan Raden Ayu Himpun dan mengangkat permaisuri baru, seorang gadis dari desa Onje.
Tekanan terhadap keluarganya membuat Raden Suryakusuma (putra Pangeran Puger) memberontak. Amangkurat III yang ketakutan segera mengurung Pangeran Puger sekeluarga. Mereka kemudian dibebaskan kembali atas bujukan Patih Sumabrata.[1]
Dukungan terhadap Pangeran Puger untuk menduduki takhta kembali mengalir. Akhirnya, pada tahun 1704, Amangkurat III mengirim utusan untuk memburu Pangeran Puger, tetapi sasarannya itu lebih dulu melarikan diri ke Semarang.
Meninggalkan Kartasura
Pangeran Puger di Semarang mendapat dukungan VOC, dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Ia pun mengangkat dirinya sebagai susuhunan bergelar Pakubuwana I. Gabungan pasukannya bergerak tahun 1705 untuk merebut Karaton Kartasura. Amangkurat III membangun pertahanan di Ungaran dipimpin pamannya, Arya Mataram yang diam-diam ternyata mendukung Pakubuwana I.
Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya meninggalkan Kartasura. Namun, akhirnya ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I, yang tidak lain adalah pamannya sendiri.
Pemerintahan Amangkurat III yang singkat ini bagi sebagian pendapat merupakan kutukan Amangkurat I terhadap Amangkurat II yang telah meracuni minumannya ketika melarikan diri saat Karaton Plered runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 silam.
Konon, Amangkurat II dikutuk bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi sunan, kecuali satu orang (Amangkurat III) dan itu pun hanya sebentar. Kisah pengutukan ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi.
Akhir pemerintahan
Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa pusaka karaton. Untung Surapati bupati Pasuruan yang anti VOC segera mengirim bantuan untuk melindungi Amangkurat III. Gabungan pasukan Kartasura, VOC, Madura, dan Surabaya bergerak menyerbu Pasuruan tahun 1706. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Surapati tewas. Putra-putranya kemudian bergabung dengan Amangkurat III di Malang.[2]
Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
Pengasingan
Pangeran Balitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya menyerahkan pusaka-pusaka karaton, tetapi ditolak. Amangkurat III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut untuk diasingkan ke Sri Lanka hingga wafat pada tahun 1734.
Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun, Pakubuwana I mengumumkan bahwa pusaka Tanah Jawa yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
Referensi
- ^ Adrisijanti, Inajati (2000). Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Jendela.
- ^ Ricklefs, M.C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Kepustakaan
- Abdul Muis. 1999. Surapati. cet. 11. Jakarta: Balai Pustaka* Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Lihat pula