Demam babi Afrika
Demam babi Afrika (bahasa Inggris: African swine fever, disingkat ASF) adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh virus African swine fever. Virus ini dapat menginfeksi anggota famili Suidae, baik babi yang diternakkan maupun babi liar. Penyakit ASF dapat menyebar dengan cepat dengan tingkat kematian yang tinggi sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. PenyebabDemam babi Afrika disebabkan oleh african swine fever virus (ASFV) yang merupakan satu-satunya spesies virus dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus.[4] Virus ini dikelompokkan dalam grup I dalam sistem klasifikasi Baltimore, yaitu virus DNA dengan untai ganda. Resistansi virus ASF terhadap perlakuan fisik dan kimiawi yaitu:[5]
Hewan pekaDemam babi Afrika menyerang anggota famili Suidae. Spesies yang peka yaitu babi domestik dan babi hutan atau celeng (keduanya merupakan subspesies dari Sus scrofa), babi warthog (Phacochoerus africanus dan P. aethiopicus), babi semak (Potamochoerus porcus dan P. larvatus), dan babi hutan raksasa (Hylochoerus meinertzhageni).[6][7] Manifestasi penyakit secara klinis hanya terlihat pada babi domestik dan babi hutan. Babi liar afrika seperti warthog dan babi semak tidak menunjukkan tanda klinis saat terinfeksi dan berperan sebagai reservoir virus.[7] Belum ada bukti bahwa virus ASF dapat menginfeksi manusia.[6] PenularanSeekor babi yang sehat dapat terinfeksi demam babi Afrika melalui rute penularan secara langsung dan tidak langsung. Penularan langsung terjadi melalui kontak fisik antara babi terinfeksi dengan babi sehat, sedangkan penularan tidak langsung terjadi dengan cara:[5]
Demam babi Afrika dapat ditularkan baik dengan caplak maupun tanpa adanya caplak sebagai perantara,[8] bergantung pada siklus epidemiologis penyakit yang dipengaruhi oleh lokasi geografis dan spesies babi yang terlibat.[9] Cairan hidung dan mulut, jaringan, darah, urin, dan feses dari hewan terinfeksi, baik hidup maupun mati, merupakan sumber virus.[10] Babi yang telah pulih dari infeksi akut dan kronis dapat berstatus terinfeksi secara persisten dan berperan sebagai pembawa virus.[10] Tanda klinisTerdapat variasi tanda klinis dan tingkat kematian akibat ASF, bergantung pada tingkat virulensi virus dan spesies babi yang terinfeksi. Bentuk penyakit yang ditemukan yaitu perakut, akut, subakut kronis, dan subklinis. Masa inkubasi biasanya berlangsung antara 4-19 hari.[2] Pada penyakit bentuk akut, masa inkubasi berlangsung lebih singkat (3-7 hari), diikuti dengan demam tinggi (hingga 42 °C), dan kematian dalam 5-10 hari[11] atau dalam 6-13 hari (hingga 20 hari).[1] Selain demam tinggi, tanda klinis lain yang ditemukan yaitu depresi, hilangnya nafsu makan, hemoragi pada kulit dan organ dalam, abortus pada babi bunting, sianosis, muntah, dan diare.[2][1] Angka kematian dapat mencapai 100%[1] dan terkadang, kematian terjadi bahkan sebelum tanda klinis dapat diamati.[2] Pada bentuk subakut dan kronis yang disebabkan oleh virus dengan virulensi yang rendah, tanda klinis yang muncul lebih ringan dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama. Tingkat kematian lebih rendah, berkisar antara 30-70%.[1] Manifestasi penyakit bentuk kronis di antaranya penurunan berat badan, demam intermiten atau berkala, gangguan pernapasan, ulser pada kulit, dan radang sendi.[1][11] Bentuk ini jarang ditemukan pada wabah penyakit. Beragam jenis babi memiliki kerentanan yang berbeda terhadap virus ASF. Babi liar afrika dapat terinfeksi tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis yang memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai reservoir.[1] DiagnosisDemam babi Afrika tidak dapat dibedakan dengan demam babi klasik hanya dengan pemeriksaan klinis atau pascamati. Pengujian laboratorium diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini. Sampel darah, serum, limpa, amandel, dan kelenjar getah bening gastrohepatik dari kasus yang dicurigai harus diserahkan ke laboratorium untuk konfirmasi.[11] Metode pengujian yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi virus ASF yaitu isolasi virus atau uji hemadsorpsi, uji antibodi fluoresens (FAT), ELISA antigen, serta reaksi berantai polimerase (PCR), baik PCR konvensional maupun PCR waktu nyata (real-time).[3] Adapun metode pengujian untuk mendeteksi respons kekebalan tubuh yaitu ELISA antibodi, uji imunoperoksidase tidak langsung (IPT), uji antibodi fluoresens tidak langsung (IFAT), dan uji imunoblot (IBT).[3] Selain demam babi klasik, diagnosis banding untuk demam babi Afrika yaitu sindrom reproduksi dan respirasi babi (PRRS), sindrom dermatitis dan nefropati babi (PDNS), erisipelas, pseudorabies, salmonelosis dan septisemia bakterial lain, serta keracunan.