Gunung Galunggung (Aksara Sunda Baku: ᮌᮥᮔᮥᮀ ᮌᮜᮥᮀᮌᮥᮀ) merupakan gunung api dengan ketinggian 2.168 meter di atas permukaan laut, dengan puncak tertingginya yakni Puncak Beuti Canar yang memiliki ketinggian 2240 Mdpl. Gunung ini terletak sekitar 17 km dari pusat kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Untuk mencapai bibir kawah Gunung Galunggung, dibangun sebuah tangga yang memiliki 620 anak tangga. Gunung ini memiliki 2 puncak yaitu Puncak Dinding Ari dan Puncak Beuticanar, kedua puncak tersebut dapat dijangkau dengan cara mendaki melalui jalur yang tersedia.
Di wilayah ini terdapat beberapa daya tarik wisata yang ditawarkan antara lain objek wisata dan daya tarik wanawisata dengan areal seluas kurang lebih 120 hektare di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Objek yang lainnya seluas kurang lebih 3 hektar berupa pemandian air panas (Cipanas) lengkap dengan fasilitas kolam renang, kamar mandi dan bak rendam air panas.
Gunung Galunggung tercatat pernah meletus pada 1818, ditandai dengan kemunculan suara gemuruh dari bawah tanah yang terdengar cukup sering. Pada bulan Juni, warga yang tinggal di sekitar Sungai Cikunir melihat perubahan warna dan rasa air yang menjadi lebih asam dan tercium bau belerang. Menanggapi hal tersebut, seorang kepala daerah menyuruh seorang santri untuk mencari tahu penyebabnya. Ketika ditelusuri hingga ke hulu sungai yang berada di Gunung Galunggung, tidak ditemukan apa-apa yang bisa dianggap sebagai penyebab. Beberapa saat kemudian, air sungai kembali jernih meskipun bau belerang tetap tericum.[2]
Gunung Galunggung tercatat pernah meletus pada 1822 (VEI=5). Tanda-tanda awal letusan diketahui pada bulan Juli 1822, di mana air Cikunir menjadi keruh dan berlumpur. Hasil pemeriksaan kawah menunjukkan bahwa air keruh tersebut panas dan kadang muncul kolom asap dari dalam kawah. Kemudian pada tanggal 8 Oktober sampai dengan 12 Oktober, letusan menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu halus, awan panas, serta lahar. Aliran lahar bergerak ke arah tenggara mengikuti aliran-aliran sungai. Letusan ini menewaskan 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 desa, dengan kerusakan lahan ke arah timur dan selatan sejauh 40 km dari puncak gunung.
Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1894. Di antara tanggal 7-9 Oktober, terjadi letusan yang menghasilkan awan panas. Lalu tanggal 27 dan 30 Oktober, terjadi lahar yang mengalir pada alur sungai yang sama dengan lahar yang dihasilkan pada letusan. Letusan kali ini menghancurkan 50 desa, sebagian rumah ambruk karena tertimpa hujan abu.[3]
Pada tahun 1918, di awal bulan Juli, letusan berikutnya terjadi, diawali gempa bumi. Letusan tanggal 6 Juli ini menghasilkan hujan abu setebal 2–5 mm yang terbatas di dalam kawah dan lereng selatan. Dan pada tanggal 9 Juli, tercatat pemunculan kubah lava di dalam danau kawah setinggi 85m dengan ukuran 560x440 m yang kemudian dinamakan Gunung Jadi.[3]
Letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 Mei 1982 (VEI=4) disertai suara dentuman, pijaran api, dan kilatan halilintar. Kegiatan letusan berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari1983. Selama periode letusan ini, sekitar 18 orang meninggal, sebagian besar karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas, usia tua, kedinginan dan kekurangan pangan). Perkiraan kerugian sekitar Rp 1 miliar dan 22 desa ditinggal tanpa penghuni.
Letusan pada periode ini juga telah menyebabkan berubahnya peta wilayah pada radius sekitar 20 km dari kawah Galunggung, yaitu mencakup Kecamatan Indihiang, Kecamatan Sukaratu dan Kecamatan Leuwisari. Perubahan peta wilayah tersebut lebih banyak disebabkan oleh terputusnya jaringan jalan dan aliran sungai serta areal perkampungan akibat melimpahnya aliran lava dingin berupa material batuan-kerikil-pasir.
Pada periode pasca letusan (yaitu sekitar tahun 1984-1990) merupakan masa rehabilitasi kawasan bencana, yaitu dengan menata kembali jaringan jalan yang terputus, pengerukan lumpur/pasir pada beberapa aliran sungai dan saluran irigasi (khususnya Cikunten I), kemudian dibangunnya check dam (kantong lahar dingin) di daerah Sinagar sebagai 'benteng' pengaman melimpahnya banjir lahar dingin ke kawasan Kota Tasikmalaya. Pada masa tersebut juga dilakukan eksploitasi pemanfaatan pasir Galunggung yang dianggap berkualitas untuk bahan material bangunan maupun konstruksi jalan raya. Pada tahun-tahun kemudian hingga saat ini usaha pengerukan pasir Galunggung tersebut semakin berkembang, bahkan pada awal perkembangannya (sekitar 1984-1985) dibangun jaringan jalan Kereta Api dari dekat Stasiun Indihiang (Kp. Cibungkul-Parakanhonje) ke check dam Sinagar sebagai jalur khusus untuk mengangkut pasir dari Galunggung ke Jakarta. Letusannya juga menyebabkan British Airways Penerbangan 9 terpaksa mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma, setelah keempat mesinnya mati total.
DAS Hulu Galunggung
Mayoritas kawasan lereng Gunung Galunggung merupakan hulu bagi daerah aliran sungai Ciwulan. Dibatasi oleh punggung puncak Gunung Tadar, punggung puncak Gunung Batujahar, punggung puncak utara kawah Gunung Guntur, tepian kawah Galunggung sebelah utara merupakan perbatasan alami antara DAS Ciwulan dan DAS Citanduy di kawasan tersebut, dimana keduanya sama-sama bermuara di pesisir selatan Jawa di wilayah perairan Samudera Hindia.[4]
Gunung Galunggung sebagai objek wisata
Kebanyakan pengunjung objek wisata Galunggung adalah wisatawan lokal, sementara wisatawan dari mancanegara masih di bawah hitungan 100 orang rata-rata per tahun. Rata-rata wisatawan dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke Gunung Galunggung berjumlah 213.382 orang per tahun.
Melihat potensi daya tarik yang mungkin digali, serta posisi geografis yang cukup strategis, serta memiliki kekhasan dari kondisi alamnya objek wisata Gunung Galunggung cukup potensial untuk dijual kepada wisatawan mancanegara. Namun objek wisata tersebut belum dikemas dalam paket wisata yang profesional.