Hamidullah dari Banjar
Pangeran Bata Kuning[1] atau Paduka Seri Sultan Chamidullah (Hamidullah)[2] atau Sultan Ilhamid Illah / Sultan Kuning (bin Sultan Tahmidullah ke-1)[3][4] adalah Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1730 - 1734[5] atau 1745-1752.[6] Relasi dengan Sultan Tamjidillah ISelama pemerintahan Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah yang menjabat mangkubumi kerajaan adalah Pangeran Tamjidillah I. Pangeran Tamjidillah I merupakan adik Sultan Chamidullah. Setelah mangkatnya Sultan Chamidullah / Hamidullah, mangkubumi Pangeran Tamjidillah I menjabat Pemangku Raja (wali Sultan) dengan gelar Sultan Sepuh atau Paduka Seri Sultan Tamjidillah I.[7][3][8] Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, korespondensi antara Raja Banjar Sultan Hamidullah kepada VOC-Belanda terjadi sejak tanggal 23 Mei 1730 sampai 1 Juli 1732 .[9] Sulthan Koening / Chamidullah / Ilhamid Illah adalah Sultan Banjar yang memerintah tahun 1730-1734.[10][11][12][13] Abad ke-18 di Kesultanan Banjar dimulai dengan masa pemerintahan Sultan Hamidullah yang bergelar Sultan Kuning (1700-1734). Pemerintahan pada masa Sultan tersebut dikenal dengan pemerintahan yang paling stabil, tidak ada pertentangan dan perebutan kekuasaan, tidak ada campur tangan bangsa asing baik politik maupun ekonomi, sehingga boleh dikatakan kesultanan Banjarmasin mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan ini. Rupanya, kepemimpinan Sultan Kuning yang cukup bijaksana, dan “kepekaannya” terhadap segala situasi yang dihadapinya, menyebabkan lawan-lawan politiknya tidak berani dan segan melakukan makar-makar yang merusak jalannya stabilitas pemerintah. Karena situasi ini telah mulai diciptakan oleh Amirullah Bagus Kesuma, ayah Sultan Kuning. Kemangkatan Sultan Hamidullah tahun 1734, merupakan pertanda awan mendung di kesultanan Banjarmasin. Kembali muncul penyakit lama, pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan mulai terjadi lagi. Apalagi putra mahkotanya belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali dipegang oleh pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah, sehingga kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan diserahkan. Pangeran Tamjidillah sebagai wali sultan mempunyai siasat yang lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politk berada dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah yang telah dewasa menjadi menantunya. Dengan perkawinan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sama dengan ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga putra mahkota tidak begitu bernafsu, untuk meminta kembali hak atas tahta kesultanan Banjarmasin. Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah berhasil berkuasa selama 25 tahun dan mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan Sepuh (1734-1759). Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli waris yang sah dari Sultan Kuning. Usahanya meminta bantuan VOC merebut tahta dari pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba, karena itu dengan inisiatif sendiri, Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah berhasil lepas dari kungkungan pamannya dan melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak laut untuk mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang baik merebut kembali tahta pamannya. Sementara itu Sultan Tamjidillah pada tahun 1747 membuat kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1787. Sultan Hamidullah / Badarul Alam mangkat dan dimakamkan di Kampung Dalam Pagar, Martapura. Dihapuskan namanya dalam daftar Sultan BanjarSultan Kuning/Hamidillah (dinasti Tutus Tuha) telah dihapuskan namanya dalam daftar Sultan Banjar oleh usurpator dinasti Tutus Anum. Tertulis dalam Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864:315) menyebutkan:[14]
"Sulthan Bandjermasin ke-8, Tahhmid Illah I, meninggalkan dua putra setelah kematiannya, sulthan tertua bernama Hhamid Illah atau sulthan Koening, dan yang termuda bernama pangeran Sepah. Hhamid Illah menjadi sulthan setelah kematian ayahnya, tetapi ia memerintah hanya untuk waktu yang sangat singkat, dan meninggalkan seorang putra di bawah umur bernama sulthan Mohamad Amin Ollah.[14] "Selama di bawah umur yang terakhir, pangeran Sepah menjadi bertindak sulthan, dengan nama sulthan Tamdjid Illah I.[14] "Sulthan Mohamad Amin Ollah, yang telah mencapai usia mayoritas, mengambil kendali pemerintah sendiri dan Tamdjid Illah mengundurkan diri sebagai penjabat sulthan; Namun, orang-orang terus memanggilnya Sulthan Sepah atau Sulthan tua.[14] “Setelah Sulthan Mohamad Amin Ollah memerintah Bandjerrnasin selama 7 tahun, ia juga meninggal, meninggalkan tiga putra (Pangeran Rahhmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir), yang tertua di antaranya masih terlalu muda untuk memerintah.[14] "Tamdjid-Illah I sekali lagi bertindak sebagai sulthan, dan setelah dua pangeran Rahhmat dan Abdullah telah diracuni dan memastikan atas tanggung jawabnya, ia naik ke sulthan nyata, sekarang dikepalai oleh pangeran Amir, dan kemudian dengan baju besi, dan ditangkap dengan bantuan perusahaan OI dan dibuang ke Ceylon.[14] “Meskipun Hhamid Illah dan Mohamad Amin Ollah (yang disebutkan di atas), penerus takhta, telah memerintah Bandjermasin selama beberapa waktu, mereka tidak pernah dimasukkan dalam garis pangeran, dan dengan demikian Tamdjid Illah I dianggap sebagai sulthan ke-9 dari Bandjermasin.[14] "Setelah kematiannya pada tahun 1175 Hijriyah, putranya Tahhmid lllah II menggantikannya sebagai sulthan ke 10.[14] Referensi
Pranala luar
|