Hamidullah dari Banjar

KDYMM Paduka Seri Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah (Panembahan Kuning)
SULTAN BANJAR IX
Berkuasa1730-1734
Penobatan1730
SultanLihat daftar
Keturunan1. ♂ Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah 2. ♂ Gusti Wiramanggala
WangsaDinasti Banjarmasin
AyahSultan Tahmidullah Panembahan Tengah Suria Alam dari Banjar
AgamaIslam Sunni

Pangeran Bata Kuning[1] atau Paduka Seri Sultan Chamidullah (Hamidullah)[2] atau Sultan Ilhamid Illah / Sultan Kuning (bin Sultan Tahmidullah ke-1)[3][4] adalah Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1730 - 1734[5] atau 1745-1752.[6]

Relasi dengan Sultan Tamjidillah I

Selama pemerintahan Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah yang menjabat mangkubumi kerajaan adalah Pangeran Tamjidillah I. Pangeran Tamjidillah I merupakan adik Sultan Chamidullah. Setelah mangkatnya Sultan Chamidullah / Hamidullah, mangkubumi Pangeran Tamjidillah I menjabat Pemangku Raja (wali Sultan) dengan gelar Sultan Sepuh atau Paduka Seri Sultan Tamjidillah I.[7][3][8]

Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, korespondensi antara Raja Banjar Sultan Hamidullah kepada VOC-Belanda terjadi sejak tanggal 23 Mei 1730 sampai 1 Juli 1732 .[9]

Sulthan Koening / Chamidullah / Ilhamid Illah adalah Sultan Banjar yang memerintah tahun 1730-1734.[10][11][12][13]

Abad ke-18 di Kesultanan Banjar dimulai dengan masa pemerintahan Sultan Hamidullah yang bergelar Sultan Kuning (1700-1734). Pemerintahan pada masa Sultan tersebut dikenal dengan pemerintahan yang paling stabil, tidak ada pertentangan dan perebutan kekuasaan, tidak ada campur tangan bangsa asing baik politik maupun ekonomi, sehingga boleh dikatakan kesultanan Banjarmasin mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan ini. Rupanya, kepemimpinan Sultan Kuning yang cukup bijaksana, dan “kepekaannya” terhadap segala situasi yang dihadapinya, menyebabkan lawan-lawan politiknya tidak berani dan segan melakukan makar-makar yang merusak jalannya stabilitas pemerintah. Karena situasi ini telah mulai diciptakan oleh Amirullah Bagus Kesuma, ayah Sultan Kuning. Kemangkatan Sultan Hamidullah tahun 1734, merupakan pertanda awan mendung di kesultanan Banjarmasin. Kembali muncul penyakit lama, pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan mulai terjadi lagi. Apalagi putra mahkotanya belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali dipegang oleh pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah, sehingga kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan diserahkan. Pangeran Tamjidillah sebagai wali sultan mempunyai siasat yang lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politk berada dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah yang telah dewasa menjadi menantunya. Dengan perkawinan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sama dengan ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga putra mahkota tidak begitu bernafsu, untuk meminta kembali hak atas tahta kesultanan Banjarmasin. Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah berhasil berkuasa selama 25 tahun dan mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan Sepuh (1734-1759). Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli waris yang sah dari Sultan Kuning. Usahanya meminta bantuan VOC merebut tahta dari pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba, karena itu dengan inisiatif sendiri, Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah berhasil lepas dari kungkungan pamannya dan melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak laut untuk mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang baik merebut kembali tahta pamannya. Sementara itu Sultan Tamjidillah pada tahun 1747 membuat kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1787.

Sultan Hamidullah / Badarul Alam mangkat dan dimakamkan di Kampung Dalam Pagar, Martapura.

Dihapuskan namanya dalam daftar Sultan Banjar

Sultan Kuning/Hamidillah (dinasti Tutus Tuha) telah dihapuskan namanya dalam daftar Sultan Banjar oleh usurpator dinasti Tutus Anum.

Tertulis dalam Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864:315) menyebutkan:[14]

„De 8ste sulthan van Bandjermasin, Tahhmid Illah I‚ liet bij zijn overlijden twee zonen na, de oudste genaamd sulthan Hhamid Illah of sulthan Koening, en de jongste genaamd pangeran Sepah. Hhamid Illah werd bij het overlijden zijns vaders sulthan, doch regeerde slechts zeer korten tijd en liet eenen minderjarigen zoon na, genaamd sulthan Mohamad Amin Ollah.

„Gedurende de minderjarigheid van dezen laatste werd pangeran Sepah waarnemend sulthan, onder den naam van sulthan Tamdjid Illah I.

„Sulthan Mohamad Amin Ollah, meerderjarig geworden zijnde, nam zelf de teugels van het bewind in handen en Tamdjid Illah trad als waarnemend sulthan af; het volk bleef hem echter steeds sulthan Sepuh of den ouden sulthan noemen.

