Oei Tiong Ham Concern atau biasa disingkat menjadi OTHC, dulu adalah sebuah konglomeratmultinasional yang berkantor pusat di Hindia Belanda (setelah tahun 1945, Indonesia). OTHC merupakan konglomerat multinasional terbesar di Asia Tenggara pada zamannya.
OTHC memulai sejarahnya dari Kian Gwan (Mandarin 建源, Jianyuan) yang didirikan pada tahun 1863 di Semarang, Jawa Tengah oleh Oei Tjie Sien, seorang imigran dari Fujian, Tiongkok dengan modal sebesar 3 juta gulden. Kian Gwan terutama mengekspor hasil-hasil bumi seperti gula dan ikan, serta mengimpor teh dan sutra dari Tiongkok. Mulai tahun 1890 hingga 1903, Kian Gwan mencatatkan keuntungan sebesar 18 juta gulden.
Ekspansi
Di bawah kepemimpinan anak Oei Tjie Sien, yakni Oei Tiong Ham, Kian Gwan melakukan ekspansi besar-besaran dan berhasil menjadi konglomerat multinasional pertama di Asia Tenggara. Konglomerat tersebut kemudian dikenal dengan nama Oei Tiong Ham Concern (OTHC).
Oei Tiong Ham meninggal di Singapura pada tahun 1924. Dalam wasiatnya, ia menetapkan sembilan anaknya sebagai ahli waris, salah satunya adalah Oei Tjong Hauw, yang ditunjuk untuk memimpin bisnis OTHC di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Tjong Hauw, OTHC terus berekspansi dengan membuka pabrik pengolahan karet di Sumatra dan cabang-cabang di luar negeri, seperti pabrik penyulingan alkohol di Shanghai. Sejumlah aset OTHC di Indonesia kemudian hancur akibat perang. Tjong Hauw lalu meninggal secara mendadak pada tahun 1950.[1]
Setelah Tjong Hauw meninggal, bisnis OTHC di Indonesia dipimpin oleh putra bungsu Oei Tiong Ham, yakni Oei Tjong Tjay, serta putra Tjong Hauw, yakni Oei Ing Swie.[1] Tjong Tjay yang saat itu masih berumur 27 tahun pun kesulitan beradaptasi dengan iklim bisnis di Indonesia, terutama karena ia besar di luar Indonesia, sehingga tidak terlalu mahir berbahasa Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada saat itu juga membuat OTHC sulit berekspansi. Banyak yang menganggap OTHC pro-Belanda, karena dekat dengan pihak Belanda pada saat perang.[1] OTHC kemudian mendirikan sejumlah perusahaan patungan dengan tokoh-tokoh lokal dan Pemerintah Indonesia, seperti Phapros yang didirikan tahun 1954. Tjong Tjay lalu memilih untuk mendukung Partai Sosialis Indonesia dan PNI, yang kelak menjadi masalah ketika tokoh-tokoh PSI ditangkap dan diasingkan ke luar Indonesia.[1]
Nasionalisasi
Hubungan OTHC dan Pemerintah Indonesia kemudian memburuk, karena pemerintah ingin OTHC menarik dananya yang disimpan di De Javasche Bank cabang Amsterdam, guna memperbaiki Pabrik Gula Krebet Baru, tetapi OTHC menolaknya, karena nilai tukar gulden terhadap rupiah yang ditetapkan oleh pemerintah jauh lebih rendah daripada nilai tukar yang berlaku di pasar gelap. Selain itu, OTHC merasa bahwa pinjaman dari bank di Indonesia sudah cukup untuk memperbaiki pabrik gula tersebut. Tidak lama kemudian, sebuah pengadilan di Belanda menyita dana OTHC yang disimpan di De Javasche Bank cabang Amsterdam untuk melunasi utang OTHC kepada sejumlah kreditur asing.[2] Pada bulan Juli tahun 1961, Pengadilan Ekonomi Semarang akhirnya memutuskan untuk menyita seluruh aset OTHC di Indonesia. Pada tahun 1964, Pemerintah Indonesia pun membentuk Rajawali Nusantara Indonesia untuk mengelola aset hasil sitaan tersebut.[2] Kejadian tersebut menyebabkan berakhirnya OTHC di Indonesia, namun cabang-cabang Kian Gwan di luar Indonesia tetap dapat bertahan di bawah kepemimpinan putra-putra Oei Tiong Ham. Salah satu cabangnya di luar Indonesia yang besar adalah Kian Gwan Thailand, yang dipimpin oleh Oei Tjong Bo (kakak kandung Oei Tjong Tjay), yang kini berbisnis di bidang properti dan distribusi alat elektronik.[3]