Tionghoa Padang atau China Padang adalah masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Tionghoa Padang merupakan salah satu dari berbagai etnis yang menghuni Padang selain orang Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda, dan Mentawai.[1] Mereka setidaknya telah tinggal selama delapan generasi.[3] Kebanyakan mereka bekerja sebagai pedagang. Permukiman orang Tionghoa Padang terkonsentrasi di daerah Pondok dan sekitarnya di Kecamatan Padang Selatan yang dikenal sebagai Kampuang Cino (bahasa Indonesia: Kampung Cina).[4][5]
Tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba ke Padang. Diperkirakan orang Tionghoa mulai datang sejak perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad ke-17.[6][7] Pada 2000, populasi orang Tionghoa Padang pernah menjadi nomor tiga terbesar sesudah Minang dan Jawa dengan persentase 1,90% dari populasi kota. Namun, sesudah gempa bumi pada 2009, banyak dari mereka yang meninggalkan Padang dan pindah ke luar wilayah Sumatera Barat.[8] Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang tinggal 1,1% dari populasi kota atau sebanyak 9.498 jiwa, nomor empat sesudah Minang, Jawa, dan Batak.[1] Pada 2016, populasi Tionghoa Padang berjumlah sekitar 12.000 orang.[2]
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan budaya Minangkabau. Bahkan, generasi orang Tionghoa Padang kini banyak yang tidak bisa bercakap dalam rumpun bahasa Tionghoa karena mereka telah berasimilasi dengan masyarakat Minangkabau. Bahasa yang mereka pertuturkan dikenal sebagai bahasa Minang Pondok.[9] Meskipun demikian, mereka tidak meninggalkan adat dan tradisi mereka. Lewat perkumpulan sosial, budaya, dan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT) yang sudah berdiri sejak abad ke-19, eksistensi adat dan tradisi orang Tionghoa tetap terjaga di tengah masyarakat Kota Padang hingga kini.[10][11][12]
Sejarah
Kedatangan awal
Seperti di daerah lainnya di Nusantara, keberadaan orang Tionghoa di Padang tidak lepas dari fenomena diaspora atau keluarnya orang Tionghoa dari tanah kelahiran mereka untuk tujuan perdagangan. Walaupun tidak ada catatan pasti kapan orang Tionghoa pertama tiba di Padang, mereka diperkirakan telah tiba di pantai barat Sumatra pada abad ke-17, mendahului kedatangan bangsa Belanda dan Inggris. Mereka datang dari Banten, yang kala itu menjadi pusat perdagangan di Nusantara.[13] Pada 1630-an, diketahui telah banyak bersandar kapal-kapal Tionghoa di sekitar perairan pantai barat Sumatra. Di antara kota yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal Tionghoa adalah Pariaman. Di daerah tersebut, orang Tionghoa menjual kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama garam. Namun, kebanyakan mereka hanyalah agen dari pedagang Tionghoa yang ada di Banten.[14] Pada 1633, dilaporkan telah ada orang Tionghoa yang menetap di Pariaman.[15]
Pada 1664, Belanda melalui VOC menjadikan Padang sebagai markas besar mereka untuk wilayah pantai barat Sumatra yang ditandai dengan didirikannya sebuah benteng.[16] Belanda mencoba mengalihkan aktivitas perdagangan dari Pariaman ke Padang. Melihat kondisi tersebut, orang Tionghoa mulai berdatangan dan menetap di Padang untuk dapat ikut serta dalam aktivitas perdagangan.[17]
Orang Tionghoa di Padang diperkirakan merupakan mereka yang sebelumnya menetap di Pariaman. Pada 1673, ada laporan tentang "Nakhoda Banten" Tionghoa yang memiliki rumah di Padang bersama beberapa orang Tionghoa lainnya.[7] Rumah yang mereka punya lebih bagus dibandingkan dengan rumah penduduk setempat.[18] Permukiman mereka mengelompok di kawasan di sekitar pinggir Batang Arau. Mereka dapat membeli tanah dari penguasa lokal yang bergelar "panglima raja". Pada 1682, seiring banyaknya jumlah orang Tionghoa di Padang, seorang "Letnan Cina" diangkat untuk mengatur dan mengontrol sesama orang Tionghoa.[19]
Menjadi mitra datang Belanda