[12] Penyebaran penyakitAwal mulaDemam babi Afrika pertama kali diidentifikasi pada tahun 1921 di Kenya, Afrika Timur walaupun wabahnya telah terjadi sejak tahun 1909.[13][14] Kasus penyakit ini tetap terbatas di benua Afrika hingga tahun 1957 pada saat ASF dilaporkan di Portugal kemudian selanjutnya menyebar ke berbagai negara di Eropa (Italia, 1967; Spanyol, 1969; Prancis, 1977; Malta, 1978; Belgia, 1985; dan Belanda, 1986), hingga ke Kepulauan Karibia (Kuba, 1971 dan 1980; Republik Dominika, 1978; dan Haiti, 1979) serta Amerika Selatan (Brasil, 1978).[15] AsiaVirus ASF ditemukan pada babi liar di Iran pada tahun 2010, tetapi setelah itu tak ada laporan kasus lagi di wilayah Timur Tengah.[8] Di bulan Agustus 2018, Tiongkok melaporkan wabah demam babi Afrika di provinsi Liaoning, di mana kasus ini merupakan yang pertama di Asia Timur.[16] Kasus ASF pun menyebar ke negara Asia lainnya, yaitu Mongolia, Korea Utara, dan Korea Selatan. Beberapa ilmuwan Tiongkok di Universitas Nankai mendeteksi virus ASF pada Dermacentor, caplak keras pada kambing dan sapi.[17] Asia TenggaraPada bulan Februari 2019, Vietnam mengonfirmasi kasus demam babi Afrika. Hal ini menjadikannya negara Asia Tenggara pertama yang terinfeksi penyakit ini. Secara berturut-turut, demam babi Afrika juga ditemukan di Kamboja, Laos, Filipina, Myanmar, dan Timor Leste. Hingga bulan Desember 2019, tujuh negara di Asia Tenggara telah melaporkan kasus ASF.
IndonesiaSejak penyakit ASF mulai memasuki benua Asia, pemerintah Indonesia telah meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini.[18] Pada akhir tahun 2019, terjadi wabah kematian babi di Provinsi Sumatera Utara yang membunuh lebih dari 10 ribu ekor babi.[19] Berdasarkan hasil uji laboratorium, kematian ini disebabkan oleh penyakit demam babi klasik dan terindikasi serangan virus ASF.[20] Pada 12 Desember 2019, Kementerian Pertanian Republik Indonesia mengonfirmasi adanya wabah ASF melalui situs web Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).[16] Sementara itu, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menerima laporan kejadian ASF dari pemerintah Indonesia pada 17 Desember 2019.[21] Dalam laporan tersebut, pemerintah menyatakan bahwa sejak 4 September 2019 telah terjadi 392 kali wabah ASF yang menewaskan 28.136 ekor babi pada 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara.[22] Hasil positif didapatkan melalui uji laboratorium dengan metode PCR waktu nyata.[22] Sumber infeksi belum dapat disimpulkan, tetapi penilaian risiko yang cepat menunjukkan bahwa transportasi babi hidup dari daerah lain dan kontaminasi virus dari pengurus hewan, kendaraan, dan pakan berperan dalam infeksi ini.[22] Pemerintah secara resmi mengumumkan kejadian wabah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.[23] Daerah yang dinyatakan sebagai daerah wabah yaitu Kabupaten Dairi, Humbang Hasudutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, dan Langkat, serta Kota Tebing Tinggi, Pematangsiantar, dan Medan.[23] Pada 14 Februari 2020, wilayah yang terdampak telah bertambah menjadi 21 kabupaten/kota di Sumatera Utara.[24] Penanganan yang dilakukan yaitu melakukan pemusnahan babi mati serta pembersihan dan disinfeksi.[24] Selain di Sumatera Utara, kematian babi secara massal juga terjadi di Provinsi Bali dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang diduga akibat ASF. Hingga 24 Februari 2020, sebanyak 1.735 ekor babi di tujuh kabupaten/kota di Bali mengalami kematian.[25] Sementara itu, 2.825 ekor babi di lima kabupaten/kota di NTT mengalami kematian hingga 27 Februari 2020.[26] Kelima kabupaten/kota tersebut yaitu Kabupaten Belu, Kupang, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan, serta Kota Kupang.[27] Per April 2021, ASF telah dilaporkan di 10 provinsi: Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.[28] Di Manokwari, Papua Barat, pemerintah daerah mengumumkan kasus waspada akibat kematian ratusan babi di sana.[29] Pencegahan dan pengendalianBelum ada vaksin yang mampu mencegah dan obat yang mampu menyembuhkan demam babi Afrika. Oleh karena itu, cara pencegahan yang bisa dilakukan adalah mencegah lalu lintas media pembawa virus ASF dan menerapkan biosekuriti yang baik di negara atau daerah yang belum terinfeksi. Tindakan yang bisa diambil seperti memastikan limbah makanan dari pesawat, kapal laut, dan kendaraan yang berasal dari negara terinfeksi ASF dikelola dengan baik dan tidak dikonsumsi oleh babi, serta mencegah pemasukan ilegal babi hidup dan produk babi dari negara negara terinfeksi ASF.[1] Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|