Di Indonesia, kesehatan hewan merupakan aspek yang dijaga oleh berbagai kalangan karena hewan memiliki peran penting dalam perekonomian, sosial budaya masyarakat, serta keseimbangan ekosistem. Hewan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup banyak orang, mulai dari sumber pangan seperti daging dan susu hingga menjadi rekan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kesehatan populasi hewan di Indonesia merupakan hal yang penting bagi kesejahteraan hewan itu sendiri, keberlanjutan industri yang mengandalkan mereka, dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Pemerintah Indonesia, dokter hewan, dan orang-orang yang bidang pekerjaannya melibatkan hewan mengatasi masalah-masalah kesehatan hewan dan memastikan ketersediaan dan keamanan pangan asal hewan. Salah satu masalah utama yang mengancam kesehatan hewan adalah penyakit hewan lintas batas, yang pencegahan, pengendalian, dan penanggulangannya diatur oleh pemerintah. Sementara itu, industri kesehatan hewan seperti penyediaan jasa dokter hewan serta vaksin dan obat hewan telah menjangkau berbagai daerah di Indonesia.
Pengaturan
Penyakit hewan
Pemerintah telah menerbitkan banyak produk hukum yang mengatur kesehatan hewan. Salah satu pengaturan dasarnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 41 Tahun 2014.[1][2] Hal-hal yang diatur dalam UU tersebut di antaranya adalah sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) dan penetapan penyakit hewan menular strategis (PHMS), yaitu penyakit-penyakit hewan yang diproritaskan untuk ditangani dan ditanggulangi. Menteri Pertanian telah menetapkan 18 jenis PHMS yang terdiri atas 22 penyakit yang telah ada di Indonesia dan tiga penyakit yang belum ada di Indonesia.[3] Sejak tahun 2013, data temuan kasus penyakit hewan di Indonesia dihimpun dalam sistem elektronik yang disebut iSIKHNAS.[4]
Dalam hal penyakit hewan lintas batas, pemerintah menetapkan sejumlah penyakit hewan yang dicegah untuk masuk, tersebar, dan keluar dari wilayah negara Indonesia. Penyakit-penyakit ini dibagi menjadi dua, yaitu hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) pada hewan terestrial serta hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) pada hewan akuatik.[5] Saat ini terdapat 121 penyakit yang ditetapkan sebagai HPHK oleh Menteri Pertanian,[6] dan 37 penyakit yang ditetapkan sebagai HPIK oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.[7] Selain HPIK, pada tahun 2021 Menteri Kelautan dan Perikanan juga menetapkan 15 penyakit ikan yang berpotensi menjadi wabah penyakit ikan.[8]
Gambaran umum kesehatan hewan secara nasional dapat dilihat melalui pemetaan penyakit. Berdasarkan statusnya terhadap penyakit hewan tertentu, suatu daerah dapat dikategorikan sebagai daerah bebas, daerah terduga, daerah tertular, dan daerah wabah.[11] Pada milenium ketiga, terdapat empat penyakit hewan lintas batas yang masuk ke Indonesia, yaitu flu burung patogenisitas tinggi (tahun 2003), demam babi Afrika (2019), serta penyakit kulit berbenjol dan penyakit mulut dan kuku (2022).[12]
Kejadian antraks telah dilaporkan sejak masa penjajahan ketika Indonesia masih dikenal sebagai Hindia Belanda. Sebagian besar penyakit akibat infeksi Bacillus anthracis ini ditemukan pada sapi dan kambing, kecuali wabah antraks pada babi tahun 1983 di Paniai, Irian Jaya,[13] dan wabah antraks pada burung unta tahun 1999 di Purwakarta, Jawa Barat.[14]