Seiring waktu, orang Tionghoa mulai memegang pengaruh dalam perniagaan di Padang. Mereka menjalin hubungan kerja sama dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda. Hubungan mereka kian lama kian erat karena adanya keuntungan yang sama-sama diperoleh. VOC yang tidak memiliki banyak pegawai di Padang memberi hak kepada pihak swasta untuk memungut pajak impor dan ekspor. Banyak di antara pihak swasta yang mendapat hak ini adalah orang Tionghoa. Pada 1785, seorang Kapitan Cina bernama Lau Ch'uan-ko memegang hak memungut pajak di Padang.[20] Ketika perniagaan emas di Minangkabau makin merosot, pemerintah kolonial Belanda pada 1790 menyetujui untuk menerima mata uang orang Tionghoa sebagai pembayar persentase tertentu (dalam hal penjualan kain) untuk Belando. Sementara itu, orang Minangkabau masih bergantung pada emas sebagai alat tukar. Diterimanya mata uang Tionghoa sabagai alat tukar membuat orang Tionghoa makin diuntungkan.[21]
Pada awal abad ke-19, orang Tionghoa di Padang telah melibatkan diri dalam perniagaan luar negeri, terutama dengan kawasan selat seperti Penang, Malaka, dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh kebijakan Gubernur Pantai Barat Sumatra Andreas Victor Michiels yang mendorong orang asing untuk lebih banyak tiba ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pedagang Tionghoa yang dianggap mampu memajukan perekonomian.[22] Salah satunya adolah pinjaman uang untuk modal dari Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), yang menggantikan fungsi VOC yang bangkrut pada 1799.[23][24] Dengan dukungan modal serta jaringan regional dan internasional, pedagang Tionghoa dapat menjadi agen bagi perniagaan barang-barang impor, seperti kain dan porselen.[25] Akibatnya, banyak pedagang Minangkabau bergantung ke pedagang Tionghoa .[26] Pada 1829, disebutkan ada empat orang pialang Tionghoa terkenal, yaitu Lie Heng (atau Lie Gieng), Lie Ma-ch’ao (Lie Matjiaw), Lie Sing, dan Hu A-chiao (Hoi Atjouw).[27] Pada 1833, ada sekitar 700 orang Tionghoa di Padang, kebanyakan mereka adalah "orang kaya".[28]
Tidak hanya menguasai perniagaan barang impor yang dibutuhkan oleh masyarakat Minangkabau di darek, pedagang Tionghoa mulai menggarap perniagaan komoditas ekspor yang berasal dari kawasan darek atau pedalaman Minangkabau. Pada 1847, seorang Tionghoa bernama Lie Saay mendapat kontrak pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi, komoditas ekspor Minangkabau yang terkenal masa itu. Lie Saay melalui perusahaan ekspedisi yang ia punya mengangkut kopi dari Padang Panjang ke Kayu Tanam serta mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan pulang.[29] Waktu itu, sarana transportasi hanya didukung oleh jalan setapak yang menghubungkan kampung-kampung darek ke pesisir barat dan ke sungai-sungai yang mengalir ke timur ke Selat Malaka.[30] Angkutan transportasi yang digunakan Lie Saay berupa pedati yang ditarik oleh kuda. Dalam perjalanan, Lie Saay didampingi kakaknya, Lie Maa Toon yang ahli bela diri kungfu sebagai pengawal. Sesudah sarana transportasi seperti jalan darat dan jalur kereta api dibangun, Lie Saay pindah ke Padang dan diangkat menjadi Kapitan Cina pada 1860.[31][32]
Mendirikan permukiman, kelenteng, dan pasar
Seiring kemahsyuran Padang sebagai pusat perdagangan VOC untuk Pulau Sumatra, perusahaan-perusahaan Balanda tumbuh bak cendawan. Hal ini membuat bangsa asing semakin banyak berdatangan, termasuk orang Tionghoa. Dalam Encyclopaedia Britannica edisi ke-9, Padang pada pertengahan abad ke-19 digambarkan sebagai kota yang memiliki 2.000 rumah dengan penduduk sebanyak 15.000, sudah termasuk di dalamnya permukiman orang Tionghoa.[33] Peneliti sejarah orang Tionghoa di Sumatera Barat, Erniwati menulis orang Tionghoa di Padang semula tinggal mengelompok di salah satu sisi tepi Batang Arau arah ke muara yang kini bernama Pondok. Dinamakan "Pondok" karena banyak orang Tionghoa di sana mendirikan rumah dan tempat berdagang yang berbentuk pondok.
