Gunung Toba adalah gunung berapisupervulkan purba yang terletak di Provinsi Sumatera Utara. Gunung ini diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu, yang membentuk kaldera berukuran besar yang diisi oleh air, yang saat ini dikenal sebagai Danau Toba.[1] Toba merupakan satu-satunya supervulkan yang ada di Indonesia.
Bukti ilmiah
Pada tahun 1939, seorang geolog Belanda bernama van Bemmelen melaporkan bahwa Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (bahasa Inggris: rhyolite) yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss dan Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan mahadahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa. Penelitian yang lebih baru mengungkapkan bahwa Kompleks Kaldera Toba terbentuk melalui serangkaian empat letusan besar penghasil ignimbritPleistosen yang dimulai pada 1,2 juta tahun yang lalu.[2]
Pengaturan geologis
Gunung Toba (kini Danau Toba), yang terletak di Sumatera Utara terletak di dalam Bukit Barisan. Gunung berapi tersebut terbentuk sebagai hasil dari subduksi lempeng.[3] Kerak memiliki ketebalan berkisar dari 29 – 40 km[4] dan kedalaman Zona Benioff 125 km di bawah Toba.[5] Kaldera Toba adalah salah satu dari kompleks gunung berapi di busur Sunda, Sumatra di mana lempeng Indo-Australia menunjam secara miring dengan kecepatan 56–66 mm per tahun.[6][7] Daerah ini dilalui oleh Zona Sesar Besar Sumatra, wilayah aktif seismik sepanjang 1650 km,[7] dengan laju tahunan sekitar 2,3 cm di dekat Toba.
Kompleks Kaldera Toba di Sumatera Utara telah menjadi lokus aktivitas vulkanik silika setidaknya selama 1,3 juta tahun. Kaldera Toba telah menjadi lokasi beberapa letusan eksplosif besar di masa lalu geologis baru-baru ini, termasuk letusan Pleistosen terbesar di dunia 74.000 tahun yang lalu. Depresi yang terbentuk merupakan kaldera kebangkitan terbesar di dunia dan terletak di salah satu medan ignimbrit terbesar, Tuf Toba.[8] Danau Toba, pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut, dan kedalaman hingga 530 m, mengisi lebih dari setengah depresi. Kantung magma Toba memiliki volume volatil magma sebesar ~50.000 km3 yang dapat diletuskan, yang dihasilkan dari akumulasi magma dari subduksi di kedalaman ~150 km yang bermigrasi ke bawah kerak benua Sumatra.[9][10] Laju masukan magma yang masuk sejak letusan besar Toba jika tetap stabil sejak 74.000 tahun yang lalu, terakumulasi pada laju minimum 4,2 km3 per milenium, dan perkiraan saat ini dari total magma yang berpotensi meletus yang tersedia saat ini adalah minimal 315 km3 dan mungkin hingga 900 km3 magma disuntikan ke reservoir magma Toba.[11]
Kompleks Kaldera diperkirakan masih aktif semenjak letusan besar terbarunya, keberadaan magma di bawah kerak di dukung oleh keberadaan mata air panas di sepanjang rekahan barat, kebangkitan lantai depresi pasca 74.000 tahun, yang membentuk Pulau Samosir. Kubah kebangkitan membelah terbelah menjadi pulau Samosir dan blok Uluan oleh sesar graben yang sejajar dengan sumbu panjang depresi kaldera. Keberadaan gunung api muda Pusuk Buhit, Sipiso-piso di barat dan Tandukbenua serta Singgalang di ujung barat laut kaldera mendukung kesimpulan bahwa magmatisme masih berlajut di bawah Toba.[12]Kerucut kompositSinabung dan Sibayak sekitar 20 km barat laut dari Toba tidak dianggap bagian dari sistem Toba, meskipun studi lain menemukan kekerabatan antara Kaldera Toba dan Sinabung dalam komposisi magma berdasarkan penanggalan zirkon.[13] Selain itu, terdapat anomali gravitasi Bouguer negatif besar di atas Pulau Samosir.[14]
Kompleks Kaldera Toba di Sumatera Utara adalah situs dari empat letusan pembentuk kaldera dalam 1,2 juta tahun terakhir. Tuf diletuskan pada 1.2, 0.840, 0.50, dan 0.074 juta tahun yang dikenal sebagai Haraggoal Dacite Tuff (HDT), Oldest Toba Tuff (ODT), Middle Toba Tuff (MTT), dan Youngest Toba Tuff (YTT).[15]
Sejarah letusan
Secara keseluruhan, Gunung Toba pernah meletus empat kali di Kuarter.[16] Setidaknya dua di antaranya adalah letusan super.