Bruselosis merupakan sebutan untuk infeksi bakteri dalam genus Brucella. Bakteri ini dapat menginfeksi manusia dan berbagai hewan. Namun, spesies penting yang diwaspadai untuk hewan adalah B. abortus, B. melitensis, dan B. suis, yang masing-masing memiliki kecenderungan untuk menginfeksi sapi/kerbau, kambing, dan babi. Berbagai pulau dan provinsi telah dibebaskan dari bruselosis pada sapi dan kerbau melalui program vaksinasi, pengujian laboratorium bagi hewan yang akan ditransportasikan, dan pemotongan bagi hewan positif. Seluruh provinsi di Pulau Kalimantan dan hampir semua provinsi di Pulau Sumatra (kecuali Aceh) telah dinyatakan bebas dari bruselosis pada sapi. Penyakit ini juga telah dieliminasi di Provinsi Banten, Pulau Madura, dan Pulau Sumba.[17]
Demam babi Afrika
Demam babi Afrika (ASF) mulai merebak di benua Asia pada tahun 2018 dan memasuki Asia Tenggara pada tahun 2019. Indonesia melaporkan kasus penyakit ini pada 12 Desember 2019 pada situs web Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).[18] Wabah ASF pertama kali terjadi di Sumatera Utara yang menewaskan 28.136 ekor babi di 16 kabupaten/kota. Sumber infeksi belum dapat disimpulkan, tetapi penilaian risiko yang cepat menunjukkan bahwa transportasi babi hidup dari daerah lain dan kontaminasi virus dari pengurus hewan, kendaraan, dan pakan berperan dalam infeksi ini.[19] Pada awal tahun 2020, kematian babi secara massal akibat ASF juga terjadi di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.[20][21] Per tahun 2022, penyakit ini telah dilaporkan di 18 provinsi di Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, serta Kepulauan Nusa Tenggara.[22][23][24] Pada tahun 2023, ASF menyebar ke dua provinsi lagi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.[25]
Flu burung pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 2003 yang bermula dari wabah kematian unggas pada peternakan ayam di Jawa Timur dan Jawa Barat. Dalam rentang waktu empat tahun, yaitu sekitar Desember 2003 hingga Desember 2007, wabah flu burung mengakibatkan lebih dari 16 juta kematian unggas di seluruh Indonesia, baik akibat penyakit maupun pemusnahan.[26] Penyakit ini dapat dikendalikan dengan melibatkan organisasi internasional, seperti FAO.[27] Beberapa provinsi lalu ditetapkan sebagai zona bebas dari flu burung pada unggas. Maluku[28] dan Maluku Utara[29] mendapatkan status bebas pada tahun 2016, sedangkan Provinsi Papua pada tahun 2017.[30] Selain itu, sejak tahun 2008 pemerintah juga menerbitkan sertifikat kompartemen bebas flu burung bagi unit usaha peternakan unggas,[31][32] misalnya pada perusahaan pembibitan dan penetasan ayam.[33]
Penyakit kulit berbenjol
Pada awal 2022, penyakit kulit berbenjol (LSD) yang disebabkan oleh infeksi Lumpy skin disease virus masuk ke Indonesia. Penyakit pada sapi ini pertama kali ditemukan di Provinsi Riau sehingga Pemerintah Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian yang menetapkan provinsi ini sebagai daerah LSD pada tanggal 2 Maret 2022.[34] Pada hari yang sama, pemerintah juga melaporkan kasus penyakit ini ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH). Dalam laporan ini disebutkan bahwa kejadian penyakit telah ada sejak 7 Februari 2022 di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Kampar, Pelalawan, dan Siak. Sebanyak 174 sapi dinyatakan menderita LSD dan dua sapi mengalami kematian. Diagnosis penyakit ditegakkan melalui reaksi berantai polimerase oleh Balai Veteriner Bukittinggi.[35] Pada tahun 2023, penyakit ini telah tercatat di 12 provinsi, termasuk beberapa provinsi di Pulau Jawa.[36][37]
Penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit hewan menular yang dicirikan oleh luka di bagian mulut dan kuku, terutama pada hewan berkuku belah, seperti sapi, kambing, dan babi. Indonesia sempat membebaskan diri dari PMK pada tahun 1986 yang kemudian diakui secara internasional oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) pada tahun 1990.[38] Namun, pada tahun 2022, kasus PMK kembali dilaporkan dan menyebar kembali ke berbagai wilayah di Indonesia.
