1. Permaisuri Ratoe Sa'adah binti Syekh Abdul Qodir Danau Salak/ Pangeran Sukarama bin Sunan Serabut/Pangeran Surya Alam /Raden Panji Sekar menikahi Nyai Ageng Selulur/ Nyai Selo Lohor binti Raden Paku Sunan Giri Prabu Satmata (1481–1506) dari Isteri Dewi Murtasiyah Asyiqiyah
Soeltan Soeriân Allâh[14] (Sultan Suryanullah)[1][15][16][17][18]
atau Sulthan Soerian Sjach (Sultan Suriansyah 01)[19][20] atau Sultan Suria Angsa[21][22][23] adalah Raja Banjarmasin pertama yang memeluk Islam.
Ia memerintah tahun 1500-1540.[4][24] Pangeran Jaya Sutera atau Jaya Samudera merupakan raja Banjar pertama sekaligus raja Kalimantan pertama yang bergelar Sultan yaitu Sultan Suryanullah. Gelar Sultan Suryanullah tersebut diberikan oleh seorang Arab yang pertama datang di Banjarmasin, beberapa waktu setelah Pangeran Samudera diislamkan oleh utusan Kesultanan Demak.[1]
Nama lahirnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih (kepala kampung) di hilir sungai Barito, kemudian ia memakai gelar yang lebih tinggi yaitu Pangeran Samudera atau Pangeran Jaya Samudera. Ia lebih terkenal dengan gelar Sultan Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya.
Selain itu gelar lainnya yang dipakai adalah Suryanullah (= matahari Allah), selanjutnya sultan-sultan Banjar berikutnya memakai kata Allah pada nama belakangnya, sedangkan nama belakang syah tidak pernah digunakan lagi oleh penerusnya.
Pada 24 September1526 bertepatan 6 Zulhijjah932 H, Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah. Tanggal ini dijadikan Hari Jadi Kota Banjarmasin, sekarang 483 tahun.
Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh Beranakan (Ratu Intan Sari) yaitu puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Dan nama bapaknya adalah Raden Mantri Alu, keponakan Maharaja Sukarama.[1] Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar.
Sistem Pemerintahan
Ketika Pangeran Samudera pertama kali mengatur kerajaan terpilih Patih Masih menjabat sebagai mangkubumi yang lebih tinggi tarafnya daripada Menteri Berempat atau dalam bahasa Banjar disebut Mantri Ampat yaitu 4 orang deputi yaitu:
Dibawah Gampiran dan Panumping terdapat 30 wilayah Mantri (captain). Keempat deputi ini juga berwenang sebagai hakim.
Sesudah lenyapnya Negara Daha, patih tertua, Aria Taranggana dari Negera Daha diangkat sebagai Mangkubumi dengan wewenang:
menangani masalah administrasi negara dari seluruh wilayah negara
menentukan keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati.
menentukan perihal hak penyitaan segala harta benda yang dijatuhi hukuman.
Keempat deputi berwenang juga sebagai jaksa dan hakim, tetapi segala keputusan mereka berdasarkan sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara (Kutara Manawa?), yang disusun oleh Aria Taranggana ketika menjabat Mangkubumi Kerajaan Negara Daha.
Kementerian:
Mantri Bandar (Kiai Palabuhan) mempunyai anak buah 100 (seratus) orang untuk menjalankan kegiatan pemungutan bea cukai pelabuhan.
Mantri Tuhabun, dengan gelar pangkatnya: Andakawan (The Captain of The Tuhabun corps) mempunyai anggota 40 orang. Tugasnya untuk melayani raja, para famili raja seperti antara lain sebagai regu pengayuh perahu ketangkasan raja.
Singabana, untuk menjaga keamanan terdapat dua orang kepala:
Singantaka
Singapati.
Mantri Besar bertugas sebagai duta kerajaan di daerah ataupun ke luar daerah kerajaan.
Sultan Trenggana pernah mengirim pasukan ke Barunadwipa.[25]
Datang Patih Balit itu membawa surat Sultan Demak, maka disuruh baca oleh Mangkubumi. Bunyinya: Salam sembah putra andika pangeran di Banjarmasih sampai kepada Sultan Demak. Putra andika mencatu nugraha tatulung bantu tatayang sampiyan, karena putra andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putra andika mancatu nugraha tatulung bantu tatayang sampiyan. Adapun lamun manang putra andika mangawula kepada andika. Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul.
Demikianlah bunyinya surat itu. Maka sembah Patih Balit: Tiada dua-dua yang diharap putra andika nugraha sampiyan itu. Banyak tiada tersebut. Maka kata Sultan Demak: Mau aku itu membantu lamun anakku Raja Banjarmasih itu masuk Islam. Lamun tiada masuk Islam tidak mau aku bertulung. Patih Balit kembali dahulu berkata demikian, maka kata Patih Balit: hinggih.[1]
Daerah yang Takluk
Daerah-daerah yang takluk pada masa Sultan Suryanullah - Sultan Banjarmasin I disebutkan dalam Hikayat Banjar.[26]
Legitimasi politik yang muncul bagi masyarakat Banjar bahwa seorang raja atau calon pengganti raja mestilah putra tertua raja yang lahir dari ibu yang juga berdarah raja (putera gahara). Hal ini mengacu pada pasangan Suryanata dan Junjung Buih sebagai idealisasinya. Para tutus raja atau garis lurus keturunan raja-raja (dalam konsepsi Hinduistik) yang juga berarti tutus naga (dalam konsepsi religi asli), diyakini sebagai wakil dewa di dunia. Tradisi ini dengan sendirinya menjadi sumber legitimasi politik bagi setiap penguasa yang silih berganti bertahta. Meskipun Kesultanan Banjar yang muncul pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam, namun tradisi politik yang diwariskan dari masa Negara Dipa itu ternyata tetap kuat mewarnai proses suksesinya. Aturan ini rupanya sangat dipahami oleh Maharaja Sukarama, raja kedua Negara Daha (kelanjutan Negara Dipa). Diceritakan dalam Hikayat Banjar, raja ini mempunyai empat orang istri dan empat orang putra dan satu orang putri. Mereka masing-masing adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Pangeran Bagalung, Pangeran Jayadewa, dan si bungsu perempuan bernama Putri Galuh Baranakan. Keempat istri raja tersebut rupanya tidak berdarah bangsawan, sehingga sang raja mengawinkan Putri Galuh Baranakan dengan putra saudaranya sendiri, Raden Bagawan, yang bernama Raden Mantri. Pasangan ini (Galuh dan Mantri) kemudian mempunyai seorang anak bernama Raden Samudera. Maharaja Sukarama menganggap cucunya ini memiliki keturunan bergaris lurus (lahir dari kedua orang tua yang sama-sama berdarah raja), sehingga diputuskan sebagai penggantinya kelak. Meski anak-anaknya keberatan atas keputusan itu, tapi sang ayah bersikukuh: “Maski bagaimana kata angkau karna sudah ia si Samudera itu ringan bibirku” (Hikayat Banjar). Pengingkaran terhadap wasiat raja ini, oleh Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumanggung karena ambisi tahta, membawa Kerajaan Negara Daha pada keruntuhannya.[27][28]
Leluhur Raja Raja Silsilah
Silsilah menurut naskah Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin yang disebut Hikayat Banjar resensi 1.
^(Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia. Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 6. Lange & Co., 1857. hlm. 239.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
^Sarkawi B. Husain (1 Januari 2017). Sejarah Masyarakat Islam Indonesia. Indonesia: Airlangga University Press. hlm. 58.Pemeliharaan CS1: Tanggal dan tahun (link)
^Sejarah daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978