Letusan pertama adalah letusan VEI 6 (35 km3) yang berlangsung sekitar 1,2 juta tahun yang lalu di utara Danau Toba, membentuk kaldera di utara stratovolkano Toba yang menghasilkan Tuf Haranggoal Dacite (Haraggoal Dacite Tuff) atau HDT.[1]
Letusan kedua memiliki VEI 8 (~500–2300 km3) terjadi sekitar 840 ribu tahun lalu.[17] Letusan ini merupakan letusan super pertama Toba, menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Parapat dan Porsea, meninggalkan Tuf Toba Tertua (Oldest Toba Tuff).[1]
Letusan ketiga adalah VEI 6 (60 km3) terjadi 500 ribu tahun lalu di tempat yang sama dengan letusan HDT sebelumnya. Menghasilkan Tuf Toba Tengah (Middle Toba Tuff), letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol.[1]
Letusan keempat 74.000 tahun lalu (memiliki volume minimum 2.800 km3)[18] menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba berukuran 100 x 30 km dengan Pulau Samosir di tengahnya.[19] Letusan Tuf Toba Termuda (Youngest Toba Tuff) menyebabkan pengendapan rangkaian ignimbrit tebal seluas 30.000 km2 di Sumatra dan penyebaran abu yang meluas.[20]
Meskipun awalnya Kaldera Toba dianggap sebagai hasil dari letusan bencana tunggal, kaldera Toba sekarang dikenal sebagai kompleks kaldera yang terdiri dari runtuhan kaldera yang tumpang tindih dan terletak secara luas. Aktivitas letusan besar dimulai ~1,2 juta tahun dengan Haranggaol Dacite Tuff (HDT), diikuti oleh letusan dahsyat dari Oldest Toba Tuff (ODT), pada ~840.000 tahun yang lalu yang mengakibatkan runtuhnya kaldera Porsea. Letusan yang lebih kecil terfokus di utara menghasilkan Middle Toba Tuff (MDT) pada ~501.000 tahun yang lalu, sementara sebagian kaldera yang bangkit saat ini dihasilkan selama letusan dahsyat yang paling baru dari Youngest Toba Tuff pada 73,0 ± 0,6 rb[21] dan 75,0 ± 0,9 rb[22] tahun.
Letusan OTT
Letusan Toba Tertua mengeluarkan setidaknya 500 km3 hingga maksimum 2.300 km3 setara batuan padat magma riolit berdasarkan endapan jatuhan tefra yang tersebar luas di cekungan laut Samudra Hindia dan Laut China Selatan. Letusannya membentuk kaldera berukuran 55 x 27 km yang dikenal sebagai Kaldera Porsea.[23] Tefra meluas hingga 2.500 km di Laut China Selatan dan 3.100 km di Samudra Hindia dari sumber.[24][25] Terlepas dari besarnya yang luar biasa, waktu dari letusan besar ini tidak menunjukan hubungan sebab-akibat antara peristiwa ini dan kerusakan iklim global jangka panjang.
Letusan YTT
Letusan Tuf Toba Termuda(Youngest Toba Tuff; YTT) yang terjadi di Sumatera Utara, Indonesia 74.000 tahun yang lalu, adalah adalah satu peristiwa vulkanik terbesar yang diketahui di Bumi.[26] Letusannya dianggap sebagai peristiwa bencana yang menyebabkan deforestasi, menghancurkan populasi hidup vegetasi, hewan, kematian manusia dan migrasinya di Afrika ke Asia Tenggara.[27][28] Letusannya mengeluarkan 2.800 km3 magma riolit setara batuan padat (7 x 1018 kg), di mana setidaknya 800 km3 abu (2 x 1018) diendapkan sebagai selimut abu yang luas di Samudra Hindia dan Asia Selatan, dan menyebarkan material piroklastik halus di benua yang berdekatan di Afrika dan Asia selama 9 - 14 hari, dan mencakup setidaknya 4.000.000 km2 di Asia Tenggara.[20] Diyakini bahwa letusan tersebut telah menciptakan sejumlah besar gas belerang beracun 3,3 x 1012 kg.[29]
Letusan YTT secara signifikan jauh lebih besar dari letusan Tambora 1815, yang merupakan letusan terbesar dalam sejarah manusia yang tercatat. Letusan ini mengeluarkan ~140 km3 magma dari kaldera berdiameter 6 km dan kedalaman 1,1 km, material yang dikeluarkan mencapai ketinggian 44 km dan abu yang meluas hingga 1300 km dari kaldera dan membunuh setidaknya 71.000 orang dan pendinginan global selama satu tahun.[30] Material piroklastik berbutir halus berbutir halus yang disebabkan oleh YTT, membentuk awan tebal abu vulkanik di atmosfer, dan menyebabkan pendinginan dan hujan asam di seluruh Asia Tenggara dan telah menurunkan suhu global sebesar 3 - 5 °C selama 6 - 10 tahun.[31]Aliran piroklastik mengubur area seluas 20.000 - 30.000 km2 di Sumatra dan kolom letusan naik hingga 50 – 80 km.[32] Hingga 400 meter Tuf Toba Termuda tersingkap di dinding kaldera dan di pulau Samosir tuf tebalnya lebih dari 600 meter.