Pada 1852, orang Tionghoa di Padang sudah berjumlah 1.140 orang.[34][35] Jumlah ini meningkat menjadi 1.564 pada 1858.[36] Mulai banyaknya pendatang Tionghoa yang tinggal di Padang mengakibatkan kebutuhan akan adanya kelenteng. Pada awalnya, orang Tionghoa di Padang tidak punya kelenteng sama sekali. Sekelompok pendatang berinisiatif untuk mendirikan kelenteng pada pertengahan abad ke-19. Kelenteng ini dinamakan Kelenteng Kwan Im (Kwan Im Teng). Saat pertama kali berdiri, Kwan Im Teng hanya berupa bangunan kayu beratap rumbia. Namun, pada 1861, lantaran kelalaian pendeta Sae Kong, Kwan Im Teng terbakar hingga menjadi abu. Semasa Kapitan Cina dijabat oleh Lie Goan Hoat pada 1893, didampingi oleh Letnan Liem Soen Mo dan Letnan Lie Bian Ek, orang Tionghoa Padang bermufakat untuk membangun kembali Kelenteng Kwan Im. Kelenteng yang baru berdiri dinamakan Kelenteng See Hien Kiong. Pembangunannya selasai pada 1893.[37]
Orang Tionghoa di Padang tidak hanya menjadikan kelenteng sebagai tempat sembahyang atau ibadah, melainkan juga sebagai tempat tinggal semantara bagi pendatang Tionghoa yang tidak punya keluarga. Dari sini, mereka bisa berkenalan dengan orang Tionghoa lainnya sehingga menjadi penghubung bagi mereka untuk merintis usaha. Di sekitar kelenteng, mereka mendirikan kos-kios dari buluh bambu sebagai tempat berjualan. Sesudah kelenteng mengalmi kebakaran pada 1861, kios-kios ini disewakan, dan hasil keuntungannya digunakan untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan kelenteng. Lama-kelamaan, kios-kios di sekitar kelenteng berkembang menjadi pasar yang kini dikenal sebagai Pasar Tanah Kongsi.[38] Pasar ini menjadi ramai sehingga dalam waktu relatif singkat mampu menyaingi Pasar Mudik yang sebelumnya telah berdiri dan letaknya berdekatan.[39]
Akhir pemerintahan kolonial Belanda
Pada 1865, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.973 orang. Pada 1874, 10% dari populasi penduduk Padang yang ketika itu berjumlah sekitar 25.000 orang adalah orang Tionghoa.[16] Pada 1878, jumlah orang Tionghoa di Padang adalah 2.640 orang. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan 1865. Pada 1880, jumlah orang Tionghoa di Padang kembali meningkat menjadi 3.468 orang.[34][35]
Melihat jumlah orang Tionghoa di Padang yang cenderung bertambah, pemerintahan kolonial Belanda mengambil kebijakan untuk menata permukiman di Padang. Penataan ini mengikui kebijakan Besluit No. 758 yang ditandatangani oleh Gubernur Pantai Barat Sumatra tanggal 30 Oktober 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Tionghoa di Kota Padang. Lantaran populasi orang Tionghoa terus meningkat, begitu pula orang asing lainnya, peraturan 1884 ini diperbarui dengan Beslit No. 34 tanggal 3 Februari 1891. Dalam peraturan baru, wilayah orang Tionghoa diperluas sampai memasuki daerah Balakang Tangsi.[40][41][42] Di sini, seorang pedagang Tionghoa bernama Gho Lam San membuka sebuah pasar berseberangan dengan bekas pasar milik perusahaan orang Minangkabau Badu Ata & Co. yang terbakar pada 1882.[43][44]
Pada 1900, pemerintahan kolonial Belanda melonggarkan izin masuk orang Tionghoa di Hindia Belanda. Kebijakan ini berpengaruh terhadap jumlah orang Tionghoa di Padang.[45][46] Jumlah orang Tionghoa pada 1905 adalah sebanyak 5.000 orang, lalu meningkat menjadi 6.765 orang pada 1920, dan meningkat lagi menjadi 8.516 orang pada 1930 (14% dari populasi kota).[34][35][47] Peningkatan jumlah orang Tionghoa Padang dari 1905 sampai 1930 sejalan dengan gelombang migrasi massal yang dilakukan oleh orang Tionghoa.[48]
Sesudah kemerdekaan Indonesia
Perjuangan kemerdekaan Indonesia
Sesudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sikap orang Tionghoa Padang terbagi ke dalam tiga kelompok. Ada yang memberi dukungan terhadap Balanda, ada yang ikut serta membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan ada yang bersikap netral.[49] Keragaman orientasi orang Tionghoa Padang semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia menyebabkan masyarakat umum sulit mengenali sikap mereka.[50] Walaupun begitu, Johnny Anwar dalam buku Api Perjuangan Kemerdekaan di Kota Padang menulis, banyak orang Tionghoa Padang tidak memasang bendera Merah Putih di rumah dan toko mereka pada masa awal kemerdekaan Indonesia, padahal sudah ada imbauan dari Pemerintah Kota Padang.[51]
Orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda berharap Belanda berkuasa kembali di Indonesia. Di antara mereka tersebut nama Nyo Hok Seng. Ia kerap membocorkan informasi ke Balanda tentang perkembangan situasi Padang, termasuk lokasi persembunyian para pejuang kemerdekaan.[52] Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada Belanda untuk memperkaya diri. Mereka memanfaatkan kemampuan menembus blokade Belanda untuk meraup keuntungan. Umumnya mereka adalah pedagang bahan makanan.[53]
Ada pula orang Tionghoa Padang yang berpihak kepada pejuang kemerdekaan. Mereka memberi pertolongan dalam bentuk pasokan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan.[54]Sho Bun Seng adalah di antara orang Tionghoa di Padang yang dikenang jasanya dalam memasok senjata untuk pejuang kemerdekaan.[55][51] Adapun orang Tionghoa Padang yang netral adalah mereka yang tidak menentukan sikap. Mereka hanya menunggu perang usai dan keadaan stabil sehingga mereka bisa melakuan aktivitas perniagaan seperti sedia kala.[56]
Ketika perang makin berkecamuk pada pengujung 1945, dilaporkan terjadi pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa di Padang. Lantaran banyaknya orang Tionghoa yang menjadi kaki tangan Belanda, mereka menjadi sasaran penyerangan oleh penduduk. Sederetan rumah orang Tionghoa Padang di Blok Eng Djoe Bie di Balai Baru, Kampung Jao diserang. Di sini, terdapat toko yang menjadi pemasok kebutuhan tentara NICA seperti makanan dan obat-obatan. Penyerangan ini membuat mereka mengungsi dan pindah ke Kampung Cina di Pondok. Rumah Ang Eng Hoat, seorang Letnan Cino di Jalan Hiligoo, diobrak-abrik hingga "tinggal dindingnya saja".[57]
Pengakuan kedaulatan Indonesia
Seiring dengan pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, kondisi politik dan keamanan Kota Padang berangsur pulih. Pemerintah mulai menata kembali kehidupan masyarakat dari berbagai aspek, termasuk persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia yang belum tuntas. Presiden Soekarno mengumumkan tentang keharusan orang Tionghoa di Indonesia untuk memilih status kewarganegaraan mereka. Mereka diberi tiga pilihan. Pertama menjadi warga negara Belanda, kedua menjadi warga negara Indonesia, atau ketiga menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok. Di Padang, adanya pilihan status kewarganegaraan ini membuat sebuah keluarga bisa memiliki status kewarganegaraan yang berbeda sehingga menyebabkan mereka terpisah. Menurut Erniwati, perbedaan pilihan status kewarganegaraan terjadi akibat berbedanya orientasi dan kepentingan di antara orang Tionghoa Padang.[58]
Selain mengatur persoalan status kewarganegaraan orang Tionghoa, pemerintah Indonesia menghentikan masuknya imigran dari Tionghoa. Walaupun demikian, masih ada peningkatan jumlah orang Tionghoa di Padang. Peningkatan ini diperkirakan merupakan akibat kedatangan imigran dari Medan dan Pekanbaru serta perpindahan orang Tionghoa dari beberapa daerah di Sumatera Barat untuk mencari perlindungan ketika meletusnya pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958 dan Gerakan 30 September pada 1965.[59]
Sejak 1966 sampai sekarang
Pada 1966, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 yang isinya mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Di Padang, hampir 8.000 orang Tionghoa melakukannya.[60] Kebijakan khusus untuk orang Tionghoa di Indonesia dibuat pula oleh rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang dikenal dengan kebijakan asimilasi. Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang isinya membatasi aktivitas agama, adat, dan tradisi Tionghoa di muka umum. Orang Tionghoa Padang menuruti kebijakan tersebut. Namun begitu, pemerintah dan masyarakat Kota Padang memberi kelonggaran terhadap mereka.[61] Mereka tetap dapat melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) maupun perkumpulan sosial, budaya, dan kematian.[62]
Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, saat orang Tionghoa di banyak tempat di Indonesia mendapat perlakukan tidak baik, tidak pernah ada laporan adanya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan Orang Tionghoa sebagai sasaran di Padang.[63] Pada 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itu, orang Tionghoa Padang dapat bebas kembali melaksanakan kegiatan agama, adat, dan tradisi mereka.[64]