Pada akhir bulan April dan awal Mei 2022, wabah PMK dilaporkan di di Kabupaten Gresik, Lamongan, Sidoarjo, dan Mojokerto di Provinsi Jawa Timur serta di Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.[39][40] Penyakit ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain. Pemerintah lantas membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (Satgas PMK) yang ketua tim pelaksananya adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).[41] Per bulan Desember 2022, PMK telah tercatat di 27 provinsi di Indonesia.[42][43]
Rabies merupakan salah satu penyakit pada hewan dan manusia yang hampir selalu bersifat mematikan. Penyakit ini telah dikendalikan sejak masa penjajahan Belanda.[44] Kasus gigitan hewan penular rabies pada manusia (GHPR) dan kasus kematian akibat rabies dicatat setiap tahun oleh Kementerian Kesehatan. Sementara itu, pencatatan kasus pada hewan dan program eliminasi penyakit ini di suatu daerah melalui vaksinasi dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Per tahun 2020, sejumlah daerah telah dinyatakan bebas dari rabies, di antaranya Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Papua, serta berbagai pulau seperti Pulau Tarakan, Nunukan, dan Sebatik di Provinsi Kalimantan Utara, serta sejumlah pulau di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.[45]Hari Rabies Sedunia, sebuah kampanye global pada tanggal 30 September setiap tahun, biasanya diselenggarakan oleh dokter hewan dan organisasi profesinya, instansi pemerintah, sekolah dan perguruan tinggi, komunitas pencinta hewan, maupun organisasi nonprofit. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan lebih dari satu juta dosis vaksin rabies untuk memastikan Indonesia bebas dari penyakit rabies pada tahun 2030.[46]
Tenaga kesehatan hewan
Orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan hewan (disebut juga jasa medik veteriner) secara profesional disebut sebagai tenaga kesehatan hewan. Mereka terdiri atas dokter hewan, sarjana kedokteran hewan, dan paramedis hewan, yang masing-masing memiliki kompetensi dan kewenangan yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formalnya. Selain menyelesaikan pendidikan formal, tenaga kesehatan hewan juga diwajibkan untuk memperoleh izin praktik sebelum membuka layanan. Terdapat empat jenis izin praktik untuk sarjana kedokteran hewan dan paramedis hewan, yaitu pelayanan kesehatan hewan, pelayanan inseminator, pelayanan pemeriksaan kebuntingan, dan pelayanan teknik reproduksi. Dalam memberikan pelayanan, sarjana kedokteran hewan dan paramedis hewan berada di bawah penyeliaan dokter hewan.[47]
Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membuat tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Hal ini mendorong Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia untuk melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).[48] Akan tetapi, MK menolak gugatan uji materiil tersebut.[49]
Dokter hewan
Jumlah dokter hewan di Indonesia berkisar dari 15 ribu[50] hingga 20 ribu orang.[51] Sementara itu, menurut data Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), tercatat 11.821 dokter hewan pada tahun 2022.[52] Seorang dokter hewan dapat memberikan jasa diagnosis dan prognosis penyakit hewan; tindakan terapeutik yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; serta konsultasi dan pendidikan klien atau masyarakat.[47] Pemeriksaan umum, vaksinasi, perawatan, bantuan persalinan, pengobatan, dan pembedahan (termasuk pemandulan) merupakan tindakan medis yang ditawarkan oleh penyedia layanan kesehatan hewan.
Kompetensi
Pada tahun 2009, Majelis Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan PDHI menetapkan standar kompetensi dokter hewan Indonesia, yaitu
memiliki wawasan etika veteriner dan pemahaman terhadap hakikat sumpah dan kode etik profesi serta acuan dasar profesi kedokteran hewan;
memiliki wawasan di bidang sistem kesehatan hewan nasional dan legislasi veteriner;
memiliki keterampilan melakukan tindakan medis yang lege-artis;
memiliki keterampilan dalam menangani sejumlah penyakit pada hewan besar, hewan kecil, unggas, hewan eksotik, satwa liar, satwa akuatik, dan hewan laboratorium;