Lapisan abu Toba tersebar luas di Laut China Selatan, Malaysia, Laut Arab, melintasi Samudra Hindia sekitar 4.500 km dari barat kaldera serta di seluruh India dalam 10 – 15 cm abu. Di salah satu situs di Lembah Lenggong, Malaysia rata-rata tebal abu mencapai 10 meter.[33] Di Teluk Benggala dan Samudra Hindia tebalnya sekitar 10 cm, sedangkan di cekungan aluvial dapat mencapai 2 - 5 meter. Abu dari letusan juga mungkin mencapai Asia Tengah dan Timur Tengah.[34] Lapisan abu Toba juga ditemukan di Danau Malawi sejauh ~7.300 km dan Afrika Selatan ~9.000 km[35] dari sumber yang meningkatkan jarak penyebaran abu yang diketahui sebelumnya dari letusan super ini hampir 3.000 - 4.500 km. Penyebaran YTT dari Afrika dan Laut China Selatan, menunjukkan perkiraan material yang melebihi estimasi saat ini.
Studi pada tahun 2014 oleh A. Costa et al.[2] (menggunakan metode model penyebaran tefra yang bergantung waktu 3D, satu set medan angin, dan beberapa puluh pengukuran ketebalan endapan tefra YTT) menunjukkan volume material yang berpotensi meletus adalah 5.300 km3 DRE (dense-equivalent rock, setara batuan padat) atau 13.200 km3 dalam total volume curah. Letusan YTT menyebarkan ~8.600 km3 (~3.800 km3 DRE) abu yang meliputi area 40.000.000 km2 dalam 5 mm abu.
Dampak iklim dan kemacetan
Beberapa studi menyimpulkan bahwa Toba memicu pendinginan global yang menghancurkan. Musim dingin vulkanik ini disebut-sebut sebagai salah satu penyebab kemacetan populasi manusia modern yang menjelaskan keterbatasan keragaman genetik modern, meskipun data genetik dapat dengan mudah dijelaskan oleh faktor non-bencana lainnya. Bertentangan dengan teori ini, bukti arkeologi menunjukkan bahwa manusia modern awal telah berkembang di luar Afrika pada saat ini[36] dan bahwa letusan YTT tidak mengganggu perilaku populasi yang menghuni semenanjung India.[37]
Aktivitas terbaru
Setelah letusan YTT, aktivitas vulkanik masih berlanjut di sistem kaldera yang terbentuk dengan runtuhnya atap reservoir magma. Kaldera YTT telah bangkit kembali dalam fase pemulihan setelah letusan super di mana keseimbangan magmatastik, litostatik dan usostatik dari struktur super kaldera setelah letusan. Pada kaldera besar seperti Toba, terjadi pengangkatan lantai kaldera yang disebabkan oleh pengisian ulang kantung magma karena masukan magma.[38] Sekitar 1.100 m pengangkatan lantai kaldera telah diperkirakan.[39] Data umur 14C dari sedimen paling atas menemukan bahwa Pulau Samosir tenggelam di bawah tingkat permukaan danau ~33,7 ribu tahun yang lalu. Ke arah timur ke Samosir, Uluan, juga bangkit tetapi jauh lebih kecil dari Samosir, mungkin hanya 250-300 meter.[12] Pengangkatan dimulai sekitar 1.000 tahun setelah letusan klimaksnya dan danau terbentuk 1.500 tahun dan setidaknya 66 tahun berikutnya.[40][41] tingkat pengangkatan antara ~74 ribu dan 33,7 ribu tahun yang lalu adalah minimal ~1,1 cm per tahun, meningkat 4,9 cm/tahun ~33,7 ribu hingga 22,5 ribu tahun yang lalu, dan berkurang menjadi 0,7 cm/tahun setelah 22,5 ribu tahun.[42]