Sesudah terjadinya gempa bumi yang mengguncang Sumatera Barat pada 30 September 2009, banyak orang Tionghoa Padang yang mengungsi ke luar kota. Hal tersebut berakibat pada menurunnya populasi orang Tionghoa Padang. Hingga beberapa bulan pasca-gempa, orang-orang Tionghoa yang eksodus belum seluruhnya kembali ke Padang. Mengingat Padang merupakan daerah rawan tsunami, orang Tionghoa banyak yang memutuskan pindah ke luar kota, seperti Pekanbaru, Medan, dan Jambi.[8][65] Ketika dilakukan Sensus Penduduk pada 2010, persentase orang Tionghoa Padang hanya tinggal 1,1% dari populasi kota atau berjumlah 9.498 jiwa.[1]
Dampak paling terasa dari gempa bumi 2009 adalah runtuhnya Kelenteng Se Hien Kiong. Akibatnya, aktivitas ritual orang Tionghoa Padang sempat terhambat. Selama beberapa waktu, orang Tionghoa Padang menyelenggarakan ibadahnya di bangunan sederhana yang bersifat sementara di depan bangunan kelenteng.[37][66] Pada Desember 2010, masyarakat Tionghoa Padang sepakat untuk mendirikan kelenteng baru. Rancangan bangunannya tidak jauh berbeda dengan kelenteng lama, tapi dengan lokasi baru. Kelenteng baru diresmikan pada Maret 2013. Pembangunannya menelan biaya sekitar Rp5 miliar.[67]
Sosial dan kemasyarakatan
Orang Tionghoa Padang berasal dari berbagai marga. Sistem marga dalam keluarga etnis Tionghoa didasarkan pada asal keturunan dari leluhur yang sama. Keberadaan sebuah marga biasanya ditandai dengan rumah marga. Aktivitas utama rumah marga adalah menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa yang mereka yakini. Selain itu, anggota rumah marga saling membantu dan memperhatikan antarsesama.[68] Namun, karena beberapa marga jumlahnya tidak banyak, hanya ada tujuh marga di Padang yang memiliki rumah marga sendiri, yakni marga Tan, marga Oei, marga Ong, marga Choa, marga Lie & Kwee, marga Gho, dan marga Lim.[69]
Agama
Agama orang Tionghoa Padang meliputi agama tradisional Tionghoa, Katolik, Protestan, dan Islam. Saat ini, mayoritas orang Tionghoa Padang menganut Katolik. Hal ini disebabkan banyaknya anak-anak Tionghoa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik pada masa kolonial Belanda di Padang.[2]
Pada 1978, pemerintah Soeharto menerbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/4054/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah saat itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Akibatnya, penganut agama Konghucu dan Tao banyak yang pindah ke agama Buddha, Katolik, Protestan, bahkan Islam.[70]
Pada 1993, Muslim Tionghoa Padang membentuk cabang Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).[71] Pada 2016, terdapat sekitar 300 Muslim Tionghoa di Padang, tetapi mereka sulit diidentifikasi karena cenderung menyembunyikan status mualaf mereka dari keluarga dan kerabat. Muslim Tionghoa biasanya mendapatkan diskriminasi atau dikucilkan dari lingkungan keluarga dan kerabatnya.[72][2]
Orang Tionghoa di Padang tinggal mengelompok dan membentuk permukiman yang dikenal sebagai Kampung China.[4] Letak kawasan tersebut berada di sisi utara dekat muara Batang Arau, Kecamatan Padang Selatan. Dulunya, orang Tionghoa memilih tinggal dekat muara karena dekat dengan akses transportasi laut yang kala itu merupakan sarana utama dalam perdagangan ekspor dan impor. Mengelompoknya tempat tinggal orang Tionghoa tidak lepas pula dari adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem sentralisasi permukiman pada satu kawasan bagi penduduk pendatang. Oleh Belanda, permukiman orang Tionghoa Padang dikonsentrasikan pada satu kawasan, yakni di daerah Pondok dan sekitarnya sehingga lama-kelamaan daerah itu menjadi permanen sebagai permukiman orang Tionghoa Padang sampai saat ini.[5]