memiliki keterampilan dalam melakukan: (a) diagnosis klinis, laboratoris, patologis, dan epidemiologis penyakit hewan; (b) penyusunan nutrisi untuk kesehatan dan gangguan medis; (c) pemeriksaan prakematian dan pascakematian; (d) pemeriksaan kebuntingan, penanganan gangguan reproduksi, dan aplikasi teknologi reproduksi; (e) pengawasan keamanan dan mutu produk hewan; (f) pengawasan dan pengendalian mutu obat hewan dan bahan-bahan biologis, termasuk pemakaian dan peredarannya; (g) pengukuran dan penyeliaan kesejahteraan hewan;
memiliki keterampilan dalam komunikasi profesional;
memiliki kemampuan manajemen pengendalian dan penanggulangan penyakit strategis dan zoonosis, keamanan hayati, serta pengendalian lingkungan;
memiliki kemampuan dalam ”transaksi terapeutik”, melakukan anamnesis, rekam medis, persetujuan tindakan medis, penulisan resep, surat keterangan dokter, dan edukasi klien; serta
memiliki dasar-dasar pengetahuan analisis risiko, analisis ekonomi veteriner, dan jiwa kewirausahaan.[53]
Dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 96 unit kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Menurut SKKNI ini, tujuan utama penyelenggaraan kesehatan hewan adalah meningkatkan status kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Tujuan utama ini dibagi menjadi tujuh fungsi kunci: (1) pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan; (2) penjaminan kesehatan masyarakat veteriner dan lingkungan; (3) pelayanan kesehatan hewan; (4) pengembangan dan penjaminan farmasi veteriner dan dietetik veteriner; (5) penyelenggaraan kesejahteraan hewan; (6) manajemen penyelenggaraan kesehatan hewan; dan (7) pengembangan riset veteriner. Fungsi-fungsi kunci tersebut kemudian dibagi lebih lanjut menjadi 26 fungsi utama dan 96 fungsi dasar (unit kompetensi).[54]
Dokter hewan berwenang
Dokter hewan berwenang merupakan istilah dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang merujuk pada dokter hewan pemerintah yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan kesehatan hewan dalam ruang lingkup tertentu yang ditetapkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/wali kota. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan hewan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib memiliki dokter hewan berwenang. Ada dua syarat yang perlu dipenuhi oleh seseorang untuk dapat ditetapkan sebagai dokter hewan berwenang: (1) merupakan dokter hewan yang berstatus pegawai negeri sipil; dan (2) bertugas dalam penyelenggaraan kesehatan hewan paling singkat dua tahun.[55] Dalam memberikan pelayanan, dokter hewan berwenang dapat menerbitkan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) dan surat keterangan status reproduksi (SKSR).[47][56]
Otoritas veteriner
Otoritas veteriner merupakan kelembagaan pemerintah yang bertanggung jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Di Indonesia, otoritas veteriner diatur dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner.[57] Secara spesifik, otoritas veteriner bertugas menyiapkan perumusan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Otoritas veteriner dipimpin oleh pejabat otoritas veteriner (POV). Terdapat beberapa jenis POV, yaitu POV nasional, POV kementerian, POV provinsi, dan POV kabupaten/kota. Mereka berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan.[55] Sertifikat veteriner (SV) merupakan dokumen yang diterbitkan oleh POV sebagai jaminan tertulis bahwa hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya telah memenuhi persyaratan untuk keperluan lalu lintas antarwilayah atau antarkawasan.[58] Wabah PMK yang terjadi pada tahun 2022 mendorong sejumlah pemerintah daerah menetapkan POV untuk menangani penyakit ini.[59][60]
Fasilitas kesehatan hewan
Tenaga kesehatan hewan dapat memberikan layanannya di sebuah fasilitas kesehatan hewan atau dengan ambulatori. Pada layanan ambulatori, tenaga kesehatan hewan mengunjungi lokasi klien dan pasiennya. Hal ini dilakukan, misalnya, karena hewan tidak memungkinkan untuk dibawa ke unit fasilitas kesehatan hewan atau karena pelayanan akan berlangsung lebih efektif dan efisien jika dilakukan di tempat pasien. Di sisi lain, unit pelayanan kesehatan hewan dapat dikelompokkan menjadi praktik dokter hewan mandiri, klinik hewan, pusat kesehatan hewan, dan rumah sakit hewan.[47] Sementara itu, dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha 2020 di Online Single Submission (OSS) dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, izin berusaha untuk aktivitas kesehatan hewan terdiri atas ambulatori, klinik hewan, dan rumah sakit hewan.[61]
Praktik dokter hewan mandiri