Di timur laut Pulau Samosir, beberapa kubah lava terbentuk di atau dekat danau, dan telah meletus di sepanjang sesar Samosir berkisar dari 69,7±4,5 hingga 65,3±4,6 ribu tahun yang lalu. Secara kolektif dikenal sebagai kubah lava Samosir dan kubah Tuk Tuk. Letusan termuda pasca-YTT diperkirakan terjadi antara Samosir dan dinding kaldera barat yang memanjang ke bawah menuju kota Muara, termasuk gunung berapi komposit Pusuk Buhit dan kubah Pardepur. Kubah lava Pardepur mulai terbentuk 56,9±3,9 dan 63,4±5,6 ribu tahun yang lalu di puncak aliran lava yang lebih tua yang terkait dengan kaldera Tuf Toba Tertua. Yang termuda (~57 ribu tahun yang lalu) membentuk Pulau Pardepur, dan dua aliran lava Pusuk Buhit pada 62,2+7,1 dan 54,5±0,8 ribu tahun yang lalu. Sejalan dengan ini adalah beberapa area pengangkatan baru-baru ini dan aktivitas hidrotermal yang signifikan.
^Knight, M. D., G. L. Walker, B. B. Ellwood, and J. F. Diehl (1986), Stratigraphy, paleomagnetism, and magnetic fabric of the Toba tuffs: Constraints on the sources and eruptive styles, J. Geophys. Res., 91, 355–382.
^Jaxybulatov, K. et al. A large magmatic sill complex beneath the Toba caldera. Science 346, 617–619 (2014).
^Nishimura, S., E. Abe, J. Nishida, T. Yokoyama, A. Dharma, P. Hehanusa, and F. Hehuwat (1984), A gravity and volcanostratigraphic interpretation of Lake Toba region, north Sumatra, Indonesia, Tectonophysics, 109, 253–272.
^Storey, M., Roberts, R. G., and Saidin, M. (2012). Astronomically calibrated 40Ar/39Ar age for the Toba supereruption and global synchronization of late Quaternary records. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 109, 18684–18688. doi: 10.1073/pnas.1208178109
^Mark, D. F., Petraglia, M., Smith, V. C., Morgan, L. E., Barfod, D. N., Ellis, B. S., et al. (2013). A high-precision 40Ar/39Ar age for the Young Toba Tuff and dating of ultra-distal tephra: forcing of Quaternary climate and implications for hominin occupation of India. Quaternary Geochronol. doi: 10.1016/j.quageo.2012.12.004
^M.R. Rampino, S. Self
Volcanic winter and accelerated glaciation following the Toba supereruption
Nature, 359 (1992), pp. 50-52
^W.I. Rose, C.A. Chesner
Worldwide dispersal of ash and gases from Earth’s largest known eruption: Toba, Sumatra 75 Ka
Global Planet. Chan., 3 (1990), pp. 269-275
^C. Oppenheimer
Climatic, environmental and human consequences of the largest known historic eruption: Tambora volcano (Indonesia) 1815
Prog. Phys. Geogra., 27 (2) (2003), pp. 230-259
^G.A. Zielinski, P.A. Mayewski, L.D. Meeker, S. Whitlow, M.S. Twickler, K. Taylor
Potential atmospheric impact of the Toba Mega-Eruption ∼71,000 years ago
Geophysical Research Letters, 23 (8) (1996), pp. 837-840
^Ninkovich, D., Sparks, R.S.J., and Ledbetter, M.T., 1978, The exceptional magnitude and intensity of the Toba eruption, Sumatra: An example of using deep-sea tephra layers as a geological tool: Bulletin of Volcanologique, v. 41, p. 286-298.
^SJ Armitage, et al., The southern route ''Out of Africa''. Evidence for an Early Expansion of Modern Humans into Arabia. Science 331, 453 (2011).
^M Petraglia, et al., Middle Paleolithic assemblages from the Indian subcontinent before and after the Toba super-eruption. Science 317, 114–116 (2007).
^Marsh, B. D. On the mechanics of caldera resurgence. J. Geophys. Res. 89, 8245–8251 (1984).