Gunung Bawakaraeng berada di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di lereng gunung ini terdapat wilayah ketinggian, Malino, tempat wisata terkenal di Sulawesi Selatan. Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai.
Mitos
Bawakaraeng bagi masyarakat sekitar memiliki arti tersendiri. Bawa artinya Mulut, Karaeng artinya Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng diartikan sebagai Gunung Mulut Tuhan.Penganut sinkretisme di wilayah sekitar gunung ini meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Para penganut keyakinan ini juga menjalankan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng setiap musim haji atau bulan Zulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Tepat tanggal 10 Zulhijjah, mereka melakukan salat Idul Adha di puncak Gunung Bawakaraeng atau di puncak Gunung Lompobattang.
Tragedi longsor
Pada hari Jumat, tanggal 26 Maret 2004 sekitar pukul 14.00 WITA, terjadi tragedi longsor di kaki Gunung Bawakaraeng, tepatnya di Kecamatan Tinggimoncong.[1] Musibah longsor ini menewaskan 30 warga dan menimbum ribuan areal sawah dan perkebunan.
Eks wilayah longsor tersebut mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) menjadi labil. Setiap musim hujan, lumpur di kaki Gunung Bawakaraeng mengalir masuk ke Bendungan Bilibili, bedungan terbesar di Sulawesi Selatan yang ada di Kabupaten Gowa, yang menjadi sumber air baku di Gowa dan Makassar. Lumpur juga mengalir masuk ke Sungai Jeneberang, sungai terbesar di Gowa yang membelah Sungguminasa ibu kota Kabupaten Gowa serta membendung Kota Makassar di wilayah selatan.
Gunung yang tingginya sekitar 2.845 mdpl dari permukaan laut ini juga menjadi arena pendakian. Namun, sudah banyak menelan korban akibat Hipotermia dikarenakan persiapan yang kurang matang.
Lihat pula
Catatan kaki