Di Kampung China, terdapat sebuah kelenteng yang bernama Kelenteng See Hien Kiong. Letaknya berada dekat tepi Batang Arau, menghadap ke Bukit Gado-Gado di Subarang Palinggam. Meskipun tahun pambangunannya tidak diketahui pasti, kelenteng ini diperkirakan berdiri pada sekitar pertangahan abad ke-19, berdasarkan tinggalan berupa lonceng (genta) yang ada di dalam kelenteng yang bertarikh 1841.[37] Kelenteng See Hien Kiong menjadi tempat sembahyang orang Tionghoa terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah. Peruntukan kelenteng ini adalah untuk orang Tionghoa di Padang pada umumnya. Keberadaan kelenteng di Kampung China yang hanya satu menunjukkan bahwa mayoritas orang Tionghoa Padang mempunyai leluhur yang sama. Hal ini membuatnya berbeda dengan orang Tionghoa yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya orang Tionghoa di Jakarta dan Semarang yang punya banyak kelenteng masing-masing berdasarkan leluhur dan dewa yang disembah.[73] Kelenteng See Hien Kiong bahkan menjadi kelenteng satu-satunya di Sumatera Barat.[74]
Hubungan antaretnis
Ketika terjadinya kerusuhan Mei 1998, tidak pernah ada laporan mengenai tindak kekerasan dan kriminal di Padang yang menjadikan orang Tionghoa sebagai sasaran.[63] Pemerintah Kota Padang tidak memberi pembatasan dan pelarangan bagi orang Tionghoa Padang untuk melaksanakan kegiatan mereka baik itu bersifat keagamaan maupun tradisi. Sampai sekarang, Pemerintah Kota Padang terus melibatkan orang Tionghoa Padang untuk ikut serta dalam setiap perayaan ulang kota serta mendukung kegiatan yang menampilkan budaya Tionghoa Padang dan pembaurannya.[75][76]
Orang Tionghoa Padang telah beradaptasi dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, salah satunya ditandai dengan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini berbeda dengan, sebagai contoh, orang Tionghoa di pantai Timur Sumatra.[77] Bahkan, mayoritas orang Tionghoa Padang tidak dapat lagi bercakap dalam bahasa asal mereka.[78] Bahasa Minang yang dipertuturkan oleh orang Tionghoa Padang dikenal sebagai bahasa Pondok atau bahasa Minang dialek Pondok, hasil percampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Minang tapi memakai logat Mandarin.[9] Bahasa tersebut membuat mereka bisa berbaur dengan masyarakat Minangkabau.[79]
Dalam setiap perayaan Imlek, etnis Tionghoa Padang menampilkan sejumlah atraksi seperti barongsai, arak-arakan kio, dan sipasan.[80] Pada 2013, atraksi sipasan yang dibawakan oleh perkumpulan HTT tercatat sebagai rekor dunia di Guinness World Records sebagai atraksi mengarak tandu terpanjang, yakni dengan panjang arak-arakan 243 meter dan jarak tempuh 1,9 km. Pencapaian ini mengalahan rekor sebelumnya untuk atraksi serupa yang ditampilkan di Kinmen, Taiwan.[81][82] Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kalender wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural.[83][84]
Pada 2019, untuk kali pertama diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluo. Dalam kegiatan ini, sebanyak 10.000 bakcang ayam dan lamang baluo dibagikan kepada masyarakat secara gratis. Kedua kuliner tersebut memiliki kesamaan dalam bahan yang digunakan dan pembuatannya, yakni ketan dengan isian dan dibungkus dengan daun.[85] Selain pembagian makanan, Festival Bakcang Ayam dan Lamang Balio dimeriahkan pula dengan berbagai pertunjukan budaya Tionghoa Padang dan Minang.[65]
^Freek Colombijn (1994), hlm. 55a: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
^ abChristine Dobbin (2016), hlm. 135a: "Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia."
^Erniwati (2007), hlm. 190: "Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "Before the Dutch and the English came to Sumatra for pepper, Chinese pepper traders had been visiting west Sumatra from their commercial base at Banten."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 134–135: "Very few of these Chinese traded with their own capital, and they had meagre capital resources; they were generally agents for Banten Chinese, who in turn operated a commenda trade using money and goods supplied by merchants in China and, later on, by Europeans in Banten."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "In the 1630s their vessels were reported to be swarming to the coast in search of pepper, and it seems likely that there were Chinese settled at Pariaman to act as agents for their compatriots; certainly they were reported to be established there in 1663."
^ abFreek Colombijn (1994), hlm. 134: "In 1666 the Dutch made Padang their headquarters on Sumatra's west coast and built a fortress."