„Nadat sulthan Mohamad Amin Ollah 7 jaren over Bandjerrnasin geregeerd had, stierf ook hij, drie zonen achterlatende (pangeran Rahhmat, pangeran Abdoellah en pangeran Amir), waarvan de oudste nog te jeugdig was om zelf te regeren.

„Tamdjid- Illah I trad toen wederom als waarnemend sulthan op, en nadat de beide pangerans Rahhmat en Abdoellah op zijnen last vergiftigd en geworgd waren, verhief hij zich tot werkelijk sulthan, zijnde inmiddels pangeran Amir gevlugt, en later door kracht van wapenen, en met behulp der O. I.compagnie gevangen genomen en naar Ceylon verbannen.

„Ofschoon Hhamid Illah en Mohamad Amin Ollah (hiervoren genoemd), de wettige troonsopvolgers, eenigen tijd over Bandjermasin hebben geregeerd, werden zij echter nimmer in de rij der vorsten opgenomen, en Tamdjid Illah I dus als de 9de sulthan van Bandjermasin besehouwd.

„Na zijnen dood in 1175 volgde zijn zoon Tahhmid lllah II hem als 10de sulthan op.

.

— Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappenn (1864:315).[14]

"Sulthan Bandjermasin ke-8, Tahhmid Illah I, meninggalkan dua putra setelah kematiannya, sulthan tertua bernama Hhamid Illah atau sulthan Koening, dan yang termuda bernama pangeran Sepah. Hhamid Illah menjadi sulthan setelah kematian ayahnya, tetapi ia memerintah hanya untuk waktu yang sangat singkat, dan meninggalkan seorang putra di bawah umur bernama sulthan Mohamad Amin Ollah.[14]

"Selama di bawah umur yang terakhir, pangeran Sepah menjadi bertindak sulthan, dengan nama sulthan Tamdjid Illah I.[14]

"Sulthan Mohamad Amin Ollah, yang telah mencapai usia mayoritas, mengambil kendali pemerintah sendiri dan Tamdjid Illah mengundurkan diri sebagai penjabat sulthan; Namun, orang-orang terus memanggilnya Sulthan Sepah atau Sulthan tua.[14]

“Setelah Sulthan Mohamad Amin Ollah memerintah Bandjerrnasin selama 7 tahun, ia juga meninggal, meninggalkan tiga putra (Pangeran Rahhmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir), yang tertua di antaranya masih terlalu muda untuk memerintah.[14]

"Tamdjid-Illah I sekali lagi bertindak sebagai sulthan, dan setelah dua pangeran Rahhmat dan Abdullah telah diracuni dan memastikan atas tanggung jawabnya, ia naik ke sulthan nyata, sekarang dikepalai oleh pangeran Amir, dan kemudian dengan baju besi, dan ditangkap dengan bantuan perusahaan OI dan dibuang ke Ceylon.[14]

“Meskipun Hhamid Illah dan Mohamad Amin Ollah (yang disebutkan di atas), penerus takhta, telah memerintah Bandjermasin selama beberapa waktu, mereka tidak pernah dimasukkan dalam garis pangeran, dan dengan demikian Tamdjid Illah I dianggap sebagai sulthan ke-9 dari Bandjermasin.[14]

"Setelah kematiannya pada tahun 1175 Hijriyah, putranya Tahhmid lllah II menggantikannya sebagai sulthan ke 10.[14]

Referensi

  1. ^ Tamar Djaja (1965). Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air. 2. Bulan Bintang. 
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Bandjermasin (Sultanate)
  3. ^ a b van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863 (dalam bahasa Belanda). 1. D. A. Thieme. hlm. 7. 
  4. ^ "Rulers in Asia (1683 – 1811): attachment to the Database of Diplomatic letters" (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia. hlm. 48. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-13. Diakses tanggal 2018-09-23. 
  5. ^ Gordon, Bruce R. (2018-01-11). "Southeast Asia: the Islands". CoreComm Internet - Start. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 2018-09-23. 
  6. ^ C. E. van Kesteren, R. A. van Sandick, J. E. de Meyier (1899). De Indische gids (dalam bahasa Belanda). 21. J. H. de Bussy. hlm. 278. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2019-11-26. 
  7. ^ De Indische gids (dalam bahasa Belanda). 23. J. H. de Bussy. 1901. hlm. 925. 
  8. ^ Kartodirdjo, Sartono (1973). Sejarah perlawanan-perlawanan terhadap kolonialisme. Pusat Sejarah ABRI. hlm. 7. 
  9. ^ "Mencari Surat-Surat :: Sejarah Nusantara". Arsip Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-07. Diakses tanggal 2018-09-23. 
  10. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-10. Diakses tanggal 2018-09-23. 
  11. ^ (Belanda) van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een terreinkaart. 1. D. A. Thieme. hlm. 7. 
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-03. Diakses tanggal 2018-09-23. 
  13. ^ (Indonesia) Saleh, Mohamad Idwar (1993). Pangeran Antasari. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. hlm. xv. 
  14. ^ a b c d e f g h i Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1864). "Notulen van de Algemeene en Directie-vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappenn" (dalam bahasa Belanda). 1. Lange & Company: 315. 

Pranala luar