Praktik dokter hewan mandiri merupakan suatu jasa medik veteriner berizin yang dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh seorang dokter hewan. Layanan yang diberikan oleh praktik ini mencakup diangosis, terapi, vaksinasi, dan pembedahan minor.[47]
Pusat kesehatan hewan
Pusat kesehatan hewan (puskeswan) merupakan unit pelayanan kesehatan hewan yang dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan biasanya terdapat di tingkat kecamatan atau di tempat yang padat ternak.[62] Pada awalnya, puskeswan didirikan untuk mendekatkan pelayanan pengobatan dan reproduksi terhadap hewan ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Namun, saat ini, puskeswan juga dapat melayani hewan kesayangan dan melakukan operasi dengan biaya yang besarnya ditentukan oleh peraturan daerah.[63] Selain pelayanan kesehatan hewan, puskeswan juga memiliki fungsi di bidang kesehatan masyarakat veteriner, epidemiologi, serta kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah penyakit hewan.[62][64]
Klinik hewan
Klinik hewan merupakan unit usaha jasa medik veteriner yang dilengkapi berbagai fasilitas seperti ruang administrasi, ruang tunggu, ruang praktik, ruang rawat inap, dan ruang operasi.[47] Klinik hewan sering kali menjadi tempat praktik beberapa dokter hewan sehingga disebut sebagai praktik dokter hewan bersama. Di dalamnya tersedia perangkat diagnosis yang lebih lengkap seperti uji darah, pencitraan medis seperti radiografi dan ultrasonografi, serta peralatan untuk pembedahan mayor. Sebagai praktik dokter hewan bersama, suatu klinik memiliki dokter hewan penanggung jawab yang mengelola manajemen bisnis dan medisnya. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan terutama dipengaruhi oleh reliabilitas dan jaminan kepastian yang diberikan oleh klinik hewan.[65]
Rumah sakit hewan
Rumah sakit hewan (RSH) merupakan tempat pelayanan jasa medik veteriner rujukan akhir yang memiliki fasilitas poliklinik, unit gawat darurat, laboratorium, rawat inap, isolasi, perawatan intensif, apotek, hingga instalasi pengolahan limbah. Suatu RSH biasanya memiliki dokter hewan penanggung jawab di setiap departemennya. Sebagai sebuah unit jasa medik veteriner, RSH dapat menarik biaya atas pelayanan yang ditentukan oleh manajemennya. Terdapat beberapa tipe RSH, seperti RSH pendidikan yang dikelola oleh perguruan tinggi penyelenggara pendidikan dokter hewan, RSH daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi, dan RSH swasta.[66][67]
Obat hewan
Di Indonesia, berdasarkan sediaannya, obat hewan dikelompokkan menjadi empat, yaitu sediaan biologik (contoh: vaksin, serum, antiserum, dan bahan diagnostik), sediaan farmasetik (contoh: vitamin, hormon, enzim, antibiotik dan kemoterapetik lainnya, antihistamin, antipiretik, anestetik, dsb), premiks (contoh: imbuhan pakan dan pelengkap pakan), serta sediaan obat alami.[68] Berbagai obat hewan yang digunakan di Indonesia diawasi oleh pemerintah pusat, yaitu Kementerian Pertanian, serta pemerintah daerah.[69]
Sejak tahun 2017, Pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan sejumlah obat hewan, seperti antibiotik dan hormon sintetis, untuk dijadikan imbuhan pakan bagi ternak yang akan dikonsumsi manusia. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah residu obat dalam tubuh hewan, mencegah gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsumsi ternak tersebut, dan untuk mengurangi risiko resistansi antibiotik.[70][71] Industri perunggasan yang sebelumnya banyak menggunakan antibiotik sebagai promotor pertumbuhan kemudian didorong untuk menggunakan produk-produk alternatif seperti enzim, probiotik, prebiotik, sinbiotik, fitobiotik, minyak asiri, dan asam organik.[72][73] Meskipun demikian, masih banyak obat hewan keras seperti antibiotik yang bebas diperjualbelikan di toko luring dan toko daring.[74][75]
^Kementerian Pertanian (2003), Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/PD.640/7/2003 tentang Pernyataan Provinsi Papua Bebas dari Penyakit Anthrax, Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia
^Direktorat Kesehatan Hewan (2021). Peta Status dan Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2020. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 67–70.
^Hanggoro, H.T. (11 Oktober 2018). "KTP dan Pajak Anjing". Historia. Diakses tanggal 13 Januari 2023.
^Direktorat Kesehatan Hewan (2021). Peta Status Situasi Penyakit Hewan Indonesia 2020. Jakarta: Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. hlm. 31–33.