^Freek Colombijn (1994), hlm. 55: "Padang has an old Chinese community and Chinese were among the first permanent inhabitants of Padang, arriving soon after the establishment of the VOC trading post."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 135b: "In that year several Chinese bought land from the panglima raja to establish a brickworks, and by 1682 there were so meny Chinese at the entrepôt that a Lieuteyangt Chinese had to be appointed to regulate matters concerning them."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 136a: "In 1785 the farm for collecting import and export duties at Padang was sold to the Captain Chinese, Lau Ch'uan-ko."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 136b: "With the decline of the gold trade, it was agreed by the Batavia government in 1790 to accept specie for a certain percentage of the company's cloth sales at Padang, so that the cloth trade would not be totally paralysed by the absence of gold. This too benefited the Padang Chinese, who were the only group at the port with access to specie, and enabled them now to act as brokers in the company's cloth trade, bypassing the Minangkabau brokerage system which relied on exchanging gold for cloth."
^Erniwati (2007), hlm. 46a: "Gubernur Michiels mendorong orang asing untuk lebih banyak datang ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan, sehingga Padang menjadi pelabuhan yang ramai dan dinamis. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pendatang, terutama kepada pedagang Cina yang dianggap mampu memajukan perekonomian."
^Erniwati (2007), hlm. 79: "Bahkan NHM memberikan uang muka kepada pialang Tionghoa sebagai modal untuk mengumpulkan hasil produksi dari daerah pedalaman."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 158: "They imported Chinese goods such as cloth and porcelain for domestic use from Batavia, Penang and later Singapore,..."
^Erniwati (2007), hlm. 67: "Orang Cina yang waktu itu memiliki mata uang akhirnya menduduki posisi penting, bahkan mereka berhasil menjadi pialang dan mampu menggeser kelompok pialang tradisional Minangkabau hingga memasuki daerah pedalaman. Akibatnya orang Minangkabau sangat tergantung terhadap barang-barang pokok yang diperoleh melalui pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional, sedangkan pedagang pengecer juga tergantung kepada pedagang monopoli Belanda dan Cina."
^Christine Dobbin (2016), hlm. 159: "The four leading Chinese brokers in Padang in 1829, just as the American coffee boom was passing, were Li Heng, Li Ma-ch'iao, Li Sing and Hu A-chiao."
^Erniwati (2007), hlm. 46b: "'Untuk pertama kalinya pada 1847 Lie Saay berhasil membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi dari Padang
Panjang ke Kayutanam dan mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan baliknya.
."
^Erniwati (2007), hlm. 46c: "Perusahaan ekspedisi Lie Saay membawa hasil bumi mengunakan pedati (gerobak) kuda melewati lereng Lembah Anai di bawah pengawalan kakaknya Lie Maa Toon yang bisa bela diri kungfu. Perusahaan ekspedisi ini berkembang hingga dibangun jalan darat dan jalur kereta api."
^Thomas Spencer Baynes (1887), hlm. 639, Volume 22: "Padang is a town of some 2,000 houses and 15,000 inhabitants, with a Chinese settlement and a European quarter. It is the chief market in Sumatra for gold."
^Erniwati (2007), hlm. 55a: "Untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan klenteng setelah mengalami kebakaran di 1861, kios-kios bambu tersebut disewakan kepada para pedagang. Lama kelamaan kios-kios bambu berkembang menjadi pasar yang dikenal dengan nama pasar Tanah Kongsi."
^Erniwati (2007), hlm. 93a: "Walaupun letak Pasar Tanah Kongsi berdampingan dengan Pasar Mudik yang sebelumnya sudah didirikan oleh pedagang Minangkabau, namun dalam waktu yang relatif singkat, Pasar Tanah Kongsi berkembang dengan cepat dan mampu menyaingi Pasar Mudik."
^Erniwati (2007), hlm. 68: "Lama-kelamaan lokasi perkampungan Tionghoa semakin berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim. Di Padang, perluasan permukiman Tionghoa ini sampai ke daerah Belakang Tangsi..."
^Freek Colombijn (1994), hlm. 235: "Badu Ata & Co. started their second market-place in the Belakang Tangsi area, further north. It was successful until destroyed by fire in 1882. Immediately afterwards the Chinese Gho Lam San opened a new market next to the charred remains of Badu Ata & Co."
^Freek Colombijn (1994), hlm. 55b: "Chinese have come to Indonesia in several waves of migration, the last one after the Dutch government's relaxation on Chinese entry after 1900."
^Erniwati (2007), hlm. 62: "Imigran Cina yang datang menjelang akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (1930-an) merupakan migrasi yang dilakukan secara massal."
^Erniwati (2007), hlm. 40: "Pada 1930 ditemukan 51% perantauan Cina berasal dari keturunan ke tiga yang terdiri dari 80% Hokkian, 15% Kwongfu, 2% Hakka, dan 3% dari suku lainnya. Dari perkiraan penduduk 1930 terlihat bahwa penduduk Cina Padang mayoritas berasal dari kelompok bahasa Hokkian yang tergolong ke dalam pedagang yang berasal dari Amoy."
