Sho Bun Seng (lahir di Kutaraja, Aceh pada 12 November 1911 - wafat pada September 2000) adalah seorang pejuang Tionghoa-Indonesia. Pada masa Revolusi Nasional Indonesia, ia berjuang di Padang dan bergabung dengan batalion Pagarruyung, kemudian bertugas di Jawa Barat dan Kalimantan Barat.[1]
Sikap anti-Belanda Bun Seng bermula dari pengalaman masa remajanya di Padang pada 1926. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana polisi-polisi Hindia Belanda memperlakukan secara kejam orang-orang yang terlibat dalam Pemberontakan Malam Tahun Baru di Silungkang. Kala api revolusi berkecamuk di Sumatera Barat, Bun Seng memutuskan untuk bergabung dengan gerilyawan Republik pimpinan Letnan Kolonel Ismail Lengah. Karena bakat telik sandinya, Ismail Lengah lantas menugaskan Bun Seng untuk bergabung dengan Kesatuan Singa Pasar Oesang pimpinan Mayor Kemal Mustafa. Sang komandan kemudian memberikan tugas kepadanys untuk memata-matai Pao An Tui di Padang.
Ia kemudian membentuk sebuah organisasi pemuda Tionghoa bernama Pemoeda Baroe. Lambat laun, kepemimpinannya dikenal banyak orang Tionghoa hingga kemudian dia didapuk sebagai ketua PAT Padang. Oleh Bun Seng, PAT Padang disetir ke arah Republik. Sebagai pemimpin pemuda Tionghoa, alih-alih akrab dengan Sekutu dan Belanda, dia malah memiliki hubungan khusus dengan para pejuang Republik di pelosok dan terlibat aktif dalam penyelundupan senjata-senjata dari kota untuk para gerilyawan Republik.
Pada Januari 1947, PAT Padang dibubarkan karena dianggap rawan digunakan untuk kepentingan Belanda. Tak hilang akal, dia kemudian bergabung dengan organisasi sipil orang-orang Tionghoa yakni Cu Hua Cung Hui. Di organisasi ini dia diangkat sebagai koordinator keamanan.
Jabatan itu menjadikan Bun Seng leluasa bergerak kemana-mana. Dengan alasan mengurusi persoalan orang-orang Tionghoa di Sumatera Barat, dia secara bebas bisa menemui simpul-simpul Republiknya. Tak jarang, Bun Seng pun mendapat tugas yang sangat pelik dan berbahaya dari para komandannya. Seperti pada suatu hari pada tahun 1948, beberapa bulan sebelum militer Belanda melakukan agresi-nya yang kedua.
Letnan Kolonel Abdul Halim termasuk salah satu gerilyawan Republik yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menyalurkan “emas hitam” itu. Dia kemudian meminta kepada Bun Seng agar barang-barang itu bisa ditukar dengan senjata. Bagaimanapun caranya.
Seperti biasa, Bun Seng menerima tugas itu. Bekerjasama dengan sebuah kesatuan TNI dari Kompi Bakapak dan suatu seksi Hizbullah pimpinan Letnan Samik Ibrahim, dia menjual puluhan kilogram candu itu ke pasaran gelap dan sukses menukarkannya dengan senjata-senjata berbagai jenis. Selain senjata, uang hasil penjualan itu pun dibelikan berbagai keperluan logistik para gerilyawan Republik.
Aktifitas berbahaya itu terus dijalani Bun Seng hingga Indonesia mencapai kedaulatannya di mata Belanda pada 27 Desember 1949. Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berkobar di Jawa Barat, Letnan Muda Sho Bun Seng sempat ikut dikirimkan oleh kesatuannya untuk ikut menumpas pemberontakan tersebut.
Usai tugas selesai, Bun Seng tidak ikut pulang bersama pasukannya ke Sumatera Barat. Dia memutuskan untuk mengelola sebuah toko kecil di Muara Angke, Jakarta Utara dan membentuk sebuah keluarga.[2] Ia menikah dengan Hu Chung Jing di Padang. Beliau meninggal pada bulan September 2000. Dan pihak keluarga tak menyangka sama sekali jika almarhum kemudian dijemput pasukan kehormatan dan secara militer dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, padahal semula sudah disiapkan makam di suatu Taman Pemakaman Umum.[3]
Referensi