^Erniwati (2007), hlm. 85a: "Sebagai akibat peristiwa yang terjadi pada masa revolusi, etnis Cina Padang kemudian dapat dibagi atas tiga kelompok orientasi, yaitu pro Republik, pro Belanda, dan kelompok netral."
^Erniwati (2007), hlm. 86b: "Keragaman orientasi kelompok etnis Cina ini menyebabkan masyarakat umumpun sulit mengenali mereka. Ketidakjelasan sikap etnis Cina tersebut menyebabkan masyarakat umum akhirnya menyamakan penilaian terhadap etnis Cina sebagai kelompok yang hanya mengambil keuntungan di negara Indonesia."
^Erniwati (2007), hlm. 86a: "Nyok Hok Seng selalu memberi informasi kepada Belanda tentang perkembangan situasi Padang dan menjadi penunjuk jalan kemungkinan di mana posisi pejuang kemerdekaan. Dengan sombong, setiap sore Nyo Hok Seng berkeliling kampung Pondok dan kota Padang dengan tentara Sekutu dan Belanda mengunakan mobil Jeep. Sikap Nyo Hok Seng menyebabkan etnis Cina lainnya sering mendapat masalah dan digeneralisasikan sebagai antek-antek Belanda dan diangap hanya mengambil keuntungan saja oleh masyarakarakat umum."
^Erniwati (2007), hlm. 84-85: "Sebagian kecil dari kelompok ini juga ada orang-orang yang berusaha memperkaya diri sendiri dengan mengadakan penyelundupan dan menerobos blokade Belanda."
^Erniwati (2007), hlm. 85b: "Kemampuan etnis Cina Padang dalam menyelundupkan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan menjadikan mereka memiliki kedekatan dengan perwira militer yang sangat mempengaruhi hubungan mereka di masa selanjutnya."
^Freek Colombijn (1994), hlm. 135b: "Regardless of these forced changes, the Chinese in Padang were well assimilated. It seems that one Chinese, Oei Ho Tjong, who had provided the Republic with weapons, even became member of the LKAAM."
^Erniwati (2007), hlm. 85-86: "Sikap yang tidak jelas disebabkan karena kurangnya posisi mereka dalam bidang ekonomi menyebabkan kelompok ini tidak berani menentukan sikap. Kelompok ini hanya akan menunggu siapapun sebagai pemenang perang. Namun karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan pada masa kekuasaan kolonial Belanda, maka harapan mereka hanyalah kembalinya keamanan pribadi dan keadaan ekonomi yang relatif stabil."
^Erniwati (2007), hlm. 89: "Dengan adanya tiga pilihan status kewarganegaraan tersebut, beberapa keluarga memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Perbedaan pilihan status kewarganegaraan ini terjadi sebagai akibat perbedaan orientasi dan kepentingan. Konsekuensi dari pilihan yang berbeda menyebabkan banyak keluarga-keluarga dari etnis Cina di Indonesia termasuk yang tinggal di Padang terpisah-pisah."
^Freek Colombijn (1994), hlm. 134: "After 1949 the immigration of Chinese to Indonesia was virtually called to a halt by the Indonesian government, but there was still an increase in absolute numbers in Padang. Chinese who lived dispersed over the area fled to Padang after 1945 and 1965 for protection and the army started to move Chinese from the countryside to cities in 1959."
^Freek Colombijn (1994), hlm. 135a: "The presidential decree No. 127 of 1966 compelled them to change their names to autochthonous ones; nearly eight thousand Chinese in Padang did so."
^Erniwati (2007), hlm. 4-5: "Kelonggaran ini tidak saja diberikan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat kota Padang. Bahkan di saat perayaan ulang tahun Kota Padang, pemerintah juga mengundang barongsai dan sipasan untuk beratraksi melalui dua perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh."
^Erniwati (2007), hlm. 4: "Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Cina Padang tetap bisa melaksanakan budaya dan adat istiadat leluhur di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) dan perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT), serta Himpunan Bersatu Teguh (HBT)."
^ abErniwati (2007), hlm. 7a: "Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang."
^Erniwati (2007), hlm. 3-4: "Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka."
^Erniwati (2007), hlm. 63: "Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional."
^Erniwati (2007), hlm. 53: "Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis China Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis China yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula."
^Erniwati (2007), hlm. 52: "Klenteng See Hien Kiong merupakan satu-satunya yang terdapat di Sumatera Barat."
Mardanas Safwan (1987). Sejarah Kota Padang(PDF). Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 25 September 2020.